EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID

UNIVERSITAS INDONESIA EKSKLUSI HAK-HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI IDENTITAS KOMUNITAS PENGHAYAT KEPERCAYAAN

Studi Kasus: Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan

SKRIPSI

Oleh:

ARMAN RIYANSYAH 0606095840 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM SARJANA SOSIOLOGI DEPOK JULI 2011 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM SARJANA SOSIOLOGI DEPOK JULI 2011

UNIVERSITAS INDONESIA EKSKLUSI HAK-HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI IDENTITAS KOMUNITAS PENGHAYAT KEPERCAYAAN

Studi Kasus: Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) dalam Program Studi Sosiologi ARMAN RIYANSYAH 0606095840 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM SARJANA SOSIOLOGI DEPOK JULI 2011 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM SARJANA SOSIOLOGI DEPOK JULI 2011

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama

: Arman Riyansyah

NPM

: 0606095840

Tanda Tangan :

Tanggal

: 12 Juli 2011

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh : Nama

: Arman Riyansyah NPM

: 0606095840 Program Studi : Sosiologi Judul Skripsi : Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan, Studi Kasus: Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Drs. Johannes Frederik Warouw, M.A ( )

Penguji : Dr. Erna Karim, M.Si

Ditetapkan di : Depok Tanggal

: 12 Juli 2011

HALAMAN PERNYATAAN JUDUL KARYA AKHIR UNTUK KEAKURATAN DATA

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

: Arman Riyansyah

NPM

Program Studi

Jenis Karya Akhir

: Skripsi

Demi keakuratan data informasi akademik Universitas Indonesia, dengan ini saya menyampaikan dan menyatakan judul karya akhir saya dalam 2 Bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris sesuai dengan Hard Cover terakhir yang diserahkan ke Program/Perpustakaan dan sudah selesai dengan data yang dimasukkan dalam SIAK NG sebagai berikut:

Kolom Judul Karya Akhir dalam Bahasa Indonesia:

Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan. (Studi Kasus: Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan. )

Kolom Judul Karya Akhir dalam Bahasa Inggris:

Exclusion of Civil Rights and Identity Construction of Faith Group. (Case Study: Sapta Darma Faith Group Sanggar Cadi Busana Community, South

Jakarta .)

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok Pada tanggal : 12 Juli 2011

Mengetahui, Ketua Program

Yang Menyatakan

(Dr. Erna Karim, M.Si) (Arman Riyansyah)

Pembimbing Penulisan Karya Akhir

( Drs. Johannes Frederik Warouw, M.A ) ( Drs. Johannes Frederik Warouw, M.A )

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Arman Riyansyah NPM

: 0606095840 Program Studi : Sosiologi Departemen : Sosiologi Fakultas

: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan, Studi Kasus: Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di

: Depok

Pada Tanggal : 12 Juli 2011

Yang Menyatakan,

(Arman Riyansyah) (Arman Riyansyah)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas bimbingan dan kemurahanNya penulis akhirnya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan Skripsi ini dilakukan salam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Program Studi Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Dalam prosesnya, penulis menyadari bahwa tanpa bantuan baik moriil dan materiil dari berbagai pihak tentunya perjalanan proses penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

Drs. Johannes Frederik Warouw, MA yang telah dengan sabar membimbing penulis menyusun skripsi ini. Kesediaan waktu dan atensinya sangat penulis hargai, juga atas masukan-masukannya dalam proses ini, penulis ucapkan banyak terimakasih. Dr. Erna Karim sebagai Ketua Program Sarjana, dan penguji ahli. Terima kasih Bu atas masukan-masukan berharganya.

Dr. Linda D. Ibrahim sebagai Ketua Departemen Sosiologi, Dr. Hari Nugroho sebagai pembimbing akademik. Juga segenap staf dosen Program Sarjana Sosiologi dan staf Jurusan Sosiologi, Mbak Maya dan Mas Riyanto.

Drs. Hadar Nafis Gumay, mantan pembimbing akademik sekaligus mentor penulis di Cetro (Center of Electoral Reform). Terima kasih atas kesempatannya dalam menimba ilmu seputar Ke-Pemilu-an di Indonesia dan belajar beraktifitas di NGO.

Kepada pihak Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Persada Pusat, Mas Robby, Pak Turmudji. Juga untuk komunitas SCB Jakarta Selatan, Pak Bagjo, Pak Eddy, Pak Kamto, Pak Gatot, Bu Dono. Terima kasih atas keterbukaan dan penyambutan yang hangat terhadap penulis.

Ayah dan Ibu. Walaupun jauh di Pontianak, namun tak henti-hentinya memberikan dukungan dan cinta kasih yang paling tulus dalam penulisan tugas akhir ini. Terima kasih juga karena selalu mendukung penulis walaupun beberapa diantaranya mengecewakan ayah dan ibu karena tidak berhasil lulus tepat waktu, contohnya. Sekali lagi, skripsi ini merupakan pembuktian penulis untuk ayah dan ibu. Keluarga Besar (Alm) Soemaryo dan (Alm) R. Hasnan. Om-om, tante-tante, Ayah dan Ibu. Walaupun jauh di Pontianak, namun tak henti-hentinya memberikan dukungan dan cinta kasih yang paling tulus dalam penulisan tugas akhir ini. Terima kasih juga karena selalu mendukung penulis walaupun beberapa diantaranya mengecewakan ayah dan ibu karena tidak berhasil lulus tepat waktu, contohnya. Sekali lagi, skripsi ini merupakan pembuktian penulis untuk ayah dan ibu. Keluarga Besar (Alm) Soemaryo dan (Alm) R. Hasnan. Om-om, tante-tante,

sepupu-sepupu, dan keponakan-keponakan, terima kasih atas dukungannya selalu. Om Ady, Tante Etty, dan sepupu jagoan penulis, Ade Andriansyah, terima kasih atas kesabarannya menghadapi penulis yang suka pulang dini hari, juga atas motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Keluarga besar Sosiologi Universitas Indonesia sahabat-sahabat seangkatan: Andaru (teman berbagi kamar dan kegemaran), Karfianda Toyor (si ‘bintang’ FISIP), Rofi’I, Dhania, Ayu.T, Gembel (kompatriot 34) Olivia, Cia

