Pengaruh Pengetahuan Petugas Kesehatan Terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan Di Puskesmas Di Kabupaten Humbang Hasundutan
PENGARUH PENGETAHUAN PETUGAS KESEHATAN TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI
KESEHATAN DI PUSKESMAS DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
T E S I S
Oleh
ADELIMA CR SIMAMORA 087033014/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PENGARUH PENGETAHUAN PETUGAS KESEHATAN TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI
KESEHATAN DI PUSKESMAS DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
ADELIMA CR SIMAMORA 087033014/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Judul Tesis : PENGARUH PENGETAHUAN PETUGAS KESEHATAN TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI PUSKESMAS DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
Nama Mahasiswa : Adelima CR Simamora Nomor Induk Mahasiswa : 087033014
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Yeni Absah, S.E, M.Si) Ketua
(drs. Eddy Syahrial, M.Si) Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(4)
Telah diuji
Pada Tanggal : 30 Agustus 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Yeni Absah, S.E, M.Si Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, M.Si
2. Dr. Drs. A. Ridwan Siregar, M.Lib 3. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si
(5)
PERNYATAAN
PENGARUH PENGETAHUAN PETUGAS KESEHATAN
TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI PUSKESMAS DI KABUPATEN
HUMBANG HASUNDUTAN
T E S I S
Oleh
ADELIMA CR SIMAMORA 087033014/IKM
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, September 2010
ADELIMA CR SIMAMORA 08703314/IKM
(6)
ABSTRAK
Keberhasilan pelaksanaan program promosi kesehatan di masyarakat tidak terlepas dari upaya petugas kesehatan dalam melaksanakan fungsi tugasnya. Studi pendahuluan di Puskesmas Kabupaten Humbang Hasundutan pada Februari-Maret 2010, menunjukkan masih terbatasnya pengetahuan petugas puskesmas terhadap berbagai program promosi kesehatan di setiap wilayah cakupannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan yang berupa pengetahuan kesadaran, pengetahuan pemahaman dan pengetahuan prinsip dasar petugas kesehatan terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan di puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (kroseksional) dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan di Puskesmas di bagian pelaksanaan promosi kesehatan yang berjumlah 31 orang. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan Uji Chi Square dan Uji Regresi Logistik pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variable yang berpengaruh terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan adalah pengetahuan kesadaran (p=0,004, Pengetahuan pemahaman (p=0,021) dan Pengetahuan prinsip dasar (p=0,013). Variabel yang paling dominan pengaruhnya adalah pengetahuan prinsip dasar terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan, yaitu sebesar 49,93.
Diharapkan bahwa petugas promosi kesehatan sebaiknya melakukan skala prioritas untuk memilih kegiatan peningkatan pengetahuan pemahaman, yang akan diikuti. Hal ini untuk meminimalkan agar kegiatan yang diikuti tidak menjadi sia-sia. Kepada Dinas kesehatan Kabupaten/Kota, untuk meningkatkan keefektifan promosi kesehatan sebaiknya petugas pelaksana promosi kesehatan adalah staf yang memiliki latar belakang pendidikan promosi kesehatan.
(7)
ABSTRACT
Observation done in the field during the period of February and March 2010, indicate that most society health problems due to the minimum effort done by health promotion staffs of the Puskesmas (Community Health Center). When interviewed, some health promotion staffs said that their understanding of health promotion is so limited. This is due to some factors namely minimum training and limited health promotion support they have.
This study was intended to describe the influence of the knowledge of health workers on the implementation of health promotion program at all of the Puskesmas (Community Health Center) in Humbang Hasundutan District. This survey research was designed crossectional. The population of this study were all of the 31 health workers who were serving in the health promotion implementation section of the Puskesmas (Community Health Center) and all of them were selected to be the samples for this study through total sampling technique. The primary data for this study were obtained through interview using structural questionnaire. Data was analyzed by logistic regression test at confidence level of 95 %.
The result of this study showed that Odds Ratio = 49,93 means that respondent who are good at basic principle knowledge of health promotion has probability of 49,932 times in doing good health promotion (95% CL: 1,353-1843). The finding also shows that basic principle knowledge of health promotion is the most significant influence on the health promotion program.
It is suggested to selectively done the program of knowledge improvement. This is to minimize the inefficiency of the program. The management of Humbang Hasundutan District Health Service is suggested to improve the effectiveness of health promotion programs by employing qualified health promotion staffs who possess health promotion education background.
(8)
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat dan Karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan judul “Pengaruh Pengetahuan Petugas Kesehatan terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan di Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan”.
Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sumatera Utara. Selama melaksanakan penulisan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan kerendahan hati yang tulus menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc(CTM). Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat dan juga Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM di Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sumatera Utara.
(9)
4. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku Sekretaris Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku serta seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan.
5. Dr. Yeni Absah, S.E,M.Si, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing dan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan penuh perhatian dan kesabaran kepada penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis ini selesai.
6. Drs. Eddy Syahrial, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
7. Dr. Drs. A. Ridwan Siregar, M.Lib selaku Ketua Komisi Penguji yang telah banyak memberikan masukan, kritik dan saran kepada penulis demi kesempurnaan tesis ini.
8. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan masukan, kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini.
9. Ir. Zuraidah Nasution, M.Kes sebagai Direktur Poltekkes Kementerian Kesehatan Medan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan moril kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU Medan.
10. Bapak dan Ibu sebagai Kepala Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah memberikan izin dan kesempatan untuk melakukan penelitian ini.
(10)
11. Seluruh staf secara khusus petugas Promosi Kesehatan Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah banyak menbantu penulis dalam melakukan penelitian ini.
12. Seluruh Staf Dosen dan Staf Pegawai PS S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU yang telah memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
13. Seluruh teman-teman mahasiswa di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM USU.
14. Seluruh teman-teman Dosen dan Pegawai di Poltekkes Kementerian Kesehatan Jurusan Keperawatan Medan yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
15. Teristimewa buat suami tercinta, Drs.Pantas H. Silaban, M.B.A dan anak saya Pharel Jonathan J. Silaban yang tidak henti-hentinya memberikan semangat, dukungan serta doa dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari penulisan tesis ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, September 2010
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Adelima Christina Rosetti Simamora, lahir pada tanggal 19 Nopember 1959 di Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan, anak kesepuluh dari empat belas bersaudara dari pasangan bapak D.Simamora (Alm) dan ibu Bidan F.Nababan (Alm).
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 5 Doloksanggul tamat tahun 1971, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMP) Seminari Sipaholon tamat tahun 1974. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Doloksanggul tamat tahun 1977. Pada Tahun 1983 menamatkan kuliah dari D-III Keperawatan Sint Carolus Jakarta. Pada tahun 1999 menamatkan kuliah dari D-IV Perawat Pendidik dari Universitas Sumatera Utara (USU). Pada tahun 2005 menamatkan kulah dari S1 Keperawatan STIKesSU, dan Strata Dua (S-2) di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada tahun 2008 dn diselesaikan pada tahun 2010.
