Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi

(1)

HUBUNGAN PRASANGKA DENGAN TRUST PADA

PENGUSAHA ETNIS TIONGHOA TERHADAP KARYAWAN

ETNIS PRIBUMI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

SOFIA GANDHI

051301139

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2008/2009


(2)

Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi

Sofia Gandhi dan Rika Eliana

ABSTRAK

Trust merupakan suatu harapan bahwa seseorang dapat dipercaya dalam segala hubungan, menunjukkan perilaku konsisten dan dapat diprediksi. Trust

yang dimiliki berhubungan dengan prediksi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh karena pilihannya tersebut. Busch dan Hantusch (2000) menyatakan bahwa social categorization merupakan salah satu hal yang turut mempengaruhi trust. Social categorization merupakan salah satu faktor penyebab munculnya prasangka, dan prasangka itu sendiri merupakan suatu sikap negatif yang ditunjukkan oleh suatu anggota kelompok kepada anggota kelompok lain. Menurut teori social categorization, individu dalam kehidupan sehari-harinya cenderung membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu “kita” (ingroup) dan “mereka” (outgroup). Kategori sosial yang jelas ini akan membuat ingroup menyederhanakan proses pembuatan keputusan terhadap

outgroup. Sebagai konsekuensinya, outgroup akan dinilai sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka dan tidak jujur.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara prasangkadengan trust.

Penelitian ini mengambil sampel mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sejumlah 173 orang yang pernah berbelanja di

department store. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala prasangka dan skala trust yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan tahapan proses pengambilan keputusan membeli dari Engel, Blackwell dan Miniard (1995) dan Hansen dan Deutscher (1986). Skala proses pengambilan keputusan membeli memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.889 dan nilai reliabilitas skala citra department store (rxx)=0.939.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)=0.504 dengan p<0.01 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara hubungan antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi.


(3)

Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi

Sofia Gandhi dan Rika Eliana

ABSTRACT

Trust is the expectation that someone can be trusted in all relationship, show consistent behavior and predictable . This makes the department store has attraction so that many consumers shop at the department store (Richert, Meyer dan Haines, 1962). Consumer who shops at a department store more concern about the quality of product, ease to shop, and satisfaction after purchasing (Lamb, Hair and McDaniel, 2001). Dodds, Monroe and Grewal proposed that good store image creates good store name too. Store image is the perception toward a store. If a consumer possesses positive perception, it will creates perceived quality, perceived values and finally the willing to buy.

This research is a correlation research that aims to know the correlation between department store image and process of purchasing decision at a department store.

The samples taken in this research are the student of University of North Sumatera, Psychology Faculty student who had ever shopped at a department store. The total of sample is 173. The sampling technique used is incidental sampling. Measuring tool used in this research is two scales that consist of processing of purchasing decision scale and department store image scale. The researcher created the scales based on processing of purchasing decision stage from Engel, Blackwell and Miniard (1995) and Hansen and Deutscher (1986). Process of purchasing decision scale has reliability (rxx)=0.889 and reliabilility of department store image (rxx)=0.939.

The result of data analyzed which used correlation technic Pearson Product Moment shows that the coefficient correlation (r)=0.504 with p<0.01 (p=0.000) so that researcher conclude that there is a very significant correlation between department store image and process of purchasing decision.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi” ini. Skripsi ini diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pembuatan skripsi ini merupakan pengalaman pertama penulis, sehingga penulis mohon maaf jika sekiranya dalam skripsi ini terdapat kejanggalan-kejanggalan, baik isi maupun cara penulisannya, yang masih banyak terdapat kesalahan.

Selama proses penulisan skripsi ini, penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak. Bantuan yang diberikan sangat penulis hargai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Bapak Prof. dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Kedua orang tua, nenek dan keluarga penulis yang senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis. Terima kasih atas segala kasih sayang yang telah diberikan. Semoga apa yang telah dilakukan penulis bisa membahagiakan mama, papa, dan nenek. Buat kakak penulis (Dewi dan Eliza) dan adik penulis (Yusman dan Ellya), terima kasih atas dukungan dan doanya. Kalian sangat berarti buat saya. Buat Silvia (sepupu penulis), terima kasih atas segala dukungan dan semangat yang diberikan. Semoga Tuhan memberkati kalian semua.


(5)

3. Ibu Rika Eliana, M.Psi, Psi selaku dosen pembimbing penulis. Terima kasih banyak atas segala waktu yang telah Ibu luangkan untuk mengarahkan dan membimbing penulis. Ibu telah dengan sangat sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulis. Dukungan dan semangat yang Ibu berikan telah mengiring penulis sampai kepada hari ini. Penulis telah banyak belajar dari Ibu. Terima kasih Bu atas semuanya. Semoga Tuhan memberkati Ibu.

4. Terima kasih kepada Kak Ridhoi yang selalu mendukung dan menyemangati penulis. Terima kasih kak atas kebaikan hati Kakak yang berusaha menenangkan hati penulis di kala penulis merasa putus asa. Semoga Tuhan memberkati kakak.

5. Bapak Ferry Novliadi, M.si selaku dosen pembimbing akademik penulis. Terima kasih atas arahan dan masukan serta perhatiannya.

6. Kepada seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Psikologi, terima kasih atas ilmu yang telah kalian berikan kepada penulis.Tanpa kalian semua, penulis bukanlah apa-apa. Terima kasih kepada kak Ade, kak Ari, kak Devi, Pak Aswan, Pak Iskandar yang telah membantu penulis.

7. Kepada sahabat-sahabatku, Vera (terima kasih atas semua perhatian, bantuan, dukungan, dan bimbingannya. Kamu adalah sahabat yang hebat), Eliza (terima kasih atas dorongannya

8. Budi Juliansyah yang telah mengisi hari-hari dan hati penulis, yang telah rela kembali ke Medan untuk membantu penelitian penulis dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(6)

Terima kasih atas cinta, perhatian, kasih sayang dan pengorbanannya. Semoga kuliahnya lancar dan bisa cepat selesai. Amin. Kepada keluarga BJ (Bapak, Ibu, Icha dan Puput) terima kasih karena selalu mendukung dan memberi semangat serta doa kepada penulis.

9. Kepada sahabat-sahabatku Isha dan Yolandha (semangat seminarnya ya), Endah (terima kasih atas bantuannya dalam nyebarin skala, menjadi tempat bersemayamnya skala, tempat ngeprint skripsi penulis di saat printer penulis ngambek karena kebanyakan ngeprint), Dee-Dee dan Ita (terima kasih atas bantuannya dan dukungannya) dan terima kasih atas kebersamaan yang ada selama menjalani perkuliahan. Bersama kita dalam suka dan duka. Semangat ya. Semoga kita semua sukses. Amin. Tetap saling komunikasi ya. Buat Elsa, Sofia (terima kasih atas editan English -nya ya) dan Paidi(06) serta semua teman-teman yang telah membantu penelitian penulis, penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih. Bantuan kalian semua sangat berharga bagi penulis. Buat angkatan 05, tetap kompak ya teman-teman. Jangan lupa diisi database buat buku alumni 05. OK. Buat teman-teman seperjuangan Almarhumah Angel (semoga engkau tenang di sisi-Nya sahabatku yang sangat gigih), Mayang, Mbak Yu dan khususnya bang Joko yang banyak membantu penuli, terima kasih atas bantuan dan dukungan satu sama lain.

10. Buat kak Onya (terima kasih atas pinjaman bukunya ya kak), kak Renny yang sangat antusias sama adik kakak ini sewaktu sidang, kak mutia dan semua senior yang telah membantu penulis. Buat bang Zul, terima kasih


(7)

atas segala bantuan dan perhatiannya serta kenangan manis dan lucu di tahun-tahun pertama penulis kuliah.

Akhir kata, penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan saudara semua. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan , Januari 2009


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR DIAGRAM ... xi

DAFTAR TABEL ...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Tujuan Penelitian ...8

C. Manfaat Penelitian ...9

D. Sistematika Penulisan ...9

BAB II Landasan Teori A. Trust...11

1. Pengertian Trust...11

2. Jenis-jenis Trust...12

3. Elemen-elemen Trust...13

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Trust-Building Process...14

5. Cara Meningkatkan Trust...15

B. Prasangka... ...18

1. Pengertian Prasangka ...18

2. Pendekatan Teoritik Terhadap Prasangka...19

3. Aspek-aspek Prasangka...25

4. Tipe-tipe Prasangka...26

5. Target Prasangka...29

6. Usaha Mengurangi Prasangka...30


(9)

1. Pengertian Golongan Etnis...32

2. Definisi Golongan Pribumi dan Non-Pribumi ...32

D. Pengusaha dan Karyawan ...33

1. Definisi Pengusaha...33

2. Definisi Karyawan ...34

E. Hubungan Prasangka Terhadap Karyawan Etnis Pribumi dengan Trust Pada Pengusaha Tionghoa...34

F. Hipotesa...36

BAB III. METODE PENELITIAN ... 41

A. Identifikasi Variabel...41

B. Definisi Variabel Penelitian ...41

1. Prasangka ...41

2. Trust ...42

C. Populasi, Sampel, Dan Metode Pengambilan Sampel...43

1. Karakteristik Subjek Penelitian...43

2. Teknik Pengambilan Sampel ... 44

3. Jumlah Sampel Penelitian ...44

D. Metode Pengumpulan Data ...45

1. Skala Keputusan Membeli...45

2. Skala Citra Department Store...48

E. Uji Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur...51

1. Uji Validitas ...51

2. Uji Daya Beda Item...52

3. Uji Reliabilitas Alat Ukur ...52


(10)

1. Hasil Uji Coba Skala Prasangka ...53

2. Hasil Uji Coba Skala Trust ...54

G. Prosedur Penelitian...56

1. Persiapan Penelitian ...56

2. Pelaksanaan Penelitian ...57

3. Tahap Pengolahan Data...58

H. Metode Analisa Data...58

1. Uji Normalitas...58

2. Uji Linieritas ...58

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ...59

A. Gambaran Subjek Penelitian ...59

1. Jenis Kelamin Subjek Penelitian...59

2. Usia Subjek Penelitian ...60

B. Hasil Penelitian...60

1. Hasil Uji Asumsi ...61

2. Hasil Uji Analisa Data ...62

3. Hasil Tambahan ...68

C. Pembahasan ...69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...74


(11)