(pengalaman seru backpack bareng kalian sampe Gili Trawangan!), Ninis (teman menjelajahi gedung DPR), Djoko, Frendy, Fery (penerus Tri Koro Darmo, Jawa Sedjati), Miun, Dhenia, Ayu.H, Sari (bukan FISIP namanya tanpa senyum- senyum cantik kalian), Jason, Roy (yang selalu keras mencari proyekan), Nining (geng lima tahun), Lu’lu, Afiy, Erna (trio muslimah yang saya kagumi), Heidy (teman sepergalauan), Mansyur, Adrian, Dicky, Rani, Wening, Ovi, Septi, Devi, dan Ica. Juga para senior-senior pendahulu seperti Eja, Momon, Ajay, Nala, Gigi, Andro, Babaw, Oji, Aseng, Kodok, Nandes, Ucil, Saski, Dedes, Tawang, Idel, Sopar, One, Fajri Japri, Arga, Alavi dan kawan-kawan. Juga untuk adik-adik seperguruan Dio, Hansen, Mike, Dhurand, Ikyu, Resa, Chandra, Satryo, Aby, Angga Kutang (tim Jumat Ceria), Adia, Wina, Neno, Reni, Astari, Molly, Chikita, Rae, Emir (smeagol dan rekan siaran di ruang lain radio), Arie Gapuak, Purna, Bubur, Duljohn, Dady, Aulia, Alma, Bibop, Dipi, Mega, Anggun, Timothy, Fasya, Indah, Haris, Bugis, Ilham, Umay dan masih banyak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas atmosfer pertemanan yang sangat menyenangkan!

Keluarga besar 34-2006 Chapter Universitas Indonesia, Bogy, Mangap, Nangro, Sari, Malita, Mamin, Anis, Batani, Pe’I, Dhania, Teta, Sawi (FISIP),

Syarif (FT), Alvin, Aldo, Febrian, Mika (FH), Etep, Masteng, Dewi, Adis (Sastra), Wintul, Denny (FE) dan seluruh keluarga besar 34-2006 dan saudara seperjuangan Gazper VII 34 yang sangat saya cintai dimanapun kalian berada.

Syutra Permatasari, yang tidak pernah berhenti memotivasi dan mengajari penulis untuk hidup tidak sekedarnya. Seorang sahabat, kekasih, penasehat, penghibur sekaligus kompetitor bagi penulis. Terima kasih atas kebersamaannya.

ix

Skripsi ini memang masih jauh dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga bermanfaat baik secara akademis maupun non-akademis. Penulis juga berharap skripsi ini menjadi sebuah bagian dari perjuangan mempromosikan keberadaan kelompok penghayat kepercayaan sebagai sebuah budaya spiritual Indonesia dan memberikan pemahaman terkait masalah-masalah yang masih melekat pada kelompok ini.

“Sepi ing pamrih. Rame ing gawe. Memayu Hayuning Bawana.”

Penulis, Depok, 12 Juli 2011

ABSTRAK

Nama

: Arman Riyansyah

Program Studi

: Sosiologi

Judul

: Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan, Studi Kasus:

Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan (1967 – 2009).

Skripsi ini membahas tentang eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas komunitas penghayat kepercayaan Sapta Darma. Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), yang menetapkan enam agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu secara tidak langsung berpengaruh terhadap pemenuhan hak-hak sipil kelompok kepercayaan diluar enam agama resmi dan identitas mereka di masyarakat. Skripsi ini mendeskripsikan bagaimana konstruksi identitas yang dilakukan oleh komunitas terhadap eksklusi sosial yang mereka alami. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mewawancarai sembilan orang informan. Penelitian memunculkan kesimpulan bahwa masih terjadi eksklusi sosial terhadap beberapa hak-hak sipil yang dalam definisi Barry (Haralambos, Holborn & Heald,2004:282) diakibatkan baik oleh pelayanan di tingkat lokal dan pilihan individu terkait dengan lingkungannya. Diskriminasi secara struktural dan individual juga masih terjadi terhadap kelompok ini. Dalam proses konstruksi identitas, penghayat kepercayaan mengalami dekonstruksi melalui penerapan beberapa Undang-Undang yang mendiskriminasi identitas mereka. Sebagai bagian dari proses eksklusi sosial yang mereka alami, penghayat kepercayaan merekonstruksi identitas mereka menjadi lebih moderat dan kompromistis terhadap lingkungan masyarakat supaya dapat terlibat di arena sosial atau publik secara lebih luas dan terhindar dari friksi antar identitas di masyarakat.

Kata Kunci: Eksklusi Sosial, Diskriminasi, Konstruksi Identitas.

xi

ABSTRACT

Name : Arman Riyansyah Study Program : Sociology

Title

: Exclusion of Civil Rights and Identity Construction of Faith Group, Case Study: Sapta Darma Faith Group Sanggar Candi Busana Community, South Jakarta . (1967 – 2009).

This undergraduate thesis describes exclusion of civil rights and identity construction of the Sapta Darma faith group. PenPres 1, 1965 (UU No.1 /PNPS/1965) which determines the six legal religions recognized under the constitution (Islam, Catholic, Protestant, Hindu, Buddhist, and Confucianism) had brought a negative impact to Sapta Darma faith group. In relation to those problems, this thesis tries to describe how the Sapta Darma faith group has been excluded from civil rights fulfillments and how they construct their identity towards problems of exclusion. This undergraduate thesis utilizes qualitative approach as a tool to describe the problems presented by interviewing nine informants. Using Barry’s (Haralambos, Holborn & Heald, 2004:282) concept of social exclusion, this final paper concludes that the social exclusion of civil rights existed in the level of local government’s service and also social environment.