Pada tahun 1983 sampai dengan 1985 bekerja di bagian penyakit dalam Rumah Sakit Sint Carolus Jakarta. Pada tahun 1986 sampai dengan 1991 bekerja di Rumah Sakit Elisabet sebagai Ka.sie. Keperawatan, tahun 1993 sampai dengan 1997 guru perawat di SPK Depkes Medan, tahun 1998 sampai dengan 2003 dosen di Akper Depkes Medan, tahun 2004 sampai sekarang dosen di Kementerian Kesehatan Politeknik kesehatan Medan. Penulis menikah pada tahun 1987, dan dikarunia 1 orang anak laki-laki.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN... xi
BAB 1. PENDAHULUAN. ... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Permasalahan... 6
1.3 Tujuan Penelitian... 6
1.4 Hipotesis. ... 6
1.5 Manfaat Penelitian... 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA... 8
2.1 Promosi Kesehatan. ... 8
2.2 Diffusi Innovasi. ... 12
2.3 Landasan Teori. ... 28
2.4 Kerangka konsep. ... 29
BAB 3. METODE PENELITIAN. ... 31
3.1 Jenis Penelitian ... 31
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 31
3.3 Populasi dan Sampel... 31
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 32
3.5 Variabel dan Definisi Operasional. ... 33
3.6. Metode Pengukuran... 36
3.7 Metode Analisis Data. ... 37
BAB 4. HASIL PENELITIAN. ... 39
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 43
4.2 Analisis Univariat... 44
4.3 Analisis Bivariat ... 46
(13)
BAB 5. PEMBAHASAN. ... 50
5.1 Pengaruh Pengetahuan Kesadaran Terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan ... 50
5.2 Pengaruh Pengetahuan Pemahaman Terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan. ... 52
5.3 Pengaruh Pengetahuan Pinsip Dasar Terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan ... 53
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN. ... 55
6.1 Kesimpulan... 55
6.2 Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA . ... 58
(14)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 33 4.1 Distribusi Frekwensi Jenis kelamin Responden ... 44 4.2 Distribusi Frekwensi Kelompok umur responden ... 44 4.3 Distribusi Frekwensi Menurut Fasilitas Pengetahuan Kesadaran
responden Terhadap pelaksanaan program Promkes di Puskesmas di
Kabupaten Humbang Hasundutan …………... 45 4.4 Distribusi Frekwensi Menurut Fasilitas Pengetahuan Pemahaman
Responden Terhadap pelaksanaan Program Promkes di Puskesmas
di Kabupaten Humbang Hasundutan …………. ... 45 4.5 Distribusi Frekwensi Menurut Fasilitas Pengetahuan Prinsip Dasar
responden terhadap Pelaksanaan Program Promkes di puskesmas di
Kabupaten Humbang Hasundutan ………... 45 4.6 Distribusi Frekwensi Menurut Pelaksanaan Program Promkes pada
Responden di Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan ... 46 4.7 Korelasi Pengetahuan Kesadaran dengan Pelaksanaan Program
Promkes pada Responden di Puskesmas Kabupaten Humbang
Hasundutan ………...………... 46 4.8 Korelasi Pengetahuan Pemahaman dengan Pelaksanaan Program
Promkes pada Responden di Puskesmas Humbang Hasundutan... 47 4.9 Korelasi Pengetahuan Prinsip Dasar dengan pelaksanaan Program
Promkes pada Responden di Puskesmas di Kabupaten Humbang
Hasundutan ... 48 4.10 Regresi Logistik pengaruh Fasilitas Akses Pengetahuan Dengan
Pelaksanaan Program Promkes pada Responden di puskesmas di
(15)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
I Kuesioner Penelitian ... 62 II Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 65
(17)
ABSTRAK
Keberhasilan pelaksanaan program promosi kesehatan di masyarakat tidak terlepas dari upaya petugas kesehatan dalam melaksanakan fungsi tugasnya. Studi pendahuluan di Puskesmas Kabupaten Humbang Hasundutan pada Februari-Maret 2010, menunjukkan masih terbatasnya pengetahuan petugas puskesmas terhadap berbagai program promosi kesehatan di setiap wilayah cakupannya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan yang berupa pengetahuan kesadaran, pengetahuan pemahaman dan pengetahuan prinsip dasar petugas kesehatan terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan di puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (kroseksional) dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan di Puskesmas di bagian pelaksanaan promosi kesehatan yang berjumlah 31 orang. Data diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan Uji Chi Square dan Uji Regresi Logistik pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variable yang berpengaruh terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan adalah pengetahuan kesadaran (p=0,004, Pengetahuan pemahaman (p=0,021) dan Pengetahuan prinsip dasar (p=0,013). Variabel yang paling dominan pengaruhnya adalah pengetahuan prinsip dasar terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan, yaitu sebesar 49,93.
Diharapkan bahwa petugas promosi kesehatan sebaiknya melakukan skala prioritas untuk memilih kegiatan peningkatan pengetahuan pemahaman, yang akan diikuti. Hal ini untuk meminimalkan agar kegiatan yang diikuti tidak menjadi sia-sia. Kepada Dinas kesehatan Kabupaten/Kota, untuk meningkatkan keefektifan promosi kesehatan sebaiknya petugas pelaksana promosi kesehatan adalah staf yang memiliki latar belakang pendidikan promosi kesehatan.
(18)
ABSTRACT
Observation done in the field during the period of February and March 2010, indicate that most society health problems due to the minimum effort done by health promotion staffs of the Puskesmas (Community Health Center). When interviewed, some health promotion staffs said that their understanding of health promotion is so limited. This is due to some factors namely minimum training and limited health promotion support they have.
This study was intended to describe the influence of the knowledge of health workers on the implementation of health promotion program at all of the Puskesmas (Community Health Center) in Humbang Hasundutan District. This survey research was designed crossectional. The population of this study were all of the 31 health workers who were serving in the health promotion implementation section of the Puskesmas (Community Health Center) and all of them were selected to be the samples for this study through total sampling technique. The primary data for this study were obtained through interview using structural questionnaire. Data was analyzed by logistic regression test at confidence level of 95 %.
The result of this study showed that Odds Ratio = 49,93 means that respondent who are good at basic principle knowledge of health promotion has probability of 49,932 times in doing good health promotion (95% CL: 1,353-1843). The finding also shows that basic principle knowledge of health promotion is the most significant influence on the health promotion program.
It is suggested to selectively done the program of knowledge improvement. This is to minimize the inefficiency of the program. The management of Humbang Hasundutan District Health Service is suggested to improve the effectiveness of health promotion programs by employing qualified health promotion staffs who possess health promotion education background.
(19)
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumber daya manusia dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin (Adisasmito, 2008). Pada akhirnya, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas dan produktif (Sujudi, 1997).
Sehat menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) didefinisikan sebagai suatu keadaan sejahtera sempurna dari fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya terbatas pada bebas dari penyakit dan kecacatan. (WHO, 2000). Sejalan dengan perkembangan, maka definisi tersebut sudah dirasakan perlu direvisi kembali, karena belum mengakomodasikan berbagai komponen produktivitas. Dalam Piagam Ottawa pada tahun 1986 disebutkan bahwa sehat itu bukan hanya sekedar tujuan hidup, tetapi merupakan alat untuk hidup secara produktif (Ahmad, 2009).
Secara implementasi, sistem kesehatan bersifat dinamis dan sangat dipengaruhi berbagai kondisi ekonomi, politik dan budaya suatu negara (Adisasmito, 2008). Dengan kata lain, sistem kesehatan merupakan kombinasi antara institusi kesehatan, sumber daya manusia pendukung, mekanisme finansial, sistem informasi, mekanisme jaringan organisasi dan manajemen struktur yang di dalamnya termasuk komponen administrasi (Lassey, 1997).
(20)
Dalam Rencana Strategi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Renstra Depkes RI) tahun 2005-2009 disebutkan bahwa pembangunan kesehatan di Indonesia telah cukup berhasil meningkatkan derajat kesehatan. Ironisnya, derajat kesehatan di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara tetangga (Depkes RI, 2005). Hal ini disebabkan adanya berbagai masalah diantara adalah kinerja pelayanan kesehatan yang rendah, terbatas dan tidak meratanya tenaga kesehatan (Adisasmito, 2008).
Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah membawa suasana baru dalam dunia pemerintahan di Indonesia yang sebelumnya sentralistik menjadi desentralisasi. Menurut Rondinelli (1981), desentralisasi adalah pemindahan kewenangan atau pembagian kekuasaan dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah, khususnya daerah tingkat II. Dari definisi tersebut, maka sektor kesehatan juga merupakan wewenang dari pemerintahan daerah untuk mengaturnya.
Gani (1999) mengungkapkan, desentralisasi mengalami berbagai hambatan terutama di daerah tingkat II antara lain adalah lemahnya profesionalisme sumber daya manusia (SDM). Lemahnya profesionalisme itu ditandai dengan masih terbatasnya pengetahuan dan berbagai informasi pelaksana lapangan di bidang kesehatan yang diharapkan dapat menjadi agen perubahan dalam bidang kesehatan kepada masyarakat. Keberhasilan pembangunan di daerah, khususnya di kabupaten dan kota salah satunya adalah ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya, dalam hal ini adalah tenaga kesehatan.
(21)
Hambatan lain dalam upaya desentralisasi menurut Gani (1999) adalah ketidak berkesinambungan antara pelayanan kesehatan primer dan sekunder. Muninjaya (2004) mengemukakan sebelum era 70-an, kebijakan sarana pelayanan kesehatan lebih difokuskan kepada pembangunan rumah sakit yang tidak mudah diakses oleh sebagian penduduk yang tinggal di pedesaan. Mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah mendirikan Pusat Pelayanan Kesehatan (Puskesmas) yang merupakan upaya pemerintah untuk melindungi penduduknya, termasuk mengembangkan program khusus untuk penduduk miskin (Muninjaya, 2004). Adanya semangat reformasi menghendaki adanya perubahan dalam manajemen Puskesmas yang tertuang dalam UU No. 22 dan 25 Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Depkes RI (2002) menjelaskan Puskesmas di era desentralisasi mempunyai 3 fungsi, yaitu:
1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan 2. Memberdayakan masyarakat dan memberdayakan keluarga 3. Memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Salah satu upaya kesehatan dasar yang merupakan program minimal dan harus dilaksanakan setiap Puskesmas adalah Program Promosi Kesehatan dengan melaksanakan berbagai kegiatan promosi hidup bersih dan sehat dengan indikator keberhasilan adalah perbaikan perilaku sehat masyarakat (Depkes RI, 2002). Promosi Kesehatan menurut Piagam Ottawa diartikan sebagai suatu proses yang
(22)
memungkinkan seseorang untuk meningkatkan dan mengontrol derajat kesehatannya, baik secara individu, kelompok maupun masyarakat (Siregar, 2009).
