memperlakukan barang pemberian sesuai dengan keinginan pemberi. Negeri ini diberi Allah kekayaan alam yang berlimpah, terutama hutan yang lebat, maka
pemimpin dan rakyat negeri ini harus bergandeng tangan menjaganya bukan malah merusaknya karena sang Pemberi melarang perusakan alam.
108
Analisa penulis terhadap tujuan pemanfaatan kayu hutan oleh pemegang HPH adalah bahwa pemanfaatan kayu hutan oleh pemegang HPH untuk tujuan
pembangunan ekonomi yang diatur oleh Negara berdasarkan kelestarian hutan, banyak peraturan yang berkenaan dengan kelestarian dan keberlanjutan agar
dapat dimanfaatkan secara terus menerus, hal ini sejalan dengan hukum Islam, dan diperuntukkan untuk kemashlahatan ummat secara menyeluruh, tapi dalam
prakteknya banyak pemegang HPH yang mementingkan keperluan pribadinya saja. Di sinilah peran pemerintah untuk bertindak tegas terhadap pemegang HPH
yang melalaikan kewajibannya terhadapa kelestarian hutan.
E. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sanksi Pelanggaran HPH Dalam Hukum
Positif
Para konsesor Hak Pengusahaan Hutan kurang diberi sanksi yang bisa dilaksanakan secara tegas dan konsekuen terutama ditekankan pada tanggung-
jawabnya dalam melestarikan hutan. Mereka hanya dituntut untuk menyisihkan sebagian uang yang diperolehnya dari penjualan kayu yang telah dieksploitasi
dikenal dengan dana reboisasi untuk sekedar memenuhi pembayaran pajak dan
108
. Ramly, Islam Ramah Lingkungan Konsep dan Strategi Islam Dalam Pengelolaan, dan Penyelamatan Lingkungan Hidup
, h.57
biaya kerusakan atas aktifitas yang dilakukannya. Secara formal, seolah-olah kewajiban pelestarian hutan hanya ditampakkan dari terpenuhi tidaknya
pembayaran dana tersebut oleh pemegang HPH.
109
Selain penegakan hukum, praktek kehutanan harus didukung oleh konteks pengelolaan, kemampuan atau kapasitas dan kesempatan. Kebijakan kehutanan di
Indonesia terutama didorong oleh pertimabngan ekonomi, terlepas dari pendekatan yang lebih di arahkan pada upaya konservasi dan konversi, degradasi
hutan terus berlangsung dengan laju yang mengkhawatirkan, bahkan kawasan konservasi tidak lepas dari kegiatan tebang habis. Seperti contohnya di Taman
Nasional Kutai Kalimantan Timur dengan sisa hutan yang sangat sedikit, kondisi seperti ini banyak terjadi di tempat lain di Indonesia.
110
;~ ,z- YW
{1N
ij78BC z
Z-5c?A–1L c
ƒ7 p
œ 5
l 9K1L
0 k 8
| ?4d5
N - 5, Y
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut Tidak akan
diterima dan harapan akan dikabulkan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Q.S. Al-A
’raf7: 56
109
. Fattah, Rimbawan Amanah Revitalisasi Landasan Idiil Pengelolaan Sumber Daya Hutan Secara Lestari dan Berkeadilan
, h. 78
110
. Meijaard, dkk, Hutan Pasca Pemanenan Satwa Liar Dalam Kehiatan Hutan Produksi Di Kalimantan
, h. 209
Dalam tafsirnya, al Qurthubi menyatakan bahwa larangan manusia dalam ayat ini bersifat mutlak, artinya, Allah melarang manusia untuk merusak ekositem
alam ini baik sedikit apalagi banyak. Al-Dhahhak menyatakan janganlah kamu mencemarkan air, memotong pepohonan yang berbuah dan semacamnya.
