Pandangan Sayyid Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr Tentang Musibah

BAB IV ANALISA PERBANDINGAN PENAFSIRAN SAYYID QUTB

DAN IBN KATSÎR TERHADAP SURAT AL-HADÎD AYAT 22-23

A. Pandangan Sayyid Sayyid Qutb dan Ibn Katsîr Tentang Musibah

Surat al-Hadîd ayat 22 dan 23 berkaitan erat dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Quraish Shihab membagi surat al-Hadîd menjadi empat kelompok ayat dan memasukkan ayat 22 dan 23 ke dalam kelompok ketiga yang dimulai dari ayat 16 dan diakhiri pada ayat 24. Menurut Quraish Shihab, ayat 22 merupakan sebuah peringatan kepada manusia supaya tidak risau dengan dampak dari berinfaq yang dianjurkan pada ayat 18. 1 Menurut penulis, ayat 22 tersebut juga merupakan penegas bagi ayat 20 yang menyatakan bahwa kehidupan dunia adalah permainan belaka, dimana perhiasan dan anak keturunan yang saling dibangga-banggakan akan dengan mudah dimusnahkan oleh Allah SWT sebagaimana tanaman kebanggaan para petani yang tumbuh di musim hujan akan dihancurkan oleh Allah SWT. Hal ini adalah karena setiap kejadian yang menimpa manusia telah ditentukan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, pada ayat 21 Allah SWT menyuruh manusia untuk berlomba-lomba mendapatkan ampunan dari-Nya karena telah dilalaikan dengan kehidupan dunia. Sedangkan ayat 23 diterangkan lebih lanjut oleh ayat sesudahnya, yaitu ayat 24. 1 M.Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah Jakarta: Lentera Hati, 2007, cet ke-8 vol. 13, h. 443- 447 44 “Yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan Barangsiapa yang berpaling dari perintah-perintah Allah Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” Ayat di atas menerangkan bahwa salah satu sifat orang yang sombong dan membanggakan diri seperti yang disebut dalam ayat 23 adalah bersifat kikir dan menyuruh orang lain bersifat kikir sehingga dirinya mempunyai teman ketika mendapatkan kecaman atas kekikirannya. 2 Dengan demikian, dapat dipahami dengan mudah adanya kesinambungan antara ayat 22 dan 23 dengan ayat sebelumnya maupun sesudahnya. Sayyid Qutb dalam pengantar tafsirnya atas surat al-Hadîd menyatakan bahwa secara keseluruhan Surat al-Hadîd menyeru umat Islam untuk mengaktualisasikan hakikat keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Keimanan bukan sebatas olah rohani. Sayyid Qutb membagi surat al-Hadîd menjadi dua bagian utama. Bagian pertama mengingatkan manusia tentang hakikat ketuhanan yang Mahaberkehendak dan Mahaberkuasa ayat 1 sampai dengan 6 dan seruan untuk beriman dan berkorban di jalan Allah ayat 7 hingga 15. Bagian kedua berisi penegasan kembali seruan-seruan keimanan untuk berkorban ayat 16 sampai dengan 24 dan sejarah singkat akidah dan tujuannya ayat 25 hingga 29. Sayyid Qutb memilah bagian penegasan kembali seruan keimanan dan pengorbanan ayat 16 sampai dengan 24 menjadi empat sub-bagian yang disebut sebagai sentuhan, yaitu sentuhan kepada hati orang-orang yang beriman. Sentuhan pertama adalah seruan kepada orang-orang beriman untuk menundukkan hatinya dengan mengingat Allah SWT, memahami hakekat ketuhanan, dan tidak meniru 2 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Jakarta: Lentera Hati, 2007, cet.ke-8 vol. 13, h. 443- 447. 45 ahli kitab hingga hatinya menjadi keras karena lalai mengingat Allah SWT. Sentuhan kedua merupakan dorongan kepada orang-orang beriman untuk memberikan pinjaman kepada Allah Yang Mahakaya dengan pinjaman yang baik yang akan mendapatkan pahala yang mulia. Sentuhan berikutnya adalah sebuah peringatan dari Allah SWT bahwa sesungguhnya kehidupan dunia adalah permainan apabila diukur dengan timbangan akhirat. Sentuhan keempat menerangkan dengan mendalam bahwa segala sesuatu telah tertulis dalam al-Lauh al-Mahfuz 3 , termasuk di dalamnya adalah musibah yang menimpa manusia yang merupakan pokok bahasan skripsi ini. Sayyid Qutb mendefinisikan musibah sebagai segala sesuatu yang menimpa manusia baik berupa kebaikan maupun keburukan. Menurut Sayyid Qutb, kata musibah dalam surat Al-Hadid ayat 22 tidak difokuskan pada salah satu diantara kedua makna tersebut, sehingga makna musibah dalam ayat tersebut mencakup kedua-keduanya, yaitu kebaikan maupun keburukan yang menimpa manusia. Sementara itu Ibn Katsîr menafsirkan musibah sebagai bencana. Ibn Katsîr menafsirkan firman Allah SWT “mâ asâba min musîbah fî al-ard wa lâ fî anfusikum...dst. ” “tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu...dst.” sebagai bencana yang menimpa di cakrawala atau alam semesta dan pada diri manusia. Ibn Katsîr memperkuat pendapatnya dengan menyebutkan pendapat Qatadah yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah SWT “mâ asâba min musîbah fî al-ard” “tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi” adalah kemarau yang panjang. Sedangkan yang dimaksud dengan firman Allah SWT “fî anfusikum” ”pada dirimu” berarti rasa lapar dan 3 Sayyid Qutb, Fî Zilâll al-Qur’ân Beirut: Dar al-Syuruq, 1978, jilid 6, h. 3475. 