Menurut Madzhab Maliki PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB TENTANG WALI ‘ADHAL

BAB IV PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB TENTANG WALI ‘ADHAL

A. Menurut Madzhab Maliki

Dalam Mazhab Maliki, terutama sekali pada ulama’ nya ada kecendrungan sama dalam menyampaikan pendapatnya mengenai wali ‘‘adhal ini dengan Mazhab Syafi’i, dalam pendapatnya dalam kalangan maliki menyatakan وإ ذ ا ْا ﻮ ْ ا ـ ْ ﺮ أ ْو ْﺮ ْ ﻪ ْﻬ ْا ﺎ ﻮ ﻻ ﺔ ْا ﻜ ْء ا ﺬ ي ر ْ ﺑ ﻪ ﻻ ْ ْا ﻮ ﻻ ﺔ إ ْا ﻷ ْﺑ ﺪ ﺑ ْ ﻬ ﺎ أ ْن ْﺮ ﻓ أ ْﺮ ه ْ ا ﺎ ﺎآ ْﺴ ﺄ ﻪ ْ ْ ا ﺎ ﻪ ﻓ ﺈ ْن أ ْﻬ ﺮ ا ﺎ ْ ْﻮ ﻻ ر د ه إ ﺎ ْﻪ و ا ﻻ ا ﺮ ﺑ ْﺰ و ْ ﻬ ﻓ ﺎ ﺈ ن ْ ا ْ ْﺰ و ْ ﻬ ﺑ ﺎ ْﺪ أ ْﺮ ْ ا ﺎآ ز و ج ْ ا ﺎآ . Artinya : “Tatkala ada seorang wali baik itu mujbir atau bukan, menghalangi maulanya untuk kawin dengan pasangan yang sekufu lagi pula si maula rela terhadapnya, maka perwalian tidak pindah pada wali yang jauh wali ab’ad akan tetapi berhak bagi si maulanya untuk melaporkan perkaranya kepada hakim, dengan maksud untuk mempertanyakan kepada si wali mengenai sebab sebab itu dan masuk akal, maka hakim menyerahkan urusan maula tersebut kepadanya, akan tetapi kalau tidak, hakim memerintahkan pada si wali membangkang untuk mengawinkannya setelah di perintahkan hakim, maka hakim bertindak untuk mengawinkannya. 1 Dalam keterangan lain di jelaskan : 1 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, Jilid IV, Riyad, Muktabah al Riyadul Hadisah, TT, h.35 وا ْ ﺮ ﺎ ا ْن أ ْﺛ ْﻪ ا ﻪ ﻓ ذ ﻚ ﺎ ﺪ ْ ْ ﻷ ن ْﺮ ْو ر ْا ﺨ ﺎ ﻻ ﺪ ل ﻰ ْا ْ ﺑ ْ ْﺪ ْ ﺔ ْ ﻬ ْا ﺎ ﻮ و ه ﻮ ا ْﺷ ﻐ ا سﺎ ﺑ ْ ﻪ و ا ْن ْﺪ ا ﺮ ر و ْﻮ ﺮ ة أ ﺮ ْ ا ﺎآ ﺑ ﺎ ْﺰ و ْ ﺛ ز و ج ا ْن ْ ْﻐ ْﺬ. Artinya: “Sesungguhnya seorang wali di nyatakan ‘‘adhal itu manakala telah pasti bahwa apa yang dia lakukan memang dengan maksud mencegahmelarang maulanya dari kawin, sebab kalau hanya untuk menolak orang yang melamar itu tidak bisa menunjukan bahwasanya ia ‘‘adhal, bahkan terkadang untuk menarik kemaslahatan yang diajarkan wali untuk maulanya apapun dia adalah sesayang-sayangnya manusia terhadap perempuan, akan tetapi bila nyata-nyata dengan maksud merusak dengan sekali saja, hakim memerintah utuk mengawinkannya, dan kalau tidak sanggup mengawinkan, maka hakimlah yang mengawinkan. 2 Lebih Dari itu, dalam keterangan salah seorang pendukung dari mazhab ini yaitu Ibnu Rusydi juga di dapati keterangan yang sama dengan apa yang telah di sebutkan di muka yakni mengenai penentuan problema berikut upaya penyelesainya yang sama-sama melalui seorang hakim, akan tetapi dalam Ibnu Rusydi tersebut menagani pergantian wali tidaklah dilakukan oleh hakim, akan tetapi oleh wali berikutnya selain wali akrab, hal ini tampak pada keterangan: ْ ْﻮ ﻰ أ ْن ْ و ﻪ إ ذ را ْا آ ﻰ ْء و ْﺪ قا ْ ﻬ و ﺎ ا ﻬ ﺎ ْﺮ ﻓ أ ْﺮ ه ا ﺎ ﺴ ا ﻰ ْ نﺎ ﻓ ﺰ و ﻬ ﺎ ﺎ ﺪ ا ْا ﻷ ب Artinya: “Bahwa bagi wali tidak berhak untuk menghalangi anak yang di walinya dari kawin,manakala ia menghendaki pasangan yang telah sekufu dan dengan mahar mitsilnya. maka bila si wali mecegah hendaknya bagi perempuan yang di wali melaporkan perkaranya pada hakim, dan 2 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah , h.35 kemudian untuk perkawinannya di lakukan oleh wali berikutnya selain bapa aqrab. 3 Pendapat yang di sampaikan oleh Ibnu Rusydi, menurut keterangan di dasarkan pada petunjuk hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A yang di antaranya menyebutkan ... ﻓﺈ ن ْﺷا ﺮ ﻓ او ﺴ ﺎ ْ نﺎ و ﻰ ْ ﻻ و ﻰ ﻪ Artinya: “Maka apabila terjadi sengketa,hakim adalah wali bagi seorang yang baginya tidak punya wali Ibnu Rusydi:7 Dengan dapat diperoleh kesimpulan umum, bahwa dalam mazhab maliki bagaimana problema dan penyelesaian wali ‘‘adhal tentu melihat seorang hakim, dan bagi hakim berkewajiban menggantikannya sebagai jalan menuju jalan penyelasiannya bila dalam wali yang bersangkutan tetap dalam sikap ‘‘adhalnya. Namun demikian ada di antara ulama’dari mazhab ini yang berpendapat lain, yakni melalui wali kerabat yang lain selain wali akrab, guna mencapai penyelesainya. 3 Abi Abdillah Muhammad Al Andalusi asy Syahrir bin Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, juz II, Beirut, darul Fiqr,TT, h.15

B. Menurut Madzhab Hambali