Sapta Darma faith group experienced structural and individual discrimination. During the identity construction process they also got identity deconstruction through several regulations (UU) which tend to discriminate them. Along with the social exclusion process, Sapta Darma faith group reconstructed their identity to become more moderate and compromise in order to take apart in the wider social arena and avoid the friction of identity.

Keywords: Social Exclusion, Discrimination, Identity Construction.

BAB I

Pendahuluan

Dalam iklim demokratis pasca reformasi 1998 ditambah gencarnya semangat kampanye multikultutalisme dan pluralisme yang berlandasakan keragaman latar belakang penduduk Indonesia seharusnya negara dapat menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan hak-haknya secara penuh sebagai warga negara. Ternyata dalam perkembangannya masih ada beberapa komunitas, seperti komunitas minoritas penghayat kepercayaan masih belum bisa menikmati hak-hak sipil mereka sebagai warga negara secara utuh. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat proses eksklusi sosial terhadap hak-hak sipil penghayat kepercayaan dan konstruksi identitas mereka di masyarakat.

I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara berketuhanan, Pancasila sebagai dasar negara mencantumkan KeTuhanan Yang Maha Esa pada sila pertamanya yang implikasinya adalah semua warga negara mengacu kepada prinsip ketuhanan. Sebagai Negara yang berketuhanan, prinsip-prinsip ketuhanan dan kebebasan beragama ini dituangkan Di dalam pasal 29 ayat (1) UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan bahwa Negara Republik Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Sementara itu tafsir legal negara terhadap negara beragama dituangkan dan dirumuskan di parlemen pada tahun 1960 dengan hasil Ketetapan MPRS No.2 Tahun 1960.

Universitas Indonesia

Dengan keluarnya ketetapan itu, maka negara berhak menentukan legalitas agama. Spiritual landscape 1 ditentukan oleh negara melalui instrumen hukum

pada tahun 1965 lewat Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu (Bustami,2005:15). PNPS 1965 menjadi corong ampuh untuk

melakukan “campaign against heresy” 2 karena aturan tersebut dilengkapi sanksi yang merujuk pada pasal 156A KUHP 3 (Kholiludin,2009:326). Di satu sisi negara

menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya, namun di sisi lain, negara menetapkan legalitas agama dan kepercayaan di masyarakat lewat pengakuan hanya enam agama.

Lebih lanjut lagi hal ini menjadi benteng terakhir untuk mempertahankan ortodoksi agama-agama besar dari penoda agama dan sebagai cikal bakal dan asal mula politik pengakuan atas agama bisa diidentifikasi. Dikotomi antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟ 4 terjadi lewat pengabsahan enam agama ini, dan

1 Spiritual Landscape disini menurut Tedi Kholiludin dalam bukunya “Kuasa Negara Atas Agama: Proses Pengakuan, Diskursus, “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil.” merupakan

sebuah gambaran kemajemukan dan keberagaman agama-agama di Indonesia yang dilembagakan dalam sebuah Undang-Undang.

2 Campaign against haresy disini mengacu pada gerakan kelompok agama-agama besar dalam menentang penodaan terhadap ajaran agama oleh aliran-aliran dan gerakan-gerakan keagamaan

„yang tidak sehat‟, seperti aliran-aliran atau gerakan keagamaan yang sifatnya klenik dan bid‟ah. Klenik mengacu pada sebuah ritual dimana pelakunya dianggap tersesat karena dirinya telah dirasuki oleh hasrat rendahan dan kebendaan, serta dipandu oleh dunia kegelapan spiritual (Mulder,2001:89). Praktik klenik dianggap membahayakan bangsa dan mengakibatkan ketidakstabilan sosial sehingga dengan demikian dianggap ilegal. Bid’ah adalah sesuatu yang baru dalam agama (Muhieb et.al,2009:84). Dalam Islam sendiri t erdapat dua macam Bid‟ah, Bid‟ah Hasanah dan Bid‟ah Sayyiah. Bida’ah Sayyiah merupakan bid‟ah yang menyimpang dari nash atau dalil-dalil syariat Islam.

3 UU 1/PNPS/1965 dalam Pasal 4 juga memasukan pasal baru ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni, Pasal 156a yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau

melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Sumber: http://hukumonline.com/klinik/detail/cl4464 diakses pada Jumat, 29 April 2011)

4 „Agama Resmi‟ mengacu kepada enam agama yang diakui oleh negara lewat UU No.1/PNPS/1965 penjelasan Pasal 1 yang menyebut enam agama yang dipeluk sebagian besar

penduduk Indonesia sebagai „Agama Resmi‟ (Kholiludin,2009:231). Sementara itu „Agama tidak resmi‟mengacu kepada penduduk yang agamanya belum diakui, maksudnya agama-agama besar di luar enam agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu; kedua, penghaya kepercayaan, yakni agama-agama lokal atau kelompok yang dalam kebijakan lain disebut aliran kepercayaan (Cholil,2009:16)

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

diskriminasi atas agama-agama lokal dan indigenous 5 (Ridwan,2003:261). Diskriminasi yang secara struktural dibuat oleh negara sebagai sebuah institusi

yang dalam prakteknya merugikan kelompok-kelompok minoritas penghayat kepercayaan dan agama-agama lokal.

Dampak pengakuan negara mengenai agama resmi yang diakui oleh negara menyebabkan timbulnya masalah-masalah yang dirasakan terutama oleh penghayat kepercayaan, agama-agama lokal, maupun agama-agama tidak resmi. Masalah-masalah tersebut mulai dari yang sifatnya politis, hingga yang menyangkut masalah pemenuhan hak-hak sipil warga negara yang agama dan kepercayaannya di luar dari agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Dampak kebijakan pengakuan pemerintah terhadap enam agama mendorong beberapa komunitas agama lokal atau kepercayaan dipaksakan masuk ke suatu agama. Kebijakan negara yang mengintervensi agama mencapai 18 buah, mulai dari surat keputusan, surat keputusan bersama hingga radiogram (Bustami,2005:19). Kebijakan enam agama resmi turut membangun konstruksi pengetahuan bahwa agama atau kepercayaan di luar enam agama resmi bukanlah agama yang patut hidup atau setidaknya berkembang setara dengan enam agama resmi lainnya (Cholil et al,2009:17).