111
Dalam suatu hadits di sebutkan:
kU 2 :i ODC+ﺡ
O Ulی: 2 2
ﻡ ﺱ j
8 ﺱ 2 8 m 2 j
ﺱ 2 U7 nﻡ 2 : 0 2 +C.ﻡ 2 +
j d ﺱ k o0ﺡ 2 d +0 2
7Cﺱ p d CM
q ﻡ
2 n
X ﺱ
+ 9
M C
r d
ﺱ p
CO Z q
H H
Artinya: Telah berkata Nasr Ibn Ali ibn Abu Usamah, dari Usman ibn Abi
Sulaiman, dari Said ibn Muhammad ibn Jubair ibn Muth’im, dari Abdillah ibn Habsyi, Rasulullah Saw berkata:
”Barang siapa yang menebang pepohonan, maka Allah akan mencelupkan kepalanya ke dalam neraka
”. HR. Abu Daud.
112
Dijelaskan oleh Abu dawud setelah meriwayatkan hadist diatas, maksudnya yaitu barang siapa yang memotong pepohonan di tanah lapang atau gurun sahara
tempat bernaungnya para musafir dan binatang dengan sia-sia dan zhalim, niscaya Allah akan mencelupkan kepalanya ke dalam api neraka.
113
Dan ancaman keras tersebut secara eksplisit merupakan ikhtiar untuk menjaga kelestarian pohon. Baik pepohonan yang ada di sepanjang jalan, hutan, dan
111
. Al-Qurthubi, Abi Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Anshari, Al, Jami’ li Ahkam al- Qur’an
, Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun ,h. 403
112
. Sulaiman, Sunan Abu Dawud, h. 403
113
. Ibid, h, 403
sebagainya, karena memang keberadaan pepohonan tersebut banyak memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Itulah makanya dilarang untuk menebangnya
sembarangan, kecuali bila hal itu dilakukan dengan perhitungan yang cermat, yakni dengan cara menanam pepohonan baru dan menyiramnya agar bisa
menggantikan pohon yang di tebang itu.
114
Tapi banyak ahli hadits telah menafsirkan hadits Nabi di atas dengan sedikit menyimpang mereka menafsirkan kalimat “Barang siapa yang memotong pohon
bidara…”, sebagai pepohonan di sekitar Makkah dan Madinah. Jelas ini merupakan penafsiran subyektif yang tidak mendasar. Padahal seharusnya
kalimat tersebut ditafsirkan sesuai dengan zhahirnya yang mengandung makna umum sehingga dengan demikian akan diperoleh kesimpulan dalil yang jelas.
Ancaman api neraka bagi mereka yang memotong pohon dalam hadits di atas menunjukkan besarnya perhatian untuk menjaga kelestarian lingkungan ini
merupakan manifestasi perlindungan antar makhluk, yang pada gilirannya akan mengakibatkan hilangnya sebagian pilar penting bagi terselenggaranya
keselamatan hidup manusia.
115
As-Subki al-Kabir mengatakan bahwa kelalaian dalam penggunaan asset kekayaan adalah jika digunakan tanpa tujuan ukhrawi dan duniawi, tanpa
114
. Al-Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, h. 148
115
. Ibid, h. 226
keduanya maka kelalaian tersebut haram hukumnya. Namun jika terdapat salah satu dari tujuan tadi, maka hal tersebut menjadi boleh hukumnya.
116
Sayyid Haidar, penulis Syarh Majallah Al-Ahkam menyebutkan dua puluh masalah yang berkaitan dengan lingkungan yang salah satu diantaranya adalah
“jika seseorang hendak mendirikan tempat penempaan besi, penggergajian kayu, atau penggilingan tepung di samping rumah orang lain yang telah terlebih dahulu
ada, lalu aktivitas produksi itu merusak tembok rumah tetangga, maka aktifitas tersebut harus dihentikan.
117
Ahmad Hanafi mengatakan “bahwa suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain baik
jasad, harta, keamanan, tata aturan masyarkat, nama baik, perasaan ataupun hal- hal yang dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya.
118
Sedangkan menurut Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa tindak pidana adalah segala larangan
syara’ yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.
119
. i Xﻡ +ی :ی N
Artinya: “Ta’zir sangat bergantung kepada tuntunan kemashlahatan”.