46 rasa sakit. 4 Dengan demikian kata ”musibah” didefinisikan oleh Sayyid Qutb secara lebih luas dari pada definisi Ibn Katsîr. Pendapat Sayyid Qutb di atas kemudian disepakati oleh mufassir Indonesia masa kini, Dr. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah yang menyatakan hal yang sama, yaitu bahwa musibah dapat berupa anugrah maupun keburukan seperti disebutkan pada Bab II. Menurut penulis, pendapat Sayyid Qutb tersebut lebih tepat karena mencakup seluruh makna kata ”musibah” yang ada di dalam al-Quran. Apa yang menimpa manusia dapat berupa kebaikan maupun keburukan. Dari 10 ayat al- Quran yang menggunakan kata ”musibah”, tujuh ayat diantaranya secara spesifik menyebutkan musibah sebagai suatu bencana, keburukan atau pun kemalangan dalam hidup. Surat al-Baqarah2:155 menyebutkan bentuk-bentuk bencana atau keburukan dalam kehidupan sebagai sebuah ujian bagi manusia yang hidup di dunia. Surat Âli ‘Imrân3:165 menyebut kekalahan ummat Islam pada perang Uhud sebagai musibah sebagaimana kaum kafir Quraisy ditimpa musibah kekalahan pada perang Badar. Sayyid Qutb menyebutkan dalam tafsirnya bahwa ummat Islam berhasil membunuh 70 oarng pemuka Quraisy pada perang Badar. Sebaliknya, ummat Islam mengalami kekalahan pada perang Uhud karena sebagian tentara Islam tergoda dengan harta rampasan perang dan tidak menyadari kesalahan yang dilakukan sehingga mereka bertanya-tanya, “Dari mana datangnya kekalahan ini? ”. Maka Allah SWT mengingatkan bahwa, “itu dari kesalahan dirimu sendiri ” yaitu tidak taat kepada perintah Rasulullah SAW khususnya dalam strategi perang. 4 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985, juz 4, h. 313. 47 Surat al-Nisâ’4:62 memakai kata musibah untuk siksa yang ditimpakan bagi orang munafik di akhirat kelak karena ketidaktaatan mereka terhadap perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikian juga surat al-Mâ’idah5:49 menggunakan kata musibah untuk siksa yang ditimpakan kepada orang-orang yang berpaling dari hukum Allah SWT. Sedangkan pada surat al-Nisâ’4:72 kata musibah digunakan untuk kekalahan yang dapat terjadi pada peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pada surat al-Taubah9:50 yang dimaksud dengan musibah adalah cobaan berupa keburukan yang diterima oleh orang-orang beriman dan Rasul SAW yang membuat orang-orang munafik merasa senang. Sebaliknya, mereka bersedih hati ketika Rasul SAW mendapatkan kebaikan. Menurut Sayyid Qutb, hal ini terjadi karena penilaian baik dan buruk bagi orang-orang munafik hanya berdasarkan fenomena yang kasat mata saja. Sedangkan orang-orang beriman meyakini apa yang menimpanya, baik berupa kebaikan maupun keburukan musibah tidak akan terlepas dari takdir Allah SWT. 5 Pada surat al-Qasas28:47, musibah diartikan sebagai adzab atau siksa bagi kafir Quraisy yang membuat mereka menyesali kehidupannya dan berharap diutusnya nabi kepada mereka. Sedangkan pada surat al-Syûrâ 42:30 musibah diartikan sebagai sesuatu yang menimpa manusia dan merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Secara tidak langsung ayat tersebut berbicara tentang musibah berupa keburukan karena ayat tersebut diakhiri dengan pernyataan Allah SWT yang memberikan maaf atas sebagian besar kesalahan manusia. 5 Qutb, Fî Zilâl, jilid 3, h. 23 48 Sementara itu terdapat dua ayat yang lain, yang tidak menerangkan secara tegas musibah sebagai bencana atau keburukan, melainkan hanya sebagai sesuatu yang menimpa manusia. Ayat pertama adalah surat al-Hadid57:22 yang menjadi pokok bahasan skripsi ini. Ayat kedua adalah surat al-Taghabûn64:11 yang menyatakan bahwa apa saja musibah yang menimpa manusia tidak akan terjadi tanpa ijin Allah SWT. Dalam hal ini musibah tidak secara spesifik dimaksudkan sebagai bencana atau keburukan, karena segala seusuatu, baik anugrah maupun keburukan tidak akan terjadi tanpa ijin Allah SWT. ﺷ ﻜﺑ ﻪ ﻟاو ﻪ ْ ﺪْﻬ ﻪ ﻟﺎﺑ ﻦ ْﺆ ﻦ و ﻪ ﻟا نْذﺈﺑ ﺎﻟإ ﺔ ﻴ ﻦ بﺎ أ ﺎ ءْ ﻢﻴ ﻋ “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. 64:11 Sayyid Qutb menyatakan bahwa ayat tersebut di atas merupakan hakikat iman, yang mengharuskan seorang mukmin mengembalikan segala sesuatu yang terjadi pada dirinya kepada Allah SWT. Dia berkeyakinan bahwa apa yang menimpa dirinya, baik berupa kebaikan maupun keburukan adalah atas kehendak Allah SWT. 6 Dengan demikian, definisi Sayyid Qutb tentang musibah lebih mewakili makna musibah di dalam ayat-ayat al-Quran secara keseluruhan, yaitu bahwa musibah adalah segala sesuatu yang menimpa manusia baik berupa kebaikan maupun keburukan. 6 Qutb, Fî Zilâl, jilid 6, h. 2323 49

B. Kehendak Allah Dalam Kehidupan Manusia