beragama Islam.
8
Jika hal ini terjadi orang tua harus merintangi dengan segala upaya sekalipun ke Pengadilan Agama.
2. Orang tua mendapat calon menantunya berakhlak rusak, misalnya
perempuan pelacur atau laki-laki pencuri, penjudi dan pemabuk. Orang yang berakhlak seperti itu tidak layak menjadi imam isteri anaknya.
3. Mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami dan
sebagainya.
B. Latar Belakang Wali ‘adhal
Peristiwa wali ‘adhal dalam perkawwinan, tercatat dalam sejarah perkembangan fiqih islam. Bermula dari kasusperistiwa yang di alami oleh
seorang sahabat Nabi Muhamad SAW, yang bernama Ma’qil Ibnu Yasar. dari kasus yang mengenai dirinya inilah kemudian turun satu ayat yang bernada
memberikan keterangan dan ketentuan hukum atas kasus yang mengenai dirinya itu.
8
Departemen Agama RI, h. 142-143. lihat juga Pasal 40 huruf c dan pasal 44 KHI
Ayat tersebut yaitu:
⌧
Artinnya:”apabila kamu mentalak istri-istrimu,lalu habis iddahnya,maka janganlah kamu para wali menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya,apabila telah terdapaat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.itulah yang di nasehatkan kepada orang-
orang yang beriman di antara kamu kepada alllah dan hari kemudian.itu lebih baikbagimu dan lebih suci.allah
mengetahui,sedang kamu tidak mengetahui
Al-Baqarah Ayat: 232
Untuk bisa memperoleh pemahaman yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan dalam artikehendak ayat tersebut, kirannya perlu dikutip jalan cerita dari
peristiwa yang melatar belakangi diturunkan ayat tersebut. Imam Syafi’i di dalam kitabnya “Ihkamul Qur’an” dan Imam Bukhari di
dalam “Jami ‘Sahihnya”.merriwatkan hadits ma’qil, yang bermula dari al Hasan dari Ashabul hikayahnya sendiri, yaitu ma’qil Ibnu Yasar, yang matan hadistnya berbunyi
ْ ا ﺴ
ﺣ ﺪﺛ
ﻰ ْ
ْﺑ ﺴ
رﺎ لﺎ
آﺎ ْ
ا ْﺧ
ﻓﺄ ﺎ
ْﺑا ﻓ
ﺄْ ﻜ
ﻬ ا ﺎ
ﺎ .
ﺛ ﻬ
ﺎ ﻻﺎ
ﺎ ﻪ
ر ْ
ﺔ ﺛ
ﺮ آ
ﻬ ﺣ ﺎ
ﻰ ا
ْﻓ ْ
ْﺪ ﻬ
ﻓ ، ﺎ ﺧ ﺎ
ْا أ
ﺎ ْﺨ
ﻬﺎ .
ﻓ ﺎ
ْ ﻻ
و ﷲا
ﻻ أْ
ﻜ ﻬ
ﺎ ﻻ
أْ ﻜ
ْ ﻜ
ﻬﺎ اﺑ
ﺪ ا
لﺎ ﻓ
ﻐ ﺰ
ْ ه
ﺬ ْا ا
ﻷ ﺔ
.
Artinya : Dari Hasan, bercerita kepada ma’qil ibnu yasar iya berkata: aku
punya saudara perempuan yang urusan lamarannya perkawinan ada ditanganku, lalu datang kepadamu untuk melamar saudara
sepupuku sendiri yaitu anak lelaki dari pamanku. Kemudian aku kawinkan dia dengan nya. akan tetapi tidak lama kemudian
mentalaknya dengan talak raj’i. kemudian membiarkannya sampai habis massa iddahnya. Kemudian tatkala saudara perempuanku
mendesakku menerima lamaran lagi, lalu datanglah ia untuk kedua kalinya untuk melamar dan mengawininya kembali. Lalu jawabku :
tidak, demi Allah tidak aku kawinkan dengannya untuk selama- lamanya. Kata ma’qil : pada peristiwa inilah turun ayat tersebut di
atas.
Shahih Bukhari : 36 Imam abu daud dalam riwayatnya ini menambahkan :
لﺎ ﻓ
ﻜ ْﺮ
ت ْ
ْ ﻓ
ﺄْ ﻜ
ْ ﻬ
إ ﺎ ﺎ
Artinya : ma’qil berkata : kemudian setelah turun ayat, aku bayar kafarat atas
sumpah yang aku ucapkan dan aku kawinkan dia dengan saudara perempuanku
Imam Abu Daud VI : 110 Kemudian untuk mengatasi kemungkinan adanya pertanyaan yang bersifat
mendasar mengenai status ayat yang memakai ungkapan yang umum dan sebab nuzul yang khusus. Kiranya patut dikutip ulasan fukaha mengenai hal ini.