Beberapa contoh masalah dari sekian banyak masalah yang berkaitan dengan pemenuhan hak sipil penghayat kepercayaan seperti halnya dalam perkawinan antara penghayat kepercayaan yang masih sulit dicatatkan di kantor catatan sipil, dalam hal pendidikan dimana belum adanya kurikulum bagi anak- anak penghayat. Lalu dalam hal pencatatan identitas kependudukan di KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang hanya diisi (-) yang mengindikasikan bahwa mereka ini adalah warga negara yang tidak beragama dan patut diawasi oleh negara (Kholiludin,2009:329). Belum lagi ditambah dengan masalah sulitnya mengurus

5 Indigenous yang dimaksud disini adalah indigenous religion, di Indonesia agama-agama yang ada tidak hanya terbatas agama-agama besar. Indonesia memiliki banyak agama-agama minoritas

yang dipeluk masyarakat lokal atau pribumi. (Ridwan,2003:261)

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

diluar „agama resmi‟ dan pandangan negatif terhadap komunitas penghayat kepercayaan masih terus terjadi. Politisasi yang masif terhadap agama pasca

tragedi Gerakan 30 September serta cap sebagai aliran sesat yang melekat pada penghayat kepercayaan mengakibatkan komunitas ini tidak jarang mendapatkan resistensi dari warga masyarakat hingga terjadinya tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh masyarakat.

I.2 Permasalahan

Proses pengakuan terhadap identitas penghayat kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa masih terus diperjuangkan, baik dalam level pemerintahan, yaitu dengan mendorong lahirnya produk hukum yang tidak diskriminatif dan memayungi keberadaan komunitas ini. Tidak selesai sampai disitu, proses perjuangan identitas mereka di masyarakat juga merupakan sebuah tantangan tersendiri yang tidak kalah peliknya bagi kehidupan para penghayat kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejarah panjang proses pengakuan kepada komunitas kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tersebut dimulai pada tahun 1955 melalui dibentuknya Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) di Semarang yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro. Setelah adanya pengakuan lewat dibentuknya BKKI pada tahun 1955, politik pengakuan atas kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mengalami puncaknya lewat dikotomi agama dan aliran kepercayaan mencuat pada tahun 1973 dan mulai dibawa ke arah politis, dimana pengakuan terhadap penghayat kepercayaan dijadikan alat untuk memukul kalangan Islam politis. Walaupun pada akhirnya pada tahun 1978, Presiden Indonesia ke-2, Bapak Soeharto menetapkan kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah bagian dari kebudayaan dan tidak mengarah kepada pembentukan agama baru.

Universitas Indonesia

Keberadaan penghayat kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia dijamin melalui produk hukum seperti UUD 45 Pasal 28E ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1) dan (2). Lalu UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) dan masih banyak lagi instrumen HAM Internasional yang memberikan jaminan dan

perlindungan (Tresno,2005:87-88). 6 Di satu sisi negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan dalam beragama, namun di sisi lain negara membatasi jaminan

kemerdekaan dan kebebasan tersebut hanya kepada enam agama yang diakui oleh negara melalui UU No.1/PNPS/1965. Keberadaan undang-undang tersebut dapat kita identifikasi sebagai awal mula politik pengakuan atas agama.

Implikasi politis terhadap ditetapkannya enam agama resmi oleh negara membawa pengaruh yang sangat besar, terutama kepada penghayat kepercayaan. Secara nyata, politik pengakuan pertama-tama telah memilah agama ke dalam

„agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟. Dengan diakuinya hanya enam agama oleh negara, secara tidak langsung memberikan label kepada penghayat kepercayaan. Label sebagai sebuah kelompok kepercayaan ilegal yang tidak mendapatkan pengakuan dan dan jaminan negara diluar enam agama resmi. Hal ini berimplikasi dengan tergerusnya hak-hak sipil mereka. Bukan hanya masalah hak sipil, pasca G30S/PKI sekitar tahun 1965-1966 terjadi stigmatisasi identitas

penghayat kepercayaan yang mengakibatkan „migrasi keyakinan‟ secara besar- besaran karena alasan politis dan praktis, bukan murni masalah kesadaran untuk berpindah keyakinan.

Selain itu, ada beberapa masalah yang masih terjadi berkaitan dengan pemenuhan hak sipil penghayat kepercayaan. Seperti dikemukakan Kholiludin (2009), masalah pertama terkait dengan pengisian kolom agama pada KTP. Walaupun sehari-hari mereka para penghayat kepercayaan memilih untuk menganut, mempercayai dan menjalankan etika moralitas ajaran yang mereka hayati. Tetapi karena status kepercayaan yang tidak diakui oleh negara maka yang terja di kemudian adalah keharusan untuk „transfer keyakinan‟. Mereka digiring

6 Dalam hal ini, mengacu pada Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999, pemerintah wajib bertanggung jawab, menghormati, melindungi dan memajukan hak asasi manusia, dan perundang-undangan

lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Indonesia.