B. Saran ...75

1. Saran Metodologis ...75

2. Saran Praktis ...76

DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1 : Faktor yang mempengaruhi proses


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Distribusi Aitem-aitem Skala Proses

Pengambilan Keputusan Membeli ... 47

Tabel 2 : Distribusi Aitem-aitem Skala Prasangka ... 50

Tabel 3 : Distribusi item skala proses pengambilan keputusan membeli setelah uji coba...53

Tabel 4 : Distribusi item skala proses pengambilan keputusan membeli untuk penelitian ...54

Tabel 5 : Distribusi item skala citra department store setelah uji coba...55

Tabel 6 : Distribusi item skala citra department store untuk penelitian...56

Tabel 7 : Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin...59

Tabel 8 : Penyebaran subjek berdasarkan usia...60

Tabel 9 : Uji normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov...61

Tabel 10 : Tabel ANOVA...62

Tabel 11 : Nilai empirik dan hipotetik proses pengambilan Keputusan membeli di department store...63

Tabel 12 : Nilai empirik dan hipotetik citra department store...65

Tabel 13 : Norma kategorisasi prasangka...66

Tabel 14 : Kategorisasi data prasangka...66

Tabel 15 : Norma trust...67


(14)

Tabel 17 : Hasil analisa regresi kesembilan aspek citra


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Gambaran Subjek Penelitian Lampiran B : Reliabilitas

Lampiran C : Skala Penelitian Lampiran D : Data Hasil Penelitian


(16)

Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi

Sofia Gandhi dan Rika Eliana

ABSTRAK

Trust merupakan suatu harapan bahwa seseorang dapat dipercaya dalam segala hubungan, menunjukkan perilaku konsisten dan dapat diprediksi. Trust

yang dimiliki berhubungan dengan prediksi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh karena pilihannya tersebut. Busch dan Hantusch (2000) menyatakan bahwa social categorization merupakan salah satu hal yang turut mempengaruhi trust. Social categorization merupakan salah satu faktor penyebab munculnya prasangka, dan prasangka itu sendiri merupakan suatu sikap negatif yang ditunjukkan oleh suatu anggota kelompok kepada anggota kelompok lain. Menurut teori social categorization, individu dalam kehidupan sehari-harinya cenderung membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu “kita” (ingroup) dan “mereka” (outgroup). Kategori sosial yang jelas ini akan membuat ingroup menyederhanakan proses pembuatan keputusan terhadap

outgroup. Sebagai konsekuensinya, outgroup akan dinilai sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka dan tidak jujur.

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara prasangkadengan trust.

Penelitian ini mengambil sampel mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sejumlah 173 orang yang pernah berbelanja di

department store. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan incidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua buah skala yaitu skala prasangka dan skala trust yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan tahapan proses pengambilan keputusan membeli dari Engel, Blackwell dan Miniard (1995) dan Hansen dan Deutscher (1986). Skala proses pengambilan keputusan membeli memiliki nilai reliabilitas (rxx)=0.889 dan nilai reliabilitas skala citra department store (rxx)=0.939.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi (r)=0.504 dengan p<0.01 (p=0.000) sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara hubungan antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi.


(17)

Hubungan Prasangka Dengan Trust Pada Pengusaha Etnis Tionghoa Terhadap Karyawan Etnis Pribumi

Sofia Gandhi dan Rika Eliana

ABSTRACT

Trust is the expectation that someone can be trusted in all relationship, show consistent behavior and predictable . This makes the department store has attraction so that many consumers shop at the department store (Richert, Meyer dan Haines, 1962). Consumer who shops at a department store more concern about the quality of product, ease to shop, and satisfaction after purchasing (Lamb, Hair and McDaniel, 2001). Dodds, Monroe and Grewal proposed that good store image creates good store name too. Store image is the perception toward a store. If a consumer possesses positive perception, it will creates perceived quality, perceived values and finally the willing to buy.

This research is a correlation research that aims to know the correlation between department store image and process of purchasing decision at a department store.

The samples taken in this research are the student of University of North Sumatera, Psychology Faculty student who had ever shopped at a department store. The total of sample is 173. The sampling technique used is incidental sampling. Measuring tool used in this research is two scales that consist of processing of purchasing decision scale and department store image scale. The researcher created the scales based on processing of purchasing decision stage from Engel, Blackwell and Miniard (1995) and Hansen and Deutscher (1986). Process of purchasing decision scale has reliability (rxx)=0.889 and reliabilility of department store image (rxx)=0.939.

The result of data analyzed which used correlation technic Pearson Product Moment shows that the coefficient correlation (r)=0.504 with p<0.01 (p=0.000) so that researcher conclude that there is a very significant correlation between department store image and process of purchasing decision.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik negara multietnik, yaitu negara yang memiliki beberapa etnis sebagai masyarakatnya, diantaranya, etnis Jawa, Sunda, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Tionghoa (Taum, 2006). Masyarakat dengan etnis berbeda bukan hanya memiliki bentuk fisik yang berbeda, tetapi agama yang dianut, bahasa yang digunakan, budaya dan adat istiadat yang dimiliki juga berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut telah mendorong munculnya semboyan negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya “walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”, walaupun kita berbeda, kita tetap dipersatukan di bawah dasar negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Namun sayang, istilah dan pernyataan tersebut hanya merupakan kata-kata belaka. Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia sendiri telah menciptakan konflik yang didasarkan pada etnis yang berbeda (Susetyo, 1999). Hal itu terbukti dengan adanya istilah dikotomis yang sangat umum digunakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu etnis Pribumi dan etnis non-Pribumi. Etnis Pribumi adalah semua etnis yang ada di Indonesia di luar etnis Tionghoa, sedangkan etnis non-Pribumi biasanya diasosiasikan dengan etnis Tionghoa (Mendatu, 2007). Pemakaian istilah yang


(19)

semakin lebarnya jurang pemisah antara etnis Tionghoa dengan etnis lainnya yang ada di Indonesia, seperti hasil observasi yang dilakukan Tan (dalam Susetyo, 1999) dikatakan memang terdapat kesan bahwa hubungan antar etnis Tionghoa dengan etnis Indonesia lainnya cenderung tegang dan saling curiga (Warnean dalam Susetyo, 1999)

Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi lainnya terus-menerus diwarnai konflik, mulai dari konflik terbesar yaitu politik ”memecah belah bangsa” (devide et impera) yang sengaja dibuat oleh Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia, pemberontakan PKI tahun 1965, tragedi Mei 1998, dan konflik-konflik lainnya. Politik ”memecah belah bangsa” merupakan awal munculnya gerakan-gerakan anti-Cina. Hal ini disebabkan oleh pemberian kedudukan yang istimewa terhadap etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan pada saat itu, yaitu di bawah Belanda dan di atas Pribumi. Posisi orang Tionghoa ini menjadi wahana yang subur bagi tumbuh kembangnya perasaan superior. Situasi ini telah memicu munculnya prasangka pada golongan etnis Tionghoa terhadap golongan etnis Pribumi (Helmi, 1991).

Masa-masa yang menguntungkan bagi etnis Tionghoa tersebut kemudian berakhir pada pemberontakan PKI 1965 dan tragedi Mei 1998. Pada saat itu, orang Tionghoa menjadi sasaran kemarahan massa, dan muncul aksi-aksi diskriminatif seperti aksi kekerasan ”anti-Cina”. Etnis Tionghoa diduga turut mendukung pemberontakan tersebut, akibatnya kekerasaan massa anti-Cina mulai marak, dan pada tragedi Mei 1998, etnis Tionghoa juga menjadi korban


(20)

kemarahan massa. Perumahan dan pertokoan milik etnis Tionghoa dibakar, dan perempuan keturunan Tionghoa diperkosa (Toer, 1998). Tragedi ini merupakan representasi paling nyata dari adanya prasangka terhadap etnis Tionghoa (Gerungan, 2002).

Pengalaman traumatis yang dialami baik oleh golongan Pribumi ataupun golongan Tionghoa sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang menyebabkan prasangka pada masing-masing pihak semakin kental (Sarwono, 1999). Prasangka di kalangan Pribumi tentang golongan Tionghoa adalah orang Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan Pribumi tidak, memiliki nasionalisme yang rendah, eksklusif, kikir,sombong, dan plin-plan dengan mengira bahwa semuanya bisa dibeli dengan uang. Di pihak lain golongan Tionghoa juga berprasangka kepada golongan Pribumi. Menurut penelitian Willmot dalam Sarwono (1999), golongan non-Pribumi (orang Tionghoa) merasa dirinya lebih pandai dan lebih canggih daripada Pribumi. Golongan Pribumi pemalas dan tidak dapat dipercaya (Sarwono, 1999).

Permasalahan antar etnis ini dapat ditinjau dari social-categorization theory yang dikemukakan oleh Turner, dkk (1987) bahwa dalam kehidupan sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita” dan ”mereka” atau ”us versus them”. Dalam kaitannya dengan permasalahan etnis yang terjadi di Indonesia, baik kelompok etnis Pribumi maupun kelompok etnis Tionghoa telah membuat kategorisasi sosial berdasarkan pada karakteristik fisik yang menonjol seperti warna kulit, bahasa yang digunakan, agama yang dianut dan karakteristik


(21)

fisik lainnya (Sears, Freedman, dan Peplau, 1985). Kelanjutan dari kecenderungan ini adalah individu akan memandang kelompok ingroup lebih baik dibandingkan kelompok outgroup. Kelompok outgroup biasanya akan dinilai secara negatif seperti memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya kelompok outgroup tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya sebagai kelompok ingroup (Soeboer, 1990). Tjun dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa di kalangan siswa Pribumi dan non-Pribumi, pandangan terhadap kelompok ingroup selalu lebih positif daripada outgroup, sedangkan Hastuti dalam Sarwono (1999) menemukan bahwa karyawan Pribumi yang berada dalam lingkungan kerja dengan mayoritas non-Pribumi (Tionghoa) bersikap lebih positif terhadap non-Pribumi daripada Pribumi yang bekerja di lingkungan di mana ia sendiri menjadi minoritas.