Diantaranya adalah mufassir, Fahruddin Arrozi, sebagaimana diungkapkan Abdurrahman al Jaziri bahwa beliau memberikan keterangan:
ا ن
ْا ﻷ
ﺔ ﺰ
ْ ﻓ
ﺣ ﺪﺛ
ﺔ ا
ْ ْ
ﺑ ْﻮ
ﻬ ﻓ ، ﺎ
ﺈ ن
ْا بﺎ
ﻓْ ﻬ
ﺎ ا
ْن ﻜ
ْﻮ ن
ً ﺎ ﺎ
ﻜ ْ
ْ ا
ﺴ ءﺎ
ﻮ ءا
آ نﺎ
و ً
أ ﺎ ْو
ْﺮ
ﻓ ْ
ﺴ ْ
ْ ْﻮ
ر ة.
Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa saudara perempuan ma’qil
secara khusus, tetapi khitab dari ayat tersebut adalah umum, sehingga dengan demikian, kandungan sama yaitu menghalang-halangi wanita untuk
kawin baik yang menghalangi itu wali atau bukan karena maka ayat tersebut tidak saja terbatas pada para wali, akan tetapi juga yang lain. Abdurrahman Al
Jaziri. 48 Kiranya tidak berlebihan, kalau pengertian dari kaumuman dari khitab
ayat tersebut dibatasi para wali saja. Artinya para wali secara umum, baik mengenai ma’qil atau yang lain, asalkan dalam kondisi yang sama yaitu ‘‘adhal.
Pengertian yang sama seperti ini pula yang pernah dijelaskan oleh imam syafi’i dalam pembelaannya terhadap pendapat beliau sendiri. Antara lain
menjelaskan :
ﻓﺎ ْن
ﺷ ﻪ
ﻰ أ
ﺣ ﺪ
ﺑ ﺄ
ن ْ
ﺪأ ْا
ﺔ ذ
ْآ ﺮ
ْا ﻷ
ْز و
جا ﻓ
ْا ﺔ
د ﻻ
ﺔ ا ﻰ
ﻪ ا
ﻬ ﻰ
ْ ْو
ءﺎ ،
ﻷ ن
ﺰ ا ْو
ج إ
ذ ا
ﻓ ﻐ
ْا ْﺮ
أة ْا
ﻷ ﻓ
ﻬ ﻮ
ﺑ ا ْﺪ
ا سﺎ
ﻓ ْﻬ
ﻓ ﺎ ﻜْ
ﻬ ﺎ
ْ ﻻ
ْ و
ﻻ ﺷ
ْﺮ ك
ﻪ ْأ
ْن ْ
ﻬ ﻓ ﺎ
ْ ﻪ
ﻓ ﺑ
ْ ﻬﺎ
.
Ada tuduhan sementara orang, bahwa kehendak ayat diatas tertuju pada para suami. Padahal ayat memberikan petunjuk bahwa sesungguhnya syar’i,
melarang melakukan ‘adhal, itu kepada para wali, karena apabila para suami telah mentalak istrinya dan telah habis masa iddahnya, dia adalah sejauh-jauh manusia
dari padanya bekas istrinya. Bagaimana mungkin orang sudah tidak ada hak dan bersangkutan bisa melakukan pencegahan terhadapnya. Imam Syafi’i. 172
Demikian kisah wali adhal yang termuat di dalam sejarah fiqih islam, berikut tanggapan atau ulasan berbagai pendapat para fuqaha’mengenai hal
tersebut. namun demikian, hal yang perlu di perhatikan dan dilindungi oleh hukum syara yaitu hak dan kewajiban antara pihak wali dan pihak orang di
walinya. yang manakala di langgar atau di abaikan akan menimbulkan kekeliruan atau bahkan ketidak adilan wali ‘adhal. bila ditelusuri melalui sejarah,
adalah wali yang melakukan tindakan yang kalau di nilai tidak adil. karena itu syari’melarangnya. hal ini pula pernah di ungkap oleh seorang ahli fiqih yaitu
syeh Abdurrahman al jaziri melalui keterangannya:
ا ن
ﷲا ﺎ
ﻰ ﺨ
ﺎ أ
ْو ءﺎ
ا سﺎ
ﻓ ْﻬ
هﺎ ْ
ْ ْ
ﻬ ﺰ ا
و جا
ﺑ ْ
ْﺮ ْﻮ
ﻪ ﻷ
ْ ﺴ
ﻬ ز
ْو ﻓ ، ﺎ
ْﻮ ْ
ﻜ ْ
ﻬ ﺆ
ﻻ ء
ْا ﻷ
ْو ءﺎ
ﺣ ْا
ْ ﺎ
آ نﺎ
ﺑﺎ ﻬ
ْ ﺑ
ْ ه
ﺬ و ا
ْﻪ ﻷ
ﻪ آ
نﺎ ْﻜ
أ ْن
ْﻮ ل
ا ﺴ
ءﺎ إ
ذ ا
ْ ﺰ ا
وا ج
ﻓ ﺰ
و أ اﻮ
ْ ﺴ
ﻜ .
