Kehendak Allah Dalam Kehidupan Manusia

B. Kehendak Allah Dalam Kehidupan Manusia

Kehidupan manusia adalah sebuah kehidupan yang bertujuan, bukan sebuah kesia-siaan. Allah SWT yang Mahakuasa telah menetapkan segala sesuatu yang akan menimpa manusia di dunia ini. Sayyid Qutb dalam menafsirkan surat al- Hadid ayat 22 dan 23 tentang musibah menjelaskan bahwa musibah merupakan bagian integral dari penciptaan alam semesta yang telah dirancang dan diperhitungkan oleh Allah SWT dengan cermat dan menyeluruh. Tidak ada suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan ataupun serampangan. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Allah SWT dan akan terlihat oleh makhluk pada waktu yang telah ditetapkan. 7 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Âli ‘Imrân3:191 yang menyatakan “Rabbanâ mâ khalaqta hâdzâ bâtilâ” “Ya Allah tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia”. Hal ini diperkuat dengan surat al-Mu’minûn23:115 dan surat Sâd38:27 sebagai berikut. ☺ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ⌧ ⌧ “dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” ☺ ☺ ⌧ “Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” 7 Qutb, Fî Zilâl, jilid 6, h. 3493. 50 Selanjutnya Sayyid Qutb menyatakan bahwa pemahaman manusia terhadap segala sesuatu dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang sementara Allah SWT dapat melihat segala sesuatu tanpa batasan dan ikatan. Allah mengetahui setiap peristiwa sejak permulaan hingga akhir kejadian. Senada dengan pendapat Sayyid Qutb, Ibn Katsîr menyebutkan bahwa dengan kedua ayat di atas Allah SWT memberitahukan kepada manusia bahwa Dia telah menetapkan taqdir atas ciptaan-Nya sebelum penciptaannya selesai. Menurut Ibn Katsîr, ada tiga pendapat terkait firman Allah SWT “min qabl an nabra’ahâ “sebelum kami menciptakannya”, yaitu pertama, sebelum Kami menciptakan manusia dan memulai penciptaan makhluk lain, kedua, sebelum Kami menciptakan manusia, ketiga, sebelum Kami menciptakan musibah. Ibn Katsîr memilih salah satu pendapat yang dianggap kuat, yaitu pendapat pertama, dan mengemukakan dalil untuk mendukung pendapatnya berupa sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Jarîr sebagai berikut. ﺎﺴﻟﺎﺟ ﺖ آ لﺎ ﻦﻤﺣﺮﻟا ﺪﻴﻋ ﻦﺑ رﻮ ﻦﻋ ﺔﻴ ﻋ ﻦﺑا ﺎ ﺛﺪﺣ بﻮ ﺛﺪﺣ ﻟﺎ ﻪﻟﻮ ﻦﻋ ﻪ ﺌﺴ ﺟر لﺎ ﻓ ﻦﺴ ﻟا ضرﻷا ﻓ ﺔ ﻴ ﻦ بﺎ أﺎ ﺎهأﺮ نأ ﻦ بﺎﺘآ ﻓ ﻻإ ﻢﻜﺴ أ ﻓ ﻻو ﻦ و ﷲا نﺎ ﺳ لﺎ ﻓ ﺎﻬ ﻋ ﻪﺘﻟﺄﺴﻓ ﻚ أﺮ نأ ﻦ ﷲا بﺎﺘآ ﻓ ضرﻷاو ءﺎﻤﺴﻟا ﻦﻴﺑ ﺔ ﻴ آ ؟اﺪه ﻓ ﺔﻤﺴ ﻟا “Telah menceritakan kepadaku Ya‘qûb telah menceritakan kepada kami Ibn ‘Ulyah dari Masûr bin ‘Abd al-Rahman berkata aku sedang duduk bersama al- Hasan maka berkata seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang firman Allah SWT “mâ asâba min musîbah fî al-ard wa lâ fî anfusikum illâ fî kitâb min qabl an nabra’ahâ ” “tidaklah menimpa seuatu musibah di bumi dan pada dirimu kecuali telah tertulis di dalam Kitab sebelum penciptaannya” maka aku bertanya kepadanya tentang hal tersebut maka dia berkata,”Subhanallah, dan apa yang 51 meragukanmu tentang hal ini? Setiap musibah yang terjadi di antara langit dan bumi telah tertulis dalam kitab Allah sebelum Allah mencptakaan makhluk.” 