Pendekatan Teoritik Terhadap Prasangka

lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka yang pada mulanya hanya merupakan sikap perasaan negatif itu lambat laun akan menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif. Sherif dan Sherif dalam Ahmadi 1991 mengemukakan bahwa prasangka adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti, kepada kelompok lain beserta anggotanya. Lebih lanjut Sherif menjelaskan bahwa prasangka disini dimaksudkan sebagai suatu sikap yang tidak simpatik terhadap kelompok luar outgroup. Dalam penelitian ini, prasangka diartikan sebagai sikap negatif yang ditunjukkan oleh pengusaha Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi. Target prasangka jelas adalah golongan etnis Pribumi, dengan demikian, prasangka timbul dikarenakan oleh perbedaan ras, dengan kata lain, prasangka dalam penelitian ini merupakan prasangka rasial.

2. Pendekatan Teoritik Terhadap Prasangka

Menurut Soeboer 1990 terdapat beberapa pendekatan teoritik yang membahas masalah prasangka dan diskriminasi. Secara garis besar, pendekatan ini dibagi menjadi tiga, yaitu : a. Pendekatan Sosial Universitas Sumatera Utara Pendekatan sosial berusaha menerangkan bagaimana diskriminasi dilahirkan serta dipelihara oleh lingkungan sosial. Dalam pendekatan ini ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab timbulnya dan terpeliharanya prasangka dan diskriminasi diantaranya dapat ditinjau dari : 1. Teori ketidaksamaan sosial social inequalities Teori ini beranggapan bahwa ketidak samaan status akan menghasilkan prasangka. Para budak dianggap bodoh, tidak bertanggung jawab, tidak memiliki ambisi oleh majikan mereka. Anggapan ini tetap dipertahankan agar struktur sosial yang telah mapan menguntungkan para majikan terpelihara. Dengan demikian prasangka terhadap kelompok bawah dapat dipakai untuk membenarkan superioritas ekonomi dan sosial bagi mereka yang kaya dan memiliki kekuasaan Myers dalam Soeboer, 1990 2. Teori konflik realistik realistic conflict theory Menurut teori ini, kompetensi antar kelompok merupakan lahan subur bagi timbulnya prasangka. Kompetisi ini lahir karena sumber daya yang dianggap bernilai oleh manusia pada kenyataannya memiliki jumlah yang terbatas. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kompetisi antar berbagai kelompok sosial untuk memperebutkan sumber daya yang dianggap berharga sekaligus terbatas tersebut. Dengan adanya kompetensi antar kelompok, individu dari kelompok tertentu akan memandang individu dari kelompok lain secara negatif. Mereka menganggap individu dari kelompok lain sebagai musuh dan menganggap kelompoknya benar White dalam Universitas Sumatera Utara Soeboer, 1990. Kondisi semacam ini pada akhirnya akan membawa individu dari kelompok yang satu menjadi berprasangka yang dapat diikuti oleh diskriminasi terhadap individu dari kelompok lain. 3. Ingroup bias Ingroup bias merupakan anggapan bahwa kelompoknya merupakan kelompok yang paling baik. Ingroup bias dapat merefleksikan kesukaan terhadap ingroup, ketidaksukaan terhadap outgroup, atau kombinasi dari keduanya. Implikasinya adalah loyalitas kepada kelompoknya akan diikuti dengan penilaian yang rendah terhadap kelompok lain. Dari sinilah muncul prasangka yang dapat diikuti oleh diskriminasi terhadap kelompok yang dinilai negatif tersebut. 4. Konformitas norma sosial Masalah prasangka dan diskriminasi dapat dilihat dari bagaimana institusi yang ada berperan dalam masalah ini serta bagaimana norma-norma sosial masyarakat yang mendukung terjadinya prasangka dapat mendorong seseorang untuk konform dengan norma-norma tersebut. Bila prasangka merupakan norma sosial, maka akan banyak orang konform dengan norma ini. Mereka konform dengan norma ini supaya mereka disukai dan diterima Pettigrew dalam Soeboer 1990. Dengan demikian menurut pandangan ini, prasangka bukan merupakan manifestasi dari individu yang memiliki kepribadian yang ”sakit”, tetapi lebih disebabkan oleh norma- norma yang ada adalah norma yang mendukung terjadinya prasangka. Universitas Sumatera Utara Biasanya norma ini juga akan terwujud melalui dukungan-dukungan institusi seperti adanya pemisahan sekolah antara anak-anak kulit putih dan anak-anak kulit hitam di Amerika. 