Universitas Indonesia

untuk memilih agama resmi yang diakui negara atau jika menolak mereka akan mendapatkan kolom agama di KTP mereka akan dibubuhi tanda strip (-). Padahal untuk segala urusan negara mengharuskan warganya untuk mempunyai KTP. Kedua , pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan di kantor catatan sipil. Bagi pasangan suami istri yang melaksanakan perkawinan secara penghayat, pihak Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatatkannya dan memberi akte perkawinan. Meski sudah ada UU Adminduk Tahun 2006 yang membuka jalan tereliminirnya masalah, namun aturan tersebut tidak sepenuhnya menyelesaikan permasalahan. Ketiga, hak atas pendidikan. Dalam praktek mendapatkan pendidikan formal, anak-anak penghayat kepercayaan masih belum bisa mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan keyakinannya. Mereka diharuskan memilih untuk mengikuti salah satu agama di sekolah itu demi mendapatkan nilai pelajaran agama. Ini menunjukkan pemerkosaan atas hak asasi anak dalam menentukan pilihannya.

Keempat , hak untuk mengucapkan janji pegawai. Kebanyakan dari penghayat dan masyarakat penganut diluar enam agama yang diakui pemerintah yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dapat kehilangan hak promosi jabatan jika tidak melalakukan sumpah janji tidak sesuai dengan model enam agama resmi, ataupun kalau diperbolehkan, maka karirnya tidak akan berkembang. Kelima , masalah penguburan bagi penghayat yang meninggal. Hal ini menjadi salah satu masalah karena pemerintah daerah belum menyediakan lahan pemakaman khusus untuk penghayat, sehingga mereka kesulitan mendapatkan layanan untuk dikuburkan di lahan pemakaman umum yang ada. Umumnya yang terjadi bahwa ketika penghayat meninggal, kebanyakan dari mereka yang meninggal dikuburkan di lahan pemakaman pribadi atau mereka menggunakan tata cara pengurusan jenazah dan pemakaman secara agama resmi agar dapat dikuburkan di pemakaman umum. Keenam, yaitu dalam pembangunan rumah ibadah. Seperti kasus yang terjadi pada kelompok Parmalim di Sumatera Utara, dimana mereka begitu sulit mengurus perizinan dalam mendirikan rumah ibadah. Sementara itu bagi para penghayat Sapta Darma, kebanyakan tempat peribadatan dalam hal ini sanggar, masih menyatu dengan rumah warga. Hal ini masih terjadi akibat sulitnya akses untuk mendapatkan izin dalam membangun tempat ibadah.

Universitas Indonesia

Keenam masalah tersebut menjadi sangat penting untuk diangkat karena berkaitan dengan life cycle penghayat. Mulai dari pencatatan identitas hingga penguburan, keenam hak-hak sipil tersebut merupakan hak-hak paling dasar dan fundamental dalam kehidupan manusia yang harus dapat diakses dengan setara. Selain keenam masalah tersebut, tentunya masih ada masalah-masalah lainnya yang masih dialami oleh penghayat Sapta Darma, bukan hanya dalam kaitannya dengan pemenuhan hak sipil mereka sebagai warga negara, tapi juga masalah pengakuan identitas mereka ditengah ruang diskursus yang dibuka pemerintah lewat dikotomi „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟.

I.3 Asumsi dan Pertanyaan Penelitian

I.3.1 Asumsi Penelitian

Dalam Undang-Undang Dasar 1945, negara menjamin warga negaranya lewat Pasal 29 Ayat (2) ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap- tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Penerapan peraturan pemerintah lewat Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965) dengan hanya memberikan aspek legalitas kepada 6 agama resmi seakan-akan bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan. Hal ini juga memberikan dampak serius terhadap pemenuhan hak-hak sipil maupun tindakan diskriminatif terhadap identitas komunitas penghayat kepercayaan, terutama dalam hal ini penghayat Kerokhanian Sapta Darma. Studi ini bertolak dari asumsi penelitian sebagai berikut:

Komunitas penghayat Kerokhanian Sapta Darma masih mengalami diskriminasi dalam proses eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi

identitas mencakup pencantuman identitas agama di KTP; pencatatan dan registrasi perkawinan antar penghayat di Kantor Catatan Sipil; hak atas pendidikan, dalam hal ini hak untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan kepercayaannya; hak atas sumpah jabatan sesuai dengan kepercayaannya bagi PNS; hak atas lahan pemakaman dan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

I.3.2 Pertanyaan Penelitian

Terkait dengan permasalahan penelitian ini mengenai eksklusi sosial dan konstruksi identitas yang dialami oleh penghayat Sapta Darma di Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan, penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

Bagaimana proses eksklusi sosial yang dialami oleh kelompok penghayat Kerokhanian Sapta Darma terkait dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara?

Bagaimana konstruksi identitas kelompok penghayat Kerokhanian Sapta Darma? Terkait masih terjadi diskriminasi dalam pemenuhan hak-hak sipil terutama yang terjadi pada penghayat Kerokhanian

Sapta Darma di Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan.

I.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh isu seputar relasi antara negara dan agama-agama di masyarakat. Aspek penting yang melatarbelakanginya, yaitu penetapan spiritual landscape lewat Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965) yang mendikotomikan antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟. Dari latar belakang tersebut penelitian ini ingin melihat bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah tersebut terhadap komunitas penghayat aliran kepercayaan terutama yang terjadi terhadap penghayat Kerokhanian Sapta Darma di Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan. Dalam penelitian ini ada 2 aspek , pertama , eksklusi sosial pemenuhan hak-hak sipil kelompok penghayat kepercayaan Sapta Darma. Kedua, konstruksi identitas kelompok penghayat kepercayaan Sapta Darma terkait dengan terjadinya eksklusi dalam pemenuhan

Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Deskripsi keberadaan kelompok penghayat kepercayaan Kerokhanian Sapta Darma, mulai dari sejarah kemunculan hingga perkembangannya hingga saat ini.

Menjelaskan dan menganalisis proses eksklusi sosial dalam pemenuhan hak-hak sipil warga penghayat Kerokhanian Sapta Darma.

Menjelaskan proses konstruksi identitas kelompok sosial penghayat Kerokhanian Sapta Darma terkait dengan terjadinya eksklusi dalam pemenuhan hak-hak sipil.

