Menurut Madzhab Hambali PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB TENTANG WALI ‘ADHAL

B. Menurut Madzhab Hambali

Di dalam Mazhab Hambali di ceritakan tentang Ahmad bin Hambal bahwa beliau pernah memberikan penjelasan mengenai wali ‘‘adhal ini. di satu riwayat, bahwa wali yang ‘‘adhal terutama yang ‘adhal itu adalah wali aqrab, maka dengan demikian perwalian berpindah kepada wali ab’ad. sedang di sisi yang lain menjelaskan, bahwa perwalian menjadi pindah kepada hakim. 4 Namun dengan demikian, wali ‘adhal berikut upaya penyelesaiannya, telah di tanggapidi bahas oleh kalangan mazhab Hambali Hanabilah ini, walau tetap tidak melepaskan kemungkinan perbedaan pendapat di antara mereka. Walau demikian Syeh Abdurrahman al Jaziri sebagaimana ada Dalam keterangannya, yakni hampir sama dengan pendapat hanabilah mengenai wali ‘adhal ini, pendapat beliau: ا ْن ْ ْ ﻪ ْﻬ ْا ﺎ ﻮ ﻻ ﺔ ﺰ ا ْو ج ا ﺬ ر ى ْ ﺑ ﻪ و ﺑ ﺎ ﺪ ر ﻬ ﺎ ْ ْﻬ ﺮ ْ ـ ْ ﻬ إ ﺎ ذ ﺑ ا ﻐ ْ ْﺴ ْ ﻓ ﺄْآ ﺮ ا ﺎ ْ د ْو ن ذ ﻚ ﻓ ْ ﻬﺎ . و ْ ْا ْا ﺎ ْ آﺎ ﻓ ﻬ ﻮ ا ﺬ ى ﺛﺎ ﺮ ز و جا ا ﻰ ﻬ ْا ﺎ ﻮ ﻰ ﺰ ا ْو ج ﻮ ءا آ نﺎ ْ ﺮ أ ْو ْﺮ . Artinya: “Apabila ada seseorang yang mempunyai hak perwalian wali mencegah maulanya dari kawin dengan calon suami yang telah ia cintai, dan dengan memberi mahar, dan dia telah mencapai umur sembilan tahun bahkan lebih ia telah baligh, sikap wali tersebut tidaklah sebagai ke’adhalan wali terhadap maulanya .dan bila wali itu ‘adhal maka perwalian berpindah kepada hakim, karena dialah yang berkewenangan untuk mengawinkan atas diri maula yang di wali mencegah dari kawin, baik itu wali mujbir maupun bukan mujbir 5 4 Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 368. 5 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah , h.41 Sebagaimana telah disinggung di atas, mazhab hambali pun ada di antara ulama yang cendrung berpendapat lain. yaitu Ibnu Qadamah, dalam menyampaikan pendapatnya mengenai wali ‘adhal beliau cendrung untuk upayanya penyelesaian wali ‘adhal, dengan beberapa pertimbangan terutama berdasarkan petunjuk hadits ‘Aisah RA, tidak melepaskan keterlibatan seluruh wali dari wali aqrab yang ada. Jadi jika terjadi ke’adhalan pada diri wali, dalam hal ini adalah wali yang paling dekat wali aqrab maka untuk perwaliannya di gantikan oleh wali berikutnya yang lebih jauh ab’ad, dan seterusnya hingga habis para wali kerabat, dan seterusnya baru pindah ke wali hakim. dalam pendapatnya tersebut Ibnu Qadamah menjelaskan sebagai berikut: و ا ﺎ ﻪ ْﺬ ر ا ْﺰ و ْ ْ ﻬ ﺔ ْا ﻻ ْ ﺮ با ْا ﻷ ْﺑ ﺪ آ ﺎ ْﻮ و ﻷ ﻪ ْ ﺴ ﺑ ْﺎ ْ ﻓ ْ ْﻪ ﻓ ﺈ ْن ْا ﻻ ْو