penelitian yang bersifat secara impresionistik kajian yang mengandalkan kepekaan indera pendengaran untuk mengidentifikasi bunyi bahasa sangat diperlukan bagi ahli
fonetik untuk memiliki alat pendengaran yang tajam dan terlatih. Hal ini bertujuan untuk menganalisis bunyi-bunyi bahasa, mengidentifikasi bunyi dalam berbagai bahasa dalam
dimensi artikulatoris, dan mendeskripsikannya ke dalam simbol-simbol fonetik yang dapat dimengerti.
Sedangkan menurut Lado 1996 dan Cruttenden 1977 penelitian yang mempergunakan pendekatan instrumental dapat memberikan pemecahan atas
keterbatasan impresionistik. Pendekatan instrumental adalah sama dengan eksperimental. Ciri akustik dapat diukur dengan menggunakan program komputer seperti Computerized
Research Speech Environment CRSE dan Praat. Dengan alat ukur ini dapat dilakukan pendekatan instrumental untuk mengetahui teknik-teknik pencitraan imaging technique,
yaitu pelacakan gerak pita suara maupun pengukuran ciri akustik. Maka penelitian ini menggunakan pendekatan instrumental dengan menggunakan program Praat.
2.2 Fonetik Eksperimental dan Impresionistik
Bila penelitian dengan pendekatan impresionistik kajian yang mengandalkan kepekaan indera pendengaran untuk mengidentifikasi bunyi bahasa, maka sangat
diperlukan bagi ahli fonetik untuk memiliki alat pendengaran yang tajam dan terlatih untuk menganalisis bunyi-bunyi bahasa. Untuk menjadi ahli fonetik impresionistik,
diperlukan kepekaan dan keahlian mengidentifikasi bunyi dalam berbagai bahasa dalam
9
Asni Barus : Pemarkah Keinterogatifan Ciri Akustik Dalam Bahasa Karo. USU e-Repository © 2008
dimensi artikulatoris, dan mendeskripsikannya ke dalam simbol-simbol fonetik yang dapat dimengerti secara luas.
Selama berpuluh-puluh tahun, kajian fonetik didominasi dengan kajian pendekatan impresionistik, yaitu kajian fonetik yang mengandalkan kepekaan indera
pendengaran untuk mengindentifikasi bunyi bahasa. Maka sangat wajarlah seseorang ahli fonetik dituntut harus mempunyai alat pendengaran yang tajam dan terlatih untuk
menganalisis bunyi-bunyi bahasa. Dengan kata lain untuk menjadi ahli fonetik impresionistik harus diperlukan kepekaan dan keahlian mengidentifikasi bunyi dari
berbagai bahasa dalam dimensi artikulatoris, dan dapat juga memberikan hasil identifikasinya pada simbol-simbol atau lambang-lambang fonetik yang dapat dimengerti
sacara luas. Sedangkan menurut Lado, 1966 dan Cruttenden, 1977 penelitian yang
mempergunakan pendekatan instrumental dapat memberikan pemecahan atau solusi atas keterbatasan pendekatan impresionistik. Pendekatan instrumental adalah sama dengan
eksperimental. Pendekatan instrumental dilakukan dengan bantuan alat ukur yang akurat, baik dengan teknik pencitraan imaging technique, pelacakan gerak pita suara maupun
pengukuran ciri akustik. Untuk pengukuran ciri akustik telah banyak dikembangkan dengan program komputer seperti Computerized Research Speech Environment CRSE
dan Praat. Para ahli psikologi dan fonetik eksperimental, menggunakan pendekatan
instrumental dalam melakukan persepsi tutur dengan mengidentifikasi petunjuk-petunjuk akustik gejala intonasional. Sedangkan pendekatan impresionistik digunakan oleh linguis
10
Asni Barus : Pemarkah Keinterogatifan Ciri Akustik Dalam Bahasa Karo. USU e-Repository © 2008
atau guru bahasa untuk mendeskripsikan intonasi baik untuk tujuan praktis, misalnya pengajaran bahasa. Pendekatan eksperimental tidak saja memperluas cakupan kajian
fonetik, bisa mengubah persepsi orang tentang kajian fonetik. Bahkan akhirnya dianggap kajian fonetik tidak sepenuhnya menjadi bagian dari linguistik seperti apa yang
dipopulerkan Denes dan Pinson 1963 diadaptasi dari Hayward, 2000:6, yaitu ada tiga tataran yang harus dilalui dalam sebuah tuturan lisan hingga sampai kepemahaman mitra
tutur dalam sebuah dialog. Ketiga tataran itu adalah tataran linguistik, tataran fisiologis, tataran akustik.
Seorang penutur akan memastikan apa yang akan dikatakannya, maka penutur menyusun pesannya dalam bentuk-bentuk linguistik yaitu fonem demi fonem, kata demi
kata, hingga menyusun kalimat dan wacana. Bentuk-bentuk itu yang kemudian diubah menjadi serangkaian perintah motoris oleh otak yang kemudian memerintah alat ucap
agar memproduksi tuturan sesuai dengan bentuk-bentuk linguistik yang telah disusun. Dari hasil aktivitas motoris alat ucap itu berbentuk gelombang suara yang bergerak
merambat melalui udara, baik ke telinga pendengar sebagai pesan baru maupun ke telinga penutur itu sendiri sebagai umpan balik. Sehingga ia dapat mengontrol apakah tuturannya
itu telah direalisasikan sesuai dengan keinginannya. Sinyal suara yang masuk melalui indera pendengaran, kemudian memberi impuls saraf dan memicu otak pendengar untuk
menafsirkan makna tuturan itu. Ketika masih dalam otak penutur dan ketika sudah sampai ke otak pendengar, bentuk-bentuk itu berada pada tataran abstraksi linguistik.
Ketika diucapkan oleh penutur atau didengar oleh pendengar bentuk-bentuk itu berada pada tataran fisiologis. Ketika merambat melalui gelombang udara di luar organ tubuh
penutur dan pendengarnya, bentuk-bentuk itu berada pada tataran akustik.
11
Asni Barus : Pemarkah Keinterogatifan Ciri Akustik Dalam Bahasa Karo. USU e-Repository © 2008
2.3 Fonetik dan Fonologi