Dalam mengimplementasikan program promosi kesehatan di puskesmas dibutuhkan sumber daya yang andal dalam melaksanakannya. Kajian Muninjaya (2004) menjelaskan bahwa visi dan misi baru puskesmas di era desentralisasi kurang dihayati baik oleh pimpinan maupun staf puskesmas. Hal itu mengakibatkan upaya advokasi dan juga pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan menjadi kurang mendapat sambutan di masyarakat. Masalah lain adalah Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) yang bertujuan untuk proses penyusunan rencana strategis puskesmas belum mampu dikembangkan (Muninjaya, 2004).
Berbagai kendala dalam upaya implementasikan berbagai program promosi kesehatan di puskesmas, khususnya puskesmas di daerah terpencil antara lain adalah kurangnya pengetahuan mengenai promosi kesehatan yang dimiliki oleh petugas puskesmas. Pada Konferensi Nasional Promosi Kesehatan ke-5 di Bandung pada tanggal 22-25 November 2009, Siregar (2009) memaparkan keterbatasan pengetahuan petugas kesehatan dalam melaksanakan upaya promosi kesehatan utamanya di daerah terpencil antara lain disebabkan keterbatasan pendukung dalam memahami berbagai program promosi kesehatan. Keterbatasan ini menjadi kendala dalam pelaksanaan berbagai upaya promosi kesehatan di institusi termasuk juga di puskesmas. Hal ini disebabkan petugas kesehatan di puskesmas merupakan agen perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di wilayah cakupan puskesmas tersebut.
(23)
Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu kabupaten yang baru dibentuk pada tanggal dengan berbagai masalah kesehatan. Data dari Riset kesehatan daerah Sumatera Utara tahun 2007 menyebutkan, Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan salah satu daerah yang berada di bawah standar kesehatan nasional, seperti masalah gizi buruk, kesehatan ibu dan anak serta kesehatan lingkungan (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan yang dilakukan pada bulan Februari-Maret 2010, menunjukkan bahwa berbagai masalah kesehatan di masyarakat disebabkan masih kurang berperannya puskesmas dalam melaksanakan kegiatan promosi kesehatan di setiap wilayah cakupannya. Saat peneliti menanyakan kepada beberapa petugas puskesmas yang diberi wewenang menangani program promosi kesehatan, mereka mengatakan pemahaman mereka terhadap apa dan bagaimana program promosi kesehatan itu masih sangat kurang. Hal ini disebabkan berbagai faktor, seperti pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan mereka masih sangat minim mereka dapatkan, materi penunjang kegiatan promosi kesehatan juga masih jarang mereka peroleh.
Rogers (1983) berpendapat, pengetahuan terdiri dari tiga komponen, yaitu: kesadaran, pemahaman dan prinsip dasar. Untuk dapat menganalisis pengetahuan maka ketiga komponen tersebut dia atas menjadi suatu keharusan untuk diamati dan dianalisis. Dari uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti berbagai hal yang terkait dengan pengaruh pengetahuan petugas kesehatan terhadap pelaksanaan
(24)
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pengetahuan (kesadaran, pemahaman dan prinsip dasar) petugas kesehatan terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 2010.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana pengaruh pengetahuan (kesadaran, pemahaman dan prinsip dasar) petugas kesehatan terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas di kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 2010.
1.4. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat pengaruh pengetahuan (kesadaran, pemahaman dan prinsip dasar) petugas kesehatan terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas di kabupaten Humbang Hasundutan pada tahun 2010.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Humbang Hasundutan adalah sebagai masukan dalam merencanakan program promosi kesehatan di institusi khususnya puskesmas.
(25)
2. Bagi pengembangan ilmu adalah untuk menambah khazanah di bidang pengembangan sumber daya manusia bidang promosi kesehehatan khususnya sumber daya kesehatan di puskesmas.
3. Bagi peneliti lain adalah sebagai tambahan referensi yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia bidang promosi kesehatan khususnya sumber daya kesehatan di puskesmas.
(26)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Promosi Kesehatan di Puskesmas
Dalam Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan dijelaskan bahwa promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui proses pembelajaran diri dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Depkes RI, 2008). Saat ini, perilaku masyarakat merupakan faktor utama yang menyebabkan masalah kesehatan. Dalam mengantisipasi perilaku masyarakat yang belum menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), peran promosi kesehatan sangatlah penting.
Ruang lingkup penyelenggaraan promosi kesehatan tidak hanya berfokus pada perubahan perilaku masyarakat saja, tetapi juga merupakan upaya membangun komitmen dan dukungan kongkrit para pengambil kebijakan dan berbagai kelompok di masyarakat yang peduli terhadap masalah promosi kesehatan. Promosi kesehatan juga berperan dalam proses peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, melalui peningkatan kapasitas petugas kesehatan agar mampu dan responsif dalam memberdayakan kliennya dengan kata lain sebagai agen perubahan yang bertugas menjaga dan meningkatkan kesehatan klien untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat merupakan sarana kesehatan yang sangat penting dalam meningkatkan derajat
(27)
kesehatan masyarakat. Untuk itu, peranan Puskesmas hendaknya tidak lagi menjadi sarana pelayanan pengobatan dan rehabilitatif saja, tetapi juga lebih ditingkatkan pada upaya promotif dan preventif. Oleh karena itu promosi kesehatan menjadi salah satu upaya wajib di Puskesmas (Masulili, 2007).
Menurut Depkes RI (2007), promosi kesehatan di Puskesmas adalah upaya Puskesmas melaksanakan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan setiap individu, keluarga serta lingkungannya secara mandiri dan mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat. Secara operasional, upaya promosi kesehatan di Puskesmas dilakukan agar masyarakat mampu ber Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai bentuk pemecahan masalah-masalah kesehatan yang diderita maupun yang berpotensi mengancam secara mandiri. Oleh karena itu, keberadaan Puskesmas dapat diumpamakan sebagai agen perubahan di masyarakat sehingga masyarakat lebih berdaya dan timbul gerakan-gerakan upaya kesehatan yang bersumber dari masyarakat (Depkes, 2007). Disamping itu, petugas kesehatan Puskesmas sebagai pelaksana program diharapkan mampu menjadi teladan bagi pasien, keluarga dan masyarakat untuk melakukan PHBS.
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan petugas Puskesmas merupakan upaya penggerakakan atau pengorganisasian masyarakat. Penggerakan atau pengorganisasian masyarakat diawali dengan membantu kelompok masyarakat mengenali masalah-masalah yang mengganggu kesehatan dan diupayakan agar
(28)
mereka sadar bahwa masalah tersebut adalah masalah bersama. Kemudian, masalah tersebut dimusyawarahkan untuk dipecahkan secara bersama.
Depkes RI (2007) menjelaskan beberapa hal yang harus dilakukan oleh Puskesmas dalam upaya pemberdayaan masyarakat berwujud:
1. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak, yaitu melalui Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Poliklinik Desa (Polindes), dan Bina Keluarga Balita.
2. Upaya Pengobatan, melalui posyandu, Panti Pemulihan Gizi, Pembentukan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi).
3. Upaya Kesehatan Sekolah melalui dokter kecil, penyertaan guru dan orang tua/wali murid, Saka Bakti Husada, Pos Kesehatan Pesantren atau yang bernuansa keagamaan.
4. Upaya Kesehatan Lingkungan, melalui kelompok Pemakai Air (Pokmair), Desa Percontohan Kesehatan Lingkungan.
Disamping itu, Puskesmas juga berfungsi sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, yaitu:
1. Menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya agar menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan.
2. Memantau dan melaporkan secara aktif dampak kesehatan dan penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya.
3. Mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan dan pemulihan.
(29)
Berbagai kegiatan promosi kesehatan di Puskesmas meliputi kunjungan rumah dan pemberdayaan berjenjang. Kunjungan rumah dilakukan petugas sebagai tindak lanjut upaya promosi kesehatan di dalam Puskesmas, yaitu saat mereka berkunjung ke Puskesmas. Untuk keluarga yang memiliki masalah kesehatan cukup berat, kunjungan rumah dilakukan untuk membantu pemecahan masalah tersebut melalui konseling di tingkat keluarga. Tidak jarang, kunjungan rumah yang semula dimaksud untuk menyelenggarakan konseling keluarga berkembang menjadi konseling yang lebih luas lagi, seperti tingkat dasa wisma atau bahkan lebih luas lagi. Hal ini disebabkan masalah tersebut sudah menjadi masalah berbagai keluarga di wilayah tersebut.
