Kerangka Konseptual

II.2 Kerangka Konseptual

II.2.1 Kepercayaan (Kepada Tuhan Yang Maha Esa)

Konsep kepercayaan muncul tidak luput dari terjadinya gerakan dikotomi antara konsep „agama‟ di satu sisi dan „kepercayaan‟ di sisi lainnya. Istilah kepercayaan mengacu kepada pa sal 29 ayat 2 UUD 1945, ”Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaan masing- masing” dan Ketetapan MPR 1973. Agama dan kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa) dua kata yang memiliki wilayah makna (semantical domain ) yang sangat sulit dibedakan satu sama lain secara „jelas dan terpisah‟(Lubis,2005:59). Menurut Prof. Dr. Ridwan Lubis dalam artikelnya yang berjudul “Agama dan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.”, ia berpendapat bahwa agama dan kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa) merupakan dua hal yang sama-sama mempersoalkan substansi yang berkaitan dengan sistem kepercayaan (belief system), ritual, pengalama relijius, serta relasinya dengan aspek kehidupan lainnya.

Sebuah kepercayaan pada dasarnya merupakan: 1) Sistem ajaran (faith as credo ), yang menyediakan seperangkat ajaran tentang nilai dan norma kepada penghayatnya, 2) Sistem yang menuntut kesetiaan penghayatnya (faith as faithfulness ) untuk melestarikan dan memelihara ajarannya, 3) memberikan basis

praktek kedisiplinan moralitas dan spiritualitas yang harus dipatuhi peyakinnya (faith as obedience), 4) sistem yang mengajarkan pada pengalaman ketergantungan dan penyerahan diri pada zat yang disakralkan (faith as dependence and as experience ), serta 5) sistem yang membangun tradisi relijius (as deposit of the faith) (Eliade,1987:250-254).

Sedangkan perbedaannya dapat dilihat dari dua hal, yang pertama yaitu mengenai darimana sumber ajarannya, lalu yang kedua adalah siapakah pembawa risalahnya. Menurut Prof. Dr. Ridwan Lubis, dalam konteks ini, agama merupakan ajaran yang diturunkan oleh Tuhan melalui Rasul-Nya, sementara kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa) sebagian besar merupakan hasil penafsiran dan reformulasi ajaran oleh seseorang yang mengaku dirinya sebagai „penerima wahyu‟.

Secara sosiologis, Kerokhanian Sapta Darma ini dapat dikaji lewat berbagai definisi mengenai agama. Emile Durkheim menekankan penggunaan simbol-simbol didalam agama yang membuat manusia merasa langsung merasa dekat kepada sua tu kekuatan yang “luar biasa” dan manusia ingin terlibat di dalam kekuatan yang besar tersebut sehingga membuat mereka berfikir simbol-simbol yang muncul lewat realitas itu adalah sebuah jalan menuju hal tersebut. Berikut ini kutipannya (Durkheim,1964:2):

”…. one must know how to go underneath the symbol to the reality which it represents and which gives it its meaning”.

Semua agama secara umum akan memaknai simbol-simbol tersebut secara sama, yaitu menghubungkan dengan sesuatu yang “luar biasa” tersebut sehingga

terciptanya sebuah solidaritas dari kelompok agama. Sementara itu Clifford Geertz dalam buku Kebudayaan dan Agama mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana-suasana hati (moods) dan motivasi-motivasi yang kuat, meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan merumuskan konsep-konsep tentang suatu tatanan umum eksistensi dan membungkus konsep-konsep itu dengan semacam aura faktualitas sehingga suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak secara khas

realistis (Geertz,1992:5).

Kata kepercayaan (berasal dari kata sanskrit: Percaya yang artinya mengakui kebenaran) berarti pengakuan terhadap kebenaran apa yang diceritakan /disampaikan oleh orang mengenai suatu kejadian atau keadaan (Lubis,2005:64). Sebagai sebuah proses, maka kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat diartikan sebagai suatu pengakuan terhadap suatu kebenaran ajaran yang dibawa

seseorang „penerima wahyu‟ 6 dari Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu sebagai suatu ajaran, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan seperangkat

tata nilai yang diterima oleh seorang „penerima wahyu‟ (Lubis,2005:65). Sementara itu Lubis (2005:67) berpandangan bahwa kepercayaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa, lebih merupakan bentuk kepercayaan yang diakarkan pada suatu agama tertentu atau merupakan campuran antara agama dan kepercayaan “animisme dan dinamisme”, atau campuran dari dua atau lebih ajaran agama besar yang dipeluk masyarakat Indonesia.

Dalam buku Pedoman Teknis Pemberdayaan Pengayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dikeluarkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang dimaksud dengan Penghayat adalah penganut yang melaksanakan kepercayaan dengan kesadaran yang utuh hingga kedalaman bathin, jiwa dan rohani yang berakar kepada kebudayaannya. Sementara itu yang dimaksud dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau peribadatan serta pengalaman budi luhur.