8 Kemudian firman Allah SWT “Inna dzâlika ‘ala Allâh yasîr” “Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah” diartikan oleh Ibn Katsîr bahwa dengan ilmu-Nya, mudah bagi Allah yang Mahapencipta mengetahui segala sesuatu sebelum tercipta, yang akan terjadi, yang telah terjadi yang pasti sesuai dengan catatan-Nya. 9 Pengakuan akan kehendak Allah terhadap apa yang akan terjadi atas diri manusia tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan nasibnya dan memilih jalan hidupnya sebagaimana disebutkan dalam surat al-Insân76: 2-3 sebagai berikut. 10 ⌧ ☺ ☺ ☯ ⌧ ⌧ “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya dengan perintah dan larangan, Karena itu kami jadikan dia mendengar dan Melihat. Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” 8 Ini adalah salah satu contoh keluasan penafsiran Ibn Katsîr yang tidak dapat dijumpai secara utuh dalam kitab tafsir versi ringkas atau mukhtasar. Al-Sâbûniy dalam mukhtasarnya menyebutkan ketiga pendapat tersebut tetapi tidak menuliskan sanad hadis secara lengkap. Sementara al-Rifa’i hanya menuliskan pendapat yang dianggap kuat oleh Ibnu Katsir tanpa menyebutkan pendapat lain dan tidak pula menuliskan hadis di atas. Muhammad ‘Aliy al-Sâbûniy, Mukhtasar Ibn Katsîr Beirut: Dar al-Fikr, tt, h. 234, Muhammad Nasib al-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir . Penerjemah Syihabuddin Jakarta: Gema Insani Press, 2003, Cet. Ke-1, jilid IV, h. 606. 9 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313. 10 Lihat juga Surat al-Ra’d13:11, al-Syams:7-10, dll 52 Hal ini apabila qadha dan qadar Allah SWT dipahami sebagaimana pemahaman ahlussunah wal-jamaah. 11 Ibn Katsîr menyatakan bahwa surat al- Hadîd ayat 22 merupakan dalil yang paling nyata untuk membantah paham Qadariyah yang menafikan campur tangan Allah dalam perbuatan manusia. 12 Ibn Katsîr memperkuat pendapatnya dengan menuliskan sebuah hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad sebagai berikut. ﺪﻤﺣا مﺎ ﻻا لﺎ ﻻﻮ ﻟا ﺊ ﺎه ﻮﺑأ ﺎ أ ﻻﺎ ﺔ ﻴﻬﻟ ﻦﺑو ةﻮﻴﺣ ﺎ ﺛ ﻦﻤﺣﺮﻟا ﺪ ﻋ ﻮﺑأ ﺎ ﺛﺪﺣ ﷲا لﻮﺳر ﺖ ﻤﺳ لﻮ وﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﷲا ﺪ ﻋ ﺖ ﻤﺳ لﻮ ﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﺪ ﻋ ﺎﺑأ ﻤﺳ ﻪ أ لﻮ ﻢ ﺳ و ﻪﻴ ﻋ ﷲا ﻰ : ﷲا رﺪ ضرﻷاو تاوﺎﻤﺴﻟا نأ ﺮ دﺎ ﻤﻟا ﺔ ﺳ ﻟأ ﻦﻴﺴﻤ ﺑ “Berkata Imam Ahmad telah menceritakan kepada kami Abû ‘Abd al- Rahman menceritakan kepada kami Haiwah dan Ibn Luhai‘ah berkata keduanya menceritakan kepada kami Hâni’ al-Khaulâniy sesungguhnya dia mendengar Abu ‘Abd al-Rahman al-Habliy berkata aku mendengar ‘Abd Allah bin ‘Umar berkata aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,“Allah telah menetapkan beberapa ketetapan 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi”.” 