ءﺎ آ ﻬ ْ ز و ج ْ ا ﺎآ و ْا ﺪْ ﺣ ﺔ ،ﺎ ْﻮ ﻪ ا ﺴ ْ نﺎ و ﻰ ْ ﻻ و ﻰ ﻪ . و ه ﺬ اﺎ ذ ا ﻜ . ﻻ ن ا ْﺷ ﺮ او ْ ﺮ ْ وﺎ ل ْا ﻜ Artinya: “Menurut kami Ibnu Qadamah bahwa terhalangnya kawin oleh sebab pencegahan wali aqrab, dengan sendirinya pindah untuk kepentingan perkawinan itu kepada wali ab’ad. hal ini sebagaimana bila wali aqrab itu lagi pula perbuatan mencegah kawin ‘adhal itu menjadi fasiq bagi wali yang bersangkutan, karena itu pindahlah perwalian dari wali aqrab tersebut kepada wali yang lain ab’ad. dan bila seluruh wali telah ‘adhal, barulah pindah kepada hakim. adapun hadits yang menjadi landasan kami adalah “sultan hakim adalah wali bagi seseorang yang baginya tidak mempunyai wali” hal ini adalah urusan wali bagi perempuan dan kemungkinan bagi hakim untuk menjadi wali, manakala dari seluruh wali itu ‘adhal, karena ada penjelasan hadits “maka apabila mereka bersengketa”, damir jama’sebagian ada penjelasan tadi menarik pengertian keseluruhan, bukan sebagiannya. 6 وا ذ ا ﻬ ْا ﺎ ﻷ ْ ﺮ ب ﻓ ﻜ ْﻮ ن ﺴ ا ْ نﺎ و ﻬﺎ . و ﻷ ن ْا ﻷ ْ ﺮ ب ْﺬ ر ﺣ ْﻮ ل ا ْﺰ و ْ ْﻪ ﻓ ْ ْا ﻮ ﻻ ﺔ ْ ْﻪ ْا تﺎ آ ﺎ ﻮ ْأ ْو تﺎ و ﻷ ﻬ ﺣ ﺎ ﺎ ﻪ ْﻮ ز ﻓ ْﻬ ا ﺎ ْﺰ و ْ ﻐْ ﺮ ْا ﻷ ْ ﺮ ب ﻓ ﻜ نﺎ ذ ﻚ ْﺑ ﺪ آ ْﺎ ﻷ ْ Artinya: “Apabila wali aqrab mencegah ‘adhal terhadap maulanya, terhadap kawin, maka hakim tidak bisa menjadi walinya, karena wali aqrab telah menjadi halangan dari dirinya sendiri terhadap perkawinan. Maka dengan demikian beralihlah perwaliannya kepada wali yang berikutnya dari ‘asabah. hal ini terjadi sebagaimana wali aqrab itu gila atau bahkan mati, sehingga dengan demikian bolehlah perkawinan di lakukan atas diri maulanya, oleh wali selain aqrab. maka demikian, bagi wali ab’ad menduduki sebagaimana wali asli wali aqrab. 7 Demikian penjelasanulasan dari mazhab Hambali hanabilah mengenai wali ‘adhal berikut upaya penyelesaiannya. Kiranya dari keterangan tersebut dapat di peroleh kesimpulan bahwa dalam mazhab Hambali dalam hal ini ulamanya cendrung dalam proses dan penyelesaian wali ‘adhal dengan melalui seorang hakim, dan hakim pula yang tampil sebagai penggantinya manakala ia wali yang bersangkutan tetapi dalam ke’adhalannya. Namun demikian ada di antara mereka yang berpendapat lain, yakni penyelesaian wali ‘adhal dengan melalui wali kerabat yang lain walaupun wali yang jauh sekalipun, baru kemudian pindah ke hakim, setelah mereka tidak bisa di harapkan untuk tampil sebagai wali. 6 Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kitabil Ilmiyah, TT, hl. 368. 7 Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 370.

C. Menurut Madzhab Hanafi