Sementara itu, konsep „kepercayaan‟ yang belakangan ini banyak dipakai, merupakan sebuah pilihan untuk membedakannya dengan „agama‟ 7 . Kata

6 Penerima wahyu disini didefinisikan oleh Lubis (2005) sebagai seseorang yang mengakui dirinya sebagai seorang nabi setelah nabi-nabi agama besar yang dipeluk masyarakat Indonesia.

7 Menurut Lubis (2005:63) secara sosiologis/antropologis, agama pada dasarnya merupakan sistem kepercayaan (kepada suatu yang diyakini sebagai dzat suci, sakral dan adikodrati) yang hidup,

berlaku dan diterima di masyarakat. Berdasarkan konsep ini, agama paling tidak memiliki unsur- unsur pokok diantaranya 1). Memiliki ajaran tentang sistem keyakinan kepada dzat yang suci, sakral dan adikodrati (biasanya dinamai Tuhan) 2). Memiliki ajaran tentang praktek keagamaan (ritus, upacara keagamaan, peribadatan) yang diikuti pemeluknya 3). Memiliki dan mengajarkan etika relijiusyang memuat kaidah-kaidah keagamaan yang mengatur tata kehidupan pemeluknya, dan 4). Memiliki komunitas pemeluk (terwadahai dalam bentuk komunitas atau organisasi keagamaan) yang berfungsi memelihara dan mengembangkan ajaran dan tradisi keagamaan yang diajarkan.

kepercayaan dipakai selain untuk membedakannya dengan agama, juga karena seringkali

oleh pengikutnya (Hadiwijono,1983:9). kepercayaan atau keyakinan juga merupakan unsur dari religi, untuk lebih jelasnya Koentjaraningrat menjelaskan sebagai berikut:

“Religi sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan tetapi cahaya Tuhan yang menjiwai dan membuatnya keramat tentunya bukan bagian dari kebudayaan, istilah agama adalah untuk menyebut agama resmi yang di akui oleh pemerintah dan istilah

kepercayaan untuk sistem di luar kategori. ” (Koentjaraningrat,2000:149).

Ada beberapa kelompok yang lebih senang disebut sebagai „kerohanian‟ (umpamanya Sapta Darma), ada yang lebih suka disebut kejiwaan (umpamanya Subud dan Pangestu). Sehingga kata „kepercayaan umumnya‟ dipakai untuk merujuk kepada kelompok penghayat kebatinan. Sebagai sebuah konsep,

„kebatinan‟ merupakan konsep inti yang mengemukakan ciri yang khas (Hadiwijono,1983:9).

Sebagai sebuah kelompok kepercayaan, Kerokhanian Sapta Darma memiliki sistem simbol dan ritual. Simbol secara sosiologis berperan penting dalam pembentukan kesadaran kelompok (jemaat) keagamaan terhadap agamanya (Hendropuspito,1983:100). Bahasa simbol atau lambang merupakan sarana untuk menjelaskan masalah keagamaan yang abstrak bagi pemeluknya. Oleh karena itu seluruh lambang atau simbol diambil dari dunia jasmani yang kongkret yang pada dasarnya menjembatani dunia ilahi dengan dunia manusiawi. Hendropuspito (1983:100) mengelompokkan simbol atau lambang dalam tiga kategori yaitu: 1). Lambang Visual , 2). Lambang Auditif, dan 3). Lambang Motoris.

Sementara itu Durkheim melihat ritual keagamaan sebagai ekspresi kesadaran kolektif dari sebuah kelompok sosial untuk menumbuhkan disiplin, integrasi dan vitalisasi keteraturan kelompok dan juga solidaritas (Pilgrim,1978:67). Ritual keagamaan dapat kita lihat dalam bentuknya seperti pidato, tanda-tanda, nyanyian, perjamuan suci dan pengorbanan. Sementara itu

O‟dea (1990) berpendapat bahwa ritual bukan dimaksudkan sebagai tujuan praktis, bukan pula solidaritas sosial. Solidaritas sosial merupakan salah satu

efeknya, tetapi ritual bukan tampil untuk tujuan ini (O‟dea,1990:75). Tetapi ritual

sejatinya memang memiliki arti fungsional yang sangat penting bagi kelompok, walaupun kenyataan bahwa hal ini bukan merupakan maksud dari partisipannya.