Menurut Brewer dan Miller dalam Mendatu (2007), perasaan ingroup dan

outgroup berhubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Kelompok ingroup akan memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota kelompok outgroup, sama yaitu semuanya tidak bisa dipercaya. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi dalam Irmawati (1996), adanya prasangka dalam diri seorang pengusaha ataupun karyawan akan membuat mereka membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya atau dengan kata lain cenderung mempersepsikannya dengan cara yang sama. Misalnya seorang pengusaha meyakini bahwa kemampuan kerja karyawan yang berasal dari satu suku / ras tertentu (outgroup) jelek atau rendah, maka atas dasar keyakinan ini segala pengalaman yang diperolehnya mengenai suku / ras tersebut


(22)

akan dianggap sama dari segi keyakinan tadi. Dengan kata lain, pengusaha tersebut tidak mempercayai (distrust) karyawan dari suku / ras tertentu (outgroup) berdasarkan pada keyakinan yang dimiliki sebelumnya (Irmawati, 1996).

Trust merupakan hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan organisasi supaya hubungan antar individu dapat berjalan dengan baik sehingga meningkatkan produktifitas dan performansi kerja (Robbins, 2005). Tanpa adanya

trust, kesuksesan suatu projek tidak akan tercapai, sebaliknya energi dan uang akan terbuang sia-sia. Trust merupakan perasaan yang dinamis. Setiap perilaku yang ditunjukkan individu dalam suatu organisasi akan menurunkan atau menaikkan derajat kepercayaan (trust) yang dirasakan orang lain terhadapnya (Johnson & Johnson, 2000). Trust bukan merupakan hal yang mudah untuk dibangun, terutama apabila hubungan antar kedua pihak tersebut dikarakteristikkan dengan adanya resiko yang tinggi. Trust meliputi kepercayaan bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, jujur, bisa dipercaya, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja melebihi target (Fletcher & Clark, 2001). Interaksi yang intens akan membuat seseorang mampu untuk memprediksi bagaimana sifat seseorang di masa yang akan datang.

Menurut Flynn & Chatman (2002), trust dipengaruhi oleh kategorisasi sosial (social categorization). Social categorization merupakan salah satu sumber penyebab munculnya prasangka, yaitu individu cenderung untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ingroup dan outgroup.

Pada dunia kerja dimana terdapat karyawan Pribumi dan non-Pribumi (karyawan etnis Tionghoa) akan sering muncul prasangka. Diduga terjadinya


(23)

prasangka ini sebagai akibat adanya perbedaan posisi atau kedudukan jabatan dimana karyawan non-Pribumi lebih banyak menduduki jabatan yang lebih tinggi dibanding karyawan Pribumi sekalipun tingkat pendidikan karyawan Pribumi lebih tinggi dari karyawan non-Pribumi (Irmawati, 1996).

Berikut adalah penuturan dua staf Human Resources dari dua perusahaan yang berbeda mengenai prasangka atasan masing-masing terhadap karyawan Pribumi:

Ini kan perusahaan milik Tionghoa, jadi kebanyakan atasan meminta karyawan yang beretnis Tionghoa juga, jadi tugas kita adalah merekrut karyawan yang beretnis Tionghoa...jadi itu bukan kemauan kita, itu permintaan atasan. Kalau masalah jabatan, mereka orang Pribumi gak kan

pernah bisa menduduki posisi atas, jadi mereka tetap jadi bawahan....tapiii....untuk departement tertentu yang perlu berhubungan dengan pemerintahan seperti departemen pembuatan STNK, departemen faktur, staffnya, bahkan pemimpin departement tersebut juga adalah orang Pribumi. Sedangkan untuk departement keuangan, departement IT, kasir, dan akuntan, semua anggotanya adalah orang Tionghoa. Gak ada satu orang Pribumi disana. Kata atasan kami, orang Pribumi itu tidak jujur, mereka bisa saja menyeludupkan uang atau bahkan melaporkan aset perusahaan kepada pihak pemerintahan... padahal yang aku tahu, orang Tionghoa juga banyak yang gak jujur loh..hehe.

Kalau soal kompetensi kerja, kita etnis Tionghoa gak bisa langsung

menjudge kalau karyawan etnis Pribumi tidak berkompeten. Banyak kok

hasil tes yang tidak mendukung pandangan tersebut.

Sebenarnya dasar dari semua ini cuma satu, prasangka... (Komunikasi Personal dengan staf HR perusahaan ”A”, 01 November 2008)

Kebanyakan pengusaha Tionghoa memang tidak mau mempekerjakan etnis Pribumi...kalaupun dipekerjakan, mereka biasanya ditempatkan pada level-level tertentu saja. Selain itu, kebanyakan mereka juga biasanya ditempatkan untuk bekerja di kebun, karena biasanya orang Tionghoa jarang yang mau ditempatkan di kebun. Kalau lagi kerja di lapangan yang semua pekerja orang Pribumi, bos pasti akan menyuruh satu pekerja Tionghoa untuk turun ke lapangan untuk mengawasi kerja orang Pribumi...mmmm...aku rasa itu bukan soal kompetensi kerja mereka atau keahlian kerja mereka. Aku rasa alasan satu-satunya adalah ras. Mereka gak mau mempekerjakan orang Pribumi hanya karena berbeda ras. (Komunikasi Personal dengan staf HR perusahaan ”B”, 22 Oktober 2008)


(24)

Hasil kutipan kedua wawancara tersebut menunjukkan bahwa pengusaha Tionghoa tidak percaya (distrust) kepada karyawan etnis Pribumi yang merupakan kelompok outgroup sehingga karyawan etnis Pribumi hanya ditempatkan pada level-level dan departemen tertentu. Pengusaha Tionghoa lebih percaya (trust) kepada kelompok ingroup, yaitu karyawan yang beretnis Tionghoa. Kepercayaan terhadap kelompok ingroup tersebut meliputi kepercayaan akan kompetensi kerja mereka dan kejujuran mereka dalam menjalankan pekerjaan.

Permasalahan antara pengusaha etnis Tionghoa dengan karyawan etnis pribumi juga terlihat jelas pada salah satu Bank Swasta terkenal di Indonesia yang pemiliknya merupakan seorang etnis Tionghoa juga. Pada bank tersebut, kebanyakan karyawan yang bekerja di sana adalah karyawan etnis Tionghoa sedangkan karyawan Pribumi ditempatkan di kelas nomor dua, bahkan terjadi diskriminasi pemberlakuan sistem gaji, kepangkatan antara karyawan etnis Pribumi dan karyawan etnis Tionghoa (Pengusaha Pribumi, 1998). Dengan demikian jelas bahwa apa yang dikemukakan Fynn & Chatman (2002) dan Brewer & Miller dalam Mendatu (2007) di atas bahwa trust memang dipengaruhi oleh social categorization yang merupakan salah satu sumber prasangka.

Staf Human Resources yang diwawancarai peneliti di atas berasal dari perusahaan besar dan perusahaan kecil milik etnis Tionghoa dengan jumlah karyawan etnis Tionghoa lebih besar daripada jumlah karyawan etnis Pribumi. Menurut Miner (1992), suatu organisasi dikatakan memiliki prasangka sosial


(25)

terhadap etnis tertentu apabila proporsi karyawannya yang etnis tertentu lebih besar dibandingkan proporsi karyawan etnis lainnya.

Berkaitan dengan fenomena dan penjelasan di atas, bahwa salah satu penyebab munculnya prasangka adalah social categorization, dan social categorization itu sendiri menurut Flynn & Chatman (2002) dan Brewer & Miller (dalam Mendatu, 2007) dipengaruhi oleh trust, maka peneliti tertarik untuk mempelajari hubungan antara prasangka terhadap karyawan etnis Pribumi dengan

trust pada pengusaha etnis Tionghoa.

B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah ”apakah terdapat hubungan antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi?”.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara trust dengan prasangka pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi.

C. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis


(26)

a. Penelitian ini dapat digunakan untuk melihat hubungan antara prasangka terhadap karyawan etnis Pribumi dengan trust pada pengusaha Tionghoa. b. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya tentang

prasangka dan trust, khususnya antara pengusaha Tionghoa dan karyawan etnis Pribumi.

c. Sebagai bahan pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi khususnya psikologi sosial.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pengusaha Tionghoa, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai prasangka mereka terhadap karyawan yang beretnis Pribumi dan bagaimana hubungannya dengan perasaan trust yang dirasakan pengusaha Tionghoa terhadap karyawannya yang beretnis Pribumi.

b. Bagi karyawan yang beretnis Pribumi, penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana perasaan trust atasan terhadap diri mereka serta bagaimana usaha untuk meningkatkan trust tersebut.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Hasil penelitian ini akan disusun dalam sistematika sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, tujuan dan manfaat dari penelitian. Manfaat dalam


(27)

penelitian ini terdiri dari manfaat praktis dan manfaat teoritis. Selain itu, terdapat pula sistematika penulisan di akhir Bab I.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori tentang trust dan prasangka. Pembahasan teori tentang trust

mencakup pengertian, jenis-jenis trust, elemen-elemen trust, faktor-faktor yang mempengaruhi trust-building process dan cara untuk meningkatkan trust. Sedangkan pembahasan teori prasangka mencakup pengertian prasangka, pendekatan teoritik terhadap prasangka, aspek prasangka, tipe-tipe prasangka, target diskriminasi, dan usaha untuk mengurangi diskriminasi. Selain itu penulis juga membahas mengenai pengertian pengusaha dan karyawan serta pengertian golongan etnis.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, defenisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini akan menguraikan tentang analisa data dan pembahasannya yang dikaitkan dengan teori yang ada.


(28)

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.


(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PRASANGKA 1. Pengertian Prasangka

Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung mengevaluasi anggotanya dengan cara yang sama (biasanya secara negatif) semata karena mereka anggota kelompok tersebut.