Artinya: “sesungguhnya Allah SWT berbicara terhadap para wali dan melarang mereka mencegah para wanita yang hendak kawin dengan seseorang
yang mereka sukai sebagai suami merekla sendiri, maka kalau bukan tidak adanya hak para wali untuk mencegah, tidak mungkun berbicara
di hadapan mereka para wali dengan ungkapan seperti ini, karena bila wali ada hak cukuplah pembicaraan Allah kepada wanita dengan
“tatkala kamu tercegah dari kawin, maka kawinkanlah terhadap dirimu sendiri “Abdurrahman aljaziri.47.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, kiranya menjadi penting, dan perlu kiranya untuk di ungkapkan seberapa hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang di
miliki kedua belaah pihak, yakni wali dari maulanya. Sehingga dari sini akan Nampak jelas, hak mana bila di cegah akan akan di nilai suatu pelanggaran
ketidakadilan .dari ini juga dapat di temukan kriteria fiqih mengenai wali ‘adhal ini.
Pada dasarnya seorang wali mempunyai hak-hak di samping mempunyai kewajiban-kewajiban,terutama ,yang menyangkut hal-hal mengatur,menjaga,
mengusahakan sampai pada pelaksanaan perkawinan atas dirinya perempuan yang di walinya.namun di samping hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi si
wali,perempuan yang di walipun tidak sepi dari hak dari kewajiban yang di milikinya.seorang anak perempuan memang sudah menjadi kewajibannya untuk
patut kepada aturan dan kehendak walinya,jika hal itu sudah menjadi haknya. Untuk ini bisa di ambil sebagai berikut:
1. Pelanggaran wali atas perempuan yang di walinya kawin dengan :
a. Laki-laki yang berbeda agama musyrik hal ini telah di jelaskan
pelarangannya dalam nash alQur’an: pada surat Al-Baqarah ayat: 122
☺
Artinya : “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman.”
Al-Baqarah: 221
b. Laki-laki yang tidak sejodoh sekufu.hal ini di peroleh keterangan dari
hadits riwayat ibnu majjah,al-hakim dan baihaqi dari aisyah ra.bahwa nabi SAW pernah bersabda:
ﺨ ﺮ
او ْ
ﻜ ْ
و ْا
ﻜ ْا اﻮ
ﻷ ْآ
ءﺎ و
ْا ﻜ
إ اﻮ ْﻬ
ْ ﺪ ا
Artinya : “Pilihlah wahai para wali untuk anak keturunan anak perempuanmu,kawinkanlah laki-laki dengan sejodoh,dan
kawinkanlah dengan mereka. ” Jalauddin as Suyuti :130
Juga di terangkan dalam hadits yang lain,yaitu di riwayatkan oleh attirmidji dari abu hatim al muzanni,yang berbunyi:
إذ أ ا
آﺎ ْ
ْ ْﺮ
ْﻮ ن
د ْ
ﻪ و
ﺧ ْ
ﻪ ﻓ
ْﺎ ﻜ
ا اﻮ ﻻ
ْ ْﻮ
ﻜ ْ
ﻓ ْ
ﺔ و
ﻓ ﺴ
دﺎ آ
ْﺮ
Artinya : “takkala datang kepadamu untuk melamar kawinseseorang yang kamu sukai agama dan
akhlaknya,maka kamu kawinkan dia,sebab jika tidak kamu lakukan itu tinggal tungguan fitnah yang menimpa selai
kerusakan yang besar”
M.Ali As saukani V1:261 2.
Pelarangan pencegahan wali karena menurut pengetahuan ada rintangan syar’i seperti :
a. Harus melalui kawin muhallil, karena baginya telah terkena talak tiga
ba’in kubro, atau b.