Dalam penelitian mengenai kelompok penghayat Kerokhanian Sapta Darma ini, penting dalam mengkaji posisi kelompok ini ditengah dikotomi dengan agama, terutama agama-agama resmi yang diakui oleh negara. Penulis menggunakan konsep Eliade mengenai belief system, dimana pada dasarnya merupakan: 1) faith as credo, 2) faith as faithfulness, 3) faith as obedience, 4) faith as dependence and as experience , serta 5) as deposit of the faith (Eliade,1987:250-254). Dalam kaitannya dengan dikotomi antara agma dan kepercayaan, ia berpendapat bahwa agama dan kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa) keduanya merupakan sistem kepercayaan (belief system) yang menyediakan seperangkat ajaran serta pengalaman dan pengetahuan keagamaan. Sedangkan perbedaannya dapat dilihat dari dua hal, yang pertama yaitu mengenai darimana sumber ajarannya, lalu yang kedua adalah siapakah pembawa risalahnya. Selain itu penulis juga mengkaji Sapta Darma secara sosiologis melalui simbol dan ritual melalui konsep Durkheim dan Geertz

II.2.2 Konstruksi Identitas

“Identity are sources of meaning for the actor themselves, and by themeselves, constructed through a process if individuation. Although … identities can also be originated from dominant institution, they become identities only when and if social actors internalize them, and construct their meaning around this internalization .”

(Barker,2000:7)

Castells mengutip Giddens (1991) yang berpendapat bahwa identitas merupakan sumber pemaknaan dan pengalaman aktor. Castells mengatakan bahwa identitas adalah sumber pemaknaan untuk dan oleh seorang aktor, yang dikonstruksikan melalui proses individuasi. Artinya, institusi dominan bisa saja mengkonstruksi atau membangun identitas pada aktor dengan materi-materi seperti sejarah, geografis, biologis, institusi produksi dan reproduksi, ingatan kelompok dan imajinasi pribadi, serta dari kekuatan lembaga agama, namun perlu diingat bahwa

identitas belum bisa menjadi identitas sebelum aktor sosial menginternalisasinya. Lebih lanjut Castells menulis bahwa:

“… But Individual, social groups, and societies process all these materials, and rearrange their meaning, according to social determination and cultural projects that are

rooted in their social structure, and in their space/time framework.” (Barker,2000:7)

Proses internalisasi ini dilakukan oleh aktor sosial seperti individu, kelompok sosial, dan masyarakat, dengan cara memproses semua materi-materi pembentuk identitas yang telah disebutkan, dan menata ulang pemaknaan mereka berdasarkan ketentuan/determinasi sosial dan proyeksi budaya yang telah mengakar dalam struktur sosial mereka dan dalam kerangka ruang dan waktu yang mereka miliki.

Karena konstuksi sosial terhadap identitas ini selalu ditempatkan dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan, Castells mengemukakan tiga bentuk dan asal-usul terbentuknya identitas (Castells,1997:8), antara lain Legitimizing Identity. Yaitu yang Diperkenalkan oleh institusi dominan dalam masyarakat untuk memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka terhadap aktor-aktor sosial. Hal ini sejalan dengan tema yang dinyatakan oleh teori dari Sennett mengenai kekuasaan dan dominasi, namun juga sesuai dengan berbagai teori nasionalisme.

Lalu yang kedua adalah Resistance Identity, yaitu yang dibentuk oleh aktor-aktor yang berada dalam posisi atau kondisi direndahkan dan/atau distigmasasi melalui kerangka logika dominasi sehingga membangun resistensi dan kebertahanan berbasis prinsip- prinsip yang “berbeda dari” atau “berlawanan dari” yang dipersepsikan oleh insitusi masyarakat. Resistence Identity mengarah pada pembentukan komunitas. Membentuk kolektif resisten terhadap bentuk- bentuk opresi yg berbasis identitas yg didefiniskan melalui sejarah, geografis, atau biologi, yang memudahkan terbentuknya garis batas resistensi (boundaries of resistance ).

Yang ketiga adalah Project Identity. Terbentuk ketika aktor sosial, dengan dasar materi yang sudah ada dalam diri mereka, membangun identitas baru yang mendefinisikan ulang posisi mereka dalam masyarakat dan mencoba menemukan transformasi seluruh struktur sosial.

Secara alami, konstruksi identitas dimulai dari identitas yang bersifat resisten yang kemudian masuk ke fase selanjutnya menjadi proyek identitas hingga berproses menjadi identitas yang dominan dalam institusi masyarakat. Setelah menjadi identitas yang dominan, kemudian tahap selanjutnya menjadi identitas yang terlegitimasi untuk kemudian merasionalisasikan dominasi mereka. Tidak ada identitas yang dapat menjadi paling penting diantara yang lain, dan tidak ada identitas yang progresif atau regresif nilainya di luar sejarah. Yang menjadi persoalan penting adalah keuntungan yang di dapatkan dari setiap identitas bagi mereka yang memilikinya.

Konstruksi mengenai jati diri seorang pelaku dan pelaku lain (construction self and other) senantiasa berkaitan dengan relasi kekuasaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Li (2003 dan 2004) bahwa identitas adalah sebuah artikulasi dari upaya memosisikan diri dengan mempertimbangkan peluang-peluang yang dimiliki para pelaku yang terlibat dalam suatu arena sosial tertentu (Rudyansjah,2009:243).