Promosi kesehatan di masyarakat yang dilakukan petugas Puskesmas sebaiknya tidak ditangani sendiri oleh petugas kesehatan Puskesmas. Masyarakat yang begitu beragam dan luas terdiri dari berbagai tatanan seperti tatanan: (1) rumah tangga, (2) sarana pendidikan, dan (3) tempat kerja. Depkes RI (2007) menyebutkan, proses pemberdayaan berjenjang ini umumnya diselenggarakan melalui pendekatan yang dikenal dengan sebutan pengorganisasian masyarakat. Proses pengorganisasian masyarakat agar dapat menyerap berbagai upaya perubahan menuju perilaku sehat ini sering disebut dengan proses difusi inovasi.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi program-program di Puskesmas di kelompokkan dalam 3 bagian yaitu :
(30)
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia.
Upaya Kesehatan wajib tersebut adalah : a. Upaya Promosi Kesehatan
b. Upaya Kesehatan Lingkungan c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak d. Upaya Perbaikan Gizi
e. Upaya Pemberantasan Penyakit Menular f. Upaya Pengobatan
2. Upaya Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan yang ditemukan di masyarakat serta disesuaikan dengan kemampuan puskesmas.
3. Upaya Penunjang
Upaya penunjang ini meliputi sistem pencatatan dan pelaporan terpadu dan upaya laboratorium medis/kesehatan
2.2. Difusi Inovasi
(31)
Bryan dan Thompson (2002), mengatakan, munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde dalam bukunya “The Laws of Imitation”, memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve). Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran tadi menjadi penting karena secara sederhana bisa menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi. Sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi. Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross, mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus menegaskan tentang difusi inovasi model kurva S. Salah satu kesimpulan penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa tingkat adopsi inovasi pertanian mengikuti suatu kurva normal berbentuk S ketika diamati secara kumulatif dari waktu ke waktu (Brown, 1981).
Pada tahun 1950-an pemerintah Amerika Serikat ingin mengetahui bagaimana dan mengapa sebagian petani di sana mengadopsi teknik-teknik baru dalam pertanian dan sebagian lainnya tidak. Meskipun pada awalnya teori difusi ini ditujukan untuk
(32)
memahami difusi dari teknik-teknik pertanian tapi pada perkembangan selanjutnya teori difusi ini digunakan pada bidang-bidang lainnya.
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Pada tahun 1962, Everett M. Rogers menulis sebuah buku yang berjudul “ Diffusion of Innovations “ yang selanjutnya buku ini menjadi landasan pemahaman tentang inovasi, mengapa orang mengadopsi inovasi, faktor-faktor sosial apa yang mendukung adopsi inovasi, dan bagaimana inovasi tersebut berproses di antara masyarakat.
2.2.2. Pengertian Dasar Difusi Inovasi
Difusi Inovasi terdiri dari padanan 2 kata yaitu difusi dan inovasi. Rogers (2003) menjelaskan difusi didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu selama jangka waktu tertentu terhadap anggota suatu sistem sosial. Difusi dapat dikatakan juga sebagai suatu tipe komunikasi khusus dimana pesannya adalah ide baru. Disamping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial.
Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu atau kelompok masyarakat. Ungkapan dianggap/dirasa baru terhadap suatu ide, praktek atau benda oleh sebagian orang, belum tentu juga pada sebagian
(33)
yang lain. Kesemuanya tergantung apa yang dirasakan oleh individu atau kelompok terhadap ide, praktek atau benda tersebut.
Dari kedua padanan kata di atas, maka difusi inovasi adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk merubah suatu masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial (Rogers, 2003). 2.2.3. Unsur-Unsur Difusi Inovasi
Menurut Rogers (2003), dalam proses difusi inovasi terdapat 4 (empat) elemen pokok, yaitu:
1. Inovasi, yaitu gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu. Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
2. Saluran komunikasi, yaitu seperangkat alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling tidak perlu memperhatikan: (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b) karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media
(34)
penerima secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran interpersonal.
3. Jangka waktu, yaitu proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam: (a) proses pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang yang relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
4. Sistem sosial, yaitu kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Pada tahun berikutnya, Rogers (2003) menjelaskan lebih terinci berbagai variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup: (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents).
2.2.4. Proses Putusan Inovasi
Rogers (2003) menjelaskan dalam penerimaan suatu inovasi, biasanya seseorang melalui beberapa tahapan yang disebut Proses Putusan Inovasi. Proses putusan inovasi merupakan proses mental yang mana seseorang atau lembaga
(35)
melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses keputusan inovasi untuk mengurangi ketidak yakinan tentang akibat atau hasil dari inovasi tersebut.
Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan tahapan efek dasar.
Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian (uncertainty). Orang akan mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan memenuhi kebutuhan . Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. Lalu bagaimana mereka merasa yakin bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan dari berbagai segi, seperti :
1. Dari segi biaya, apakah inovasi tersebut membutuhkan biaya yang besar tetapi dengan tingkat ketidak pastian yang besar?
2. Apakah inovasi tersebut akan mengganggu segi kehidupan sehari-hari? 3. Apakah sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada?
(36)
Pada awalnya Rogers (2003) menerangkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada seseorang tersebut, yaitu :
1. Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut. 2. Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau
sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.
3. Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai mengevaluasi.
4. Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.
5. Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi perilaku baru tersebut.
Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (2003) merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi yaitu :
(37)
Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa?, bagaimana?, dan mengapa? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada tahap ini. Tahap ini individu akan menetapkan “ Apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?. Pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan, yaitu:
a. Awareness knowledge (pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.
b. How-to-knowledge (pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini.
(38)
c. Principles-knowledge (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Center for the Dissemination of Disability Research, 1996), menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu:
1. Dimensi Sumber Diseminasi, yaitu institusi, organisasi, atau individu yang bertanggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru.
2. Dimensi Isi Diseminasi, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
3. Dimensi Media Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.
4. Dimensi Pengguna Diseminasi, yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud.
2. Persuasion (Bujukan)
Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu
(39)
individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung setelah tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi. Tahap pengetahuan lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan tahap kepercayaan bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidak yakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.
3. Decision (Keputusan)
Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Terdapat dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.
(40)
Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidak pastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidak pastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Klien dalam hal ini adalah masyarakat, akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidak pastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.
5. Confirmation (Penegasan/Pengesahan)
Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka klien akan mencari dukungan atas keputusannya ini . Menurut Rogers (2003) keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidak setujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu .
(41)
2.2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Difusi Inovasi
Rogers (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi, seperti: (1) faktor personal, (2) faktor sosial, dan (3) faktor situasional. Faktor personal yang mempengaruhi difusi inovasi adalah:
1. Umur
Difusi inovasi yang tertinggi terdapat pada sekelompok orang yang berusia relatif tua. Walaupun terdapat beberapa bukti bahwa orang-orang yang berusia relatif tua kurang dapat menerima perubahan, tetapi bukan berarti mereka tidak mau menerima perubahan untuk orang lain.
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan suatu tambahan pemahaman tentang hal-hal baru. Disamping itu pendidikan juga merupakan sesuatu yang dapat menciptakan dorongan kepada seseorang untuk menerima suatu inovasi. 3. Karakteristik Psikologi
Seseorang yang fleksibel secara mental, mampu memandang elemen-elemen yang nyata dalam situasi yang baru apabila melakukan penyesuaian diri terhadap situasi tersebut. Dengan perkataan lain, kemampuan mengakses informasi dengan cepat dapat menciptakan suatu keadaan rasional, dimana hal tersebut akan mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi.
Faktor sosial yang mempengaruhi difusi inovasi terdiri dari: 1. Keluarga
(42)
Keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menerima suatu inovasi. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem keluarga.
2. Tetangga dan Lingkungan Sosial
Tetangga adalah orang-orang yang tinggal pada suatu geografis tertentu yang telah mengembangkan suatu perasaan memiliki atau kebersamaan dan cenderung berasosiasi dengan sesamanya daripada dengan pihak luar. Pada umumnya belajar dengan tetangga biasanya lebih berhasil dari pada belajar dengan pihak lain yang tinggal berjauhan sehingga tetangga banyak berperan dalam proses difusi inovasi. 3. Kelompok Referensi
Kelompok referensi adalah sekelompok orang yang dijadikan contoh oleh orang lain atau kelompok lain dalam pembentukan pikiran, penilaian, dan keputusan dalam bertindak. Oleh sebab itu kelompok referensi berperan dalam menyadarkan masyarakat yang relatif lambat dalam mengadopsi sesuatu.
4. Budaya
Suatu unsur budaya seperti tata nilai dan sikap sangat berpengaruh dalam proses difusi inovasi. Tata nilai berhubungan dengan tingkat kepentingan seseorang sehingga menjadi penting dalam mempengaruhi perilaku individu sedangkan sikap merupakan suatu proses dalam bertindak yang berdasarkan pada tata nilai yang ada.