I.5 Manfaat Penelitian

I.5.1 Manfaat Akademis

Penelitian mempelajari dan menganalisis eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas penghayat kepercayaan Kerokhanian Sapta Darma. Dengan mengambil fokus dua tema besar ini, penulis memberikan gambaran dan pemahaman mengenai keterkaitan antara eksklusi sosial dan konstruksi identitas. Lebih lanjut lagi, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan bagi kajian-kajian sosiologi, terutama bagi kajian-kajian sosiologi yang berkaitan dengan kajian sosiologi agama, identitas sosial dan kajian-kajian kelompok minoritas.

I.5.2 Manfaat Praktis

Penulis mengangkat fenomena eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas komunitas penghayat kepercayaan sebagai sebuah sumbangan akademis atas minimnya kajian terhadap komunitas penghayat kepercayaan yang selama ini masih jarang dilakukan. Dengan diangkatnya fenomena tersebut, penelitian ini diharapkan menjadi salah satu acuan informasi mengenai kelompok kepercayaan.

Universitas Indonesia

Hasil dari penelitian ini diharapkan menggambarkan kondisi riil yang terjadi pada kelompok penghayat kepercayaan, baik berhubungan dengan pemenuhan hak-hak sipil sebagai warga negara, maupun hubungannya dengan identitas mereka di masyarakat. Selain itu, penulis berharap penelitian ini dapat menjadi sebuah bahan masukan dan acuan kepada para pembuat kebijakan, baik di tingkat pusat atau daerah terhadap kelompok-kelompok minoritas.

I.6 Struktur Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membaginya kedalam enam bab. Bab

I Pendahuluan. Bab pertama berisi pendahuluan yang menggambarkan latar belakang masalah mengenai eksklusi dan diskriminasi terhadap penghayat Kerokhanian Sapta Darma. Dalam bab ini juga termasuk di dalamnya sub-bab permasalahan, tujuan penelitian, asumsi dan pertanyaan penelitian.

Bab II Kerangka Konseptual dan Tinjauan Pustaka. Pada bab kedua ini difokuskan pada tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran. Dalam bab ini terdapat sub-bab tinjauan pustaka, yaitu penelitian-penelitian atau karya tulis yang menjadi referensi terhadap penelitian ini. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai alur kerangka pemikiran yang digunakan untuk studi mengenai fenomena eksklusi dan diskriminasi penghayat Kerohanian Sapta Darma.

BAB III Metode Penelitian. Pada bab ketiga terdapat penjelasan mengenai metode penelitian yang digunakan. Diantaranya pendekatan penelitian, deskripsi informan, lokasi penelitian, proses penelitian, serta keterbatasan penelitian. Hal-hal tersebut penting dijelaskan untuk menggambarkan secara jelas bagaimana proses penelitian ini dari awal, mulai dari proses penjajagan terhadap informan, wawancara dan observasi lapangan, hingga proses penulisan hasil penelitian lapangan.

BAB IV Sejarah Kebangkitan Gerakan Kebatinan dan Kemunculan

Sapta Darma: Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan. Pada bab keempat terdapat penjelasan dan pemaparan gambaran gerakan kebatinan di

Universitas Indonesia

Indonesia dan kemunculan Kerokhanian Sapta Darma sebagai salah satu kepercayaan di Indonesia. Sejarah kemunculan gerakan kebatinan hingga perkembangan komunitas sosial penghayat Kerokhanian Sapta Darma. Dalam menggambarkan sejarah gerakan kebatinan dan perkembangan komunitas penghayat Kerokhanian Sapta Darma, peneliti mencoba melihatnya dalam paradigma hubungan antara negara dengan agama, melihat bagaimana hubungan negara dengan kelompok-kelompok minoritas aliran kepercayaan.

BAB V Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Penghayat

Kepercayaan Sapta Darma: Sebuah Diskusi Hasil Temuan. Bab kelima, penelitian ini diisi dengan analisis mengenai dimensi politik dalam eksklusi sosial yang dialami komunitas penghayat Kerohanian Sapta Darma dalam pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara dan konstruksi identitas penghayat Sapta Darma terhadap eksklusi hak-hak sipil yang mereka alami. Analisis hak-hak sipil warga negara mencakup enam hal, keenam hal tersebut seperti dalam pencantuman identitas pada KTP, pengurusan perkawinan antar pasangan penghayat, pengucapan sumpah jabatan secara kepercayaan bagi penghayat yang berkakrir sebagai PNS, lalu masalah pengurusan pemakaman bagi penghayat yang meninggal dunia, dan yang terakhir adalah seputar izin pendirian rumah ibadah. Setelah itu penulis juga akan menganalisis terkait dengan konstruksi identitas penghayat. Pada bagian akhir, penulis melihat keterkaitan antara eksklusi hak-hak sipil dengan konstruksi identitas penghayat kepercayaan Sapta Darma.

BAB VI Penutup. Pada bab keenam, bab terakhir, berisi mengenai konklusi atau kesimpulan dari penelitian ini. Dalam bab keenam ini juga terdapat saran-saran yang disusun atas permasalahan yang dialami oleh komunitas Kerokhanian Sapta Darma.

Universitas Indonesia

BAB II Tinjauan Pustaka dan Kerangka Konseptual

Pada Bab II ini, ada dua hal utama yang akan dipaparkan: pertama, merupakan pemaparan tinjauan kepustakaan mengenai penelitian atau karya ilmiah terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Beberapa tinjauan pustaka ini memberikan sebuah gambaran awal mengenai fenomena terkait dengan penelitian yang dilakukan. Kedua, merupakan pemaparan kerangka konseptual terkait dengan penelitian mengenai eksklusi hak- hak sipil dan konstruksi identitas penghayat Kerokhanian Sapta Darma, beberapa konsep yang digunakan seperti konsep konstruksi identitas, eksklusi sosial, hak sipil, dan kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa).