5. Teori belajar sosial social learning theory Menurut teori belajar sosial, prasangka terhadap kelompok lain tidak timbul dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya Bandura dalam Soeboer 1990. Prasangka dapat terjadi karena subjek belajar dari orang-orang di sekitarnya yang berprasangka terhadap kelompok lain dengan cara meniru atau mendapatkan pengukuhan positif dari orang-orang tersebut bila menunjukkan sikap berprasangka. b. Pendekatan Emosional dan Psikodinamik Menurut pendekatan emosional dan psikodinamik, prasangka tidak hanya tumbuh dari pembenararan secara intelektual, tetapi dapat juga tumbuh dari emosi yang meluap-luap. Apabila ditinjau dari teori frustasi-agresi, dapat dilihat bahwa rasa frustasi pada seseorang dapat menimbulkan agresi. Atau dengan kata lain agresi merupakan respon alamiah terhadap pengalaman- pengalaman frustasi. Dengan demikian individu yang mengalami frustasi akan berperilaku agresif terhadap sumber frustasi. Namun bila sumber frustasi adalah individu yang memiliki status lebih tinggi, maka tidak mungkin bagi individu yang mengalami frustasi untuk menunjukkan agresivitasnya terhadap orang tersebut karena takut akan konsekuensi yang dihadapinya. Akibatnya, ia Universitas Sumatera Utara memindahkan agresivitasnya kepada orang lain yang memiliki status yang lebih rendah kelompok minoritas sebagai kambing hitam sehingga konsekuensinya lebih ringan atau tanpa sanksi. Oleh karena itu, pendekatan ini sering disebut juga sebagai scape goat theory. c. Pendekatan Kognitif Pendekatan ini menekankan bagaimana individu yang berprasangka menerima dan memproses informasi yang berkaitan dengan target prasangka Feldman dalam Soeboer 1990. Pendekatan ini lebih memperhatikan mengenai pengalaman subjektif individu yang berprasangka terhadap dunia di sekitar mereka dan orang-orang yang hidup di dalamnya. Secara umum, pendekatan ini dapat dijelaskan dalam tiga bagian yaitu: 1. Kategorisasi sosial social categorization Dalam kehidupan sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita dan mereka” atau ”us versus them” Baron dalam Soeboer 1990. Kelanjutan dari kecenderungan ini adalah bahwa individu menganggap kelompok ”kita” lebih baik dibandingkan dengan kelompok ”mereka”. Bahkan biasanya kelompok ”mereka” akan dipandang dengan kacamata yang negatif. Kelompok ”mereka” dianggap memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya kelompok ”mereka” tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya sebagai kelompok ”kita”. Menurut Tafjel dalam Soeboer, 1990, kekuatan yang ada dibalik Universitas Sumatera Utara kecenderungan individu untuk mengkotak-kotakkan individu lain dalam dua kategori tersebut berasal dari keinginan individu untuk menaikkan harga diri mereka dengan mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Cara ini akan berhasil hanya jika individu tersebut memandang kelompok yang dipilihnya ini sebagai lebih superior daripada kelompok lain, atau kelompok pesaing. Bila masing-masing kelompok menganggap kelompoknya lebih superior, maka yang timbul pada akhirnya adalah prasangka antar kelompok. Tafjel menamakan proses ini sebagai kompetisi sosial untuk membedakannya dari teori konflik realistik. Penelitian yang dilakukan Meindl dan Lerner 1985 menunjukkan bahwa pengalaman akan kegagalan pada individu akan mengintensifkan kebutuhan individu untuk menaikkan harga dirinya dan akan membawanya pada kategorisasi sosial. Subjek yang mengalami kegagalan akan berusaha menaikkan harga diri mereka dengan menilai anggota dari kelompok lain secara ekstrim. Hasil penelitian ini mendukung adanya pandangan bahwa individu cenderung membagi dunia sosial ini menjadi dua kelompok ”kita” dan ”mereka” yang pada akhirnya memainkan peran dalam pengembangan prasangka rasial, etnik, atau agama. 2. Attribution error Individu yang berprasangka secara sistematik akan menyimpangkan atribusi mereka terhadap target prasangka dengan membuat atribusi yang menyenangkan mengenai kelompok mereka kelompok mayoritas dan membuat atribusi yang tidak menyenangkan terhadap anggota kelompok Universitas Sumatera Utara minoritas yang diprasangkai Feldman dalam Soeboer, 1990. Menurut Pettigrew dalam Soeboer, 1990, individu yang berprasangka cenderung membuat ultimate attribution error. Ultimate attribution error menunjukkan bahwa bila individu yang berprasangka melihat target prasangka sedang melakukan suatu tindakan yang negatif, ia akan cenderung memberikan atribusi bahwa perilakunya memang merupakan karakteristik yang stabil pada disposisinya, dan sebaliknya cenderung menganggap perilakunya yang negatif dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional. 3. Illusion of outgroup homogeneity Pendekatan kognitif ketiga mengenai prasangka dan diskriminasi adalah adanya kekeliruan persepsi yang terjadi pada individu yang berprasangka Baron dalam Soeboer, 1990 yang disebut dengan istilah illusion of outgroup homogeneity. Selain itu juga terdapat istilah stereotip. Stereotip merupakan penggeneralisasian terhadap suatu kelompok tanpa melakukan pengecekan secara akurat. Pada illusion of outgroup homogeneity terdapat usaha dari individu yang berprasangka untuk menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan dalam rangka mendukung pendapatnya mengenai hal-hal negatif yang terdapat pada anggota kelompok yang diprasangkai. Sedangkan pada stereotip, terdapat kecenderungan seseorang untuk menganggap anggota kelompok lain memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang bersifat umum atau homogen dibandingkan dengan sifat-sifat dari anggota kelompoknya sendiri. Universitas Sumatera Utara

3. Aspek-aspek Prasangka