Salah satu penelitian mengenai identitas, terutama identitas keagamaan pernah dilakukan oleh Lori Peek. Lori Peek melakukan penelitian terhadap orang Islam di Amerika pasca tragedi 11 September 2001. Lori Peek mengambil sampel 127 Mahasiswa Muslim yang terdiri 82 mahasiswa perempuan dan 45 mahasiswa laki-laki, dengan range umur antara 18 sampai 33 tahun. Para responden merupakan kelompok imigran generasi ke 1,5 atau generasi ke 2. Dari hasil penelitian tersebut, Lori Peek mengambil kesimpulan bahwa agama merupakan salah satu identitas sosial. Agama sebagai sebuah identitas sosial berkembang lewat tiga tahap untuk menjadi sebuah identitas sosial yang ditonjolkan oleh individu penyandang identitas tersebut. Ketiga tahapan tersebut menurut Peek (2005:9) meliputi: 1). Religion as Ascribed Identity , pada tahap pertama, agama sebagai ascribe identity, individu mendapatkan identitas sebagai suatu agama karena ia lahir pada keluarga yang beragama tersebut. Selama tahap awal perkembangan

identitas ini, individu jarang atau sedikit sekali memikirkan tentang arti sebagai seorang Islam, karena identitas agama diterima sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. 2). Religion as Chosen Identity, sementara individu-individu tumbuh

dewasa, mereka mulai merenungkan pertanyaan hidup yang lebih penting dan juga latar belakang agama mereka, dan dengan ini menguji-ulang identitas mereka. Pada tahap kedua ini mereka tidak lagi melihat agama sebagai karakteristik yang diterima begitu saja, namun sebagai identitas yang mereka pilih. 3). Religion as Declared Identity, tahap ketiga dari perkembangan identitas

agama ini muncul dalam respon terhadap suatu krisis. Karena merasa “dimusuhi” atau semakin ditekan oleh orang-orang di sekitar, mereka merasa perlu menjelaskan dan mendemonstrasikan kepercayaan mereka lebih baik lagi dari sebelumnya. Banyak ahli yang menyatakan bahwa salah satu respon terhadap ancaman yang nyata atau ancaman yang dibayangkan yaitu meningkatnya solidaritas kelompok.

Dalam proses konstruksi identitas Religion as Declared Identity, menarik membahas bagaimana komunitas menjelaskan dan mendemonstrasikan kepercayaan mereka lebih baik lagi dari sebelumnya sebagai respons dari suatu krisis. Menurut Etzioni (1996) dalam Karim (2008:44), komunitas bersifat sangat responsif terhadap kebutuhan sebenarnya dari tiap-tiap anggotanya. Komunitas mempunyai dua kekuatan yang berpengaruh terhadap anggota-anggotanya, yakni kekuatan Centripetal dan Centrifugal. Kekuatan centripetal mendorong anggota- anggota komunitas untuk bertindak atas nama komunitasnya (seperti contohnya menunjukkan apa yang bisa diberikan oleh komunitasnya terhadap kehidupan masyarakat). Kekuatan centrifugal mendorong para anggota komunitas untuk bertindak atas dasar kepentingan masing-masing individu. Dalam tataran civil society, menurut Etzioni, idealnya setiap komunitas menggabungkan penggunaan kedua kekuatan ini secara berimbang (Karim,2008:44).

Penulis menggunakan kerangka konsep tiga bentuk konstruksi identitas Manuel Castells untuk melihat bagaimana identitas penghayat Sapta Darma dikonstruksikan di masyarakat dan berhubungan dengan relasi kekuasaan. Hal ini terkait dengan peran negara yang mencoba mengkonstruksikan identitas mereka ditengah kebijakan keagamaan negara yang mendikotomikan antara agama yang diakui oleh negara dan agama dan kepercayaan diluar itu. Sementara itu kerangka konsep Lori Peek mengenai identitas keagamaan penulis gunakan dalam menggambarkan konstruksi penghayat Sapta Darma terhadap identitas

keagaamaan yang mereka pilih dan jalani sebagai sebuah identitas sosial. Sementara itu konsep Etzioni dipakai dalam memperdalam konsep Lori Peek mengenai Religion as Declared Identity. Dimana konsep Etzioni ini sejalan dengan Peek dalam menekankan respons komunitas terhadap suatu krisis.