II.1 Tinjauan Pustaka

II.1.1 Makalah Abdul Latif Bustami ”Tuhan, Agamamu Apa? (Relasi Kuasa Republik dan Keyakinan Keagamaan Publik)”

Makalah Abdul Latif Bustami ini berjudul ”Tuhan, Agamamu Apa? (Relasi Kuasa Republik dan Keyakinan Keagamaan Publik )” makalah ini disajikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Makalah ini mengkaji bagaimana peran kuasa negara besar terhadap keyakinan keagamaan masyarakat. Dalam makalah ini, Abdul Latif Bustami memaparkan mengenai bagaimana negara melakukan hegemoni melalui penetapan agama resmi. Dari sini Abdul Latif Bustami menganalisis bahwa negara masih terperangkap pada wacana kolonial yang memaksakan penjelasan ‟besar‟ dan ‟kecil‟ dilihat dari konteks kekuasaan.

Makalah ini juga menyajikan bagaimana perjalanan agama dan negara juga kemunculan Departemen Agama yang disebut memiliki otoritas untuk menentukan yang sah atau mudaradnya kelompok kegamaan dan ditempel dengan fatwa. Belum lagi tafsir legal negara terhadap konsep negara agama yang

Universitas Indonesia 12

mendorong perumusan Ketetapan MPRS No.2 Tahun 1960 dimana negara berhak menentukan legalitas agama. Spiritual landscape ditentukan oleh kekuasaan negara melalui instrumen hukum Pepres No.1 Tahun 1965 yang menetapkan agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu.

Abdul Latif Bustami juga menjabarkan bagaimana klaim terhadap dikotomi agama dan aliran kepercayaan mencuat pada tahun 1973. Beberapa kalangan dalam masyarakat merasa keberatan dengan isu yang menyebar secara nasional bahwa akan dikabulkannya aspirasi penghayat kepercayaan yang akan menjadi agama. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) saat itu mempermasalahkan keberadaan aliran kepercayaan dan dinyatakan sebagai kebudayaan. Langkah kompromi diambil pemerintah dengan memasukkan urusan penghayat kepercayaan berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan agama formal tetap berada di bawah Departemen Agama.

Secara legal aliran kepercayaan diakui oleh negara pada tahun 1955 melalui dibentuknya BKKI (Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia) di Semarang yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro. Dalam kongres BKKI tahun 1956 di Solo ditegaskan bahwa kebatinan bukan mengarah pada pembentukan agama baru, tapi merupaka usaha ikhtiar meningkatkan mutu semua agama. Dampak pengakuan resmi terhadap lima agama itu kemudian mendorong beberapa komunitas agama lokal atau keyakinan dipaksakan masuk ke suatu agama. Kebijakan negara yang mengintervensi agama mencapai 18 buah, mulai dari surat keputusan, surat keputusan bersama hingga radiogram. Ketua Umum ICRP, Djohan Effendy menyatakan data dari Kejaksaan Agung periode 1949- 1992 terdapat 51 aliran kepercayaan yang dilarang di Indonesia. (Kompas 6 Mei 2004).

Makalah ini kemudian lebih lanjut mengungkapkan bagaimana lemahnya peran negara dan berharap negara kembali kepada fungsi semula dalam melindungi warganegaranya dalam melaksanakan kewajiban mencatatkan kelahiran, perkawinan dan kematian warganya tanpa mencampuri hal-hal yang bersifat pribadi dan hakiki. Diungkapkannya hal ini oleh penulis merupakan

sebuah kritik terhadap lemahnya pemerintah dalam mengakomodasi hak-hak warga penghayat kepercayaan.

Makalah Abdul Latif Bustami memberikan gambaran awal kepada penulis dalam proses penulisan penelitian ini. Selain itu juga, makalah ini juga memberikan pijakan penelitian ini dengan menekankan pada inkonsistensi negara lewat kebijakan-kebijakan yang dibuat yang mempengaruhi terjadinya dikotomi antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟

II.1.2 Skripsi Puji Lestari “Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-200 5.”

Penulis menggunakan Skripsi Puji Lestari yang berjudul “Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958- 2005.” sebagai salah satu tinjauan pustaka untuk menggali gambaran mengenai sejarah dan eksistensi komunitas Sapta Darma. Skripsi Puji Lestari ini menggunakan metode sejarah atau historiografi dalam penulisannya. Dalam skripsi ini, metode sejarah dideskripsikan sebagai proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui sejarah awal munculnya organisasi Sapta Darma, lalu untuk Mengetahui perkembangan komunitas penghayat Sapta Darma di Kecamatan Juwana dalam rentang waktu 1958-2005 dan yang terakhir adalah untuk mengetahui peran dan pengaruh komunitas Sapta Darma terhadap masyarakat Kecamatan Juwana.

Dalam skripsi ini, pendekatan yang digunakan Puji Lestari dalam penelitiannya mengenai perkembangan komunitas Sapta Darma 1958- 2005 adalah pendekatan kebudayaan. Penghayat kerohanian Sapta Darma adalah salah satu bentuk kebudayaan spiritual Jawa yang masih berkembang sampai saat ini. Adanya Komunitas Kerokhanian Sapta Darma ini menunjukan bahwa masih adanya budaya- budaya lama yang muncul kembali ditengah kebudayaan modern. Dalam skripsi ini, Puji Lestari menggunakan teori atau konsep yang mendukung pendekatan kebudayaan. Teori dan konsep mengenai kemunculan budaya lama salah satunya dijelaskan melalui teori Rahmat Subagya yang menyatakan bahwa

zaman modern membawa serta macam- macam perubahan. Dalam teorinya, Rahmat Subagya menilai bahwa kebatinan menuju integrasi kembali kepada nilai- nilai asli yang terdesak oleh modernisasi. Seluruh kebatinan bergerak di bawah tanda protes dan kritik, terhadap zaman sekarang. Protes dan kritik terhadap zaman sekarang. Protes dan kritik itu dilontarkan dari sudut tertentu, yaitu kerinduan akan zama lampau dan akan nilai- nilai lama yang hilang.