Brehm dan Kassin dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003) berpendapat bahwa prasangka adalah perasaan negatif yang ditujukan terhadap target prasangka semata-mata berdasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok tertentu. Ini berarti bahwa prasangka melibatkan penilaian apriori karena memperlakukan objek sasaran prasangka (target prasangka) tidak berdasarkan pada karakteristik unik atau khusus dari individu, tetapi melekatkan karakteristik kelompoknya yang menonjol.

Menurut Gerungan (2002) prasangka merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka terdiri dari sikap-sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah


(30)

lakunya terhadap golongan manusia lain tadi. Prasangka yang pada mulanya hanya merupakan sikap perasaan negatif itu lambat laun akan menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif.

Sherif dan Sherif dalam Ahmadi (1991) mengemukakan bahwa prasangka adalah suatu sikap negatif para anggota suatu kelompok, berasal dari norma mereka yang pasti, kepada kelompok lain beserta anggotanya. Lebih lanjut Sherif menjelaskan bahwa prasangka disini dimaksudkan sebagai suatu sikap yang tidak simpatik terhadap kelompok luar (outgroup).

Dalam penelitian ini, prasangka diartikan sebagai sikap negatif yang ditunjukkan oleh pengusaha Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi. Target prasangka jelas adalah golongan etnis Pribumi, dengan demikian, prasangka timbul dikarenakan oleh perbedaan ras, dengan kata lain, prasangka dalam penelitian ini merupakan prasangka rasial.

2. Pendekatan Teoritik Terhadap Prasangka

Menurut Soeboer (1990) terdapat beberapa pendekatan teoritik yang membahas masalah prasangka dan diskriminasi. Secara garis besar, pendekatan ini dibagi menjadi tiga, yaitu :


(31)

Pendekatan sosial berusaha menerangkan bagaimana diskriminasi dilahirkan serta dipelihara oleh lingkungan sosial. Dalam pendekatan ini ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab timbulnya dan terpeliharanya prasangka dan diskriminasi diantaranya dapat ditinjau dari :

1. Teori ketidaksamaan sosial (social inequalities)

Teori ini beranggapan bahwa ketidak samaan status akan menghasilkan prasangka. Para budak dianggap bodoh, tidak bertanggung jawab, tidak memiliki ambisi oleh majikan mereka. Anggapan ini tetap dipertahankan agar struktur sosial yang telah mapan (menguntungkan para majikan) terpelihara. Dengan demikian prasangka terhadap kelompok bawah dapat dipakai untuk membenarkan superioritas ekonomi dan sosial bagi mereka yang kaya dan memiliki kekuasaan (Myers dalam Soeboer, 1990)

2. Teori konflik realistik (realistic conflict theory)

Menurut teori ini, kompetensi antar kelompok merupakan lahan subur bagi timbulnya prasangka. Kompetisi ini lahir karena sumber daya yang dianggap bernilai oleh manusia pada kenyataannya memiliki jumlah yang terbatas. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kompetisi antar berbagai kelompok sosial untuk memperebutkan sumber daya yang dianggap berharga sekaligus terbatas tersebut. Dengan adanya kompetensi antar kelompok, individu dari kelompok tertentu akan memandang individu dari kelompok lain secara negatif. Mereka menganggap individu dari kelompok lain sebagai musuh dan menganggap kelompoknya benar (White dalam


(32)

Soeboer, 1990). Kondisi semacam ini pada akhirnya akan membawa individu dari kelompok yang satu menjadi berprasangka (yang dapat diikuti oleh diskriminasi) terhadap individu dari kelompok lain.

3. Ingroup bias

Ingroup bias merupakan anggapan bahwa kelompoknya merupakan kelompok yang paling baik. Ingroup bias dapat merefleksikan kesukaan terhadap ingroup, ketidaksukaan terhadap outgroup, atau kombinasi dari keduanya. Implikasinya adalah loyalitas kepada kelompoknya akan diikuti dengan penilaian yang rendah terhadap kelompok lain. Dari sinilah muncul prasangka (yang dapat diikuti oleh diskriminasi) terhadap kelompok yang dinilai negatif tersebut.

4. Konformitas norma sosial

Masalah prasangka dan diskriminasi dapat dilihat dari bagaimana institusi yang ada berperan dalam masalah ini serta bagaimana norma-norma sosial masyarakat yang mendukung terjadinya prasangka dapat mendorong seseorang untuk konform dengan norma-norma tersebut. Bila prasangka merupakan norma sosial, maka akan banyak orang konform dengan norma ini. Mereka konform dengan norma ini supaya mereka disukai dan diterima (Pettigrew dalam Soeboer 1990). Dengan demikian menurut pandangan ini, prasangka bukan merupakan manifestasi dari individu yang memiliki kepribadian yang ”sakit”, tetapi lebih disebabkan oleh norma-norma yang ada adalah norma-norma yang mendukung terjadinya prasangka.


(33)

Biasanya norma ini juga akan terwujud melalui dukungan-dukungan institusi seperti adanya pemisahan sekolah antara anak-anak kulit putih dan anak-anak kulit hitam di Amerika.

5. Teori belajar sosial (social learning theory)

Menurut teori belajar sosial, prasangka terhadap kelompok lain tidak timbul dengan sendirinya, melainkan merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya (Bandura dalam Soeboer 1990). Prasangka dapat terjadi karena subjek belajar dari orang-orang di sekitarnya yang berprasangka terhadap kelompok lain dengan cara meniru atau mendapatkan pengukuhan positif dari orang-orang tersebut bila menunjukkan sikap berprasangka.

b. Pendekatan Emosional dan Psikodinamik

Menurut pendekatan emosional dan psikodinamik, prasangka tidak hanya tumbuh dari pembenararan secara intelektual, tetapi dapat juga tumbuh dari emosi yang meluap-luap. Apabila ditinjau dari teori frustasi-agresi, dapat dilihat bahwa rasa frustasi pada seseorang dapat menimbulkan agresi. Atau dengan kata lain agresi merupakan respon alamiah terhadap pengalaman-pengalaman frustasi. Dengan demikian individu yang mengalami frustasi akan berperilaku agresif terhadap sumber frustasi. Namun bila sumber frustasi adalah individu yang memiliki status lebih tinggi, maka tidak mungkin bagi individu yang mengalami frustasi untuk menunjukkan agresivitasnya terhadap orang tersebut karena takut akan konsekuensi yang dihadapinya. Akibatnya, ia


(34)

memindahkan agresivitasnya kepada orang lain yang memiliki status yang lebih rendah (kelompok minoritas) sebagai kambing hitam sehingga konsekuensinya lebih ringan atau tanpa sanksi. Oleh karena itu, pendekatan ini sering disebut juga sebagai scape goat theory.

c. Pendekatan Kognitif

Pendekatan ini menekankan bagaimana individu yang berprasangka menerima dan memproses informasi yang berkaitan dengan target prasangka (Feldman dalam Soeboer 1990). Pendekatan ini lebih memperhatikan mengenai pengalaman subjektif individu yang berprasangka terhadap dunia di sekitar mereka dan orang-orang yang hidup di dalamnya. Secara umum, pendekatan ini dapat dijelaskan dalam tiga bagian yaitu:

1. Kategorisasi sosial (social categorization)

Dalam kehidupan sehari-harinya, individu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu ”kita dan mereka” atau ”us versus them” (Baron dalam Soeboer 1990). Kelanjutan dari kecenderungan ini adalah bahwa individu menganggap kelompok ”kita” lebih baik dibandingkan dengan kelompok ”mereka”. Bahkan biasanya kelompok ”mereka” akan dipandang dengan kacamata yang negatif. Kelompok ”mereka” dianggap memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima dan konsekuensinya kelompok ”mereka” tidak disukai oleh mereka yang mengkategorikan dirinya sebagai kelompok ”kita”. Menurut Tafjel (dalam Soeboer, 1990), kekuatan yang ada dibalik


(35)

kecenderungan individu untuk mengkotak-kotakkan individu lain dalam dua kategori tersebut berasal dari keinginan individu untuk menaikkan harga diri mereka dengan mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial tertentu. Cara ini akan berhasil hanya jika individu tersebut memandang kelompok yang dipilihnya ini sebagai lebih superior daripada kelompok lain, atau kelompok pesaing. Bila masing-masing kelompok menganggap kelompoknya lebih superior, maka yang timbul pada akhirnya adalah prasangka antar kelompok. Tafjel menamakan proses ini sebagai kompetisi sosial untuk membedakannya dari teori konflik realistik. Penelitian yang dilakukan Meindl dan Lerner (1985) menunjukkan bahwa pengalaman akan kegagalan pada individu akan mengintensifkan kebutuhan individu untuk menaikkan harga dirinya dan akan membawanya pada kategorisasi sosial. Subjek yang mengalami kegagalan akan berusaha menaikkan harga diri mereka dengan menilai anggota dari kelompok lain secara ekstrim. Hasil penelitian ini mendukung adanya pandangan bahwa individu cenderung membagi dunia sosial ini menjadi dua kelompok ”kita” dan ”mereka” yang pada akhirnya memainkan peran dalam pengembangan prasangka rasial, etnik, atau agama.

2. Attribution error

Individu yang berprasangka secara sistematik akan menyimpangkan atribusi mereka terhadap target prasangka dengan membuat atribusi yang menyenangkan mengenai kelompok mereka (kelompok mayoritas) dan membuat atribusi yang tidak menyenangkan terhadap anggota kelompok


(36)

minoritas yang diprasangkai (Feldman dalam Soeboer, 1990). Menurut Pettigrew (dalam Soeboer, 1990), individu yang berprasangka cenderung membuat ultimate attribution error. Ultimate attribution error

menunjukkan bahwa bila individu yang berprasangka melihat target prasangka sedang melakukan suatu tindakan yang negatif, ia akan cenderung memberikan atribusi bahwa perilakunya memang merupakan karakteristik yang stabil pada disposisinya, dan sebaliknya cenderung menganggap perilakunya yang negatif dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional.