(43)
Faktor situasional yang mempengaruhi difusi inovasi adalah: 1. Status Sosial
Kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat berhubungan positif dengan proses difusi inovasi. Seseorang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat cenderung lebih mudah menerima berbagai perubahan yang ditawarkan disebabkan ia lebih mudah untuk mendapatkan berbagai informasi tentang perkembangan baru yang sedang dan akan terjadi.
2. Sumber Informasi
Orang-orang yang memanfaatkan berbagai sumber informasi yang didapatkannya berkorelasi positif dengan proses difusi inovasi. Sebaliknya, orang-orang yang enggan untuk mencari dan mendapatkan informasi dan hanya bergantung dengan informasi yang apa adanya akan berkorelasi negatif dengan proses difusi inovasi. 2.2.6. Agen Perubahan dalam Proses Difusi Inovasi
Dalam suatu proses difusi inovasi, dibutuhkan langkah-langkah dalam penerapannya. Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga-tenaga trampil, baik perseorangan maupun kelompok yang berkompeten di bidangnya masing-masing. Para tenaga-tenaga trampil itu mempunyai kualifikasi dan kemampuan sehingga disebut dengan agen perubahan (Dilla, 2007).
(44)
perubahan merupakan petugas profesional yang mempengaruhi putusan inovasi klien menurut arah yang diinginkan oleh lembaga perubahan. Pada kenyataan sehari-hari, agen perubahan dapat dilihat dari berbagai macam bidang pekerjaan seperti, perencana pembangunan, petugas lapangan, pamong, guru, penyuluh kesehatan, dll. Dalam konteks sosial, termasuk di bidang kesehatan, agen-agen perubahan berfungsi sebagai mata rantai komunikasi antar dua atau lebih suatu sistem sosial. Hal ini disebabkan agen perubahan menghubungkan antara dua sistem sosial yang mempelopori perubahan dengan sistem sosial yang menjadi klien dalam usaha pembaharuan tersebut.
Rogers (2003), mengemukakan ada tujuh langkah kegiatan agen perubahan dalam pelaksanaan proses difusi inovasi pada masyarakat, yaitu:
1. Membangkitkan kebutuhan untuk berubah. Biasanya agen pembaharu pada awal tugasnya diminta untuk membantu kliennya agar mereka sadar akan perlunya perubahan. Agen pembaharu mulai dengan mengemukakan berbagai masalah yang ada, membantu menemukan masalah yang penting dan mendesak, serta meyakinkan klien bahwa mereka mampu memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini agen pembaharu menentukan kebutuhan klien dan juga membantu caranya menemukan masalah atau kebutuhan dengan cara konsultatif.
2. Memantapkan hubungan pertukaran informasi. Sesudah ditentukannya kebutuhan untuk berubah, agen pembaharu harus segera membina hubungan yang lebih akrab dengan klien. Agen pembaharu dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik kepada klien dengan cara menumbuhkan kepercayaan klien pada kemampuannya,
(45)
saling mempercayai dan juga agen pembaharu harus menunjukan empati pada masalah dan kebutuhan klien
3. Mendiagnosa masalah yang dihadapi. Agen pembaharu bertanggung jawab untuk menganalisa situasi masalah yang dihadapi klien, agar dapat menentukan berbagai alternatif jika tidak sesuai kebutuhan klien. Untuk sampai pada kesimpulan diagnosa agen pembaharu harus meninjau situasi dengan penuh emphati. Agen pembaharu melihat masalah dengan kacamata klien, artinya kesimpulan diagnosa harus berdasarkan analisa situasi dan psikologi klien, bukan berdasarkan pandangan pribadi agen pembaharu.
4. Membangkitkan kemauan klien untuk berubah. Setelah agen pembaharu menggali berbagai macam cara yang mungkin dapat dicapai oleh klien untuk mencapai tujuan, maka agen pembaharu bertugas untuk mencari cara memotivasi dan menarik perhatian agar klien timbul kemauannya untuk berubah atau membuka dirinya untuk menerima inovasi. Namun demikian cara yang digunakan harus tetap berorientasi pada klien, artinya berpusat pada kebutuhan klien jangan terlalu menonjolkan inovasi.
5. Mewujudkan kemauan dalam perbuatan. Agen pembaharu berusaha untuk mempengaruhi tingkah laku klien dengan persetujuan dan berdasarkan kebutuhan klien jadi jangan memaksa. Dimana komunikasi interpersonal akan lebih efektif kalau dilakukan antar teman yang dekat dan sangat bermanfaat kalau dimanfaatkan pada tahap persuasi dan tahap keputusan inovasi. Oleh kerena itu dalam hal
(46)
langsung, yaitu dapat menggunakan pemuka masyarakat agar mengaktifkan kegiatan kelompok lain.
6. Menjaga kestabilan penerimaan inovasi dan mencegah tidak berkelanjutannya inovasi. Agen pembaharu harus menjaga kestabilan penerimaan inovasi dengan cara penguatan kepada klien yang telah menerapkan inovasi. Perubahan tingkah laku yang sudah sesuai dengan inovasi dijaga jangan sampai berubah kembali pada keadaan sebelum adanya inovasi.
7. Mengakhiri hubungan ketergantungan. Tujuan akhir tugas agen pembaharu adalah dapat menumbuhkan kesadaran untuk berubah dan kemampuan untuk merubah dirinya, sebagai anggota sistem sosial yang selalu mendapat tantangan kemajuan jaman. Agen pembaharu harus berusaha mengubah posisi klien dari ikatan percaya pada kemampuan agen pembaharu menjadi bebas dan percaya kepada kemampuan sendiri.
Seorang agen perubahan mampu untuk melakukan perubahan pendapat, sikap, dan tindakan kliennya apabila dalam dirinya terdapat faktor-faktor kredibilitas dan daya tarik (Dilla, 2007). Krech. et all (1982) menyatakan pesan yang disampaikan oleh komunikator, dalam hal ini adalah agen perubahan yang memiliki kredibilitas tinggi akan lebih memberikan pengaruh pada perubahan sikap dalam penerimaan pesan yang disampaikan dibandingkan agen perubahan yang berkredibilitas rendah.
Menurut Tan (1981), kredibilitas sumber atau agen perubahan terdiri dari dua unsur, yaitu keahlian dan kepercayaan. Keahlian diukur dari sejauhmana klien menganggap agen perubahan mengetahui jawaban yang benar terhadap suatu
(47)
masalah, dan kepercayaan dioperasionalisasikan sebagai persepsi klien tentang sejauh mana agen perubahan bersikap netral atau tidak memihak dalam penyampaian pesan. Dimensi kredibilitas meliputi kemampuan, kecerdasan, pengalaman, pengetahuan dan dimensi daya tarik meliputi kesamaan, familier dan kesukaan. Kesamaan meliputi pandangan, wawasan, ide atau gagasan. Familier meliputi empati, simpati, dan maturiti atau kedewasaan. Kesukaan meliputi frekuensi, ketepatan, keteladanan dan kesopanan.
2.3. Landasan Teori
Pelaksanaan program promosi kesehatan merupakan salah satu program yang ada di setiap Puskesmas, namun terkadang dalam pelaksanaannya petugas kesehatan masih ditemukan tidak menjalankannya dikarenakan berbagai faktor. Berdasarkan kajian teoritis diketahui bahwa keterbatasan pengetahuan petugas kesehatan dalam melaksanakan upaya promosi kesehatan utamanya di daerah terpencil antara lain disebabkan keterbatasan pendukung dalam memahami berbagai program promosi kesehatan.
Rogers (2003) berpendapat, pengetahuan terdiri dari tiga komponen, yaitu: kesadaran, pemahaman dan prinsip dasar. Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Center for the Dissemination of Disability Research, 1996), menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu: (1) dimensi sumber diseminasi, (2) dimensi isi diseminasi,
(48)
(49)
Kerangka Konsep
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian.
Pada Gambar 2.1. terlihat bahwa pengetahuan kepada petugas kesehatan sebagai agen perubahan meliputi berbagai sarana penunjang kepada petugas kesehatan untuk dapat memperoleh pengetahuan kesadaran, pengetahuan pemahaman dan pengetahuan prinsip dasar suatu program promosi kesehatan. Pengetahuan kesadaran program promosi kesehatan terdiri dari pengetahuan tentang berbagai kebijakan promosi kesehatan nasional dan daerah, kebijakan pelaksanaan promosi kesehatan di Puskesmas, tata cara pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas. Pada proses ini pengetahuan dilihat dari sejauhmana fasilitas pendukung seperti buku pedoman program promosi kesehatan, alat peraga promosi kesehatan, berbagai kelengkapan lain diperoleh oleh petugas kesehatan di Puskesmas.