Perkembangan komunitas Sapta Darma di kecamatan Juwana dimulai sejak masuknya ajaran kerohanian Sapta Darma di kecamatan Juwana yang dibawa langsung oleh Bapak Panutan agung Sri Gutomo. Warga Sapta Darma semakin bertambah sehingga pada tahun 1978 di kecamatan Juwana didirikan Sanggar Candi Busono dimana sanggar ini merupakan sanggar pusat tidak hanya di wilayah kecamatan Juwana tetapi juga dibentuk wilayah kabupaten Pati. Sejak masuk dan dikenalnya ajaran Sapta Darma di Kecamatan Juwana, masyarakat yang menjadi warga Sapta Darma pada tahun 2005 bekisar antara 300 sampai 400 orang. Puji Lestari dalam skripsinya menjelaskan 3 tipologi penghayat yang ada di Kecamatan Juwana dibedakan menjadi: 1). Warga yang beragama. Yaitu orang yang sebelum masuk kedalam ajaran Sapta Darma sudah mengenal dan menjalankan ajaran agama, misalnya sebelum masuk Sapta Darma orang tersebut beragama Islam, Kristen, Budha maupun Hindu, kemudian meninggalkan agamanya dan menjalankan ajaran Sapta Darma 2). Warga yang beragama dan kepercayaan . Yaitu orang yang masuk Sapta Darma, tetapi juga beragama. Jadi orang tersebut selain menjalankan agama, misalnya agama Islam ataupun kristen, juga menjalankan ajaran Sapta Darma. 3). Warga yang hanya mengenal kepercayaan . Yaitu orang yang masuk Sapta Darma dan sebelumnya tidak pernah mengenal agama apapun. Jadi orang tersebut pada dasarnya hanya mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Puji Lestari dalam skripsinya juga mengungkapkan bahwa perkembangan warga Sapta Darma di kecamatan Juwana mengalami kemunduran pada tahun 1965. hal ini disebabkan karena adanya Pemberontakan G-30-S/PKI, pada tahun ini masyarakat mulai masuk kedalam agama-agama yang telah diakuai oleh pemerintah, karena pada saat itu masyarakat yang tidak memeluk satu agama

dianggap sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Walaupun demikian para warga Sapta Darma di daerah kecamatan Juwana tetap menjalankan kegiatan peribadatan dibawah tuntunan Pak Suklar, yaitu penuntun Sapta Darma pertama di Kecamatan Juwana. Sapta Darma di Kecamatan Juwana pada waktu itu juga mengalami pengawasan dari pihak kepolisian. Akan tetapi karena ajarannya dianggap tidak melenceng atau sesat, maka ajaran ini diberi ijin dan dibiarkan berkembang. Penelitian yang dilakukan Puji Lestari tentang Organisasi Sapta Darma di Kecamatan Juwana mengungkapkan bahwa dalam organisasi Sapta Darma sebenarnya tiap warganya tidak memiliki ikatan, keluar masuk menjadi warga Sapta Darma adalah suatu kebebasan, hanya setelah G-30-S PKI, harus diadakan penelitian bagi warga yang baru, misalnya tanda bersih diri, kartu tanda penduduk dan siapa yang bertanggung jawab dan lain-lain.

Skripsi ini juga menggambarkan perkembangan selanjutnya setelah peristiwa tahun 1965. Warga Sapta Darma semakin bertambah sehingga pada tahun 1978 di kecamatan Juwana didirikan Sanggar Candi Busono dimana sanggar ini merupakan sanggar pusat tidak hanya di wilayah kecamatan Juwana tetapi juga dibentuk wilayah Kabupaten Pati. Pada awal tahun 1990 manajemen keorganisasian mengalami kemajuan dan mengalami perbaikan dengan dibentuknya sistem kepengurusan.

Pada bagian akhir, skripsi ini mengambil kesimpulan bahwa keberadaan ajaran kerohanian Sapta Darma di Kecamatan Juwana mempunyai dua fungsi yaitu fungsi internal bagi warganya dan fungsi eksternal yaitu fungsi ajaran kerohanian Sapta Darma bagi warganya dalam hidup bersosialisasi dengan masyarakat. Peran dan pengaruh adanya komunitas Sapta Darma di kecamatan Juwana tidak dapat terlihat secara jelas, tetapi dapat dirasakan bahwa keberadaan mereka membawa dampak yang baik bagi kehidupan bermasyarakat . Hal ini dikarenakan mereka masih menggunakan etika Jawa yang menjunjung tinggi sikap tepo seliro, andap asor lan nrimo serta nilai tata karma.

Skripsi Puji Lestari ini memperkaya kajian literatur sejarah penelitian ini melalui penggambaran mengenai gambaran sejarah gerakan kebatinan di Indonesia. Sementara itu dalam konteks identitas penghayat, penelitian Puji

Lestari juga melihat bagaimana keterkaitan identitas penghayat pasca tragedi 1965 dan bagaimana keterkaitan antara pola pemahaman wewarah tujuh terhadap peranan warga Sapta Darma di masyarakat. Hal ini menjadi gambaran bagi penulis dalam melihat konstruksi identitas penghayat di masyarakat.

II.1.3 Buku Tedi Kholiludin “Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus „Agama Resmi‟ dan Diskriminasi Hak Sipil.”

Dalam buku sekaligus karya akademis Tedi Kholiludin, ia mencoba menggambarkan potret kebijakan politisasi negara atas agama. Buku ini disusun melalui serangkain kegiatan penelitian yang dilakukan Tedi Kholiludin melalui penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka yang menjadi sumber data, sumber data tersebut berupa literatur yang berkaitan dengan substansi penelitian ini. Untuk mendapatkan data yang diperlukan peneliti menggunakan metode library research. Tedi Kholiludin juga melakukan serangkaian wawancara untuk menambah data temuan tulisan ini.