120
116
. Al- Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, h. 229
117
. Ibid, h.n 403-404
118
. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Sena, 2000 Cet. Ke I, h. 17
119
. H. A. Dzajuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke III, h. 11
120
. Ibid, h. 166
Pemerintah mempunyai kekuasaan sangat besar untuk mengatur hutan, dan pemerintah harus mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Yakni dengan cara
membagikan kekayaan alam kepada mereka yang membutuhkannya secara adil, bukannnya untuk menguasai untuk kepentingan pribadi. Parameternya bukan
siapa yang jauh atau dekat, tapi adalah mereka yang lebih butuh dan mampu mengelola sumber daya alam, sehingga cita-cita dan tujuan kemashlahatan umum
benar-benar terwujud nyata.
121
Sesuai dengan kaidah fiqh:
i :
s J
ﻡ G
C: C
ﻡ O
t i
.
“Kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus berdasarkan pertimbangan kemashlahatan”
122
Tidak itu saja pemerintah juga punya hak untuk memberlakukan sanksi kepada pengusaha hutan yang telah mengeksploitasi hutan tanpa memikirkan
keseimbangan lingkungan, dengan alasan telah merusak alam yang tentunya akan membahayakan manusia banyak. Karena itu sangat pantas kalau mereka
mendapat hukuman atas perbuatan mereka dengan hukuman ta’zir.
123
Khalifah Umar r.a pun mencabut izin usaha Bilal bin Harits yang tidak mampu mengelola
dengan baik lahan yang diberikan oleh Rasulullah saw.
124
121
. Fiqh Realitas, Respon Ma’had Aly Terhadap Warna Hukum Islam Kontemporer, h. 291
122
. Fakhruddin Muhammad Al-Razi bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan, al-Tafsir al-Kabir. Juz XII
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990M1411H, , h. 52
123
. Fiqh Realitas, Respon Ma’had Aly Terhadap Warna Hukum Islam Kontemporer, h. 292- 293
124
. Abi Ishaq Ibrahim al-Syairasyi bin ali bin Yusuf, Al-Muhadzdzab Fi Fiqh Al-Imam Al- Syafi’i. Juz II
,Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun, h. 70
Analisa penulis dalam hal ini adalah memang dalam hukum Islam yang bersumber dalam Nash tidak ada yang menyebutkan sanksi bagi pelaku
pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang HPH, di dalam nash hanya dijelaskan bahwa perbuatan merusak dilarang oleh Allah dan dalam suatu hadits juga
dijelaskan bahwa orang yang memotong pohon tanpa suatu manfaat baginya api neraka, tapi ada sahabat Nabi telah melakukan sanksi terhadap pengusaha hutan
dengan mencabut izin pemanfaatan hutan yang dikelola sebelumnya. Di dalam hukum Islam juga kita kenal hukuman ta’zir, maka dalam hal ini
pemerintah berhak melakukan memberikan sanksi bagi pemegang HPH yang melakukan pelanggaran dalam hal ini maka menteri kehutananlah yang
menghukumi melelui proses hukum yang telah diberlakukan. Sanksi yang dibuat oleh pemerintah memang sudah bagus dan itu menurut penulis sudah
menimbulkan efek jera pada pelaku, sesuai dengan yang dianjurkan oleh Ajaran Islam, tapi hanya saja banyak kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh
pemegang HPH tidak berhasil dihukumi. Menurut penulis pemegang HPH atau siapapun yag telah melakukan
pelanggaran atau kerusakan dalam hutan, itu sama saja di telah melakukan kejahatan baik terhadapa lingkungan hidup maupun terhadap sesama, karena
akibat yang akan ditimbulkan oleh para pelaku berdampak pada kerugian masyarakat luas dan juga negara, bahkan bisa menghilangkan nyawa walau
memang tidak secara langsung. Maka dari itu Pemerintah harus benar-benar menegakkan hukum yang telah ada.
F. Kesesuaian Konsep Hukum Islam Tentang Pemanfaatan kayu Hutan Yang