13 11 Terkait dengan persoalan qadla dan qadar ini dikenal adanya empat golongan. Pertama, golongan Qadariyah berpendapat bahwa semua tindakan manusia adalah atas kemauan dan perbuatan manusia sendiri. Golongan ini bermaksud membersihkan Allah SWT dari perbuatan yang tidak sepantasnya datang dari Allah SWT yang Mahasuci. Allah SWT terbebas dari perbuatan keji dan tidak baik yang dikerjakan manusia. Dengan demikian golongan ini menolak adanya Qadla dan Qadar Allah SWT terhadap makhluk. Manusia bebas melakukan apa saja dan pasti akan terjadi karena tidak ada campur tangan dalam hidupnya. Kedua, golongan Jabariyah yang merupakan kebalikan dari Qadariyah. Golongan ini berpendapat bahwa semua tindakan manusia, kebaikan maupun keburukan, merupakan qadla dan qadar Allah SWT. Manusia tidak mempunyai kehendak atas apa yang terjadi pada dirinya. Pendapat ini membuat seseorang menjadi pasrah atas nasib yang menimpanya di dunia. Ia merasa tidak perlu untuk berusaha mengubah nasibnya karena semua telah ditentukan oleh Allah SWT. Ketiga, golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan buruk dan jahat yang dilakukan oleh manusia adalah atas kemauan manusia. Sedangkan setiap perbuatan baik manusia adalah atas Qadla dan Qadar Allah SWT. Keempat, golongan ahlu sunnah wal jamaah mempunyai pendapat yang menggabungkan pemahaman Qadariyah dan Jabariyah. Golongan ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kehendak atau qudrah yang biasa disebut kasab atau ikhtiar. Keberhasilan dan kegagalan usaha manusia bergantung kepada Qadla dan Qadar Allah SWT. Bey Arifin, Mengenal Allah Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006, cet. ke-11, h. 55 12 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313. 13 Ibn Katsîr, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azîm, juz 4, h. 313. 53 Adapun Qadla dan Qadar Allah SWT merupakan sesuatu yang ghaib bagi manusia. Oleh karena itu Qadla dan Qadar Allah SWT tidak seharusnya membuat manusia enggan untuk berusaha ataupun pasrah menerima kehidupan yang sulit. Sebaliknya manusia mesti berusaha keras untuk mencapai keinginannya dan mendapatkan qadar Allah SWT atas dirinya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya sampai sesuatu itu benar-benar terjadi. Pendapat ini diperkuat oleh banyak firman Allah SWT yang mendorong manusia untuk berbuat kebaikan bagi dirinya dan orang lain dan menjanjikan balasan kebaikan di akhirat. Sebaliknya, Allah SWT menjanjikan keburukan bagi orang-orang yang berbuat keji dan mungkar di dunia. Menurut Imam Gazali, Qadla dan Qadar Tuhan yang berhubungan dengan manusia selalu berhubungan dengan salah satu dari empat hal sebagai berikut. 1. Qadla yang berupa Ketaatan. Apabila manusia berada dalam ketaatan, hendaklah ia mengikhlaskan dirinya di dalamnya sehingga dapat tetap dalam ketaatan tersebut. 2. Qadla yang berupa Maksiat. Apabila manusia melakukan maksiat, hendaklah segera dia iringi dengan perbuatan baik untuk menghapuskan dosa-dosanya. 3. Qadla yang berupa Nikmat. Apabila manusia mendapatkan kebahagiaan hidup atau keberuntungan hendaklah ia iringi dengan rasa syukur kepada Allah SWT. 4. Qadla yang berupa Balaa kesusahan. Apabila manusia mendapatkan cobaan hendaklah ia iringi dengan kesabaran dan sikap tawakal kepada Allah SWT. 14 14 Bey Arifin, Mengenal Allah, h. 55. 54

C. Pengaruh Keimanan dalam Menghadapi Musibah