Sejarah Nagari di Minangkabau

BAB III KONDISI OBYEKTIF NAGARI TABEK PANJANG

KECAMATAN BASO KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT

E. Sejarah Nagari di Minangkabau

Unit terkecil dalam sistem kekerabatan Minang adalah orang-orang yang sesuku. Sebaliknya, unit yang terbesar adalah kumpulan orang-orang senagari. Adat Minang pun hanya salingkuang nagari itu. Jadi, suku dan nagari mempunyai arti yang amat penting bagi orang Minang. Struktur masyarakat adat Minangkabau susunannya sangatlah sederhana. Mudah sekali dipahami tujuan yang ingin dicapai dengan struktur semacam itu. Tujuan itu adalah mewujudkan masyarakat yang teratur, aman, damai, makmur, dan berkah. Masyarakat itu disusun sesuai dengan ketentuan undang-undang pembentukan nagari yang berbunyi: Nagari ba kaampek suku, dalam suku babuah paruik, rumah batunganai, tiok suku bapangulu, basasok bajurami, balabuah batapian, barumah batanggo, bakorong bakampuang, basawah baladang, babalai bamusajik . Nagari paling kurang terdiri dari empat suku, dalam suku ada keluarga-keluarga, dalam rumah ada orang yang dituakan, tiap suku ada penghulu, mempunyai daerah pertanian, mempunyai sarana jalan yang memadai, dalam kampung terdiri dari beberapa keluarga, beberapa keluarga itu membentuk kampung, mempunyai mesjid sebagai tempat ibadah. 35 Dari ungkapan di atas dapat dilihat masyarakat adat Minangkabau telah memiliki unsur negara modern, yaitu adanya rakyat yang hidup berkelompok, bersuku-suku, mempunyai wilayah yang jelas batas-batasnya dan mengambarkan pola pemerintahan suku. Kemudian untuk mengatur hidup dan kehidupan 35 Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Jakarta, PT. Mutiara Sumber Widya, hal.47 masyarakat, maka Penghulu menduduki posisi selaku pemimpin suku dan sekaligus sebagai kepala Pemerintahan adat. Nagari di Sumatera Barat sudah ada sejak nenek moyang orang Minang mendirikan pemerintahan adat. Namun pada zaman Orde Baru dengan lahirnya undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sangat mewarnai kehidupan masyarakat Minangkabau. Peralihan kedudukan pemerintahan terendah dari nagari ke desa yang berarti bahwa nagari tidak lagi merupakan suatu organisasi pemerintahan terendah di bawah kecamatan dalam susunan ketatanegaraan. Setelah tumbangnya Orde Baru lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, undang-undang memberikan peluang bagi pemerintah daerah Sumatera Barat untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk penyesuaian bentuk dan susunan pemerintahnya. Respon Pemerintah Sumatera Barat adalah dengan mengeluarkan Peraturan Daerah nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pemerintah Nagari di mana dalam hal ini menata kembali Pemerintah Nagari demi kemajuan masyarakat berdasarkan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, syarak berfatwa adat yang melaksanakan. Kembalinya pemerintahan terkecil kepada nagari dipandang efektif guna menciptakan ketahanan agama dan budaya berdasarkan tradisi dan sosial budaya masyarakat Minangkabau yang dikenal demokratis, aspiratif, egaliter, dan kooperatif dan dalam rangka mencapai kemandirian yang selama ini terabaikan.

F. Kondisi Geografis