Pengetahuan pemahaman program promosi kesehatan adalah kemampuan untuk memahami terdiri dari berbagai strategi pelaksanaan program promosi kesehatan yang terdiri dari strategi advokasi, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat di wilayah cakupan Puskesmas. Pada proses ini pengetahuan dilihat dari
Pengetahuan :
• Kesadaran
• Pemahaman
• Prinsip Dasar
Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan di
(50)
bagaimana kemudahan petugas kesehatan Puskesmas memperoleh pengetahuan tentang strategi promosi kesehatan tersebut.
Pengetahuan prinsip dasar adalah kemampuan memahami bagaimana program promosi kesehatan itu dilaksanakan dan bagaimana strategi pelaksanaanya dilakukan. Pada tahap ini, pengetahuan dilihat dari seberapa besar frekuensi mendapatkan pengetahuan dan dari siapa petugas mendapatkan pengetahuan tersebut.
Pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas adalah suatu bentuk/upaya perubahan perilaku masyarakat guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah cakupan Puskesmas yang diteliti. Pada proses ini akan dilihat bagaimana kemampuan petugas dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang terdiri dari:
1. Cakupan kunjungan Kehamilan K4
2. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan
3. Cakupan kunjungan bayi
4. Cakupan desa/kelurahan dengan universal child immunization (UCI) 5. Cakupan pelayanan anak balita
6. Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak balita 7. Cakupan penjaringan kesehatan anak SD
8. Cakupan KB aktif
(51)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian survei dengan desain crossectional untuk menjelaskan bagaimana pengaruh pengetahuan petugas kesehatan terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan di seluruh Puskesmas Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2010.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di seluruh Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasudutan. Adapun alasan peneliti memilih lokasi penelitian ini adalah belum pernah dilakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan petugas kesehatan terhadap pelaksanaan program promosi kesehatan di seluruh Puskesmas di Kabupaten Humbang Hasundutan. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 9 (sembilan) bulan terhitung bulan Desember 2009 sampai dengan Agustus 2010.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kesehatan di Puskesmas di bagian pelaksanaan promosi kesehatan berjumlah 31 orang. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah total keseluruhan populasi dengan rincian:
(52)
No. Puskesmas Jumlah Tenaga Pelaksana Promosi Kesehatan/orang
1. Matiti 3
2. Hutapaung 3
3. Onanganjang 3
4. Bonandolok 2
5. Paranginan 3
6. Sogompul 3
7. Pakkat 3
8. Parlilitan 3
9. Tarabintang 2
10. Baktiraja 2
11. Saitnihuta 2
12. Hutagalung 2
Jumlah 31 orang
3.4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) kategori: 1. Data Primer
Data Primer diperoleh dari wawancara peneliti dengan responden dengan menggunakan alat berupa kuesioner yang telah disiapkan.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari dokumen atau catatan masing-masing Puskesmas yang berkaitan dengan pelaksanaan promosi kesehatan.
(53)
3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel
Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauhmana suatu ukuran atau nilai yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu alat ukur dengan cara mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel pada analisis reability dengan melihat nilai correlation corrected item, dengan ketentuan jika nilai r hitung > r tabel, maka dinyatakan valid dan sebaliknya.
Reliabilitas data merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat menunjukkan ketepatan dan dapat dipercaya dengan menggunakan metode Cronbach’s Alpha, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari satu kali pengukuran, dengan ketentuan, jika nilai r Alpha > r tabel, maka dinyatakan reliabel (Sugiyono, 2004).
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas No Pertanyaan Corrected
item-Total correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
Keterangan
1 sadar1 -.382 .860 Tidak valid
2 sadar2 .574 .677 valid
3 sadar3 .607 .670 valid
4 sadar4 .671 .650 valid
5 sadar5 .707 .644 valid
6 sadar6 .563 .686 valid
7 sadar7 .607 .670 valid
Nilai Alpha Cronbach .738
1 paham1 .541 .754 valid
2 paham2 .542 .753 valid
3 paham3 .541 .754 valid
(54)
5 paham5 .541 .754 valid
(55)
Tabel 3.1. (Lanjutan) No Pertanyaan Corrected
item-Total correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
Keterangan
1 Prinsip dasar1 .581 .818 valid
2 Prinsip dasar2 .804 .778 valid
3 Prinsip dasar3 .041 .878 Tidak valid
4 Prinsip dasar4 .711 .795 valid
5 Prinsip dasar5 .895 .763 valid
6 Prinsip dasar6 .349 .848 Tidak valid
7 Prinsip dasar7 .714 .795 valid
Nilai Alpha Cronbach .838
1 promkes1 .745 .795 valid
2 promkes2 .567 .813 valid
3 promkes3 .688 .799 valid
4 promkes4 .745 .795 valid
5 promkes5 -.149 .880 Tidak valid
6 promkes6 .588 .820 valid
7 promkes7 .510 .817 valid
8 promkes8 .754 .791 valid
9 promkes9 .568 .811 valid
10 promkes10 .466 .822 valid
Nilai Alpha Cronbach .832
Dari Tabel 3.1 terlihat bahwa pertanyaan pengetahuan nomor 1 variabel pengetahuan kesadaran tidak valid sehingga harus dikeluarkan dari pertanyaan kuesioner, sehingga pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner penelitian hanya 5 pertanyaan. Untuk pertanyaan variabel pengetahuan pemahaman, semua pertanyaan valid sehingga seluruh pertanyaan kuesioner dipakai dalam penelitian. Pada pertanyaan variabel pengetahuan tentang prinsip dasar ada 2 pertanyaan yang tidak valid yaitu pertanyaan nomor 3 dan 6, sehingga dari 7 pertanyaan menjadi 5 pertanyaan yang digunakan dalam penelitian. Pertanyaan variabel promosi kesehatan
(56)
hanya satu pertanyaan yang tidak valid yaitu pertanyaan nomor 5, sehingga dari 10 pertanyaan menjadi 9 pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner penelitian.
3.5.2. Definisi Operasional
1. Variabel: Pengetahuan
Definisi Operasional: Merupakan hasil dari tahu bagi petugas kesehatan untuk dapat memperoleh pengetahuan kesadaran, pengetahuan pemahaman dan pengetahuan prinsip dasar suatu program promosi kesehatan.
2. Variabel: Pengetahuan Kesadaran
Definisi Operasional : Pengetahuan program promosi kesehatan terdiri dari pengetahuan tentang berbagai kebijakan promosi kesehatan nasional dan daerah, kebijakan pelaksanaan promosi kesehatan di Puskesmas, tata cara pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas.
3. Variabel: Pengetahuan Pemahaman
Definisi Operasional : Kemampuan untuk memahami terdiri dari berbagai strategi pelaksanaan program promosi kesehatan yang terdiri dari strategi advokasi, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat di wilayah cakupan Puskesmas.
(57)
Definisi Operasional : Kemampuan memahami bagaimana program promosi kesehatan itu dilaksanakan dan bagaimana strategi pelaksanaanya dilakukan di Puskesmas.
(58)
5. Variabel: Pelaksanaan Program promosi kesehatan di Puskesmas Definisi Operasioanal: Suatu bentuk/upaya perubahan perilaku masyarakat guna
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah cakupan Puskesmas yang diteliti.
3.6.Metode Pengukuran
1. Pengukuran Variabel Dependen
Pengukuran variabel dependen (pelaksanaan program promosi kesehatan di Puskesmas) didasarkan pada skala nominal dari 9 item pengamatan (observasi) dengan alternatif jawaban :
1. Ya (skor 1) 2. Tidak (skor 0)
Selanjutnya dikategorikan menjadi:
1. Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median (skor 5) 2. Tidak baik, jika responden memperoleh skor < median (skor 5) 2. Pengukuran Variabel Independen
Pengukuran variabel independen (pengetahuan) terdiri dari: a. Pengetahuan kesadaran
Didasarkan pada skala nominal dari 6 item pertanyaan dengan alternatif jawaban :
1. Ya (skor 1) 2. Tidak (skor 0)
(59)
Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median (skor 3,5) Tidak baik, jika responden memperoleh skor < median (skor 3,5) b. Pengetahuan pemahaman
Didasarkan pada skala nominal dari 5 item pertanyaan dengan alternatif jawaban :
1. Ya (skor 1) 2. Tidak (skor 0)
Selanjutnya dikategorikan menjadi:
Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median (skor 3) Tidak baik, jika responden memperoleh skor < median (skor 3) c. Pengetahuan prinsip dasar
Didasarkan pada skala nominal dari 5 item pertanyaan dengan alternatif jawaban :
1. Ya (skor 1) 2. Tidak (skor 0)
Selanjutnya dikategorikan menjadi:
Baik, jika responden memperoleh skor ≥ median (skor 3) Tidak baik, jika responden memperoleh skor < median (skor 3)
3.7. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini mencakup:
a. Analisis univariat, yaitu analisis dari variabel penelitian dengan mendistribusi frekuensi berdasarkan persentase dari masing-masing
(60)
b. Analisis bivariat, yaitu analisis untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variable independent dan dependen , kemudian dilihat hubungan antara kedua variabel dengan uji statistik menggunakan uji chi square pada taraf kepercayaan 95%.
c. Analisis multivariat, yaitu analisis lanjutan dari analisis bivariat untuk melihat hubungan beberapa variabel independen dengan variabel dependen yang paling dominan dengan Uji Regresi Logistik pada taraf kepercayaan 95%.