3. Illusion of outgroup homogeneity

Pendekatan kognitif ketiga mengenai prasangka dan diskriminasi adalah adanya kekeliruan persepsi yang terjadi pada individu yang berprasangka (Baron dalam Soeboer, 1990) yang disebut dengan istilah illusion of outgroup homogeneity. Selain itu juga terdapat istilah stereotip. Stereotip merupakan penggeneralisasian terhadap suatu kelompok tanpa melakukan pengecekan secara akurat. Pada illusion of outgroup homogeneity terdapat usaha dari individu yang berprasangka untuk menghubungkan hal-hal yang sebenarnya tidak berhubungan dalam rangka mendukung pendapatnya mengenai hal-hal negatif yang terdapat pada anggota kelompok yang diprasangkai. Sedangkan pada stereotip, terdapat kecenderungan seseorang untuk menganggap anggota kelompok lain memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang bersifat umum atau homogen dibandingkan dengan sifat-sifat dari anggota kelompoknya sendiri.


(37)

3. Aspek-aspek Prasangka

Menurut Ahmadi (1991), prasangka terdiri dari tiga aspek, yaitu: a. Aspek kognitif

Aspek kognitif merupakan sikap yang berhubungan dengan hal-hal yang ada dalam pikiran. Hal ini terwujud dalam pengolahan pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang sekelompok objek tertentu.

b. Aspek Afektif

Merupakan proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati, dan sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu.

c. Aspek Konatif

Prasangka merupakan suatu tendensi / kecenderungan untuk bertindak atau berbuat sesuatu terhadap objek tertentu, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri, dan sebagainya.

4. Kategori Prasangka

Dalam eksperimen yang dilakukan oleh Oskamp (2000), Oskamp mengkategorikan prasangka dalam dua kategori: orang yang memiliki prasangka tinggi dan orang yang memiliki prasangka rendah.

Orang yang dikategorikan memiliki prasangka tinggi dengan orang yang dikategorikan memiliki prasangka rendah berbeda dalam beberapa hal, yaitu: 1. Kepercayaan terhadap stereotip yang ada


(38)

Orang yang memiliki prasangka tinggi percaya dan turut mendukung stereotip yang ada terhadap kelompok minoritas. Sedangkan orang yang memiliki prasangka rendah akan menunjukkan sikap yang netral dan menganggap semua orang memiliki derajat yang sama.

2. Personal Standard

Orang yang memiliki prasangka yang rendah dengan orang yang memiliki prasangka yang tinggi berbeda dalam personal standard, yaitu pemikiran mereka mengenai bagaimana seharusnya kelompok yang diprasangkai (stigmatized groups) diperlakukan. Ketika kelompok yang diprasangkai diperlakukan dengan tidak baik, maka orang yang memiliki prasangka rendah merasa dirinya bertanggung jawab atas hal tersebut, bahkan apabila standard

untuk tidak berprasangka (nonprejudiced standard) telah menginternalisasi, maka mereka cenderung merasa bersalah dan mengkritik diri sendiri apabila kelompok yang diprasangkai diperlakukan tidak baik.

5. Tipe-tipe Prasangka

Menurut Gaertner, Jones, dan Kovel dalam Soeboer (1990) secara umum, cara individu berpikir dan bersikap terhadap kelompok tertentu dapat dibedakan menjadi tiga tipe:

a. Tipe Dominative

Individu tipe ini akan mengekspresikan prasangkanya secara nyata terhadap kelompok yang diprasangkainya. Tindakan yang dilakukan dapat berupa


(39)

tindakan penyerangan atau agresivitas terhadap target prasangka. Kelompok tipe ini juga berusaha menempatkan kelompok yang diprasangkainya tetap pada tempatnya.

b. Tipe Ambivalen

Individu seperti ini dapat mengekspresikan perasaan tidak suka terhadap target prasangka tetapi pada saat yang sama bersimpati terhadap keadaan mereka. Individu seperti khawatir bila target prasangka hidup bertetangga dengannya akan mengakibatkan timbulnya tindakan destruktif dari target prasangka terhadap dirinya.

c. Tipe Aversive

Individu seperti ini memandang dirinya sebagai liberal, tidak berprasangka, dan menunjukkan sikap yang positif terhadap program-program yang dirancang untuk membantu anggota kelompok yang diprasangkai. Ia akan bersikap ramah dan sopan dalam mengadakan kontak dengan target prasangka. Namun demikian, dibalik tindakan tersebut sebenarnya ia berusaha sedapat mungkin menghindari interaksi dengan target prasangka. Jadi sebenarnya gambaran diri sebagai liberal yang dibuatnya tidak mencegahnya untuk melakukan perilaku tokenistik (individu yang berprasangka menunjukkan tindakan yang positif terhadap target prasangka) sebagai suatu alasan untuk menolak melakukan hubungan yang lebih intens dan serius dengan target prasangka.


(40)

6. Target Prasangka

Menurut Hogg & Vaughan (2002), terdapat lima target dari prasangka yang kemudian menjalar menjadi diskriminasi, antara lain:

a. Sexism

Sexism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan pada jenis kelamin mereka. Menurut Deaux & LaFrance dalam Hogg & Vaughan (2002), penelitian tentang sexism lebih difokuskan pada prasangka dan diskriminasi terhadap wanita. Hal ini dikarenakan kebanyakan korban dari sexism adalah wanita dan juga karena adanya perbedaan posisi atau jabatan antara pria dan wanita dalam dunia bisnis, pemerintahan, dan pekerjaan. Sexism terhadap wanita berawal dari

stereotype masayarakat terhadap peran wanita. Pada jaman dahulu, tugas wanita adalah menjaga rumah, merawat anak-anak dan suami, sedangkan pria keluar rumah seharian untuk mencari nafkah bagi keluarga. Pada jaman sekarang, pekerjaan wanita juga banyak yang diasosiasikan dengan pekerjaan pelayan di restoran, operator telepon, seketaris, suster, babysitter, dan guru Sekolah Dasar ataupun Taman Kanak-kanak, sedangkan pekerjaan pria lebih diasosiasikan dengan dokter gigi, teknisi, pengacara, supir truk, akuntan, dan

top executive. Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang diasosiasikan dengan pekerjaan wanita biasanya kurang dihargai (Greenglass dalam Hogg & Vaughan, 2002). Stereotype tersebut terus berlanjut sampai sekarang, sehingga sangat sulit bagi wanita untuk mendapatkan pekerjaan yang berstatus tinggi seperti menjadi pemimpin dalam suatu organisasi.


(41)

b. Racism

Racism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan pada ras dan etnis mereka. Genocide yang pernah terjadi di Jerman, Yugoslavia, Irak, dan Rwanda merupakan salah satu akibat dari adanya diskriminasi. Racism berawal dari adanya stereotype

terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda ras atau etnsis. Pada saat sekarang, racism dilihat dianggap sebagai sesuatu yang tidak bermoral dalam masyarakat. Walaupun demikian, racism tidak akan hilang begitu saja. Setiap orang dalam setiap generasi akan racist dalam hatinya, hanya saja cara mengekspresikannya berbeda (Crosby, dkk dalam Hogg & Vaughan, 2002).

c. Ageism

Ageism merupakan prasangka dan diskriminasi yang dilakukan terhadap orang lain berdasarkan usianya. Pada kebudayaan tertentu yang menganut sistem

extended family, orang yang berusia lebih tua akan dianggap sebagai orang yang bijaksana karena lebih berpengalaman, sedangkan pada nuclear family

tidak demikian. Pada nuclear family, orang-orang muda dinilai lebih baik, sedangkan orang-orang tua diberi stereotype yang kurang menarik. Orang-orang tua biasanya akan dianggap tidak berharga dan lemah dan mereka juga tidak mendapatkan hak mereka.

d. Prasangka Terhadap Homoseksual

Pada kebanyakan masyarakat, homoseksual dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan tidak bermoral sehingga penyiksaan terhadap homoseksual


(42)

dianggap legal dan dapat diterima. Pada sekitar tahun 1980-an, pemerintah Australia mengesahkan undang-undang untuk tidak melayani orang-orang yang sesat dan menyimpang salah staunya adalah homoseksual.

e. Prasangka Terhadap Penderita Cacat Fisik

Pada jaman dahulu, prasangka dan diskriminasi terhadap penderita cacat fisik adalah mereka dianggap sebagai orang yang rendah. Akan tetapi pada saat sekarang orang-orang sudah mulai bisa menghargai penderita cacat fisik. Pada kebanyakan negara, disediakan tempat jalan khusus untuk penderita cacat fisik. Selain itu, penderita cacat fisik juga diperbolehkan untuk mengikuti ajang perlombaan Olimpiade. Pada dasarnya, orang-orang tidak mendiskriminasi penderita cacat fisik, hanya saja orang-orang merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka karena takut tidak bisa berinteraksi dengan mereka.

7. Usaha Mengurangi Prasangka

Berdasarkan pendekatan teoritik mengenai diskriminasi yang telah diuarikan, maka Soeboer (1990) mengemukakan beberapa kemungkinan upaya untuk mengurangi atau mencegah timbulnya prasangka dan diskriminasi:

a. Mengadakan kontak atau berinteraksi dengan target prasangka

Kontak yang dimaksud adalah kontak yang dilakukan dengan syarat-syarat tertentu (Baron dan Byrne, Bochner, dan Feldman dalam Soeboer 1990). Kontak antar individu yang berprasangka dengan target prasangka hanya akan


(43)

efektif bila didukung oleh beberapa kondisi atau syarat. Kontak yang diasumsikan akan efektif terjadi bila status partisipan dalam kondisi yang sama, hubungan yang terjadi adalah hubungan yang intim dan bukan hubungan yang superficial, situasi kontak yang melibatkan aktivitas yang interdependen serta kooperatif, adanya tujuan yang lebih tinggi yang hendak dicapai, serta situasi kontak yang menyenangkan dan saling mendukung. Yang paling utama adalah adanya iklim sosial yang menyenangkan dan harmonis dalam kontak tersebut.

b. Melalui pendekatan belajar sosial

Saran lain yang dapat diusulkan adalah mengajarkan pada anak untuk tidak membenci. Peranan orang tua, guru, media massa, atau orang dewasa yang dianggap penting bagi anak-anak (significant others) memainkan peranan penting bagi terbentuknya sikap menyukai atau tidak menyukai kelompok lain melalui contoh-contoh perilaku yang ditunjukkannnya. Dengan adanya kesadaran dari orang tua atau guru mengenai pentingnya peran mereka sebagai model yang tidak berprasangka, maka dapat diharapkan bahwa anak-anak belajar untuk tidak berprasangka melalui model dan pengukuhan positif yang diberikan oleh orang dewasa (Baron dan Byrne dalam Soeboer, 1990).

c. Belajar untuk mengerti adanya perbedaan

Setiap orang lain itu berbeda sehingga kita harus belajar mengenal dan memahami orang lain berdasarkan karakteristiknya yang unik, dan bukan


(44)

semata-mata berdasarkan kenaggotaan orang tersebut dalam kelompok tertentu (Baron dan Byrne dalam Soeboer, 1990).