II.2.3 Eksklusi Sosial

Eksklusi sosial adalah keadaan dimana individu tidak dapat berperan serta secara penuh di masyarakat karena secara sistematik dan struktural tidak mendapatkan kesempatan dan akses yang setara dengan anggota masyarakat lainnya (Seda,2006:44). Ada juga yang mendeskripsikan sebagai:

"Social exclusion describes a situation where certain groups within a society are systematically disadvantaged because they are discriminated against. Such groups are often differentiated by race, ethnicity, age or gender. Social exclusion exists to some degree in all societies, and can occur across a number of dimensions: economic, social, political and cultural. These different forms of disadvantage form a self-reinforcing cycle.” ( http://www.gsdrc.org/go/topic-guides/justice/human-rights-gender-

and-social-exclusion ) Eksklusi sosial ini sendiri memiliki berbagai makna. Silver (1994)

mendenifinisikan eksklusi dengan tiga paradigma besar yaitu: 1). Paradigma solidaritas, yang menjelaskan eksklusi dalam terminologi antara individual dan masyarakat; 2). Paradigma spesialisasi, yang menjelaskan dalam berbagai macam variasi dari distorsi, secara nama, diskriminasi, kegagalan pasar dan hak-hak yang tidak memiliki kekuatan, paradigma ini didasari oleh pemikiran dari sekolah liberal yang dominan di Amerika Serikat; 3). Paradigma monopoli, menjelaskan dalam berbagai macam kelompok yang mengontrol atau memonopoli sumber daya untuk keuntungan mereka, paradigma ini dominan di daerah Eropa Barat (Bhalla,2004:13).

Ekslusi sosial menurut Barry (2006) terkait dengan dua kondisi, yaitu kemiskinan dan ketidakmerataan. Eksklusi sosial merupakan sebuah konsekuensi dari tidak adanya kondisi yang adil dalam kehidupan yang disebabkan ketidakberuntungan yang dialami sejak lahir. Bentuk-bentuk ketidakberuntungan

secara lahir dapat berupa etnis, agama, ras, orientasi seksual yang dialami seseorang, kasta, gender, usia, kecacatan, HIV, status migrasi atau tempat tinggal. Menurut Barry, eksklusi sosial itu tidak hanya disebabkan karena pilihan dan lingkungan dimana individu itu berada, tetapi juga disebabkan karena kebijakan nasional dan pelayanan di tingkat lokal (Haralambos, Holborn &Heald,2004:282).

Sementara itu proses eksklusi adalah sebuah proses yang multidimensional. Dalam kajian menganai eksklusi ini kita dapat mengkajinya ke dalam tiga dimensi. Tiga dimensi dalam mengkaji eksklusi sosial antara lain: (Bhalla,2004:13) 1). Dimensi ekonomi, menekankan pada pendapatan dan produksi, serta akses terhadap barang dan jasa dari sekumpulan orang yang mengalami eksklusi sosial. Pendekatan Ekonomi menekankan pada pertanyaan income dan produksi serta akses terhadap berang dan jasa dari seseorang yang tereksklusi dan orang lain yang tidak. Dalam studinya Sen (1975:5) mendefinisikan konsep pekerjaan dalam bentuk pendapatan, produksi, dan rekognisi. Pandangan eksklusi melalui pendekatan ekonomi dilihat dari dua faktor pertama, dan faktor rekognisi dapat diinterpretasikan sebagai penyedia dimensi sosial dari konsep eksklusi itu sendiri. 2). Dimensi Sosial, eksklusi sosial berakar pada tradisi sosial yang menekankan pada isu relasional dimana konsep Sen tentang pemberian hak berakar pada tradisi ekonomi dan menekankan pada distribusi. Sen telah menambahkan konsep pemberian hak untuk melindungi pemberdayaan dan kemampuan. Gore (1993) menjelaskan konsep pemberian hak dan menghubungkan dengan moral. Dimensi sosial lain adalah pemberian konsep power yang menekankan pada partisipasi kelompok sosial dalam membuat keputusan seperti perempuan dan etnis minoritas. 3). Dimensi Politik, fokus terhadap pembedaan hak-hak manusia dan politik terhadap kelompok masyarakat tertentu. Dalam dimensi politik, eklusi sosial dapat diinterpretasikan sebagai konsep penolakan atas hak-hak warga negara atau dapat dikatakan sebagai kewarganegaraan yang tidak lengkap. Minimnya penegakan hak-hak warganegara timbul akibat buruknya sistem penegakan hak-hak oleh negara dan ketidakmampuan individu-individu atau organisasi kelompok-kelompok sosial dalam mempertahankan hak-hak mereka.

Eksklusi dapat dikategorikan menjadi dua bentuk (Sen, 2000:15), yaitu Eksklusi Aktif dan Eksklusi Pasif. Eksklusi Aktif adalah adanya kebijakan atau tindakan baik dari pemerintah maupun agen lainnya yang dengan sengaja mengeksklusi sekelompok orang dari sebuah kesempatan. Sedangkan Eksklusi Pasif yaitu terputusnya akses dari sebuah kesempatan tanpa disengaja, misalnya dalam penelitian ini, karena sebuah kebijakan makro pemerintah tentang spiritual landscape keberagamaan di Indonesia dimana pemerintah menetapkan hanya enam agama resmi, mempengaruhi secara tidak langsung kondisi komunitas- komunitas agama lokal dan kelompok kepercayaan karena secara tidak langsung identitas mereka tidak diakui. Hal ini berakibat pada sulitnya kelompok-kelompok minoritas tersebut dalam memperoleh hak-hak sipilnya sebagi warga negara. Kebijakan yang berlaku juga ikut berperan serta dalam proses eksklusi sosial, dimana suatu kebijakan atau regulasi yang berlaku, seperti misalnya Undang- Undang, dapat membatasi sebagian kelompok dalam mendapatkan sumber daya atau kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai bagian dari masyarakat.