(61)
BAB 4
HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Sejarah Kabupaten Humbang Hasundutan
Tapanuli Utara sebagai kabupaten induk dari Humbang Hasundutan terbentuk berdasarkan Undang Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Utara. (Profil Humbang Hasundutan, 2009).
Pada masa pemerintahan penjajahan Belanda, salah satu afdeling di wilayah Keresidenan Tapanuli adalah Afdeling Batak Landen dengan ibukota Tarutung terdiri atas lima onder afdeling. Setelah kemerdekaan, tepatnya tahun 1947 Kabupaten Tanah Batak menjadi 4 (empat) kabupaten yaitu :
1. Kabupaten Silindung ibukotanya Tarutung. 2. Kabupaten Humbang ibukotanya Dolok Sanggul. 3. Kabupaten Toba Samosir ibukotanya Balige. 4. Kabupaten Dairi ibukotanya Sidikalang.
Pada Tahun 1950 keempat kabupaten ini dilebur menjadi Kabupaten Tapanuli Utara, seiring dengan terbentuknya Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Nias. Keadaan ini bertahan hingga tahun 1964, karena pada saat itu Tapanuli Utara dimekarkan dengan terpisahnya Dairi menjadi kabupaten berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1964,dan selanjutnya berdasarkan Undang-undang
(62)
menunjukan bahwa kedua daerah tersebut mengalami perkembangan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. (Profil Kabupaten Humbang Hasundutan ,2009).
Berdasarkan faktor sejarah dan keinginan untuk semakin cepat pembangunan dengan pelayanan yang semakin dekat kepada masyarakat maka harapan yang terkandung selama ini mengkristal menjadi usul pembentukan Kabupaten Humbang Hasundutan melalui terbentuknya Panitia Pembentukan Kabupaten Humbang Hasundutan.
Terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, menjadi peluang munculnya wacana perlunya usul pemekaran melalui pembentukan Kabupaten.
Berbekal keinginan untuk mendambakan peningkatan kesejahteraan masyarakat, peluang tersebut dimanfaatkan secara tepat oleh masyarakat di wilayah Humbang Hasundutan melalui Panitia Pembentukan Kabupaten Humbang Hasundutan. Ternyata sejalan dengan tuntutan kemajuan jaman mampu menumbuhkan aspirasi masyarakat untuk mengusulkan Pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara, melalui usul pembentukan Kabupaten Humbang Hasundutan
Beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, untuk mempercepat proses pemekaran Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu:
(63)
1. Melaksanakan pertemuan dengan segenap komponen masyarakat Tapanuli Utara guna memantapkan pemahaman dan melaporkan perkembangan terakhir usul pemekaran kepada Gubernur Sumatera Utara dan Bapak Ketua DPRD Sumatera Utara.
2. Melaksanakan pertemuan dengan segenap komponen masyarakat Tapanuli Utara guna memantapkan pemahaman dan dukungan bagi terwujudnya pemekaran.
3. Menyampaikan laporan tertulis dan pendapat kepada Bapak Gubernur SumateraUtara, Bapak Menteri Dalam Negeri dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
4. Mengundang Komisi II DPR-RI untuk memantau, mengevaluasi dan berkunjung langsung ke wilayah yang mengusulkan pemekaran.
5. Konsultasi dengan DPRD Kabupaten Tapanuli Utara dalam rangka dukungan APBD dan pengajuan usul dukungan DPRD Provinsi Sumatera Utara.
6. Melakukan akurasi data pendukung Pembentukan Kabupaten sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 129 Tahun 2000.
7. Melakukan pengkajian dan uji kelayakan pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara yakni Kabupaten Humbang Hasundutan dengan memohon kesediaan Bapak Mendagri Cq. Dirjen Otonomi Daerah dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
8. Perencanaan persiapan sarana/prasarana dan aparat guna mendukung pemekaran kabupaten.
(64)
9. Menyurati para anak rantau di luar Kabupaten Tapanuli Utara untuk mendukung Usul Pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara sesuai fungsi dan tugas masing-masing.
Pemerintah Pusat sangat responsif terhadap aspirasi ini karena dalam waktu relatif singkat Tim Terpadu Depdagri, DPOD dan Komisi II DPR-RI melakukan kunjungan dan pertemuan dengan masyarakat se-wilayah Humbang Hasundutan tanggal 5 September 2002 sebagai lanjutan kunjugan Komisi II DPR-RI tanggal 29 Juli 2002.
Sebagai tindak lanjutnya maka usul pemekaran ini mendapat pembahasan pada Sidang Paripurna DPR-RI yang pada puncaknya melahirkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi Sumatera Utara.
Pada hari Senin tanggal 28 Juli 2003 Kabupaten Humbang Hasundutan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri RI sekaligus melantik Penjabat Bupati Drs. Manatap Simanungkalit di Kantor Gubernur Sumatera Utara, Medan.
Mengawali tugas sebagai Bupati Humbang Hasundutan telah membuat pertemuan dengan para Tokoh Masyarakat, adat dan Tokoh Pendidikan serta Tokoh Agama di Daearah ini antara lain guna membicarakan pembuatan Logo Kabupaten Humbang Hasundutan yang disyahkan oleh DPRD.
4.1.2. Visi dan Misi
Adapun yang menjadi Visi dan Misi Kabupaten Humbang Hasundutan yaitu menjadikan daerah yang Mandiri dan Sejahtera dan Misinya adalah Meningkatkan
(65)
Profesionalisme dan Produktivitas kerja SDM, menyelenggarakan pemerintahan yang baik, meningkatkan ekonomi kerakyatan berbasis pertanian,meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, meningkatkan stabilitas politik dan keamanan serta meningkatkan iman dan taqwa.
4.1.3. Gambaran Umum
Kabupaten Humbang Hasundutan adalah Kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Utara, Tanggal 28 Juli 2003 sesuai dengan UU No.9 tahun 2003. Yang terletak ditengah wilayah Provinsi Sumatera Utara. Dengan Luas Wilayah : 2.51.765,93 (Ha) terdiri dari 10 Kecamatan, 1 Kelurahan dan 143 Desa. Memiliki jumlah penduduk 158.095 Jiwa. (Profil, Kesehatan Humbahas, 2009).
4.1.4. Keadaan Geografis
1. Sebelah Utara : Kabupaten Samosir 2. Sebelah Timur : Kabupaten Tapanuli Utara 3. Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Tengah 4. Sebelah Barat : Kabupaten Pakpak Bharat 4.1.5. Keadaan Demografi/Kependudukan
Keanekaragaman penduduk terdiri dari beberapa suku Batak Toba, Pakpak, Simalungun, Nias, Jawa, dan Mandailing yang menyebar hampir diseluruh kecamatan. Masing-masing penduduk memeluk agama dan kepercayaan seperti Islam, Kristen Protestan, Katholik, dengan toleransi beragama diantara
(66)
Berdasarkan hasil pendataan tahun 2007 jumlah penduduk 158.095 Jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduknya 63,17 Jiwa / Km2. Besaran proporsi penduduk berdasarkan mata pencaharian adalah Pertanian, Perdangangan, Pegawai Negeri Sipil dan TNI serta sebagian kecil industri / kerajinan tangan.
4.2. Hasil Analisis Univariat
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
Laki-laki 19 61,3
Perempuan 12 38,7
Total 31 100
Berdasarkan Tabel 4.1. di ketahui bahwa mayoritas jenis kelamin Responden adalah Laki-laki yaitu berjumlah sebanyak 19 orang (61,3%) dan untuk jenis kelamin perempuan yaitu berjumlah sebanyak 12 orang (38,7%).
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Responden
Umur Frekuensi Persentase
< 35 tahun 12 38,7
≥ 35 tahun 19 61,3
Total 31 100
Berdasarkan Tabel 4.2. di ketahui bahwa mayoritas kelompok umur responden berada pada kategori ≥ 35 tahun yaitu berjumlah sebanyak 19 orang (61,3%) dan untuk kelompok umur < 35 tahun yaitu berjumlah sebanyak 12 orang (38,7%).