B. TRUST

1. Pengertian Trust

Menurut Holmes & Rampel (dalam Fletcher & Clark, 2001) mengatakan bahwa trust merupakan harapan bahwa seseorang bisa dipercaya dalam segala hubungan dan pekerjaan serta responsif terhadap kebutuhan orang yang mempercayainya.

Fletcher & Clark (2001) menyatakan bahwa trust meliputi prediksi atau kepercayaan bahwa seseorang akan menunjukkan perilaku yang konsisten, kepercayaan bahwa seseorang itu memang jujur dan bisa dipercayai, serta keyakinan atau pendirian bahwa seseorang memang termotivasi secara intrinsik untuk bekerja, bahkan melebihi target kerja.

Deutsch (dalam Johnson & Johnson, 2000) menyatakan bahwa trust

merupakan suatu pilihan yang didasarkan pada persepsi bahwa pilihannya akan membuatnya untung, akan tetapi tidak selalu begitu. Terkadang pilihan tersebut akan membuatnya rugi. Keuntungan dan kerugian tersebut adalah tergantung pada orang yang dipercaya, ada kemungkinan bahwa kerugian yang diperoleh lebih besar daripada keuntungan, dan sebaliknya ada juga kemungkinan bahwa keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada kerugian.


(45)

Dalam penelitian ini, trust didefinisikan sebagai suatu harapan bahwa seorang karyawan yang berasal dari golongan etnis tertentu dapat dipercaya dalam segala hubungan, menunjukkan perilaku yang konsisten, dapat diprediksi, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja. Trust yang dimiliki berhubungan prediksi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh karena pilihannya tersebut.

2. Jenis-jenis Trust

Menurut Robbins (2005) terdapat tiga jenis trust dalam hubungan

organizational :

a. Deterrence-Based Trust

Deterrence-based trust merupakan salah satu jenis trust yang paling mudah hilang. Hanya dengan sekali melakukan kesalahan atau tidak konsisten, dapat menghilangkan trust yang dimiliki. Trust jenis ini didasarkan pada rasa takut akan hukuman dan konsekuensi yang akan timbul apabila trust tersebut tidak dijalankan dengan baik. Setiap hubungan biasanya akan diawali dengan deterrence-based trust.

b. Knowledge-Based Trust

Kebanyakan trust yang dimiliki dalam hubungan organizational adalah

knowledge-based trust, yaitu salah satu jenis trust yang didasarkan pada pengalaman interaksi di masa lalu. Knowledge-based trust muncul dengan didasarkan pada informasi yang cukup dan akurat tentang seseorang, dan


(46)

mengenal orang tersebut, maka kita akan semakin mampu untuk memprediksi orang tersebut secara akurat. Trust jenis ini tidak akan rusak karena pasangan menunjukkan perilaku yang tidak konsisten. Apabila pasangan mampu memberi penjelasan yang masuk akal mengenai kesalahanya, maka dia biasanya akan dimaafkan dan kembali ke hubungan yang baik seperti semula.

c. Identification-Based Trust

Trust jenis merupakan trust level tertinggi yang ditandai dengan adanya ikatan emosional antara kedua belah pihak. Pihak yang satu dapat mewakili pihak yang lain dalam hubungan transaksi yang bersifat interpersonal. Trust jenis ini muncul karena kedua belah pihak saling mengerti, memahami, dan menghargai kebutuhan serta keinginan masing-masing. Kontrol dalam hubungan seperti ini sangat minimal, karena kontrol dianggap sebagai keraguan terhadap rasa kesetiaan salah satu pihak.

3. Elemen-elemen Trust

Menurut Johnson & Johnson (2000) elemen-elemen trust ada lima, yaitu

a. Openness

Openness meliputi kesediaan untuk berbagi informasi, pemikiran, pendapat, dan reaksi terhadap hal yang sedang dibicarakan.


(47)

Sharing berarti kesediaan untuk menawarkan dan memberikan bantuan kepada orang lain untuk mencapai tujuan bersama.

c. Acceptance

Acceptance berarti melakukan komunikasi dengan orang lain dan menghargai pendapat mereka tentang suatu hal yang sedang dibicarakan.

d. Support

Support meliputi komunikasi dengan orang lain sehingga kita mengenal kelebihannya dan kita percaya bahwa mereka mampu mengatur secara produktif situasi dimana mereka berada.

e. Cooperative Intentions

Cooperative intention meliputi harapan bahwa orang lain akan bersikap kooperatif dan setiap anggota kelompok juga akan bersikap kooperatif untuk mencapai tujuan kelompok.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Trust-Buliding Process

Menurut Busch dan Hantusch (2000) dalam jurnal yang berjudul

Recognizing The Fragility of Trust and Its Importance in The Partnering Process, terdapat beberapa hambatan dalam trust-building process yang bisa ditemukan dalam organisasi:


(48)

Interaksi masa lalu merupakan hambatan terbesar dalam trust-building process. Pengalaman interaksi yang buruk pada masa lalu akan menyebabkan kedua belah pihak saling berprasangka dan berpikir bahwa pihak lain tersebut tidak bisa dipercaya sepenuhnya.

b. Kategorisasi Sosial (Social Categorization)

Individu akan cenderung untuk mengkategorikan orang lain apabila dia tidak memiliki informasi yang cukup tentang orang tersebut. Kategorisasi tersebut bisa berdasarkan jenis kelamin, ras, profesi, jabatan, dan sebaginya. Kategorisasi ini dibuat untuk menyederhanakan proses membuat keputusan. Dalam kehidupan berorganisasi, seseorang cenderung untuk mengkategorikan orang lain berdasarkan pada kategori tertentu, seperti kategori ini merupakan anggota dari buruh, staf, manager, kontraktor, dan sebagainya. Sebagai konsekuensinya, mereka akan menilai anggota outgroup sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka, dan tidak jujur.

c. Generalisasi dan Model Peran

Individu cenderung untuk menggeneralisasi perbuatan seseorang dengan perbuatan keseluruhan anggota kelompoknya. Misalnya, apabila seorang karyawan berlaku tidak jujur terhadap atasanya, maka atasannya akan menilai semua karyawan tidak jujur. Demikian juga dengan model peran, apabila kelakuan seorang atasan buruk, maka semua bawahannya akan dinilai berkelakuan buruk juga, karena meniru perilaku atasannya.


(49)

4. Cara Meningkatkan Trust

Menurut Robbins (2005), terdapat delapan cara untuk meningkat trust, diantaranya :

a. Bersikap terbuka

Dengan bersikap terbuka akan membuat orang lain percaya terhadap kita. Yang dimaksud dengan bersikap terbuka adalah bersikap terbuka terhadap informasi yang dimiliki, memberi tahu secara rasional bagaimana suatu keputusan dibuat, dan berterus terang dalam menyatakan masalah yang sedang dihadapi.

b. Bersikap adil

Sebelum membuat suatu keputusan, harus mempertimbangkan bagaimana orang lain akan menilai objektifitas dan keadilan keputusan kita.

c. Nyatakan perasaan dengan terus terang

Dengan menyatakan perasaan yang sebenarnya tanpa memandang jabatan atau posisi kita dalam suatu organisasi, akan membuat orang lain lebih menghargai kita, karena semua orang adalah manusia yang memiliki masalah dan perasaan.


(50)

Dengan bersikap jujur, berarti kita bisa dipercaya. Apabila kejujuran merupakan hal yang penting dalam membangun trust, maka kita harus menjunjung tinggi kejujuran.

e. Tunjukkan konsistensi

Semua orang menginginkan sesuatu yang bisa diprediksi. Ketidakjujuran terjadi karena kita tidak mampu memprediksi sikap orang tersebut. Pikirkanlah tentang nilai dan kepercayaan yang dimiliki, kemudian biarkan nilai dan kepercayaan tersebut menjadi paduan dalam mengambil. Apabila telah diperoleh suatu tujuan yang jelas, maka sikap yang dimiliki juga bisa diprediksi.

f. Tepati janji

Salah satu aspek dari trust adalah orang tersebut bisa diharapkan, jadi tepatilah setiap komitmen dan janji yang telah diucapkan.

g. Bersikap percaya diri

Setiap orang akan mempercayai orang yang bijaksana dan bisa dipercaya. Apabila kita memberitahukan suatu rahasia kepada orang lain, maka orang lain juga akan meragukan kita, dan tidak akan memberitahu rahasianya kepada kita karena kita dianggap sebagai orang yang tidak bisa dipercaya.

h. Tunjukkan kompetensi

Salah satu cara untuk meningkatkan trust adalah dengan membuat orang lain menghargai dan mengagumi kita. Sehingga kita juga harus


(51)

mengembangkan kompetansi kita dalam hal komunikasi, negosiasi, dan kemampuan interpersonal lainnya.

C. GOLONGAN ETNIS 1. Pengertian Golongan Etnis

Koentjaraningrat (1996) antroplog Indonesia mendefinisikan istilah suku bangsa sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan jati diri mereka akan kesatuan dari kebudayaan mereka, sehingga kesatuan kebudayaan tidak ditentukan oleh orang luar, melainkan oleh warga kebudayaan yang bersangkutan itu sendiri.