Sementara itu keterkaitan antara eksklusi sosial dengan identitas juga dibahas oleh Sullivan (2002) dalam makalahnya yang berjudul “Social Exclusion, Social Identity And Social Capital: Reuniting The Global, The Local and The Personal.” Eksklusi sosial dapat dipahami dalam konteks identitas, individu- individu mengalami eksklusi sosial sebagai sebuah konsekuensi dari identitas personal mereka, sementara kelompok atau komunitas yang mengalami eksklusi sosial diakibatkan konsekuensi dari identitas kolektif kelompok mereka (Sullivan,2002:4). Sullivan (2002) juga mengatakan bahwa ketika identitas individu seseorang atau identitas kolektif suatu kelompok atau komunitas mengalami ancaman dalam relasinya dengan kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu, biasanya individu atau kelompok tersebut memilih sebuah strategi untuk mengatasi eksklusi sosial tersebut lewat sebuah keanggotaan pada sebuah kelompok alternatif atau kategori sosial tertentu yang dapat memberikan masukan atau feedback positif untuk terus menjaga sebuah identitas yang sifatnya positif.

Penulis akan menggunakan konsep eksklusi sosial untuk melihat gambaran proses yang dialami oleh penghayat Sapta Darma terutama dalam pemenuhan hak-

hak sipil mereka sebagai warga negara. Sebagai akibat dari kebijakan penetapan agama resmi negara dan kebijakan-kebijakan lainnya yang terkait dengan hak-hak sipil, seperti definisi eksklusi sosial yang dijelaskan diatas, bahwa kelompok penghayat kepercayaan secara sistemis mengalami ketidak beruntungan karena mereka terdiskriminasi. Atribut identitas sebagai penghayat kepercayaan mengakibatkan tidak adanya kondisi yang adil dalam kehidupan mereka dan disebabkan karena pilihan dan lingkungan dimana individu itu berada, tetapi juga disebabkan karena kebijakan nasional dan pelayanan di tingkat lokal. Konsep eksklusi sosial, sebagai konsep yang multidimensional, terdiri dari beberapa dimensi. Oleh karena itu, penulis menggunakan dimensi-dimensi eksklusi sosial untuk melihat bagaimana eksklusi sosial yang terjadi terhadap penghayat kepercayaan. Dimensi ekskusi sosial yang digunakan berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil penghayat Sapta Darma adalah dimensi sosial dan dimensi politik .

II.2.4 Diskriminasi

Diskriminasi adalah sebuah proses berkelanjutan yang menghilangkan fungsi-fungsi sosial sekelompok atau seseorang untuk berpartisipasi secara utuh dalam komunitasnya. Konsep diskriminasi ini tidak lepas dari konsep rasisme dan rasialisme yang keduanya merupakan cikal bakal konsep dalam melahirkan konsep diskriminasi. Menurut Edwards (1992:1), diskriminasi diartikan sebagai:

The total process of isolating a group of humans, selected fo some readily identifiable characteristic, and forcing them to live at the ragged edges of the society barred from mainstream of life.

Dari definisi diatas menjelaskan bahwa diskriminasi adalah sebuah proses peminggiran sekelompok manusia yang memiliki ciri dan karakterstik tertentu dan memaksa mereka terpinggirkan dari masyarakat dan hidup dengan hambatan terhadap kehidupan normal pada umumnya. Diskriminasi juga merugikan orang- orang yang mendiskriminasi yang harus menyesuaikan kepada sebuah sistem nilai yang cenderung mengarah pada kebencian dan prasangka terhadap kelompok

tertentu. Pada tingkatan tertentu, perilaku diskriminasi dapat memisahkan individu dari orang-orang disekitarnya dan merendahkannya (Edwards,1992:2).

Sementara itu menurut Kornblum, diskriminasi adalah suatu ideologi yang didasarkan pada keyakinan bahwa ciri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri tersebut lebih rendah sehingga mereka dapat didiskriminasi (Light, Keller & Calhoun,1989:292). Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Banton, diskriminasi diartikan sebagai sebuah perlakuan berbeda terhadap orang-orang yang dikelompokkan dalam kategori khusus (Banton,1967:8). Kategori ini biasanya berupa ras, etnis, agama dan gender. Dalam kasus eksklusi terhadap penghayat aliran kepercayaan Sapta Darma, diskriminasi yang terjadi lebih diakibatkan oleh kategori agama atau kepercayaan.