Adapun hasil kategori dari umur responden berada pada rentang usia 21-49 tahun dan dari rentang usia tersebut, peneliti mengkategorikan menjadi 2 kelompok
(67)
yaitu umur < 35 tahun dan umur ≥ 35 tahun. Pengkategorian ini didasarkan atas hasil dari mean dari umur responden.
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Fasilitas Pengetahuan Kesadaran Terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan
No Pengetahuan Kesadaran N %
1 2 Baik Tidak baik 11 20 35,5 64,5
Total 31 100
Dari Tabel 4.3. dapat dilihat bahwa sebagian besar responden mempunyai pengetahuan kesadaran yang tidak baik yaitu sebesar 64,5% (20 orang) dan yang memiliki pengetahuan kesadaran yang baik sebesar 35,5% (11 orang).
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Fasilitas Pengetahuan Pemahaman Terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan
No Pengetahuan Pemahaman N %
1 2 Baik Tidak baik 18 13 58,1 41,9
Total 31 100
Tabel 4.4. menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai pengetahuan pemahaman yang baik yaitu sebanyak 18 orang (58,1%) dan yang memiliki pengetahuan pemahaman yang tidak baik sebanyak 13 orang (41,9%).
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Fasilitas Pengetahuan Prinsip Dasar Terhadap Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan
No Pengetahuan Prinsip Dasar n %
1 2 Baik Tidak baik 6 25 19,4 80,6
Total 31 100
Dari Tabel 4.5. dapat dilihat bahwa pengetahuan prinsip dasar responden didominasi pada pengetahuan prinsip dasar yang tidak baik yaitu sebesar 80,6% (25
(68)
orang) dan yang memiliki pengetahuan prinsip dasar yang baik hanya sebesar 19,4% (6 orang).
Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan
No Pelaksanaan Program Promkes N %
1 2 Baik Tidak baik 11 20 35,5 64,5
Total 31 100
Tabel 4.6. menunjukkan bahwa pelaksanaan program promosi kesehatan yang dilakukan responden masih menunjukkan kegiatan yang belum memenuhi standar promosi kesehatan di Puskesmas, dimana terlihat pelaksanaan promosi kesehatan yang tidak baik sebesar 64,5% (20 orang) dan yang melaksanakan promosi kesehatan dengan baik hanya sebesar 35,5% (11 orang).
4.3. Analisis Bivariat
Tabel 4.7. Korelasi Pengetahuan Kesadaran Dengan Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan
Hasil analisis hubungan pada Tabel 4.7. di antara pengetahuan kesadaran dengan pelaksanaan promosi kesehatan diperoleh bahwa ada 8 responden (72,7%) yang baik pengetahuan kesadarannya melaksanakan promosi kesehatan dengan baik. Diantara responden yang tidak baik pengetahuan kesadarannya, terdapat 3 responden
Pelaksanaan Promosi Kesehatan
Baik Tidak baik Total Pengetahuan
Kesadaran
n % N % n %
OR (95%CI)
P Value Baik 8 72,7 3 27,3 11 100
Tidak baik 3 15 17 85 20 100
15,11 (2,48 –
92,11)
0,004
(69)
(15%) yang melaksanakan promosi kesehatan dengan baik. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,004, yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan kesadaran dengan pelaksanaan promosi kesehatan.
Dari hasil analisis selanjutnya diperoleh nilai OR = 15,11 yang dapat diartikan bahwa responden yang baik pengetahuan kesadarannya mempunyai peluang 15,11 kali untuk melakukan promosi kesehatan dengan baik dibandingkan dengan responden yang tidak baik pengetahuan kesadarannya.
Tabel 4.8. Korelasi Pengetahuan Pemahaman Dengan Pelaksanaan Program Promosi Kesehatan
Pada Tabel 4.8. menunjukkan hasil analisis hubungan antara pengetahuan pemahaman dengan pelaksanaan promosi kesehatan diperoleh bahwa ada 3 responden (16,7%) yang baik pengetahuan pemahamannya melaksanakan promosi kesehatan dengan baik. Diantara responden yang tidak baik pengetahuan pemahamannya, sebanyak 8 responden (61,5%) yang melaksanakan promosi kesehatan dengan baik. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,021, yang artinya terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan pemahaman dengan pelaksanaan promosi kesehatan.
Pelaksanaan Promosi Kesehatan Baik Tidak baik
Total Pengetahua
n Pemahaman
n % N % N %
OR (95%CI)
P Value Baik 3 16,7 15 83,3 18 100
Tidak baik 8 61,5 5 38,5 13 100
0,125
(0,02 –0,66) 0,021
(1)
PENGETAHUAN PEMAHAMAN * PELAKSANAAN PROGRAM
PROMOSI KESEHATAN
Crosstab
3 15 18
16.7% 83.3% 100.0%
27.3% 75.0% 58.1%
9.7% 48.4% 58.1%
8 5 13
61.5% 38.5% 100.0%
72.7% 25.0% 41.9% 25.8% 16.1% 41.9%
11 20 31
35.5% 64.5% 100.0%
100.0% 100.0% 100.0% 35.5% 64.5% 100.0% Count
% within PENGETAHUAN PEMAHAMAN
% within PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
% of Total Count
% within PENGETAHUAN PEMAHAMAN
% within PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
% of Total Count
% within PENGETAHUAN PEMAHAMAN
% within PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
% of Total baik
tidak baik PENGETAHUAN
PEMAHAMAN
Total
baik tidak baik PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI
KESEHATAN
(2)
Chi-Square Tests
6.639b 1 .010
4.824 1 .028
6.781 1 .009
.021 .014
6.425 1 .011
31 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4. 61.
b.
PENGETAHUAN PRINSIP DASAR * PELAKSANAAN
PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
(3)
Crosstab
5 1 6
83.3% 16.7% 100.0%
45.5% 5.0% 19.4%
16.1% 3.2% 19.4%
6 19 25
24.0% 76.0% 100.0%
54.5% 95.0% 80.6% 19.4% 61.3% 80.6%
11 20 31
35.5% 64.5% 100.0%
100.0% 100.0% 100.0% 35.5% 64.5% 100.0% Count
% within PENGETAHUAN PRINSIP DASAR
% within PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
% of Total Count
% within PENGETAHUAN PRINSIP DASAR
% within PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
% of Total Count
% within PENGETAHUAN PRINSIP DASAR
% within PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
% of Total baik
tidak baik PENGETAHUAN
PRINSIP DASAR
Total
baik tidak baik PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI
KESEHATAN
Total
Chi-Square Tests
7.441b 1 .006
5.075 1 .024
7.363 1 .007
.013 .013
7.201 1 .007
31 Pearson Chi-Square
Continuity Correctiona
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Computed only for a 2x2 table a.
(4)
Analisis Multivariat
Logistic Regression
Case Processing Summary
31 100.0
0 .0
31 100.0
0 .0
31 100.0 Unweighted Casesa
Included in Analysis Missing Cases Total
Selected Cases
Unselected Cases Total
N Percent
If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.
a.
Dependent Variable Encoding
0 1 Original Value
baik tidak baik
Internal Value
Categorical Variables Codings
6 1.000
25 .000
18 1.000
13 .000
11 1.000
20 .000
baik tidak baik PENGETAHUAN
PRINSIP DASAR baik tidak baik PENGETAHUAN
PEMAHAMAN
baik tidak baik PENGETAHUAN
KESADARAN
Frequency (1)
Parameter coding
(5)
Classification Tablea,b
0 11 .0
0 20 100.0
64.5 Observed
baik tidak baik PELAKSANAAN
PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
Overall Percentage Step 0
baik tidak baik PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI
KESEHATAN Percentage Correct Predicted
Constant is included in the model. a.
The cut value is .500 b.
Variables in the Equation
.598 .375 2.536 1 .111 1.818
Constant Step 0
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Variables not in the Equation
10.331 1 .001
6.639 1 .010
7.441 1 .006
16.329 3 .001
sadar(1) pemahaman(1) prinsipdasar(1) Variables
Overall Statistics Step
0
Score df Sig.
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
20.456 3 .000
20.456 3 .000
20.456 3 .000
Step Block Model Step 1
(6)
Model Summary
19.868a .483 .664
Step 1
-2 Log likelihood
Cox & Snell R Square
Nagelkerke R Square
Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001. a.
Classification Tablea
8 3 72.7
2 18 90.0
83.9 Observed
baik tidak baik PELAKSANAAN
PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
Overall Percentage Step 1
baik tidak baik PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI
KESEHATAN Percentage
Correct Predicted
The cut value is .500 a.
Variables in the Equation
-2.610 1.270 4.222 1 .040 .074
2.804 1.398 4.023 1 .045 16.518
-3.911 1.841 4.512 1 .034 .020
.963 .857 1.262 1 .261 2.620
sadar(1) pemahaman(1) prinsipdasar(1) Constant Step
1a
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Variable(s) entered on step 1: sadar, pemahaman, prinsipdasar. a.