2. Definisi Golongan Pribumi dan Non-Pribumi

Istilah ”Cina” dalam bahasa Indonesia memiliki sudah memiliki makna yang negatif, sehingga pada sekitar tahun 1950-an istilah ”Cina” diubah menjadi ”Tionghoa” (sesuai dengan ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk kepada orang Cina dan ”Tiongkok” untuk ”negara Cina. Menurut Liem (2000) etnis Tionghoa di Indonesia merujuk kepada orang Indonesia yang berasal dari negara Tiongkok dan sejak generasi pertama atau kedua telah tinggal di Indonesia, berbaur dengan penduduk setempat dan menguasai satu atau lebih bahasa yang dipakai di Indonesia”.

Purcell (dalam Liem, 2000) mengungkapkan bahwa etnis Tionghoa adalah seluruh imigran negara Tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang


(52)

lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan, bahasa yang melingkup budaya mereka. Etnis Tionghoa adalah individu yang memandang dirinya sbagai ”Tionghoa” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat yang bersamaan mereka berhubungan dengan etnis Tionghoa perantauan lain atau negara Tiongkok secara sosial, tanpa memandang kebangsaan, bahasa, atau kaitan erat dengan budaya Tiongkok.

Dalam penelitian ini, etnis Tionghoa didefinisikan sebagai golongan masyarakat keturunan Tionghoa yang kedua orang tuanya juga merupakan keturunan etnis Tionghoa.

Menurut Arief dalam Meinarno (2001), golongan Pribumi merupakan golongan masyarakat yang berasal dari seluruh suku atau campuran dari suku-suku asli di wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Dalam penelitian ini, etnis Pribumi didefinisikan sebagai kelompok etnis selain etnis Tionghoa dan kelompok etnis yang bukan berasal dari keturunan negara lain yang berdomisili di negara Indonesia.

D. PENGUSAHA DAN KARYAWAN 1. Definisi Pengusaha

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), pengusaha adalah orang yang mengusahakan (perdagangan, industri, dan sebagainya); orang yang berusaha di bidang perdagangan; saudagar; usahawan.


(53)

a. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya;

c. Orang, perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Pengertian pengusaha dalam penelitian ini adalah masyarakat etnis Tionghoa yang menjalankan usaha jual beli barang dan / atau jasa dengan pekerjanya 20-99 orang. Menurut Kuncoro (2007), industri menengah merupakan industri yang mempekerjakan 20-99 orang pekerja sebagai tenaga kerjanya. Dengan kata lain, pengusaha dalam penelitian ini merupakan pengusaha yang memiliki dan menjalankan industri menengah.

2. Definisi Karyawan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), karyawan merupakan orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebagainya) dengan mendapat gaji atau upah; pegawai.

Menurut Undang-undang RI No. 13 Tahun 2003, karyawan adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.


(54)

Pengertian karyawan dalam penelitian ini adalah masyarakat etnis pribumi yang bekerja pada pengusaha Tionghoa, serta mendapatkan gaji atau upah sebagai imbalan kerjanya.

E. HUBUNGAN PRASANGKA DENGAN TRUST PADA PENGUSAHA ETNIS TIONGHOA TERHADAP KARYAWAN ETNIS PRIBUMI

Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari persoalan etnis minoritas dan etnis mayoritas yang kemudian akan menyebabkan munculnya prasangka antar etnis. Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis minoritas yang ada di Indonesia dengan jumlahnya sekitar 2,8% dari keseluruhan penduduk Indonesia (Mendatu, 2007).

Prasangka antar etnis di Indonesia bisa saja terjadi pada etnis-etnis minoritas lainnya, akan tetapi khusus untuk prasangka terhadap etnis Tionghoa, penyebabnya jauh lebih kompleks daripada sekedar posisi mayoritas dan minoritas. Etnis Tionghoa menjadi kambing hitam atas kegagalan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Damayanti, 2008). Selain itu, konflik-konflik yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi pada masa lalu juga turut menyumbang tumbuhnya perasaan tidak menyenangkan terhadap etnis Pribumi (Tan, 2003).

Abu Ahmadi (1991) menyatakan bahwa pengalaman yang menyakitkan dan tidak menyenangkan merupakan salah satu penyebab munculnya prasangka, dengan kata lain etnis Tionghoa akan berprasangka terhadap etnis Pribumi atas kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami. Hal ini kemudian diperkuat oleh


(55)

Tan (dalam Susetyo, 1999) yang menyatakan bahwa hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Pribumi memang terkesan tegang dan saling curiga.

Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap negatif yang ditujukan kepada anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Sedangkan menurut Gerungan (2002) prasangka merupakan sikap sosial yang negatif terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang diprasangkai itu.

Soeboer (1990) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa sumber penyebab prasangka, diantaranya dapat dilihat melalui pendekatan sosial, pendekatan emosional dan psikodinamik, dan pendekatan kognitif. Apabila dipandang dari pendekatan kognitif, salah satu penyebab munculnya prasangka adalah social categorization. Menurut teori social categorization, individu dalam kehidupan sehari-harinya cenderung untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu “kita” yang dipersepsikan sebagai ingroup dan “mereka” yang dipersepsikan sebagai outgroup. Dalam prakteknya outgroup

dianggap memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima oleh ingroup,

selanjutnya outgroup akan dinilai secara negatif oleh ingroup (Flynn dan Chatman, 2002).

Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara prasangka dan stereotip. Prasangka dapat menyebabkan munculnya stereotip dan stereotip itu sendiri akan memperkuat prasangka pada kelompok sosial tertentu. Menurut penelitian Willmot (dalam Sarwono, 1999), stereotip


(56)

negatif kelompok etnis Pribumi terhadap kelompok etnis Tionghoa dan sebaliknya masih hadir sampai sekarang. Kelompok etnis pribumi menganggap bahwa orang Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan kelompok Pribumi tidak. Orang Tionghoa lebih kaya dari rata-rata orang pribumi, menguasai kekayaan, mengeruk kekayaan dari orang pribumi, ekslusif, kikir, dan sombong. Sedangkan golongan etnis Tionghoa merasa dirinya lebih pandai dan lebih canggih daripada etnis pribumi. Golongan pribumi dikatakan sebagai pemalas, tidak dapat dipercaya, tidak pantas diberi jabatan yang tinggi, dan sebagainya.

Stereotip yang diungkapkan tersebut pada kenyataannya sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh salah seorang staf Human Resources dari perusahaan “A”, perusahaan milik etnis Tionghoa yang menyatakan bahwa dalam praktek di perusahaannya, karyawan etnis Pribumi tidak diperbolehkan untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu, terutama posisi yang berkaitan dengan keuangan perusahaan karena dikatakan secara jelas bahwa karyawan etnis Pribumi dinilai tidak jujur dan tidak dapat dipercaya. Selain itu, karyawan etnis Pribumi juga dinilai sebagai karyawan yang tidak berkompeten, dan dikatakan bahwa alasan dari semua perbedaan perlakuan tersebut adalah prasangka terhadap kelompok etnis Pribumi (Komunikasi Personal, November 2008).

Pada dasarnya, karyawan etnis Pribumi dinilai tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, dikarenakan atasan mereka yang beretnis Tionghoa telah membuat suatu kategori sosial (social categorization). Karyawan yang beretnis Pribumi akan dianggap sebagai outgroup, dan karyawan yang beretnis Pribumi akan dinilai sebagai ingroup. Menurut Brewer dan Miller (dalam Mendatu, 2007) social


(57)

categorization yang merupakan penyebab dari prasangka memiliki hubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Ingroup akan memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota outgroup tidak bisa dipercaya. Hal yang serupa juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi (dalam Irmawati, 1996), adanya prasangka dalam diri seorang pengusaha akan menyebabkan pengusaha tersebut membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya.

Lebih lanjut, Busch dan Hantusch (2000) menyatakan bahwa social categorization merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi trust-building process. Prasangka yang dimiliki seseorang akibat kategorisasi sosial akan membuat ingroup menyederhanakan proses pembuatan keputusan terhadap

outgroup. Sebagai konsekuensinya, outgroup akan dinilai sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka dan tidak jujur.

Hal yang diungkapkan oleh staf HR dari perusahaan “A” tersebut pada kenyataannya sejalan dengan apa yang diungkapkan Brewer dan Miller (dalam Mendatu, 2007), Ahmadi (dalam Irmawati, 1996) dan Busch dan Hantusch (2000) mengenai kaitan antara prasangka sebagai wujud dari social categorization

dengan trust. Secara konkrit, prasangka yang dimiliki pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi akan mempengaruhi trust yang dimilikinya terhadap karyawan etnis Pribumi.

Prasangka muncul sebagai akibat adanya kategorisasi sosial yaitu ingroup

dan outgroup, selanjutnya, outgroup dianggap memiliki karakteristik yang kurang disukai sehingga mereka akan dinilai secara negatif oleh ingroup (Flynn dan


(58)

Chatman, 2002). Sejalan dengan penelitian Willmot (dalam Sarwono, 1996) bahwa anggapan (stereotip) golongan etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi sebagai pemalas, tidak berkompeten, tidak jujur, dan sebagainya pada dasarnya akan mempengaruhi trust pengusaha tersebut terhadap karyawan etnis Pribumi yang diprasangkainya.

F. HIPOTESA

Dalam penelitian ini akan diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

“Terdapat hubungan negatif antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi”.


(59)

Diagram 1: PARADIGMA BERPIKIR

= Terdiri dari = Mempengaruhi

= Bersumber dari = Menyebabkan

= Berhubungan

Etnis Pribumi

><

Etnis Non-Pribumi konflik

P R A S A N G K A

Pendekatan Sosial Pendekatan

Emosional

Pendekatan Kognitif : Social Categorization

Indonesia Negara Multietnis

Ingroup Outgroup


(60)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Adapun variabel yang terlibat pada penelitian ini antara lain: Variabel Bebas (IV) : Prasangka

Variabel Tergantung (DV) : Trust

B. DEFENISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN 1. Prasangka

Prasangka diartikan sebagai sikap negatif yang ditunjukkan oleh pengusaha Tionghoa terhadap kelompok etnis pribumi yang menjadi karyawan pengusaha Tionghoa. Dalam penelitian ini, yang menjadi target prasangka adalah adalah golongan etnis pribumi, dengan demikian, prasangka timbul dikarenakan oleh perbedaan ras, dengan kata lain, prasangka dalam penelitian ini adalah prasangka rasial.