Laki-laki yang meminangnya ada hubungan sesusuan syihabuddin alqayubi III : 225
Adapun hak-hak perempuan yang diwali diantaranya: 1.
Hak untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk mementukan jodoh yang melamarnya. Hal ini terlihat pada perempuan yang menjanda. Hal ini
diterangkan oleh Imam Muslim abu hurairah ra. Bahwa nabi pernah bersabda :
ﻻ ْﻜ
ْا ﻻ
ﺣ ْﺴ
ْﺄ ﺮ
و ﻻ
ْﻜ ْا
ْﻜ ﺮ
ﺣ ﻰ
ْﺴ ْﺄذ
ن ﺎ
اﻮ و
آ ْ
ا ْذ
ﻬ ﺎ ﺎ
ر ْﻮ
ل ﷲا
؟ لﺎ
: أ
ْن ْﺴ
ﻜ .
Artinya: tidak boleh dikawinkan janda sehingga ia dimintai persetujuannya, dan tidak bisa dikawinkan gadis sehingga ia
dimintai izinnya. Tanya sahabat, lalu bagaimana izinnya wahai rasulullah? Jawab beliau, dia berdiam.
Imam Muslim : 594 Juga di temui pada hadits yang lain dari ibnu abbas,yang berbunyi:
ا ﻷ
أ ﺣ
ﺑ ْ
ﺴ ﻬﺎ
ْ و
ﻬ و ﺎ
ْا ْﻜ
ﺮ ْﺴ
ْﺄذ ن
و إْذ
ﻬ ﺎ
ﺎ ﻬﺎ
.
Artinya : bagi janda yang lebih berhak atas dirinya dari pada
walinya,sedang bagi gadis cukup dengan meminta ijinnya adalah diamnya
.Imam Muslim : 594
2. Hak untuk menerima atau mengambilmencegah mahar dari pihak calon
suaminya.perkara besar kecil mahar,atau maharnya di tangguhkan tidak
kontan,hal itu tidak mempengarui akan haknya. Bagaimanapun mengenai mahar adalah hal perempuan juga untuk menerima atau
membebaskannya.hal ini di dasarkan padafirman allah SWT.yang berbunyi.
☺ ⌧
Artinya: “berikanlah maskawin maharkepada wanita yang kamu nikahisebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian
jika merekla menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,maka makanlah ambilah
pemberian itu sebagai makananyang sedang baik lagi akibatnya”
.QS An Nisa’:4 3.
Hak untuk menaruh kasih sayang terhadap calon suami yang lazimnya di lambangkan dengan bentuk kerelaan kepadanya.
4. Hak mengenai cacat badan yang mengenai diri calon suami ini juga
termasuk hak perempuan, untuk meneruskan atau membatalkan. sihabudin al Qalyubi 111, 225
ْ ﺎ إو ْ ﻰ ﻮ ْا ْ او ءﺎ آ ﻰ إ ﺔ ﺎ ْ ﻐ ﺎﺑ ْ د اذإ ْ ْا
ْ ﺮْﻬ ْا ْ ﻪ ﺎ ْ ا نﺎآ ْنإو ﻪ ْوْﺰ ﺣ
ً ﺎ
ﻬﺎ .
Demikian contoh hak-hak,baik bagi wali maupun bagi perempuan di wali. Dengan hak yang di milikinya,seorang wali yang melakukan pencegahan
terhadap perempuan yang di walinya,bila atas dasar-dasarhak yang di milikinya untk melakukan hal tersebut memang di benarkan,karena
mempunyai hak yang di benarkan syara’. Maka dari itu pelanggaran tadi tidaklah sebagai tindakan ‘adhal,akan tetapi tindakan yang atas dasar apa yang
sebenarnya ‘adil. sihabuddin Al Qalyubi,111:225 Dengan demikian dapat di peroleh gambaran, bahwa latar belakang
wali ‘adhal adalah terpenuhinya hak-hak wali atas perkawinan maulanya, yang
seharusnya si wali tidak berkeberatan sudah menjadi kewajiban untuk melangsungkan perkawinannya, akan tetapi justru melakukan pencegahan dari
dilangsungkan perkawinannya. Akan tetapi justru melakukan pencegahan dari
dilangsungkanya perkawinan. pencegahan inilah yang oleh Fiqih sebagai pencegahan yang tidak beralasan tidak ada sebab syar’i dan ini pula yang di kenal sebagai wali
‘adhal dalam perkawinan. adapun untuk memudahkan dalam mendeteksi wali ‘adhal ini, maka di susunlah kriterianya.
C. Keriteria wali