Ransford membedakan antara diskriminasi individu dan diskriminasi institusi (Sunarto,1993:148). Diskriminasi individu dimaknai sebagai tindakan seorang pelaku yang berprasangka. Sementara itu diskriminasi institusi adalah merupakan diskriminasi yang tidak ada sangkut pautnya dengan prasangka individu, melainkan merupakan dampak kebijaksanaan atau praktek tertentu berbagai insitusi dalam masyarakat. Dalam tulisannya Conceptualizing Sigma, Bruce G. Link dan Jo C. Phelan menganalisis konsep diskriminasi dengan membaginya menjadi structural discrimination dan individual discrimination. Individual discrimination dimaknai sebagai sebuah pemikiran yang didasarkan atas sikap dan kepercayaan yang mendasari individu A memberikan sebuah label dan stereotip kepada individu B, atau melakukan bentuk-bentuk tertentu yang secara jelas mendiskriminasi individu lainnya. Structural discrimination didefinisikan sebagai praktek-praktek institusional yang terakumulasi yang menghasilkan kerugian kepada kelompok minoritas rasial walaupun dalam keadaan ketiadaan prasangka atau diskriminasi dari individu (Link and Phelan,2001:372).

Dalam konsep diskriminasi, kelompok yang terdiskriminasi umumnya terpinggirkan dan menyebabkan hambatan terhadap kehidupan normal pada umumnya. Sebagai sebuah kelompok minoritas penghayat kepercayaan ditengah kebijakan negara yang belum sepenuhnya mengakui dan mengakomidasi identitas

mereka, maka terjadi beberapa hambatan. Atribut yang mereka sandang sebagai kelompok peghayat mengakibatkan terjadinya proses diskriminasi dalam dua level yaitu baik level individual maupun level struktural.

II.2.5 Hak Sipil

Hak Sipil merupakan hak-hak yang dianggap paling dasar atau fundamental dari semua hak-hak manusia (Ilich,1993:74). Konsep hak sipil seringkali dikaitkan dengan konsep kebebasan sipil. Kedua konsep ini seringkali dipakai secara tumpanh tindih . Secara sederhana Paul M. Johnson dalam “A Glossary of Political Economy Terms .” Johnson menulis apa yang dimaksud dengan civil rights dan civil liberties, keduanya dapat diartikan sebagai hak-hak warga negara dalam kaitannya dengan kebebasan untuk berpikir, bergerak, berekspresi, dan kebebasan individu untuk membentuk organisasi-organisasi serta mengejar tujuan umum, dan juga kebebasan untuk mengambil bagian secara politis dalam cara-cara yang tidak melanggar hak dari orang lain.

Untuk itu, Johnson mencoba menguraikan bahwa kedua konsep tersebut memiliki karakterisktik yang berbeda-beda. Johnson mengjelaskan bahwa kebebasan sipil merupakan istilah yang secara umum menunjuk secara rinci kepada perlindungan hak-hak untuk eksis dalam menyatakan pilihan atau keyakinan; dan untuk bertindak secara bebas tanpa campur tangan pemerintah (Kholiludin,2009:31). Sementara hak-hak sipil menekankan lebih secara rinci pada hak-hak setiap warga negara untuk mengambil bagian dengan bebas dan setara dalam ruang-ruang politik dan kepentingan publik dalam urutan dengan aktif untuk mengupayakan kebijakan publik yang lebih memihak melalui keikutsertaan pribadi dalam proses-proses politik (Kholiludin,2009:31). Dengan demikian kebebasan-kebebasan sipil bisa dilihat sebagai upaya menghubungkan dengan logis tujuan dari pemerintahan yang dibatasi, sementara hak-hak sipil adalah hubungan secara logis tentang tujuan pemerintahan yang demokratis.

Perbedaan tentang hak sipil dan kebebasan sipil juga coba diurai oleh Abdullahi Ahmed An- Na‟im dalam papernya “Civil Rights in the Islamic

Traditional Constitution: Shared Ideals and Divergent Regimes.” Dalam tulisannya, ia membedakan secara sederhana kedua konsep tersebut secara

sederhana. An- Na‟im menjelaskan kebebasan sipil sebagai “generally denotes the right of individuals ” Sementara itu menurut An-Na‟im dalam Kholiludin (2009:31) menjelaskan Hak Sipil sebagai:

“Refers to constitutional and legal status and treatment of minority groups that are marked off from the majority by race, religion, or national origin.”

Hak sipil mengacu kepada perundang-undangan dan status hukum juga perlakuan terhadap kelompok minoritas yang dipinggirkan oleh kelompok mayoritas atas dasar ras, agama, dan asal suku. Deskripsi diatas cukup menjelaskan secara sederhana bagaimana gambaran hak dan kebebasan sipil. Titik tekannya ada pada aspek legal, dengan kata lain hak sipil adalah kebebasan yang mendapat perlindungan secara hukum.

Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk di dalamnya Hak-Hak Sipil adalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Amandemen kedua UUD 1945 Tahun 2000 telah ditambahkan pasal-pasal tentang HAM yaitu Pasal 28A sampai Pasal 28J. Berikut ini penjelasan mengenai Pasal 28A sampai Pasal 28J:

Tabel II.2

Penjelasan Mengenai Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 28 UUD 1945 Pasal

Penjelasan Pasal 28A

Hak untuk hidup

Pasal 28B

Ayat (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Ayat (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28C

Ayat (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Ayat (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, Ayat (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,

Pasal 28D

Ayat (1) Hak Atas Pengakuan, Jaminan, Perlindungan, dan Kepastian Hukum yang Adil Serta Perlakuan yang Sama di Hadapan Hukum.

Ayat (3) Hak Atas Kesempatan Sama Dalam Pemerintahan. Ayat (4) Hak Atas Status Kewarganegaraan Dan Hak Berpindah

Pasal 28E

Ayat (1) Hak Atas Status Kewarganegaraan dan Hak Berpindah, juga Hak Kebebasan beragama.

Ayat (2) Hak Atas Kebebasan Meyakini Kepercayaan, Menyatakan Pikiran dan Sikap, Sesuai dengan Hati Nuraninya.

Ayat (3) Hak Atas Kebebasan Berserikat, Berkumpul, dan Mengeluarkan Pendapat.

Pasal 28F

Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi

Pasal 28G

Ayat (1) Hak Atas Rasa Aman dan Bebas dari Ancaman. Ayat (2) Hak Atas Kebebasan dari Penyiksaan, dan Hak Memperoleh

Suaka Politik.

Pasal 28H

Ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Ayat (2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Ayat (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

Ayat (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Pasal 28I

Ayat (1) Hak Atas Kebebasan Meyakini Kepercayaan, Menyatakan Pikiran dan Sikap, Sesuai Dengan Hati Nuraninya. Hak Untuk Hidup, Hak Untuk Tidak Diperbudak, Hak Untuk Diakui Sebagai Pribadi di Hadapan Hukum, Hak Untuk Tidak Dituntut Atas Dasar Hukum yang Berlaku Surut, Hak atas Kebebasan dari penyiksaan

Ayat (2) Hak Untuk Tidak Diperlakukan Diskriminatif.

Pasal 28J

Ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Ayat (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis

Sumber: http://www.taspen.com/files/humas/UUD%201945.pdf

Sementara itu dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM ditegaskan bahwa hak untuk hidup; hak untuk tidak disiksa; hak untuk kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani; hak beragama; hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum; dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun.

Dalam kaitannya dengan keberadaan penghayat kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia, Negara menjamin melalui produk hukum seperti UUD 45 Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1) dan (2). Lalu UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) dan masih banyak lagi instrumen HAM Internasional yang memberikan jaminan dan perlindungan (Tresno,2005:87).

Dalam pasal 28E ayat (1) ditegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menuru agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, meninggalkan dan berhak kembali. Sementara itu di ayat (2) ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Sementara iu dalam Pasal 28I ayat (1) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak unuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran hati dan nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan beberapa hak asasi manusia yang tidak dapat dikurang dalam keadaan apapun, termasuk keadaan darurat (non- degorable ). Pendekatan HAM menunjukkan bahwa kebebasan beragama merupakan kebebasan dasar yang sekaligus sebagai HAM yang bersifat inti (Tresno,2005:96).

Sementara itu Pasal 29 Ayat (1) ditegaskan bahwa negara berdasarkan atas keTuhanan Yang Maha Esa, sedangkan ayat (2) ditegaskan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu . Sementara dalam UU No. 39 Tahun 1999 Pasal (4) salah satu hak yang dijamin adalah Hak Beragama. Lalu

39

dalam pasal 22 ayat (1) ditegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sementara pasal 22 ayat (2) menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu .

Dari beberapa Hak-Hak Sipil yang telah dijabarkan sebelumnya, penelitian ini memfokuskan kepada enam Hak-Hak Sipil yang masih bermasalah dalam pemenuhannya kepada kelompok penghayat kepercayaan. Keenam hak-hak tersebut antara lain hak atas pencantuman identitas di kolom agama dalam KTP; hak atas pencatatan dan registrasi perkawinan antar penghayat di Kantor Catatan Sipil; hak atas pendidikan, dalam hal ini hak anak-anak penghayat untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan kepercayaannya; hak atas sumpah jabatan sesuai dengan kepercayaannya bagi PNS; hak atas lahan pemakaman dan penguburan sesuai dengan kepercayannya; hak untuk berkumpul dan membangun rumah ibadah.