Prasangka ini akan diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan aspek-aspek prasangka yang dikemukakan oleh Ahmadi (1991), yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif.


(61)

Tingkat prasangka dapat dilihat dari skor yang diperoleh individu dari skala tersebut. Jika semakin tinggi skor skala prasangka yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat prasangka seorang pengusaha Tionghoa terhadap karyawannya yang beretnis pribumi. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah skor skala prasangka yang diperoleh, maka semakin rendah tingkat prasangka seorang pengusaha Tionghoa terhadap karyawannya yang beretnis pribumi.

2. Trust

Ttrust didefinisikan sebagai suatu harapan bahwa seorang karyawan yang berasal dari golongan etnis tertentu dapat dipercaya dalam segala hubungan, menunjukkan perilaku yang konsisten, dapat diprediksi, dan termotivasi secara intrinsik untuk bekerja. Trust yang dimiliki berhubungan prediksi keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh karena pilihannya tersebut.

Trust ini akan diukur dengan menggunakan skala yang disusun

berdasarkan aspek-aspek dari trust yang dikemukakan oleh Johnson & Johnson (2000), yang terdiri dari: openness, sharing, acceptance, support, dan cooperative intentions.

Tingkat trust dapat dilihat dari skor yang diperoleh individu dari skala tersebut. Jika semakin tinggi skor skala trust yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat trust yang dimiliki oleh seorang pengusaha Tionghoa terhadap karyawannya yang beretnis pribumi. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah skor skala trust yang diperoleh, maka semakin rendah tingkat trust yang dimiliki seorang pengusaha Tionghoa terhadap karyawannya yang beretnis pribumi.


(1)

VAR00016 210.86 232.000 .477 . .908 VAR00017 210.97 236.484 .174 . .910 VAR00018 210.78 230.547 .577 . .908 VAR00019 210.93 231.675 .573 . .908 VAR00020 210.85 232.646 .519 . .908 VAR00021 210.80 234.267 .361 . .909 VAR00022 210.83 231.011 .539 . .908 VAR00023 210.99 230.814 .512 . .908 VAR00024 210.97 232.339 .473 . .908 VAR00025 210.89 231.338 .575 . .908 VAR00026 211.96 243.833 -.242 . .914 VAR00027 210.88 232.191 .481 . .908 VAR00028 210.98 231.381 .469 . .908 VAR00029 211.12 236.047 .234 . .910 VAR00030 210.85 233.286 .446 . .909 VAR00031 210.99 233.536 .459 . .909 VAR00032 210.89 224.637 .168 . .924 VAR00033 211.08 235.251 .269 . .910 VAR00034 210.88 233.779 .438 . .909 VAR00035 211.15 228.935 .617 . .907 VAR00036 211.19 232.179 .437 . .909 VAR00037 210.98 230.907 .582 . .908 VAR00038 211.06 238.986 .025 . .912 VAR00039 211.22 238.073 .092 . .911 VAR00040 211.20 236.556 .178 . .910 VAR00041 211.09 236.352 .179 . .910 VAR00042 211.27 234.053 .294 . .910 VAR00043 211.00 230.680 .629 . .907 VAR00044 211.20 237.793 .108 . .911 VAR00045 210.92 231.870 .497 . .908 VAR00046 211.06 235.893 .236 . .910 VAR00047 211.83 236.207 .190 . .910 VAR00048 210.86 230.907 .527 . .908 VAR00049 211.14 228.227 .667 . .907 VAR00050 210.98 231.092 .523 . .908 VAR00051 211.35 236.559 .166 . .911 VAR00052 211.02 230.598 .517 . .908 VAR00053 210.85 234.832 .268 . .910 VAR00054 211.20 234.515 .304 . .910


(2)

VAR00061 211.01 233.928 .386 . .909 VAR00062 211.49 236.521 .170 . .911 VAR00063 211.06 233.336 .424 . .909 VAR00064 211.08 234.138 .355 . .909 VAR00065 210.90 232.505 .478 . .908 VAR00066 211.00 235.959 .209 . .910 VAR00067 211.06 233.440 .417 . .909 VAR00068 211.14 233.546 .314 . .909 VAR00069 211.06 239.501 -.003 . .912 VAR00070 210.91 234.332 .380 . .909 VAR00071 210.89 229.853 .598 . .907 VAR00072 210.98 233.319 .438 . .909 VAR00073 211.02 231.175 .521 . .908

PENGOLAHAN II

Case Processing Summary

N %

Valid 98 100.0 Excluded

(a) 0 .0

Cases

Total 98 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items

.938 .941 52

Summary Item Statistics

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance

N of Items Item Means 2.988 2.704 3.337 .633 1.234 .018 52 The covariance matrix is calculated and used in the analysis.


(3)

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Squared Multiple Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted VAR00001 152.44 171.507 .324 . .938 VAR00002 152.21 171.345 .303 . .938 VAR00003 152.05 170.606 .312 . .939 VAR00004 152.32 166.693 .597 . .936 VAR00006 152.49 169.160 .460 . .937 VAR00007 152.51 167.943 .498 . .937 VAR00008 152.49 169.675 .440 . .937 VAR00009 152.35 169.074 .626 . .936 VAR00010 152.38 169.103 .640 . .936 VAR00011 152.53 170.623 .413 . .938 VAR00014 152.39 170.178 .494 . .937 VAR00015 152.31 170.998 .309 . .938 VAR00016 152.28 169.047 .517 . .937 VAR00018 152.19 168.220 .586 . .936 VAR00019 152.35 169.384 .565 . .937 VAR00020 152.27 169.393 .585 . .937 VAR00021 152.21 171.572 .355 . .938 VAR00022 152.24 168.867 .528 . .937 VAR00023 152.41 168.739 .498 . .937 VAR00024 152.39 169.745 .482 . .937 VAR00025 152.31 168.936 .581 . .937 VAR00027 152.30 169.633 .489 . .937 VAR00028 152.40 169.087 .465 . .937 VAR00030 152.27 170.218 .484 . .937 VAR00031 152.41 171.110 .439 . .937 VAR00034 152.30 170.334 .506 . .937 VAR00035 152.57 166.619 .641 . .936 VAR00036 152.61 169.663 .440 . .937 VAR00037 152.40 168.180 .620 . .936 VAR00042 152.68 170.961 .316 . .938 VAR00043 152.42 168.390 .634 . .936 VAR00045 152.34 169.896 .462 . .937 VAR00048 152.28 168.387 .545 . .937 VAR00049 152.56 166.311 .670 . .936 VAR00050 152.40 168.325 .558 . .937


(4)

VAR00060 152.22 169.042 .465 . .937 VAR00061 152.43 171.423 .370 . .938 VAR00063 152.48 171.159 .388 . .938 VAR00064 152.50 172.088 .301 . .938 VAR00065 152.32 170.074 .472 . .937 VAR00067 152.48 170.211 .465 . .937 VAR00068 152.56 170.950 .309 . .938 VAR00070 152.33 171.686 .369 . .938 VAR00071 152.31 167.060 .648 . .936 VAR00072 152.40 170.304 .471 . .937 VAR00073 152.44 168.537 .545 . .937

PENGOLAHAN III

Case Processing Summary

N %

Valid 98 100.0 Excluded

(a) 0 .0

Cases

Total 98 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items

.939 .941 51

Summary Item Statistics

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance

N of Items Item Means 2.994 2.704 3.337 .633 1.234 .017 51 The covariance matrix is calculated and used in the analysis.


(5)

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Squared Multiple Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted VAR00001 149.72 167.336 .317 . .939 VAR00002 149.50 166.933 .313 . .939 VAR00003 149.34 166.391 .309 . .939 VAR00004 149.60 162.448 .599 . .937 VAR00006 149.78 164.877 .463 . .938 VAR00007 149.80 163.628 .504 . .938 VAR00008 149.78 165.599 .428 . .938 VAR00009 149.63 164.792 .630 . .937 VAR00010 149.66 164.885 .638 . .937 VAR00011 149.82 166.440 .407 . .938 VAR00014 149.67 165.851 .501 . .938 VAR00015 149.59 166.677 .313 . .939 VAR00016 149.56 164.702 .525 . .938 VAR00018 149.48 163.943 .589 . .937 VAR00019 149.63 165.163 .563 . .937 VAR00020 149.55 165.075 .592 . .937 VAR00021 149.50 167.284 .357 . .939 VAR00022 149.53 164.602 .530 . .937 VAR00023 149.69 164.627 .489 . .938 VAR00024 149.67 165.397 .490 . .938 VAR00025 149.59 164.677 .583 . .937 VAR00027 149.58 165.421 .486 . .938 VAR00028 149.68 164.755 .471 . .938 VAR00030 149.55 165.838 .495 . .938 VAR00031 149.69 166.833 .440 . .938 VAR00034 149.58 165.998 .513 . .938 VAR00035 149.86 162.392 .642 . .937 VAR00036 149.90 165.433 .439 . .938 VAR00037 149.68 163.909 .623 . .937 VAR00042 149.97 166.607 .322 . .939 VAR00043 149.70 164.231 .627 . .937 VAR00045 149.62 165.743 .455 . .938 VAR00048 149.56 164.043 .553 . .937 VAR00049 149.85 162.172 .665 . .937 VAR00050 149.68 164.095 .558 . .937


(6)

VAR00060 149.51 164.768 .467 . .938 VAR00061 149.71 167.258 .361 . .939 VAR00063 149.77 166.882 .389 . .938 VAR00064 149.79 167.902 .294 . .939 VAR00065 149.60 165.892 .467 . .938 VAR00067 149.77 165.934 .467 . .938 VAR00068 149.85 166.853 .298 . .939 VAR00070 149.61 167.394 .371 . .938 VAR00071 149.59 162.883 .645 . .937 VAR00072 149.68 166.115 .465 . .938 VAR00073 149.72 164.305 .545 . .937