Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses globalisasi pada fase sekarang terdiri dari dua fenomena yang berbeda, yakni globalisasi bisnis produk dan globalisasi bisnis keuangan dimana proses globalisasi bisnis keuangan telah memiliki signifikasi dan kekuatan yang lebih besar daripada globalisasi bisnis produk dalam tanda kutip. Bisnis keuangan meliputi bisnis valas valuta asing serta investasi langsung dan investasi tidak langsung Mansyur, 2009. Investasi melalui pasar modal sebagai bentuk investasi tidak langsung dilakukan dimana saja diseluruh dunia termasuk di Bursa Efek Jakarta BEJ. Investor menginvestasikan uangnya berdasarkan preferensi keuntungan yang optimal melalui investasi portofolio. Perubahan-perubahan di dalam lingkungan perekonomian dunia, pergeseran pusat- pusat kekuatan ekonomi, pembauran di Negara-negara sosialis, revolusi teknologi dan informasi, komunikasi dan sebagainya menyoret setiap perekonomian nasional ke dalam kancah perekonomian global. Proses yang tak terhindarkan ini meningkatkan peluang- peluang bagi setiap Negara untuk memperluas pasar dan sumber pembiayaan. Namun pada gilirannya makin besar peluang maka akan setara dengan resiko yang ditanggung. Proses globalisasi tidak hanya terbatas pada perdagangan dan arus modal saja melainkan telah merambah pada sektor produksi. Ditunjang oleh kebebasan lau lintas modal, upaya memperluas pasar dan mencari lokasi produksi yang murah, relokasi industry bagaikan arus yang tak terbendung. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan multinasional Tendi Haruman dkk., 2005. Perkembangan harga saham dapat dilihat pada indeks harga saham gabungan IHSG dimana Indeks harga saham yang naik menunjukkan kegairahan sedangkan indeks harga saham yang turun menunjukkan adanya kelesuan pasar. Perubahan IHSG bukan hanya sekedar mencerminkan perkembangan perusahaan atau industri suatu Negara, bahkan bisa dianggap sebagai perubahan yang lebih fundamental dari suatu Negara. Maksudnya, IHSG suatu Negara yang mengalami penurunan dapat disebabkan oleh kondisi perekonomian di negara tersebut yang sedang menghadapi permasalahan. Sebaliknya indeks harga saham yang mengalami peningkatan bisa mengindikasikan adanya perbaikan kinerja perekonomian di negara tersebut. Berdasarkan pandangan tersebut, maka diperlukan kajian yang mendalam tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan perubahan harga saham tersebut Murwaningsari, 2008. Pembentukan harga saham di BEI dipengaruhi bukan hanya oleh kondisi bisnis dan ekonomi di Indonesia, tetapi juga kondisi di negara-negara lain. Perubahan harga saham dapat mengakibatkan perubahan perilaku konsumsi dan investasi investor. Berdasarkan hal tersebut, harga saham sangat penting untuk mendapat perhatian karena harga saham mencerminkan berbagai informasi yang terjadi di pasar modal. Indeks harga saham di bursa efek merupakan indikator yang menggambarkan rasio perubahan harga saham yang dipengaruhi oleh beberapa kondisi perekonomian, sehingga mempengaruhi naik turunnya tingkat pengembalian di BEI. Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang menarik untuk mengamati pergerakan harga saham Widayanti, 2007:4. Namun, bila melihat indikator ekonomi beberapa tahun terakhir pada Januari 2007, IHSG mencapai 1.757,26 dan sampai Januari 2008 telah mencapai 2.627,25. Ini merupakan peningkatan yang cukup signifikan mengingat IHSG pada tahun 2004, 2005, dan 2006 baru mencapai 732,40, 1.162,63, dan 1.310,26. Kemudian sepanjang periode bulan Januari-Juli 2008, PT Bursa Efek Indonesia BEI terus menerus berupaya menciptakan pasar yang semakin likuid, wajar, teratur dan transparan. Sepanjang periode di atas, bursa telah menunjukkan prestasi yang sangat menggembirakan. Salah satunya ditunjukkan dengan Indeks Harga Saham Gabungan IHSG BEI yang berhasil mencatat rekor tertinggi pada tanggal 11 Desember 2007 di level 2.745,83 www.jsx.co.id . IHSG merupakan cerminan dari kegiatan pasar modal secara umum. Peningkatan IHSG menunjukkan kondisi pasar modal sedang bullish, sebaliknya jika menurun menunjukkan kondisi pasar modal sedang bearish. Untuk itu, seorang investor harus memahami pola perilaku harga saham di pasar modal. Kondisi perekonomian nasional harus beradaptasi dengan perekonomian global menuntut setiap pelaku ekonomi untuk berpikir secara kritis dalam menyikapi hal tersebut. Perekonomian nasional bergantung pada situasi negara. Pada akhir tahun 1997 Indonesia dilanda krisis moneter yang berkepanjangan, nilai kurs rupiah bagaikan layang-layang putus dan berfluktuasi dari hari ke hari. Pergantian masa pemerintahan mempengaruhi situasi politik kenegaraan yang berdampak pada perekonomian nasional yang hingga saat ini. Terlihat dari kabinet saat ini yang pada pembentukannya saja sudah dihadapkan pada masalah-masalah yang maha besar. Salah satu hikmah yang dapat ditarik adalah peninjauan kembali seluruh kebijaksanaan ekonomi. Perkembangan nilai tukar rupiah selama ini menunjukkan kecenderungan terdepresiasi secara persisten. Walaupun rupiah sempat menguat namun melemah kembali akibat keadaan yang tidak kondusif. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya factor market confidence yang berangkat dari peningkatan contry risk dan perubahan motif transaksi USDIDR menjadi speculantive motive. Didik J. Rachbini 2001:72 berpendapat bahwa ketidakstabilan sistem moneter suatu Negara semakin diperparah oleh spekulasi, yang volume transaksinya semakin besar dari waktu ke waktu. Institusi yang bergerak di pasar valuta, saham dan pasar uang lainnya semakin kuat pengaruhnya secara relatif terhadap suatu sistem ekonomi. Selanjutnya pada bulan Agustus 2005, rupiah mengalami tekanan kembali sehingga melemah terhadap dollar AS meskipun pada bulan-bulan berikutnya relative stabil. Beberapa factor internal yang turut memberikan tekanan antara lain : masih tingginya kekhawatiran terhadap stabilitas di bidang politik dan keamanan dalam jangka pendek dan jangka panjang, pesimisnya pelaku bisnis dan investor luar negeri terhadap pulihnya perekonomian nasional akibat kondisi pemerintahan, ancaman terorisme, bencana alam, serta tingginya sensitivitas fluktuasi rupiah terhadap berbagai isu negatif lainnya. Dalam kondisi melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS, pemerintah juga ikut menaikkan tingkat suku bunga SBI. Langkah ini diambil untuk memerangi spekulasi valas. Dengan menaikkan tingkat suku bunga diharapkan dapat menahan merosotnya nilai tukar rupiah dan menarik investor dalam rangka mendorong terjadinya perubahan komposisi assets ke dalam rupiah sehingga rupiah meningkat atau terapresiasi. Seseorang investor harus mampu mengantisipasi risiko yang terjadi dengan mendiversifikasikan investasinya untuk memperkecil risiko. Grubber 2003:299, mengemukakan mengenai jenis-jenis risiko sebagai berikut : “…that the risk of any stock could be divided into systematic risk market risk and unsystematic risk non market risk” . Kenaikan tingkat suku bunga tidak otomatis akan diikuti oleh pembelian aset secara besar-besaran oleh investor, karena dianggap membawa konsekuensi meningkatnya biaya pemulihan ekonomi serta meningkatnya biaya rekapitalisasi dan biaya yang harus ditanggung oleh Bank Sentral dalam membiayai perbaikan perekonomian nasional. Kenaikan suku bunga yang tajam justru merupakan sinyal bahwa perekonomian melambat, dan expected return menjadi rendah. Alhasil kenaikan suku bunga yang tajam itu justru menyebabkan berpindahnya portofolio investasi asing ke valas sehingga menekan nilai rupiah lebih tajam lagi. Dalam kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan, harga barang juga dapat menyebabkan inflasi yang tinggi juga menyertai kenaikan nilai tukar dan suku bunga. Faktor fundamental ekonomi misalnya, kondisi perekonomian seperti GDP, nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, tingkat suku bunga, inflasi, kebijakan pemerintah seperti kebijakan pajak, dan lain sebagainya. Hal tersebut diungkapkan pula oleh J. Soedrajad Djiwandono 2001:138 sebagai berikut :…Saya ingin membuat catatan disini bahwa dalam analisis ekonomi makro yang biasa kita sebut fundamental itu adalah kondisi berbagai indicator makro seperti GDP, laju inflasi, suku bunga, neraca pembayaran nilai tukar, cadangan devisa, kondisi anggaran pemerintah, dan lain-lain….” Dalam penelitian Moh Mansyur 2009 serta Sitinjak dan Kurniasari 2003 yang menemukan bahwa nilai tukar dan tingkat bunga SBI berpengaruh terhadap IHSG. Namun Murwaningsari 2008 kembali menunjukkan bahwa Kurs tidak memiliki pengaruh signifikan pada IHSG. Penelitian yang dilakukan oleh Maurin Sitorus 2004 yang berjudul pengaruh variabelmakro ekonomi inflasi, suku bunga SBI, kurs, dan jumlah uang beredar menunjukkan bahwa variable-variabel makro ekonomi berpengaruh secara simultan terhadap kinerja saham pertambangan minyak dan gas bumi. Dan variabel makro ekonomi yang berpengaruh sangat besar terhadap kinerja saham pertambangan minyak dan gas bumi adalah variabel kurs Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai variabel makroekonomi apakah yang sebenarnya berpengaruh terhadap Return Market dan dampaknya terhadap Return Saham LQ 45. Oleh karena itu, dalam skripsi peneliti mengambil judul “Analisis Tingkat Sertifikat Bank Indonesia, Inflasi, dan Nilai Kurs Terhadap Return Saham LQ 45 dan Dampaknya Terhadap IHSG” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas adalah : 1. Apakah terdapat pengaruh SBI, Inflasi dan Nilai Kurs terhadap Return Saham LQ 45? 2. Apakah terdapat pengaruh Return Saham LQ 45 terhadap IHSG? 3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan SBI, Inflasi dan Nilai Kurs terhadap Return Saham LQ 45 dan dampaknya terhadap IHSG baik secara langsung maupun secara tidak langsung ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian