1 Bagan Kerangka Konseptual

Gambar II.1 Bagan Kerangka Konseptual

Dekonstruksi Identitas

Hak-Hak Sipil:

Eksklusi Sosial

Hak pencantuman identitas di kolom agama

Identitas Sapta Hak pencatatan perkawinan antar penghayat.

(Aktif dan Pasif) KTP

Hak pendidikan agama bagi anak penghayat. Hak sumpah jabatan dengan tata cara

penghayat. Darma Hak atas lahan pemakaman dan pemakaman

Diskriminasi (Individual dan penguburan sesuai dengan

kepercayaannya

dan Strukutarl)

ibadah. Hak untk berkumpul dan mendirikan rumah

Konstruksi Identitas

Sumber: Diolah oleh penulis

BAB III Metode Penelitian

Pada Bab III ini dijelaskan mengenai pendekatan yang digunakan pada penelitian ini. Dalam Bab ini juga dijelaskan mengenai informan dan karakteristiknya, lokasi penelitian, keterbatasan penelitian, dan proses penelitian yang menjelaskan tahapan-tahapan proses penelitian yang dilakukan dalam penelitian mengenai Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Penghayat Kerokhanian Sapta Darma.

III.1 Pendekatan Penelitan

Penelitian mengenai eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas penghayat kepercayaan Sapta Darma komunitas Sanggar Candi Busana (SCB) Jakarta Selatan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam bentuk sebuah latar ilmiah (Cresswell,2002:1). Dalam tradisi penelitian kualitatif terdapat keragaman aliran teori , tetapi semuanya bermuara pada alasan-alasan (reasons) yang tersembunyai dibalik tindakan para pelaku tindakan sosial. Atau bermuara pada makna sosial (social meaning ) dari suatu fenomena sosial. Fokusnya bisa dalam rangka untuk menemukan etika macam apa yang tersembunyi dibalik sebuah fenomena sosial, atau fokusnya untuk menemukan frame (pola pikir) macam apa yang terpancar di balik satu fenomena sosial (Cresswell,2002:45).

Pendekatan kualitatif ini digunakan untuk mendapatkan gambaran secara holistik dan mendalam mengenai proses eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas yang dialami oleh penghayat kepercayaan Sapta Darma. Selain itu penulis juga menyajikan gambaran mengenai sejarah kemunculan dan Komunitas

Universitas Indonesia

Sapta Darma. Dengan digunakannya pendekatan ini, maka akan ditemukan meaning dan pandangan terperinci para penghayat kepercayaan Sapta Darma terkait dengan eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas yang mereka alami.

III.2 Jenis Penelitian

Penelitian mengenai eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas penghayat kepercayaan Sapta Darma tergolong dalam penelitian terapan (applied research ). Penelitian terapan berusaha memecahkan masalah-masalah spesifik terkait dengan kebijakan-kebijakan (Neumann,2003:21). Penelitian terapan biasa menggunakan tipe penelitian deskriptif, dan kekuatannya ada pada level penggunaan yang lebih praktikal. Penelitian ini mencoba menggambarkan bagaimana eksklusi sosial dalam penerapan kebijakan pemerintah dalam hak-hak sipil kepada kelompok penghayat kepercayaan Sapta Darma di Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan dan implikasinya terhadap konstruksi identitas kelompok ini.

Sementara itu penelitian ini jika dilihat berdasarkan tujuannya termasuk dalam tipe penelitian deskriptif. Menurut Neumann (2003) penelitian deskriptif merupakan sebuah penelitain yang mengeksplorasi isu-isu baru dan menjelaskan bagaimana sebuah fenomena terjadi. Penelitian ini mencoba menggambarkan kelompok penghayat Kepercayaan Sapta Darma dan proses yang terjadi berkaitan dengan eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas yang mereka alami. Hal ini sejalan dengan gambaran penelitian deskriptif yang biasanya menyajikan sebuah gambaran atau profil dari sebuah kelompok, selain itu juga menggambarkan proses, mekanisme dan hubungan.

Penelitian ini berdasarkan dimensi waktu digolongkan menjadi Case Study . Penelitian case study membantu dalam menganalisis level mikro, tindakan individu, ke level makro sruktur sosial dan proses sosial skala besar.(Neumann,2003:29) Dengan menggunakan tipe penelitian case study ini penulis mengaharapkan data yang didapat akan lebih detail dan bervariasi. Penulis menggunakan tipe case study ini untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan

analisis yang intensif mengenai permasalahan konstruksi identitas penghayat dan eksklusi hak-hak sipil yang terjadi pada kelomok penghayat kepercayaan Sapta Darma. Mulai dari level mikro yaitu yang berkaitan dengan pengalaman individu yang berkaitan dengan eksklusi sosial dan konstruksi identitas yang mereka alami. Hingga pada level makro yang berkaitan dengan bagaimana peranan negara terkait dengan regulasi terhadap kelompok minoritas penghayat kepercayaan.

III.3 Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah komunitas, yaitu komunitas penghayat Sapta Darma Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas terhadap Penghayat Sapta Darma Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan.

III.4 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dari studi ini adalah Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan yang terletak di Jalan Yado I no. E8 RT 04 RW 04 Kelurahan Gandaria Utara, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun beragamnya letak tempat tinggal informan Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan, membuat penelitian secara teknis tidak hanya berfokus pada scope Jakarta Selatan bahkan Jakarta, namun daerah-daerah sekitarnya seperti Bekasi dan Tangerang. Hal ini terjadi karena kondisi dan perkembangan para penghayat, seiring berjalannya waktu seperti disebabkan oleh faktor perpindahan dan ketersediaan sanggar di daerah masing-masing. Oleh karenanya, komunitas ini tidak dibatasi secara spasial wilayah.

Pemilihan Jakarta dan Komunitas Sanggar Candi Busana (SCB) Jakarta Selatan sebagai lokasi penelitian tidak luput dari berbagai pertimbangan yang diambil oleh penulis. Beberapa pertimbangan tersebut meliputi:

Pertama, SCB Jakarta Selatan merupakan sanggar pusat di DKI Jakarta. Anggota-anggota komunitasnya juga merupakan perwakilan dari tiap-tiap

daerah di Jakarta maupun daerah-daerah di sekitarnya seperti Bogor, Tangerang dan Bekasi. Kegiatan laporan dari tiap-tiap wilayah diadakan setiap bulan pada hari Sabtu di minggu terakhir.

Kedua, karena sifatnya sebagai sanggar pusat DKI Jakarta, maka penulis bisa melihat permasalahan yang diangkat ke level yang lebih luas, yaitu level Jakarta. Anggota-anggota Komunitas SCB Jakarta Selatan adalah

merupakan perwakilan-perwakilan tingkat Kotamadya di Jakarta. Komunitas SCB Jakarta Selatan ini juga merupakan sebuah wadah informasi terkait dengan sosialisasi kebijakan-kebijakan dari Pemerintah, maupun kebijakan-kebijakan organisasional Sapta Darma dari pusat (Yogyakarta).

Ketiga, pusat Kerokhanian Sapta Darma terletak di Yogyakarta, namun pemilihan Jakarta sebagai lokasi penelitian dikarenakan letak Jakarta yang

strategis sebagai pusat pemerintahan dan politik. Karena letaknya itulah Komunitas Sapta Darma di Jakarta lebih sering terjun secara langsung dalam memperjuangkan hak-hak penghayat ke para stakeholder pembuat kebijakan seperti Kemenbudpar, DPR, Pemda, dan sebagainya.

Keempat, konteks demografi masyarakat Jakarta yang terdiri dari beragam latar belakang juga menjadi dasar penulis mengamabil lokasi penelitiannya

di Jakarta. Potensi gesekan antara beragamnya latar belakang memang dinilai jauh lebih besar. Memang, walaupun pada kenyataannya secara tingkat konflik tidak sebegitu kritisnya seperti yang terjadi di daerah- daerah, hal ini juga menandakan bahwa komunitas Sapta Darma di Jakarta ini mampu melakukan sebuah adaptasi, walaupun dalam kesehariannya diskriminasi terhadap identitas mereka masih saja melekat.

Dari keempat alasan tersebut, akhirnya penulis memilih melakukan penelitian di Komunitas SCB Jakarta Selatan, yang merupakan sanggar pusat Penghayat Kerokhanian Sapta Darma di DKI Jakarta. Penulis menyadari bahwa pemilihan

lokasi penelitian yang tepat akan memudahkan penulis menggali data terkait dengan fenomena konsruksi identitas dan eksklusi hak-hak sipil yang dialami kelompok masyarakat penghayat kepercayaan, oleh karena itu pemilihan lokasi penelitian di SCB Jakarta Selatan diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi riil bukan hanya lingkup Jakarta Selatan, namun lingkup yang lebih besar lagi yaitu Jakarta.

Gambar III.1 Peta Lokasi Penelitian

“Sanggar Candi Busana Jaksel”

Jl. Yado I No. E8

Sumber: Google Maps

III.5 Informan

Proses penentuan informan merupakan salah satu hal penting dalam sebuah penelitian. Dengan penentuan informan yang tepat, maka akan didapat data dan informasi yang mendalam dan akurat. Dalam penelitian ini, penulis mewawancarai 9 orang informan. Informan-informan dalam penelitian ini terdiri dari orang-orang yang terkait langsung dan merupakan anggota dari Komunitas SCB Jakarta Selatan. Penulis anggap mengerti, memahami dan juga memiliki pengalaman seputar masalah konstruksi identitas sebagai penghayat kepercayaan dan eksklusi hak-hak sipil penghayat Kerokhanian Sapta Darma, dalam kategori ini diambil empat orang informan. Sementara itu untuk mendapatkan gambaran mengenai sejarah dan aktifitas SCB Jakarta Selatan, dalam proses penelitian ini juga mewawancarai dua orang informan yang merupakan pengurus SCB Jakarta Selatan. Rekomendasi dan kontak informan-informan yang berasal dari Komunitas SCB Jakarta Selatan didapat melalui seorang gatekeeper yaitu informan BI. Ia merupakan Tuntunan Provinsi DKI Jakarta, yang merekomendasikan ke beberapa orang informan lainnya seperti informan SK, yang juga merupakan Tuntunan Provinsi DKI, lalu informan GP, dan informan ES. Informan BI diwawancarai sebanyak dua kali dalam kapasitasnya sebagai anggota Komunitas SCB Jakarta Selatan dan sebagai pengurus SCB Jakarta Selatan.

Selain itu, informan juga diambil dari pengurus Sanggar Sapta Rengga Yogyakarta, yang merupakan sanggar Sapta Darma Pusat, yang terdiri dari satu orang Staf Tuntunan Agung dan satu orang Pengurus Persada (Persatuan Warga Sapta Darma) Pusat. Beberapa orang yang diwawancarai seperti informan RW yang merupakan Pengurus Remaja Pusat Persatuan Warga Sapta Darma (Persada), dan informan TD yang merupakan Staf Tuntunan Agung Sapta Darma. Dari kedua informan ini penulis mendapatkan gambaran mengenai gambaran Sapta Darma secara umum, baik mengenai sejarah kemunculannya dan juga ajaran-ajarannya, dan masalah-masalah yang masih dihadapi. Melalui kontak dengan Sanggar Sapta Rengga Yogyakarta, penulis juga mendapatkan data

sekunder lewat buku Kerokhanian Sapta Darma yang di dalamnya menjelaskan dari mulai asal usul sejarah turunnya wahyu hingga ajaran-ajaran Sapta Darma.

Yang terakhir adalah dari unsur warga masyarakat sekitar yang diambil sebanyak dua orang informan. Dua orang informan penulis ambil untuk mewakili unsure warga masyarakat yang terdiri dari satu orang pengurus RW 04 dan satu orang tokoh masyarakat setempat. Informan MR merupakan Ketua RW 04 dan informan SG merupakan salah seorang tokoh yang dituakan di Komplek Yado. Proses wawancara terhadap warga masyarakat sekitar dilakukan untuk menggali gambaran mengenai konteks hubungan komunitas SCB Jakarta Selatan dengan warga masyarakat RW 04 yang merupakan komunitas masyarakat yang hidup berdampingan dengan keberadaan SCB Jakarta Selatan

Tabel III.1 Kategori Informan Penelitian

Informan

Unsur

Jenis Data Yang Dibutuhkan

RW, TD

Pengurus Organisasi

Gambaran umum sejarah dan

Pusat Sanggar Candi

ajaran Sapta Darma, keorganisasian Sapta Darma

Sapta Rengga,

Secara Nasional, dinamika

Yogyakarta (Sanggar

penghayat dan masalah-masalah

Pusat Nasional)

umum yang masih terjadi.

BI, ES, GP, SK

Penghayat Sanggar Candi Gambaran masalah mengenai

Busana Jakarta Selatan

pemenuhan hak-hak sipil (KTP, Perkawinan, Pemakaman, Sumpah PNS, Pendidikan, Pendirian Sanggar dan Berkumpul), gambaran masalah yang dihadapi seputar konstruksi identitas penghayat.

BI, KS

Pengurus Sanggar Candi Gambaran sejarah masuknya

Busana Jakarta Selatan. ajaran Sapta Darma di Jakarta,

sejarah pendirian Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan, gambaran umum keorganisasian dan kegiatan penghayat di Sanggar

Jenis Data Yang Dibutuhkan

Candi Busana Jakarta Selatan.

MR, SG

Pengurus RW 04

Gambaran mengenai konteks

Kelurahan Gandaria

hubungan komunitas SCB Jakarta Selatan dengan warga masyarakat

Utara dan Masyarakat di RW 04 yang merupakan

Lingkungan RW 04.

komunitas masyarakat yang hidup berdampingan dengan keberadaan SCB Jakarta Selatan

Sumber: Diolah oleh penulis

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik wawancara mendalam dan juga observasi untuk mendapatkan informasi terkait dengan eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas penghayat kepercayaan. Adapun karakteristik masing-masing informan adalah sebagai berikut:

III.5.1 Informan BI

BI seorang bapak berusia 51 tahun, berstatus menikah memiliki dua orang anak. Anak pertama beliau kuliah di salah satu kampus swasta di bilangan Sudirman sementara anak kedua beliau masih duduk di kelas dua SMA. BI merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada sekitarawal 1980an. Dengan latar belakangnya itu ia pernah bekerja di bagian legal beberapa Bank swasta sampai akhirnya ia mengundurkan diri dan membentuk law firm dan konsultan hukum terutama untuk masalah-masalah yang sifatnya non-litigasi. Informan BI juga aktif dalam keorganisasian Sapta Darma, ia merupakan Tuntunan Agung tingkat Jakarta. Oleh karena itu informan BI sangat paham mengenai permasalahan hukum terkait hak-hak sipil penghayat dan dalam kapasitasnya sebagai Tuntunan Provinsi, pengetahuan beliau mengenai masalah kerohanian dapat dijadikan acuan dan hubungan-hubungan beliau dengan penghayat dapat memberikan gambaran mengenai masalah-masalah yang dialami penghayat di tingkat bawah.

Latar belakang Informan menjadi penghayat kepercayaan tidak lepas dari latar belakang keluarga informan yaitu bapak dan ibu informan merupakan penghayat Sapta Darma. Ayahanda informan, Bapak Soedono, merupakan salah

satu orang kepercayaan Bapa Panunutun Sri Gutama, beliau merupakan sesulih atau perwakilan organisasi Sapta Darma. Sementara itu ibunda informan, Ibu Kartini Soedono, saat ini menjadi staf Tuntunan Agung yang bergerak di bidang kewanitaan. Walaupun informan BI merupakan salah satu Tuntunan Provinsi, namun beliau membebaskan anaknya dalam hal keyakinan keagamaan. Hal ini bisa dilihat karena dalam keluarganya, anak dan istrinya memeluk agama Islam. Iklim politis di Indonesia yang masih belum sehat membuat informan membebaskan anak-anaknya dalam memeluk agama, ia juga memikirkan perkembangan kejiwaan anak-anaknya. Sebelum UU Adminduk keluar, beliau masih mencatumkan salah satu agama resmi di KTP beliau, namun semenjak UU Adminduk itu keluar beliau segera menggantinya, walaupun tidak diikuti oleh istri dan anak-anaknya.

Mengenai identitas informan sebagai penghayat, informan menceritakan bahwa memang masih terjadi diskrminasi identitas. Bahkan hal tersebut dialaminya di level institusi keluarga, terutama di keluarga mertuanya, hal ini yang kemdian juga secara tidak langsung berimbas ke anak-anak informan. Memang diakui informan masih ada pandangan aneh terhadap komunitas penghayat, terutama yang datang dari orang-orang yang fanatis. Menurut informan, adanya Stigma dan labeling terhadap identitas Sapta Darma diakibatkan oleh kurangnya level edukasi masyarakat dan ketakutan secara politis dari kaum mayoritas. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, menurut informan sangat penting membangun komunikasi dan approach ke masyarakat juga menjaga hubungan baik, juga tidak bersifat mentang-mentang ke sekitarnya adalah kunci menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar. Ia mencontohkan seperti pada event Suroan kemarin yang diadakan di SCB Ganefo, semangat berbagi dengan masyarakat sekitar Sanggar adalah salah satu cara untuk dekat dengan komunitas masyarakat sekitar.

III.5. 2 Informan ES

Informan ES berusia 41 Tahun merupakan salah satu penghayat Sapta Darma di Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan. Informan ES memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Mekanisasi Pertanian di Intitut Pertanian Bogor angkatan 1987. Informan sudah berkeluarga dan memiliki tiga orang putra. Informan bekerja di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang sertifikasi ISO 9000. Informan ES merupakan salah satu generasi muda penghayat Sapta Darma yang cukup aktif dalam melakukan kegiatan-kegiatan dalam komunitas dan hubungan-hubungan dengan dengan Tuntunan Provinsi DKI Jakarta maupun Tuntunan Agung di Yogyakarta. Informan direkomendasikan oleh salah seorang staf pengajar dosen Sosiologi Pedesaan, yaitu Bapak Daddy Heryono Gunawan. Dari informan juga didapatkan informasi-informasi yang berharga seputar masalah-masalah yang dialami oleh para penghayat terutama dalam masalah identitas penghayat dalam masyarakat.

Informan berasal dari keluarga abangan Jawa, menjadi penghayat di usia

16 tahun. Informan sempat juga mengikuti pendidikan Islam di Madrasah saat informan kecil. Identitas istri informan juga merupakan penghayat kepercayaan. Informan juga memperkenalkan ajaran ini juga ke anak-anaknya. Namun karena anak tertuanya bersekolah di sekolah negeri, supaya tidak bermasalah di sekolah, informan mengikutkan identitas Kartu Keluarga anak-anaknya ke salah satu agama formal. Menurut informan faktor lambannya regenerasi penghayat menurut informan diakibatkan oleh faktor pendidikan anak yang semakin tidak memberikannya waktu untuk melakukan aktifitas lainnya disamping juga faktor gesekan identitas anak di pergaulannya, apalagi si anak tidak mendapat support yang cukup dari orangtuanya.

Informan ES tidak menutup-nutupi identitasnya sebagai penghayat kepercayaan kepada lingkungan sekitarnya. Yang penting bagi informan, ia dapat menempatkan diri ke sekitarnya. Sebagai seorang penghayat kepercayaan, informan juga membuka pintu jika ada yang ingin bertanya mengenai identitasnya. Pendidikan masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal informan yang memang masih kurang juga dikeluhkan informan, walaupun secara umum

baik, tapi mereka masih dinilai belum siap dalam menghadapi perbedaan. Mengenai identitas penghayat Sapta Darma di masyarakat, informan mengatakan bahwa pada level penghayat menengah kebawah masih adanya labeling orang kejawen . Karena masih banyak orang yang belum tahu mengenai kepercayaan Sapta Darma. Informan juga sangat terbuka dalam membagi cerita pribadi mengenai identitasnya sebagai seorang penghayat kepercayaan. Terutama mengenai pengalamannya mendapatkan teror dari teman-temannya karena kepercayaannya yang dianggap menyimpang oleh lingkungan pergaulan informan. Hal ini terjadi semasa informan dahulu menjalankan masa perkuliahannya di Institut Pertanian Bogor (IPB).

III.5. 3 Informan GP

Informan GP merupakan salah satu informan yang di rekomendasikan dari hasil wawancara sebelumnya dengan informan BI. Informan GP berusia 56 tahun, Informan GP memiliki seorang istri dan tiga orang putra dan putri. Istrinya bekerja sebagai guru BK (Bimbingan dan Konseling) di SMA Negeri 90 Jakarta. Sementara itu putra-putrinya sudah ada yang menamatkan jenjang perkuliahan, putri keduanya masih menempuh jenjang perkuliahan di Universitas Padjajaran Bandung, sementara putra terakhirnya masih duduk di bangku kelas II SMA Negeri 112. Informan GP merupakan salah seorang pegawai Departemen Keuangan. Ia ditempatkan pada bagian Sekertariat Pengadilan Pajak setelah sebelumnya di Biro Hukum. Pada bulan Maret ini ia akan segera pensiun dari jabatannya tersebut. Informan GP menrupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 1976.

Ayahanda dan ibunda informan merupakan tuntunan Sapta Darma di Surabaya. Informan sejak kecil diperkenalkan ajaran Sapta Darma, namun informan mulai aktif menjadi penghayat semenjak SMA. Informan tidak menutupi identitasnya, malah ia terbuka bagi yang ingin mengetahui tentang ajaran Sapta Darma. Salah satu pengamalan Wewarah tujuh nomor enam, bebrayan atau bergaul ke sesamanya, saling kasih sayang di lingkungan. Di dalam keluarganya,

hanya informan yang menjadi penghayat dan mencatatkannya di KTP dan juga KK. Anggota keluarga informan yang lain beragama Islam. Bahkan istri dan anak perempuan pertamanya sudah melaksanakan ibadah Haji. Informan GP aktif di keorganisasian Sapta Darma semenjak beliau pindah ke Jakarta dan masuk bangku perkuliahan pada tahun 1975. Semenjak itu beberapa posisi penting keorganisasian Sapta Darma seperti Ketua Remaja Nasional hingga perwakilan Sapta Darma Pusat di Jakarta pernah dipercayakan kepada informan.

Menurut informan ada beberapa faktor yang menyebabkan minimnya aktifitas penghayat saat ini. Masalah regenerasi secara biologis menurut informan masih berjalan. Namun sulitnya berkumpul dan berinteraksi karena kesibukan dianggap menjadi penghalang. Juga keengganan generasi muda untuk menjalankan ritual dan sedikitnya orang yang mau turun hingga ke tingkat penghayat menjadi masalah tersendiri dalam regenerasi. Karena sifat dari ajaran ini lebih banyak “diam” atau lebih defensif mengenai tata cara penghayatannya

dan penyebarannya, sehingga dapat menghindari benturan-benturan yang tidak perlu. Informan sendiri pernah terlibat ketegangan dengan pihak keluarga terkait dengan identitas informan sebagai penghayat. Pada saat prosesi pemakaman ayahanda dari informan GP, beberapa orang dari pihak keluarga merasa keberatan jika prosesi pemakaman menggunakan tata cara kepercayaan, padahal informan sudah merelakan prosesinya menggunakan tata cara yang umum. Selebihnya, tidak pernah ada masalah mengenai identitas informan, malah informan sering berdiskusi dengan teman-temannya di kantor yang ingin mengetahui tentang ajaran Sapta Darma.

III.5. 4 Informan SK

Informan SK merupakan salah satu tuntunan provinsi DKI. Informan SK juga dinilai oleh informan GP juga lebih sering turun di tingkat warga jadi beliau cukup bisa menggambarkan dinamika yang terjadi di warga Sapta Darma khususnya di Jakarta. Informan SK berusia 58 tahun adalah pensiunan Pegawai Negeri Sipil Pemda DKI Jakarta yang ditempatkan di Dinas Olahraga. Beliau

pensiun pada tahun 2006 lalu dan sampai saat ini masih aktif berolahraga tenis dua kali tiap minggunya di Gelanggang Olahraga Ragunan. Beliau pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Gelanggang Olah Raga Ragunan. Beliau merupakan lulusan Sekolah Tinggi Olahraga (STO) di Solo yang lulus pada tahun 1978.

Dari beberapa informan yang penulis wawancarai, hanya informan SK yang menikah dengan tata cara penghayat. Pernikahannya sendiri dilakukan pada 1980 di Purwokerto. Baik informan maupun istri merupakan penghayat. Beliau lahir di keluarga abangan yang cukup bebas dalam menentukan keyakinan, hal ini dapat dilihat dari saudara saudari informan yang berbeda keyakinan. Menurutnya hal ini dikarenakan kultur di Solo yang tidak terlalu ekstrim dalam masalah keyakinan, membuat terjadinya bermacam keyakinan dalam satu keluarga dimungkinkan terjadi.

Sebagai salah seorang Tuntunan Provinsi DKI Jakarta, informan menuturkan bahwa belakangan ini terjadi penurunan aktifitas penghayat yang diakibatkan oleh dua faktor, yaitu perpindahan penghayat dan juga kondisi kesibukan dan kemacetan Jakarta yang makin parah. Regenerasi penghayat ke generasi yang lebih muda masih terjadi. Penggunaan teknologi informasi seperti jejaring sosial membantu banyaknya masuk penghayat-penghayat baru. Namun unuk generasi yang lebih tua, fenomena ini sudah sulit untuk diikuti.

Dalam hal identitas, informan SK tidak pernah menutup-nutupi identitasnya sebagai penghayat kepercayaan. Walaupun sewaktu informan bekerja sebagai PNS di Pemda DKI Jakarta, KTP informan masih diisi oleh salah satu agama resmi. Informan menceritakan bahwa seringkali ia mendapat ledekan- ledekan dari teman sekantornya yang kadang mengganggunya, tapi informan tidak pernah ambil pusing. Informan juga sering dihadapkan banyak pertanyaan- pertanyaan awam mengenai identitasnya. Pilihan informan sebagai penghayat Sapta Darma sempat dianggap aneh oleh keluarganya dan menjadi pembicaraan. Hal ini terjadi karena informan adalah anak pertama yang seharusnya memberi panutan kepada adik-adiknya. Dari pengalamannya tersebut informan sebagai tuntunan provinsi selalu mensosialisasikan warganya agar tidak eksklusif dan

selalu aktif mengikuti kegiatan di lingkungannya. Informan juga mengatakan bahwa banyak warga Sapta Darma yang mengabdi di lingkungannya lewat kelebihannya dalam pangusadan atau pengobatan lewat jalan Sapta Darma dimana mereka memberikan pengobatan secara gratis ke lingkungan sekitarnya.

III.6 Etika Penelitian

Dalam melakukan proses pengumpulan data terhadap informan dari penelitian ini, penulis menjelaskan maksud dan identitasnya kepada informan, atau disebut juga Informed Consent. Sebelum melakukan wawancara kepada para informan, penulis memperkenalkan diri terlebih dahulu untuk menyampaikan maksud dan tujuannya dalam mewawancarai informan. Penulis menjelaskan bahwa hal ini merupakan bagian dari penelitian terhadap pengalaman-pengalaman mereka seputar eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas penghayat kepercayaan. Adanya kecenderungan dalam memberikan informasi yang subjektif dilihat hanya dari sisi informan adalah merupakan efek digunakannya Informed Consent .

Subjektifitas informasi oleh informan terkait dengan hubungan emik dan etik dalam penelitian ini. Emik adalah sebuah pengkategorian fenomena menurut pandangan warga setempat (Endraswara,2006:54). Sementara itu dalam sudut pandang etik adalah dengan digunakannya kategori-kategori yang mengacu pada konsep-konsep sebelumnya. Karakter yang digunakan dalam menjelaskan fenomena-fenomena sosial pada umumnya dijelaskan secara emik, namun dalam perkembangannya digunakan pandangan emik dan etik secara terpadu (Sudarma,2008:18). Penelitian ini menggunakan pendekatan emik yang melihat fenomena dari sudut pandang penghayat Sapta Darma. Dalam penelitian yang bersifat emik, penulis masuk ke dalam kehidupan komunitas penghayat Sapta Darma SCB Jakarta Selatan. Pandangan-pandangan penghayat terhadap komunitasnya bersifat sangat khas, diantaranya bahasan tentang ajaran-ajaran ataupun istilah-istilah dalam Kerokhanian Sapta Darma. Pandangan-pandangan tersebut digali melalui proses observasi tidak langsung mengenai ritual-ritual, dan

observasi ke lokasi penelitian untuk menggali atribut-atribut yang digunakan komunitas secara bersama. Penulis juga menggali pemaparan fenomena seputar komunitas dan hubungannya dengan masyarakat sekitar. Juga terhadap bagaimana pemenuhan hak-hak sipil informan berdasarkan sudut pandang informan.

Sementara itu, guna menjaga dan melindungi informan, maka dalam penelitian ini penulis menyamarkan nama informan dengan menggunakan inisial atau anonymity. Permintaan agar penulis menggunakan anonymity salah satumya juga atas permintaan informan-informan penelitian ini.

III.7 Tahap Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang meliputi wawancara mendalam kepada sembilan orang informan terkait dengan masalah eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas yang dialami informan. Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh keterangan dan informasi untuk tujuan penelitian melalui tanya jawab serta tatap muka antara pewawancara dengan informan yang diwawancarai dengan atau tanpa pedoman wawancara. Untuk menggali informasi secara detail dari informan penulis menggunakan wawancara terstruktur dan tidak berstruktur. Wawancara terstruktur yaitu teknik wawancara dimana peneliti menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan- pertanyaan yang akan diajukan kepada informan (Moleong, 2002:138). Khusus untuk wawancara terstruktur ini penulis gunakan kepada informan penghayat komunitas SCB Jakarta Selatan. Penggunaan teknik wawancara terstruktur adalah untuk mengerucutkan dan menggali lebih dalam permasalahan seputar eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas. Sementara itu penggunaan wawancara tidak terstruktur digunakan dalam mewawancarai pihak Sanggar Pusat Candi Sapta Rengga Yogyakarta, dimana penulis hanya membuat pedoman wawancara seputar gambaran umum Sapta Darma dan masalah-masalah yang sifatnya umum yang dihadapi penghayat, namun pertanyaan berkembang sesuai dengan arah jawaban dari informan. Wawancara tidak terstruktur juga penulis lakukan kepada

pemangku sanggar dan warga masyarakat sekitar Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan.

Selain itu juga, penulis menggunakan observasi langsung pada site penelitian, yaitu Sanggar Candi Busana (SCB) Jakarta Selatan. Menurut Bungin (2007:15) ada beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu, observasi partisipasi, observasi tidak terstrukur, dan observasi kelompok tidak terstruktur. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan observasi

tidak terstruktur. 8 Pada observasi tersebut didapatkan sebuah pengamatan langsung terhadap site, yaitu SCB Jakarta Selatan dan lingkungan sekitar SCB

Jakarta Selatan. Penulis tidak secara langsung melakukan observasi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh SCB Jakarta Selatan. Karena pada waktu observasi, SCB Jakarta Selatan memang tidak sedang melakukan kegiatan. Jadi gambaran mengenai kegiatan SCB Jakarta Selatan penulis dapatkan lewat penjelasan Pemangku Sanggar, yaitu informan KS, dan foto-foto. Penulis juga melakukan observasi terhadap lingkungan sekitar sanggar dan melakukan wawancara tidak terstruktur kepada warga masyarakat sekitar sanggar.

Dari kedua teknik pengambilan data tersebut dihasilkan beberapa informasi berupa rekaman kata-kata, catatan pengamatan, dan berbagai dokumentasi seperti foto-foto mengenai site penelitian. Data tersebut kemudian oleh penulis dijadikan data primer dari penelitan ini. Peneliti juga menggunakan data sekunder dari studi pustaka baik dari buku-buku, hasil penelitian, artikel dari media cetak dan internet, maupun dokumen-dokumen yang berkaitan dan menunjang penelitian ini.

III.8 Validasi Data Temuan

Validasi di satu sisi merupakan sebuah kekuatan dari penelitian kualitatif, namun validasi biasa digunakan untuk melihat akurasi data lepas dari pandangan

8 Observasi tidak terstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada peneltian ini, penulis berusaha untuk melakukan pengamatan terhadap site dan mencoba

mengamati dan melakukan beberapa tanya jawab kepada pemangku sanggar dan warga masyarakat sekitar sanggar.

pribadi dari peneliti, partisipan atau pembaca karya tulis yang dihasilkan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode triangulasi dalam validasi data temuan lapangan. Metode triangulasi menggabungkan beberapa data dari beberapa sumber guna mendapatkan sebuah justifikasi yang saling berkaitan untuk tema yang diteliti (Creswell,2003:196).

Dalam penelitian ini, penulis mencoba menggabungkan beberapa data dari beberapa sumber yang berbeda mengenai bagaimana mereka melihat fenomena konstruksi sosial dan eksklusi hak-hak sipil penghayat kepercayaan. Penulis mengambil tiga pihak, yang pertama adalah pihak Sanggar Candi Sapta Rengga yang merupakan pusat Tuntunan dan keorganisasian Kerokhanian Sapta Darma, lalu pihak kedua adalah penghayat Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan, dan yang terakhir adalah unsur masyarakat sekitar sanggar, yang diwakili oleh Ketua Rukun Warga dan Tokoh Masyarakat wilayah RW 04, Kelurahan Gandaria Utara.

III.9 Analisis Data

Dalam proses menganalisis data temuan lapangan, pertama-tama, setelah semua data terkumpul, penulis melakukan pengelompokkan data yang penulis peroleh lewat proses klasifikasi data temuan. Setelah data (Transkrip wawancara dan observasi, tinjauan pustaka, artikel-artikel) dikelompokkan kemudian penulis menjabarkannya dalam Bab IV yang berisi temuan lapangan. Proses selanjutnya adalah analisis data temuan lapangan menggunakan kerangka konsep yang telah penulis tentukan sebelumnya. Proses analisis data temuan lapangan dengan kerangka konsep dijabarkan pada Bab V. Pada tahap analisis tersebut dapat diidentifikasi bagaimana proses eksklusif sosial yang terjadi pada hak-hak sipil penghayat kepercayaan, diskriminasi terhadap penghayat Sapta Darma dan konstruksi identitas penghayat Sapta Darma terhadap eksklusi sosial dan diskriminasi yang terjadi.

III.10 Proses Penelitian

Penulis mulai bersinggungan dengan fenomena kelompok kepercayaan dan masalah-masalah seputarnya seperti hak-hak sipil dan hubungannya dengan kelompok masyarakat sekitarnya secara tidak disengaja. Pada waktu itu, tepatnya tahun 2008 ketika sedang dalam proses mata kuliah Latihan Penelitian Metode Penelitian Sosial (LP-MPS) yang pada waktu itu dilaksanakan di Bandungan, Kabupaten Semarang, kebetulan penulis bertemu dengan salah satu penghayat Sapta Darma dan mulai tertarik mengkaji permasalahan kelompok penghayat kepercayaan ini. Ketertarikan akan fenomena ini makin menguat setelah mengetahui permasalahan pencantuman identitas penghayat di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan masalah seputar stigma atas identitas penghayat kepercayaan, terutama Sapta Darma di Bandungan.

Setelah itu, pada tahun 2009 saat mengambil mata kuliah Sosiologi Perubahan Ekonomi, penulis kembali menjadikan topik ini sebagai bahan karya tugas ujian akhir semester. Dari sinilah awal mula perkenalan dengan komunitas Sapta Darma di Jakarta. Pada awalnya, kontak terhadap salah satu informan didapat dari bantuan Bapak Daddy Heryono Gunawan yang merupakan salah seorang dosen Sosiologi Pedesaan FISIP-UI yang memberikan kontak informan ES untuk sekedar menggali data mengenai komunitas ini di Jakarta. Akhirnya proses perkenalan dan wawancara untuk menggali informasi darinya untuk tugas akhir mata kuliah Sosiologi Perubahan Ekonom dilakukan pada bulan Maret 2009. Dari sinilah kemudian muncul ketertarikan untuk meneruskan topik ini hingga menjadi tugas akhir kuliah penulis di program sarjana sosiologi FISIP UI.

Kontak dengan informan ES tetap dijaga hingga akhirnya penulis melanjutkan topik ini menjadi bahan seminar tugas akhir kuliah. Pada proses seminar tugas akhir penelitian ini mulai dipertajam dan difokuskan untuk mencari salah satu komunitas sanggar di DKI Jakarta. Pada akhirnya, dari berbagai pertimbangan dan saran, penelitian ini difokuskan pada SCB Jakarta Selatan dengan fokus masalah mengenai hak-hak sipil penghayat kepercayaan.

Proses awal penulisan skripsi ini dimulai dengan mengikuti salah satu grup penghayat pada sebuah situs jejaring sosial di dunia maya, dari kontak dengan adminnya akhirnya penulis mendapatkan kontak Sanggar Sapta Rengga Yogyakarta. Sanggar Sapta Rengga Yogyakarta merupakan sanggar pusat Kerokhanian Sapta Darma, pusat ajaran dan keorganisasian Sapta Darma. Sanggar ini terletak di Jalan Surokarsan MG.II di daerah yang akrab disebut daerah Taman Siswa. Dari kontak yang didapatkan, pada bulan Juli 2010 penulis pergi ke Yogyakarta untuk mewawancarai pengurus Sanggar Candi Sapta Rengga, baik keorganisasian Tuntunan Agung atau Persada Pusat. Pada saat itu penulis mendapakan kesempatan untuk mewawancarai informan RW yang merupakan pengurus Persada Pusat staf bidang keremajaan dan TD salah seorang staf tuntunan agung. Selain wawancara dengan kedua orang informan tersebut, kunjungan ke Yogyakarta juga digunakan untuk mendapatkan data sekunder

berupa buku berjudul ”Budaya Spiritual Kerokhanian Sapta Darma.” Buku tersebut diterbitkan oleh Tuntunan Agung Sapta Darma yang berisi penjelsan

mengenai gambaran umum sejarah kemunculan Sapta Darma dan juga penjelasan umum mengenai ajaran Sapta Darma. Perjalanan ke Yogyakarta juga digunakan untuk meminta izin penelitian yang akan penulis lakukan di Jakarta, juga meminta kontak informan SCB Jakarta Selatan.

Setelah mendapatkan kontak SCB Jakarta Selatan, pada Desember 2010 penulis mencoba mengkontak SCB Jakarta Selatan dan diarahkan untuk mewawancarai informan BI. Informan BI merupakan Tuntunan Provinsi yang cukup kapabel dalam menjawab masalah-masalah terkait dengan eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas yang dialami oleh penghayat Komunitas SCB Jakarta Selatan. Akhirnya kesempatan dalam melakukan wawancara kepada informan BI datang pada tanggal 23 Desember 2011. Proses penggalian data terhadap informan BI melalui wawancara mendalam tidak hanya dilakukan dalam sekali pertemuan, setelah itu wawancara terhadap informan BI kembali dilakukan pada 10 Maret 2011. Kedua proses wawancara tersebut dilakukan di kediaman informan BI yang cukup asri di Jalan Poncol, Kelurahan Gandaria Selatan.

Setelah proses wawancara pertama, penulis mendapatkan beberapa informasi penting dari informan BI yang semakin memfokuskan masalah dalam penelitian ini. Beberapa hari setelah wawancara, dibuatlah transkrip dan catatan lapangan. Dari transkrip dan catatanlapangan tersebut maka didapatkan beberapa fokus permasalahan seperti keenam masalah terkait dengan pemenuhan hak-hak sipil yang dianggap masih bermasalah menurut informan BI.

Informan BI kemudian dijadikan sebagai informan utama karena pengalaman dan kapabilitasnya dengan permasalahan-permasalahan penghayat di tingkat bawah, seringnya frekuensi informan BI melakukan kontak dengan penghayat-penghayat menjadikannya bukan hanya bisa menggambarkan namun juga menganalisis masalah-masalah yang terjadi. Kemampuan analisisnya tidak luput dari latar belakang pendidikannya, ia adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 1980. Sehingga ia sangat menguasai masalah- masalah hak-hak sipil penghayat.

Informan BI selain menjadi informan utama dalam penelitian ini, ia juga menjadi gatekeeper peneliti yang menghubungkan ke informan-informan lainnya seperti informan SK yang juga juga merupakan Tuntunan Provinsi. Informan SK direkomendasikan karena bersama dengan informan BI, informan SK sering turun ke tingkat penghayat di bawah, sehingga infonya sangat menunjang info dari informan BI. Wawancara terhadap informan SK dilakukan pada hari minggu 27 Maret 2011 di kediaman informan di Gg. Mandala, Kampung Utan, Cilandak. Selain itu informan BI juga merekomendasikan informan GP. Informan GP merupakan seorang Pegawai Departemen Keungan (Depkeu). Dinamika identitas GP sebagai penghayat di Depkeu juga menarik untuk dikaji. Wawancara terhadap informan GP dilakukan pada hari Sabtu, 26 Maret 2011 di kediaman informan di Kavling Komplek Departemen Keuangan, Kelurahan Larangan, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang.

Selain ketiga informan tadi, penulis juga kembali mewawancarai ES. Kali ini wawancara dilakukan di rumahnya pada hari minggu tanggal 20 Maret 2011. Wawancara terhadap informan ES kali ini sudah mengerucut membahas masalah yang akan penulis angkat. Pada wawancara kali ini informan ES juga lebih

terbuka dalam meceritakan pengalaman-pengalamannya sebagai penghayat dan hubungannya dengan masyarakat sekitar informan.

Setelah akhirnya penulis merampungkan proses wawancara terhadap keempat informan penghayat kepercayaan Sapta Darma komunitas SCB Jakarta Selatan, kemudian pada proses selanjutnya adalah dengan mengadakan observasi ke site Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan dan wawancara terhadap informan KS yang juga merupakan pemangku sanggar. Observasi penulis lakukan langsung di site penelitian yaitu di Jalan Radio Dalam Yado I Kelurahan Gandaria Utara. Memang pada waktu observasi penulis lakukan memang sanggar sedang tidak dalam sebuah kegiatan, sehingga observasi lebih melihat setting sanggar dan lingkungan masyarakat sekitar. Mengenai kegiatan-kegiatan di sanggar, penulis ditunjukkan beberapa dokumentasi oleh informan KS. Informan KS juga menjelaskan secara detail kegiatan-kegiatan rutin yang diadakan di SCB Jakarta Selatan dengan antusias.

Dalam proses yang telah disebutkan diatas, penulis juga melakukan wawancara terhadap masyarakat sekitar SCB Jakarta Selatan yang diwakili oleh informan MR yang merupakan Ketua RW 04 dan informan SG yang merupakan salah satu tokoh yang dituakan di lingkungan RW 04. Dari keduanya didapatkan gambaran mengenai lingkungan kemasyarakatan wilayah RW 04 dan bagaimana dinamika hubungan antara Komunitas SCB Jakarta Selatan dengan komunitas warga masyarakat RW 04.

III.11 Keterbatasan Penelitian

Sebagai sebuah penelitian, penulis sadar bahwa penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan yang dihadapi baik yang bersifat teknis maupun akademis. Secara teknis, penelitian ini penulis kira masih banyak yang harus ditambah dan diperdalam. Seperti contohnya, penulis masih kekurangan kajian-kajian data sekunder demografis jumlah penghayat kepercayaan. Penulis mengalami kesulitan dalam mengakses data tersebut karena secara nasional, sensus penduduk, terutama dalam kajian demografi keagamaan menempatkan

62

jumlah penghayat kepercayaan di bagian lainnya bersama dengan penganut agama non-resmi lainnya. sehingga tidak ada data rinci mengenai jumlahnya. Sementara itu dari dalam komunitas Kerokhanian Sapta Darma sendiri pun masih belum melakukan pencatatan jumlah penghayat. Waktu penelitian yang singkat dan observasi lapangan yang tidak begitu banyak penulis anggap juga sebagai sebuah keterbatasan.

Sementara itu dari segi kajian akademis, kajian mengenai kelompok kepercayaan ini masih belum banyak dilakukan sehingga penulis sedikit banyak kesulitan dalam mencari referensi-referensi kajian akademis sejenis. Referensi- referensi ilmiah yang penulis dapat tidak banyak jumlahnya. Sementara itu dalam tataran konseptual dan analisis, penulis belum bisa menganalisis kajian ini secara komperhensif melalui dimensi-dimensi eksklusi sosial yang ada, penelitian ini hanya mengambil beberapa dimensi eksklusi sosial.

BAB IV

Sejarah Kebangkitan Gerakan Kebatinan dan Kemunculan Sapta Darma: Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan.

Pada Bab IV ini berisi deskripsi sejarah dan kemunculan Kerokhanian Sapta Darma. Bab ini akan dimulai dengan sejarah kebangkitan gerakan kebatinan. Dalam kurun waktu tersebut munculah Kerokhanian Sapta Darma. Pada Bab ini disajikan sejarah kemunculan Sapta Darma hingga perkembangannya di DKI Jakarta. Pada akhir Bab IV juga dideskripsikan juga komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan yang merupakan lokasi dari penelitian ini.

IV.1 Sejarah Kebangkitan Gerakan Kebatinan di Indonesia

IV.1.1 Gerakan Kebatinan di Indonesia

Sejarah berdirinya kelompok-kelompok kepercayaan tidak lepas dari sejarah kebangkitan gerakan kebatinan. Kebatinan dan kepercayaan pada dasarnya merupakan dua konsep yang maknanya sama. Namun, konsep kepercayaan lebih dipilih untuk digunakan guna membedakannya dengan agama. Di sisi lain, istilah kebatinan kurang disukai oleh pengikutnya (Hadiwijono,1983:9). Dalam sejarah peradaban Indonesia, kepercayaan berkembang dengan corak yang sangat beragam , apalagi jika kita lihat dari segi orientasi dan corak ritualitasnya. Ada beberapa corak kepercayaan hingga datangnya agama-agama besar di Indonesia, kepercayaan tersebut diantaranya: 1) Kekuatan hidup yang sama, 2) Kepercayaan terhadap ruh pribadi manusia yang hidup kembali setelah mati dalam alam ruh, dan 3) Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus (Hadiwijono,1983:65). Pada perkembangan selanjutnya kepercayaan yang bersifat animistis, dinamistis dan panteistis berakulturasi dengan agama-agama yang ada di Indonesia sehingga menumbuhkan corak kepercayaan sinkretis.

Sebelum kita mengkaji lebih lanjut mengenai kebangkitan gerakan kebatinan, ada baiknya kita terlebih dahulu mengenal mengenai konsep kebatinan itu sendiri.

63 Universitas Indonesia

Kata kebatinan berasal dari bahasa Arab batin yang berarti di dalam hati, tersembunyi dan penuh rahasia. Clifford Geertz menginterpretasikan batin sebagai

“wilayah dalam pengalaman manusia.” (Mulder,2001:45). Sementara itu, menurut Howell (2004:2):

“The concept of kebatinan, however, has its origins in Sufi traditions dating back to the

sixteenth century in Southeast Asia. Sufi expressions of Islam, which had been vigorous and

widespread in Southeast Asia prior to the growth of Islamic Modernism in the twentieth century, conventionally contrasted „outer‟ (lahir) and „inner‟ (batin) expressions of faith.”

Howell melihat bahwa konsep kebatinan memiliki akar yang berasal dari gerakan sufisme Islam yang pada saat itu tumbuh dan berkembang di Asia Tenggara pada abad ke-16. Gerakan sufisme Islam ini masih berkembang hingga abad ke-20 bersamaan dengan perkembangan modernisme Islam. Gerakan Sufisme Islam ini dikenal lewat ekpresi keagamaannya yang membedakan sesuatu yang bersifat lahir dan batin. Jadi dalam mendefinisikan konsep kebatinan, kita dapat dengan aman menerjemahkan kebatinan menjadi “ilmu batin”, mistisisme, atau ilmu

Jawa. Sementara itu dari hasil penelitian Prof. K. K. Berg mengungkapkan bahwa kebatinan dinil ai sebagai sebuah usaha “mengumpulkan jadi satu” segala ajaran yang bertentangan, sehingga timbul satu ajaran baru, bersifat Jawa, tidak lagi Buddha; karena dia mengakui ada Tuhan, dan tidak lagi Hindu, sebab tidak lagi mengakui Krishna, Shiwa dan Wishnu; dan tidak juga Islam, dengan ajaran tauhidnya yang sejati (Hamka,1974:12). Tetapi secara ilmiah harus diakui bahwa dalam ajaran itu lebih banyak diambil kaidah-kaidah ajaran Islam, terutama ajaran

Tashawwuf 9 .

Dalam buku Rahmat Subagya yang berjudul Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Agama (1973), ia menyimpulkan bahwa tidak ada keberatan ilmiah dalam memakai sebutan kebatinan. Baginya, sebutan kebatinan dipertahankan karena memiliki ciri khas. Sebutan kepercayaan, kerohanian dan kejiwaan tidak dapat menampakkan sebuah ciri khas yang dimiliki oleh semua aliran itu. Jadi dapat kita simpulkan bahwa konsep kebatinan merupakan sebuah

9 Tasawuf adalah nama yang diberikan bagi mistikisme dalam Islam, yang oleh para orientalis barat disebut sufism (sufisme). Tasawuf atau mistikisme adalah suatu ajaran atau kepercayaan

bahwa pengetahuan tentang hakikat Tuhan bisa didapatkan melalui meditasi atau kesadaran spiritual yang bebas dari campur tangan akal dan panca indera (Sholikhin,2008:272). Sufisme atau tasawuf (The Mystic of Islam) tidak dipakai untuk mistikisme yang terdapat dalam agama lain.

konsep utama yang merangkum dan menjelaskan keberadaan aliran-aliran tersebut. Sementara itu, Niels Mulder, antropolog terkenal yang karya-karyanya

banyak mengkaji mengenai Kejawen 9 atau Javanism mencoba mendefinisikan kebatinan sebagai refers to the cult of the inner man and is the genera1 word for

magical and religious mysticism (Mulder,1983:265). Dalam definisinya, Mulder menekankan kebatinan sebagai sebuah praktik batin yang secara umum dapat dikaitkan dengan sesuatu yang berbau magis dan bersifat mistisisme keagamaan. Lebih lanjut lagi Mulder (1970,105) menjelaskan:

“It is hard to translate the word kebatinan. Kebatinan is often said to be the very core of Javanism, and also that the related style of life is kebatinan, the life-style of the "inner-man". Basically, kebatinan is mysticism, the penetration and the knowledge of the universe with the purpose of establishing a direct relationship between the individual and the sphere of That- Which-Is- Almighty.”

Kebatinan dinilai sebagai inti dari kebudayaan Jawa yang menjelaskan bagaimana seharusnya orang Jawa menjalankan hidupnya. Mulder juga menjelaskan bahwa Kebatinan adalah mistisisme, pengetahuan mengenai jagad semesta yang bertujuan meningkatkan hubungan individu secara langsung dengan jagad yang lebih besar Yang Maha Kuasa. Praktik kebatinan adalah upaya berkomunikasi dengan realitas tertinggi; sebagai sebuah cabang pengetahuan yang mempelajari tempat manusia di dunia ini dan alam semesta yang didasarkan atas ketunggalan sejati (Mulder,2001:45).

Sementara itu dalam praktiknya, Koentjaraningrat membagi gerakan kebatinan menjadi (1) gerakan kebatinan yang berpokok pada mistik, (2) yang berpokok pada teosofi, (3) gerakan-gerakan moralistik dan etik yang berpokok pada pemurnian jawa, (4) gerakan-gerakan pada praktik-praktik ilmu gaib dan ilmu dukun, dan yang (5) ditambahkan oleh Koentjaraningrat yaitu gerakan-

gerakan ratu adil (Koentjaraningrat,1994:403). Dalam bukunya “Perkembangan Kebatinan di Indonesia.” Prof. Dr.

Hamka menjelaskan bahwa sangat dipahami bahwa gerakan kebatinan itu dapat tumbuh subur di Jawa, terutama Jawa Tengah, karena menurutnya dasar-dasar

9 Kejawen atau Javanism bukanlah sebuah kategori relijius. Namun ia lebih menunjuk kepada sebuah etika dan sebuah gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa. Sehingga, ketika sebagian

orang mengungkapkan kejawaan mereka dalam praktik beragama, misalnya, seperti dalam mistisisme, pada hakikatnya hal itu adalah suatu karakteristik yang secara kultural condong pada kehidupan yang mengatasi keanekaragaman relijius. (Mulder, 2001:10)

untuk itu memang sudah ada. Karena sebelum masuknya Islam ke negeri ini, sudah ada terlebih dahulu agama Hindu dan Buddha, kedua agama dari timur yang lebih banyak memandang bahwa benda adalah maya belaka, yaitu sesuatu yang pada hakikatnya tidak ada (Hamka,1974:12). Sebelum kedua Agama ini tersebar, nenek moyang Indonesia juga memiliki kepercayaan asli, yaitu

dinamisme 10 .

Kebangkitan kebatinan di Jawa berkembang dengan pesat pada sekitar pertengahan abad ke-20, dimana tumbuh dalam sebuah gelombang kegoncangan masyarakat pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Oleh karena itu, timbulnya banyak aliran kebatinan itu justru ketika masyarakat Indonesia mengalami kegoncangan karena tekanan jiwa yang meluas dalam waktu yang panjang pada masa penjajahan (Lestari,2007:50). Perang, perjuangan fisik merebut kemerdekaan, teror semasa revolusi serta pergolakan-pergolakan yang terjadi di daerah menyebabkan keadaan yang tidak menentu yang berakibat tumbuh suburnya proses polarisasi politik, fanatisme agama, pencarian jiwa dan kegamangan jati diri. Sementara itu, timbulnya gerakan kebatinan itu sendiri merupakan perwujudan kebangkitan kultural “orang jawa abangan” dimana orang-orang Jawa dari golongan nasionalis semakin sadar akan jati diri kejawen sinkretis mereka. Sebagai bentuk sinkretisme secara historis telah berakar di dalam masa yang sangat panjang dan telah diperkaya oleh berbagai unsur agama yang berbeda yang pernah masuk ke Indonesia yaitu Hindu Budha, Islam dan Kristen, sehingga corak aliran kebatinan itu pun bermacam-macam. Ada yang bercorak animisme, ke-Hindu-jawaan, ke- Islam-an, dan mistik (Lestari,2007:50).

Kebangkitan gerakan kebatinan oleh Mulder dilihat sebagai akibat dari tumbuhnya kesadaran akan kebudayaan kejawen atau keinginan dari masyarakat Jawa untuk kembali pada budaya asli, dikarenakan mereka belum siap dengan arus perubahan kebudayaan yang berlangsung sangat cepat, yaitu budaya Hindu- Budha, budaya Islam dan budaya Kolonial (Lestari,2007:17). Sedangkan menurut

10 Yaitu kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki roh-nya, atau semangatnya. Lalu ada juga animisme, yaitu mengenai wujud nenek moyang yang telah tiada namun roh dan semangatnya

masih hadir bersamaan dengan yang hidup.

Koentjaraningrat kebudayaan gerakan kebatinan dikarenakan adanya arus perubahan sosial budaya yang terjadi selama jangka waktu peralihan penderitaan luar biasa. Kemiskinan dan keresahan yang diderita oleh penduduk selama perang pasifik, selama perang Jepang dan selama dasawarsa pertama setelah kemerdekaan menjadi semakin banyak timbul berbagai gerakan kebatinan di Jawa (Koentjaraningrat,1994:402). Baik Mulder maupun Koentjaraningrat, keduanya melihat bahwa kebangkitan gerakan kebatinan merupakan sebuah respons akan perubahan sosial budaya yang berlangsung cepat yang mengakibatkan gejolak sosial di masyarakat.

Ketika Undang-Undang Dasar Negara mulai disusun pada 1945, isu utama yang mengemuka adalah ketika terjadinya perselisihan terkait perlu atau tidaknya dimasukannya konsep penerapan kewajiban menjalankan Syariah bagi umat Muslim. Seperti yang kita tahu, bahwa Islam saat itu merupakan agama mayoritas yang dipeluk hampir Sembilan puluh persen warga Indonesia. Berkaca dari jumlah statistik tersebut, dalam Piagam Jakarta, yang merupakan cikal bakal Pancasila, dimasukanlah kewajiban menjalankan syariah bagi umat Muslim. Dalam perkembangannya, hal tersebut akhirnya tidak dimasukkan. Karena beragamnya tanggapan baik dari kalangan non-Muslim hingga internal kalangan Muslim sendiri bahwa terdapat banyaknya interpretasi terhadap hukum Islam hingga hubungannya dengan hukum-hukum formal yang ada. Pada akhirnya diambillah sebuah konsensus dimana Warga Negara Indonesia percaya kepada KeTuhanan Yang Maha Esa, yang tercantum dalam Pancasila dan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi juga kemudian mengakui kebebasan warga Negara dalam beribadat sesuai „agama dan kepercayaannya‟ itu.

Kata „agama dan kepercayaan‟ dalam konstitusi sempat mengundang perdebatan. Menurut Howell (2004:2), dalam pandangannya, agama dan kepercayaan dalam ketentuan konstitusi yang dibuat pada Tahun 1945 memiliki arti yang sama. Berikut ini kutipan mengenai hal tersebut:

It is my understanding that at the constitutional convention of 1945 „religion and faith‟ were regarded as synonymous, even though from 1973 retrospective histories promoted by representatives of kebatinan groups rebadged as „faiths‟ (kepercayaan) have represented „faith‟ (kepercayaan) as a contrasting with „religion‟ and distinct from it.

Dikotomi ini juga dapat dilihat dari struktur Departemen Agama pada tahun 1945 dimana „agama‟ yang dimaksudkan mengarah kepada agama-agama besar di Indonesia, seperti Islam dan Kristiani. Sesuai dengan struktur tersebut, sebagian besar kegiatan Departemen Agama diarahkan pada pelayanan kepada Umat Muslim sebagai mayoritas, dan juga dibentuk pula Direktorat Jenderal terpisah untuk menangani umat Katolik dan Protestan.

Pada tahun 1950, Departemen Agama berusaha membuat katalogisasi terhadap praktek-praktek kepercayaan diluar agama-agama besar yang praktek penyebarannya perlu diarahkan dan diawasi sebagai sebuah kelompok. Sasaran dari kebijakan ini adalah kelompok-kelompok kebatinan yang mulai berkembang pesat pasca kemerdekaan, dimana beberapa diantaranya dengan tegas memproklamirkan diri sebagai agama baru dan menunutut pengakuan dan dukungan dari pemerintah pusat.

Pada Tahun 1954 pemerintah mendirikan sebuah badan yang diberi nama PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) yang berada di bawah Kejaksaan Agung. Terbentuknya PAKEM dilatarbelakangi oleh peristiwa pemberontakan Ratu Adil. Dikisahkan pada masa kolonial dimana turunnya wahyu-wahyu secara tiba-tiba mengenai pengharapan akan turunnya Ratu Adil dan kepercayaan akan kekebalan yang dipimpin oleh seorang figur kharismatik yang dapat mendorong dan membangkitkan pemberontakan di kalangan kaum petani saat itu (Mulder,1970:5). PAKEM bertugas mengawasi aliran-aliran kepercayaan, tarekat, kepercayaan-kepercayaan minoritas bahkan sampai pelaku pengobaan tadisional atau dukun. Hal ini merupakan sebuah upaya untuk

menghindari bahaya dari Praktik “klenik” (ilmu hitam) sebagai ekspresi mistisisme. Selain itu, tugas pengawasan PAKEM juga dilakukan untuk

meminimalisir akibat dari penyimpangan-penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin kharismatik penganut aliran-aliran kepercayaan. PAKEM juga membina agar gerakan kebatinan ini tidak terjerumus dalam organisasi komunis.

Secara legal aliran kepercayaan diakui oleh negara pada tahun 1955 melalui dibentuknya BKKI (Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia) di

Semarang yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro (Bustami,2005:17). Setahun setelah berdirinya BKKI, pada tahun 1956, dalam kongres BKKI di Solo ditegaskan bahwa kebatinan bukan mengarah pada pembentukan agama baru, tapi merupaka usaha ikhtiar meningkatkan mutu semua agama. Sementara itu setahun kemudian, pada 1957, diselenggarakan Dewan Musyawarah BKKI di Yogyakarta untuk mengajukan permohonan kepada presiden untuk menyamakan BKKI dengan agama-agama besar lainnya.

Klaim terhadap dikotomi agama dan aliran kepercayaan pernah mengemuka pada tahun 1973 (Bustami,2005:16).Setelah melalui serangkaian Musyawarah Nasional Kebatinan dan Seminar-seminar, perjuangan untuk mendapat legalitas akhirnya terwujud dengan lahirnya ketetapan MPR RI No IV/MPR/1973-22 Maret 1973. Dengan demikian diakuilah kehidupan kepercaayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, di samping agama dan sejak itu aliran kebatinan berubah nama menjadi aliran kepercayaan. Pengakuan legalitas ini berbarengan dengan timbulnya keberatan di masyarakat yang merasa resah dengan isu yang menyebar secara nasional bahwa akan dikabulkannya aspirasi penghayat kepercayaan yang akan menjadi agama. Langkah kompromi diambil pemerintah dengan memasukkan urusan penghayat kepercayaan berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, agama formal tetap berada di bawah

Departemen Agama. Pada tahun 1978, hal ini kembali ditegaskan dengan ditetapkannya kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah bagian dari kebudayaan dan tidak mengarah kepada pembentukan agama baru oleh Presiden Indonesia ke-

2, Bapak Soeharto. TAP MPR No. IV/1978 juga menyatakan bahwa: “Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah bukan agama dan oleh

karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan unuk memeluk salah satu agama yang

diakui oleh Negara.” Hal ini kemudian diakomodasi melalui lahirnya keputusan Presiden No. 27 tahun 1978, tentang pembentukan Direktorat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada tahun 1998 rezim Orde Baru tumbang berganti era baru kepemimpinan di Indonesia. Lengsernya kepemimpinan Soeharto menandai

mulainya fase baru kehidupan kebangsaan Indonesia. Terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Indonesia ketiga juga turut mempengaruhi kehidupan keberagamaan terutama bagi kalangan minoritas. Salah satu keputusannya yang menunjukkan dirinya adalah seorang pluralis sejati adalah ketika Gus Dur, begitu KH. Abdurrachman Wahid akrab dipanggil, mengeluarkan Kepres No. 6 Tahun 2000 dimana Negara kembali mengakui identitas etnis tionghoa di Indonesia. Selain itu, Khonghucu kembali diakui menjadi salah satu agama resmi setara dengan agama lainnya dan kembali pada formasi yang dulu muncul pada saat orde lama.

Komunitas penghayat kepercayaan juga tidak luput dari perhatiannya. Gebrakan Gus Dur buat dengan memerintahkan Menteri Dalam Negeri saat itu Soerjadi Soedirdja agar mencabut surat edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 477/7405 tanggal 18 November 1978 mengenai Petunjuk Pengisian Kolom Agama pada Lampiran SK Mendagri No. 221a Tahun 1975. Menurutnya, kolom agama dalam masalah administrasi kenegaraan merupakan sebuah potensi diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi dan ia sepertinya hendak menghapuskannya dengan meniadakan kolom agama SK Mendagri No. 221a Tahun 1975, dan sebagai piranti yuridis, Soerjadi Soedirdja mengeluarkan surat edaran Mendagri No. 477/805/SJ Tanggal 31 Maret 2000 sebagai penggantinya.

Di Indonesia terdapat berbagai macam kelompok kebatinan atau yang biasanya disebut aliran kepercayaan. Pernyataan versi negara melalui Asdep urusan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa K.R.T H. Widyahadikusuma menyatakan bahwa di Jawa Tengah saja terdapat 61 organisasi penghayat kepercayaan dengan jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia mengalami peningkatan sebanya 8,8 juta (Bustami,2005:19). Data lainnya menjelaskan bahwa jumlah organisasi kepercayaan ada dan tersebar di 25 provinsi mencapai jumlah 980 organisasi, sementara itu jumlah para penghayat atau yang disebut penganut kepercayaan ada sekitar 9 juta orang (Istikomah,2008).

Keberadaan kelompok penghayat kepercayaan saat ini sudah mulai mendapat legitimasi dan haknya sudah mulai diakui setara dengan agama-agama resmi lainnya. Dikeluarkannya peraturan-peraturan seperti UU Adminduk No. 23

tahun 2006 yang didalamnya mulai memperkenalkan konsep penduduk yang agamanya belum diakui dan penghayat kepercayaan. Kemudian juga dengan lahirnya PP No. 37 tahun 2007 negara telah memberikan pedoman aturan perkawinan bagi penghayat kepercayaan yang telah membuahkan hasil praktik

legalitas perkawinan penghayat kepercayaan di masyarakat. Dengan dikeluarkannya berbagai produk Undang-Undang yang kini sudah mulai mengakomodasi kepentingan kelompok penghayat kepercayaan diharapkan komunitas penghayat kepercayaan dapat mendapatkan hak yang setara. Walaupun pada praktiknya nanti diperlukan bukan hanya sebatas legitimasi hukum melalui Undang-Undang, tetapi juga keterbukaan menerima identitas di masyarakat.

IV.1.2 Kemunculan Kerokhanian Sapta Darma: Sebuah Revelasi Dari Pare, Kediri

Salah satu dari berbagai macam aliran kepercayaan yang ada di Indonesia adalah Sapta Darma. Sapta Darma (yang berarti tujuh kewajiban) adalah sebuah gerakan spiritual pasca perang kemerdekaan yang lahir setelah kemunculan Subud (1932), Pangestu (1932), dan Sumarah (1935) yang berdiri sebagai sebuah gerakan pada periode-periode akhir pada masa Kolonial Belanda (Utama,2007).

Kemunculan Sapta Darma tidak dapat dilepaskan dari sosok Bapak Hardjo Sapoetro atau biasa dipanggil Pak Sepuro. Ia berasal dari Desa Sanding Kawedanan, Pare, Kediri pada tahun 1910, berpendidikan Sekolah Rakyat lima tahun (1925) pernah menjadi pandu Kepanduan Sosrowidjajan (1937), pekerjaan tukang pangkas rambut dan pada masa revolusi pernah ikut menjadi anggota pemuda Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).(Hadikusuma,1993:111).

Sapta Darma sudah memiliki pengikut berjumlah ratusan yang tersebar di Jawa, Bali, dan Sumatera hanya dalam waktu beberapa tahun setelah kelahirannya pada awal 1950-an. Setelah revolusi kemerdekaan, beberapa saat tidak terdengar kegiatan Sapta Darma, hingga pada tahun 1956 Hardjo Sapoetro muncul kembali dengan ajaran-ajarannya di Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya di Jawa Tengah. Kemunculannya didampingi Mahasiswi Fakultas Hukum bernama Sri

Suwartini, yang nantinya bergelar Sri Pawenang. Tempat dan kedudukan Sapta Darma tidak lagi di Pare, Kediri tetapi dipindahkan ke Yogyakarta. (Hadikusuma, 1993:112)

Pada mulanya Hardjo Sapoetro di samping kegiatannya menjadi dukun mengobati orang sakit, ia juga menanamkan para pengikutnya agar percaya kepada Tuhan dan percaya kepada diri sendiri, cintailah sesama manusia dan hidup secara tolong menolong. Ia juga menafsirkan ramalan-ramalan Jayabaya yang mengatakan akan datangnya Ratu Adil asal kerajaan Katangga (Madiun) dan penjelmaan Kyai Semar yang bergelah Herucakra Asmaratantra, kemudian dikatakannya bahwa agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha kelak akan lenyap lebur semua ke dalam agama Sapta Darma. (Hadikusuma, 1993:112). Hardjo Sapoetro yang bergelar Bapa Panuntun Sri Gutama wafat pada 16 Desember 1963. Jenazahnya dikremasi dan dilarung ke laut. Keputusan untuk mengkremasi dan melarung jenazah adalah keputusan dari Bapa Panuntun Sri Gutama sendiri. Menurut beberapa informasi dari para penghayat, keputusan tersebut beliau ambil dalam rangka mencegah pengkultusan dirinya oleh para penghayat setelah beliau wafat.

Gambar IV.1 Bapa Panuntun Sri Gutama

Sumber: http://sapta-darma.info/apakah.html

Dalam perkembangannya kini, ajaran ini telah berkembang dan menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan ajaran ini juga telah berkembang hingga ke luar negeri. Berikut ini pernyataan informan TD mengenai hal tersebut:

”..Menurut data yang kami, hmm bukan tertulis secara pasti ya mas, jadi kurang lebih ya, di Indonesia kan ada 33 Provinsi, diantara 33 Provinsi itu sudah ada warganya semua. Tapi yang sudah melembaga itu baru di 17 provinsi. Jadi yang sudah ada Persada-nya dan sebagainya. Kalo untuk Sapta Darma ya sekitar, hmm ada 10 jutaan lah.. Dan perlu dicatat juga ya ini juga sudah berkembang ke Mancanegara. Seperti di Jepang, Malaysia, Singapura, Papua Nugini, Australia, Belanda, Norwegia, tempo hari

itu Suriname juga minta didatengi, ada sekitar 40 KK.” (Informan TD, 16 Juli 2010)

Dalam perkembangannya, ajaran Sapta Darma menurut informan TD telah tersebar ke 33 provinsi seluruh Indonesia, dan diantara 33 Provinsi tersebut, ada di

17 provinsi dimana ajaran Sapta Darma ini telah melembaga secara resmi. Secara formal, Kerokhanian Sapta Darma memiliki beberapa organiasasi yang menaungi penghayat. Organisasi tersebut memiliki jenjang dari mulai tingkat pusat hingga tingkat dua atau setingkat dengan kecamatan. Beberapa organisasi tersebut seperti Tuntunan Agung yang membawahi Persatuan Warga Sapta Darma (Persada), dan Yayasan Srati Darma. Lembaga Tuntunan Agung berada di Sanggar Candi Sapta Rengga Yogyakarta yang merupakan pusat pengembangan ajaran, sementara itu Tuntunan Agung itu bertugas menangani masalah kerohanian. Tuntunan Agung dibantu oleh tiga orang Staf Tuntunan Agung. Lembaga Tuntunan Agung merupakan lembaga tertinggi yang memiliki keputusan mutlak dalam ajaran Kerokhanian Sapta Darma. Lembaga Tuntunan pun memiliki kepanjangan tangan hingga tingkat provinsi, kabupaten/kotamadya, hingga tingkat kecamatan.

Sementara itu Persada merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang muncul karena adanya UU. No. 8 Tahun 1985 mengenai organisasi kemasyarakatan. Persada menangani masalah kemasyarakatan dan hubungan dengan pemerintah. Kepengurusan Persada baik tingkat pusat maupun tingkat daerah dipilih melalui mekanisme sarasehan, kalau dalam pemilihan Persada Pusat lewat sarasehan agung dan pemilihan Persada tingkat daerah lewat sarasehan tingkat daerah. Dalam Persada terdapat beberapa bidang antara lain Bidang Remaja, Bidang Bidang Kerokhanian dan Budaya, Bidang Hukum dan Keorganisasian, Bidang Kesejahteraan dan sebagainya. Selain kegiatan kemasyarakatan yang sifatnya intern, kegiatan Persada Pusat juga mencakup kegiatan yang berkaitan dengan masyarakat luas. Seperti yang diceritakan oleh informan RW:

“..Persada Pusat sendiri ya, jadi kita membuat sebuah jejaring, jadi istilahnya juga sharing dengan organisasi lain. Di Jogja sendiri kan ada Aliansi Jogja kan, jadi yang mewadahi segala organisasi yang ada di Jogja ini. Jadi organisasi itu lintas ya mas, tidak mengenal agama, suku, dan ras. Jadi semua organisasi tersebut tergabung di Al iansi Jogja tersebut.” (Informan RW, 15 Juli 2010)

Jadi selain kegiatan yang terkait warga penghayat Sapta Darma sendiri, Persada Pusat Juga aktif dalam Aliansi Jogja. Yaitu sebuah organisasi komunikasi yang mewadahi berbagai organisasi lintas suku, ras, agama yang ada di Jogja. Yang terakhir adalah Yasrad atau Yayasan Srati Darma. Yasrad bertugas dalam pendanaan seluruh kegiatan keorganisasian. Pola penggalangan dana Yasrad berasal dari swadaya (jimpitan: Bahasa Jawa) warga penghayat Sapta Darma. Di Yasrad Pusat sendiri memiliki beberapa unit usaha seperti Unit Usaha Penerbitan dan Percetakan, lalu juga ada Unit Usaha Jamu Sapta Sari, dan juga unit koperasi.

Ajaran Sapta Darma berkembang dan memiliki penghayat hingga ke luar negeri seperti di Jepang, Malaysia, Singapura, Papua Nugini, Australia, Belanda, Norwegia dan juga di Suriname, dimana imigran dari pulau Jawa, dimana jumlahnya mencapai 40 kepala keluarga. Perkembangan pesat ajaran ini hingga ke luar negeri dikarenakan memang ada beberapa warga penghayat yang memperkenalkannya. Perkembangan teknologi informasi yang masif turut mendukung perkembangan ajaran ini. Selain itu pula, Sanggar Candi Sapta

Rengga 11 Yogyakarta juga seringkali kedatangan tamu-tamu dari negara lain yang ingin menggali informasi mengenai komunitas ini. Dari sini, tidak sedikit orang

yang tertarik dan kemudian menjadi penghayat. Seperti pada bulan Agustus 2009 kemarin, Sanggar Candi Sapta Rengga kedatangan kelompok Diplomat Muda ASEAN yang datang untuk mengadakan riset mengenai Komunitas Kerokhanian Sapta Darma. Kelompok Diplomat Muda ASEAN berasal dari beberapa Negara seperti Myanmar, Vietnam, Laos, Kamboja, Timor Leste, Papua Nugini

11 Sanggar: Berarti tempat yang berada di atas, dihormati atau disucikan. Candi: Berarti tempat untuk manembah kepada Hyang Maha Kuasa. Sapta: Berarti tujuh, yaitu tujuh lubang alat indera.

Mata dua lubang, telinga dua lubang, hidung dua lubang, mulut satu lubang. Rengga: Berarti hias atau solek. Dimaksudkan agar dalam hidupnya, manusia mau menghias atau memperbaiki dan memelihara tujuh alat indera yang ada di muka. Dengan begitu, diharap untuk mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan dalam hidupnya baik di dunia sampai alam langgeng. Sumber: “Pemaparan Budaya Spiritual.” Pengurus Pusat Persatuan Warga Sapta Darma, Yogyakarta:2010. Hlm. 22.

Gambar IV.2

Kegiatan-Kegiatan Sanggar Candi Sapta Rengga Yogyakarta

Sumber: Facebook Kerokhanian Sapta Darma

Dengan perkembangan ajaran Sapta Darma yang cukup pesat ini bahkan informan TD berani berasumsi mengenai jumlah penghayat Sapta Darma di Indonesia sendiri bisa mencapai angka 10 juta orang. Jumlah tersebut memang masih asumsi dari informan TD karena dalam masalah statistik penghayat Kerokhanian Sapta Darma, memang selama ini belum diadakan sebuah pencatatan resmi yang dilakukan oleh Tuntunan Agung beserta Persada Pusat dalam mendata warga penghayat Sapta Darma. Beberapa departemen, seperti Departemen Dalam Negeri maupun Departemen Kebudayaan dan Pariwisata meminta data jumlah penghayat namun hal itu belum bisa dipenuhi karena terdapat beberapa kendala- kendala. Seperti yang dikemukakan oleh informan TD berikut:

“..Nah sekarang permasalahannya karena di Indonesia ini sudah seperti itu, yah dasar hukumnya sudah ada, tapi pelaksanaannya tetep masih ada diskriminasi. Jadi pengurusan itu ada daerah yang sudah gampang, ada juga daerah yang masih sulit. Ya

karena itulah, tergantung birokrasinya di tiap- tiap daerah mas..” (Informan TD, 16 Juli 2010)

Permasalahan pencatatan penghayat kepercayaan selama ini menurut informan TD diakibatkan oleh sulitnya melakukan pencatatan identitas bagi kalangan penghayat kepercayaan. Hal ini berakibat sulitnya mendapatkan jumlah pasti penghayat kepercayaan, termasuk dalam hal ini penghayat Sapta Darma. Walaupun kini sudah diakomodasi lewat Undang-Undang Adminduk No. 23 Tahun 2006, namun sosialisasi dan implementasinya ke tingkat birokrasi yang

lebih rendah masih belum maksimal. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya dilakukan pencatatan jumlah penghayat Sapta Darma sendiri di tiap-tiap daerah, karena terbentur dengan kebijakan tiap-tiap daearah dimana terdapat suatu daerah yang birokrasinya sudah akomodatif namun berbeda di daerah lainnya yang birokrasinya masih belum bisa mencatatkannya.

IV.1.3 Ajaran Kerokhanian Sapta Darma

Sejarah ajaran Sapta Darma ini tidak lepas dari diterimanya wahyu oleh Bapak Hardjo Sapoetro pada Jumat Wage tanggal 27 Desember 1952 . Pada saat itu, bertempat di rumahnya di daerah Pare, Kediri, Bapak Hardjo Sapoetro menerima wahyu dari Allah Hyang Maha Kuasa. Jadi waktu itu ia diminta untuk duduk menghadap ke arah timur melakukan ritual sujud sampai pukul lima di pagi hari, terus menerus dari jam satu malam. Ritual tersebut Ia lakukan selama dua tahun sampai tahun 1954, tetapi Bapak Harjo Sapoetro masih belum mengetahui apa yang sebenarnya. Hingga pada suatu malam akhirnya pada tanggal 12 Juli 1954 turunlah apa yang disebut dengan simbol pribadi, wewarah pitu dan sesanti, ketiga wahyu tersebut turun secara bersamaan dan pada saat itu pula beliau diberikan gelar yaitu Bapa Panuntun Sri Gutama. Adapun wahyu-wahyu lainnya yang diterima adalah sebagai berikut :

Wahyu Sujud adalah memuat ajaran tentang tata cara menembah kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Wajib dilakukan oleh penghayat dalam sehari semalam, minimal satu kali. Kegiatan sujud yang dilakukan di Sanggar (tempat sujud bersama/umum), dapat dilakukan bersama-sama dengan Tuntunan Sanggar sewaktu-waktu

Wahyu Racut adalah memuat ajaran tentang tata cara rohani manusia untuk mengetahui alam langgeng atau melatih sowan atau tata cara menghadap Allah Hyang Maha Kuasa.

Wahyu Simbol Pribadi Manusia menjelaskan tentang asal mula, sifat watak dan tabiat manusia itu sendiri, serta bagaimana manusia harus

mengendalikan nafsu agar dapat mencapai keluhuran budi. Wewarah Tujuh , merupakan kewajiban hidup manusia di dunia sekaligus

merupakan pandangan hidup dan pedoman hidup manusia. Dalam wewarah tujuh tersebut tersirat kewajiban hidup manusia dalam hubungannya dengan Allah Hyang Maha Kuasa, Pemerintah dan Negara, nusa dan bangsa , sesama umat makluk sosial, pribadinya sebagai makluk individu, masyarakat sekitar dan lingkungan hidupnya serta meyakini bahwa keadaan dunia tiada abadi selalu berubah-ubah (Anyakra Manggilingan ).

Wahyu Sesanti yang cukup jelas dan gampang dimengerti oleh siapapun, membuktikan suatu etika/ciri khas Sapta Darma yang menitik beratkan kepada warganya harus membahagiakan orang lain (tansah agawe pepadang lan maraning lian ).

Wahyu-wahyu yang turun ini berisi mengenai ajaran-ajaran yang menjadi pegangan hidup dan ritual-ritual bagi warga penghayat Kerokhanian Sapta Darma.

Gambar IV.3 Simbul Pribadi Manusia

Sumber: http://sapta-darma.info/apakah.html

Salah satu wahyu yang diterima adalah wahyu Wewarah pitu atau tujuh kewajiban suci tersebut merupakan tuntunan warga Sapta Darma dalam menjalani kehidupannya, baik kehidupan dengan sesamanya maupun kehidupan ketuhanannya. Ketujuh kewajiban suci tersebut antara lain :

1. Setia tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha Wasesa, Maha Langgeng .

2. Dengan jujur dan suci hati, harus setia menjalankan perundang-undangan Negaranya.

3. Turut serta menyingsingkan lengan baju, menegakkan berdirinya Nusa dan bangsanya.

4. Menolong kepada siapa saja bila perlu, tanpa mengharapkan sesuatu balasan, melainkan berdasarkan rasa cinta dan kasih.

5. Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.

6. Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta halusnya budi pakerti, selalu merupakan penunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuaskan.

7. Yakin bahwa keadaan dunia itu tiada abadi, melainkan selalu berubah- ubah (Anyakra manggilingan).

Sapta Darma memiliki pernyataan otoritas tersendiri dan otentisitas atas ajaran dan praktik-praktiknya. Ajaran dan praktik-praktiknya menggunakan pewahyuan yang diterima oleh Bapak Hardjo Sapoetro sebagai dasar dari posisinya yang “asli” dan tidak berasal dari agama lainnya. Seperti beberapa wahyu yang turun dimana mengajarkan ritual-ritual dan praktek peribadatan penghayat kepada Tuhan, seperti wahyu Sujud dan wahyu Racut. Mengenai hal tersebut, salah seorang informan, informan TD yang juga merupakan Staf Tuntunan Agung menjelaskan sebagai berikut:

“…Terus pada tahun 70an itu ada Sarasehan Kepercayaan Nasional, itu diputuskan bahwa aliran kepercayaan di Indonesia itu dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok kerokhanian, yang isinya hanya Sapta Darma. Terus kejiwaan, dan lalu Kebatinan.. Ya, kalau masalah kejiwaan dan kebatinan itu isinya macem-macem mas.. Manunggaling Kawulo dan Gusti dan sebagainya. Terus masih banyak yang, mohon maaf lho ini, berbau klenik. Kalau di Sapta Darma itu murni kerokhanian hubungan antara manusia

dengan Tuhannya. Di Sapta Darma seperti itu, jadi ya bedanya seperti itu..” (Informan TD, 16 Juli 2010)

Jadi menurut keterangan informan TD diatas, dijelaskan bahwa setelah Sarasehan Kepercayaan Nasional tahun 1970, diputuskan bahwa dari berbagai macam kelompok aliran kepercayaan yang ada, maka kelompok aliran kepercayaan dibagi menjadi tiga kelompok, yang pertama adalah Kelompok Kerohanian, lalu yang kedua adalah Kelompok Kebatinan, dan yang ketiga adalah Kelompok Kejiwaan. Sementara itu, dari ketiga klasifikasi yang dihasilkan lewat Sarasehan Kepercayaan Nasional, Sapta Darma digolongkan ke dalam Kelompok Kerohanian. Informan TD juga menjelaskan bahwa ajaran Sapta Darma menurutnya bukan merupakan ajaran yang sifatnya klenik. Ajaran Sapta Darma merupakan ajaran yang murni, merupakan ajaran mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya. Lebih lanjut dijelaskan oleh informan ES sebagai berikut:

“Ajaran Sapto Darmo itu terpisah, jadi bukan sempalan dari agama. Jadi wahyunya itu turun sendiri, dan dia bukan berakar pada salah satu agama yang ada, memang dia memiliki akar budaya bangsa ini, tapi bukan bagian dari agama formal yang ada. Sehingga tata caranya pun terpisah, sehingga kami tidak bisa mebandingkan agama

dengan Sapto Darmo, karena memang berbeda ya.” (Informan ES,20 Maret 2010)

Ajaran Sapta Darma ini berasal dari pewahyuan yang diturunkan kepada Bapa Panuntun Sri Gutama. Semua ajarannya diturunkan melalui wahyu yang tanggal- tanggal penerimaannya dicatat oleh Bapa Panuntun Sri Gutama secara rinci. Menurut informan ES, Ajaran Sapta darma bukanlah ajaran sempalan dari agama- agama resmi atau formal yang ada. Ajaran Sapta Darma sifatnya terpisah, karena berasal dari pewahyuan, sehingga tata cara dan ajarannya berbeda dan tidak bisa dibandingkan dengan agama-agama formal yanga ada. Diungkapkan juga oleh informan ES bahwa ajaran ini memiliki latar belakang akar budaya bangsa dan juga memiliki otentisitas tersendiri.

Sebagai sebuah sistem kepercayaan merujuk kepada konsep Eliade (1987), wahyu-wahyu yang diturunkan memberikan fungsi-fungsi terhadap penghayat Sapta Darma. Seperti contohnya pada Wewarah Tujuh dan Sesanti biasa dilihat sebagai sebuah Sistem ajaran (faith as credo), yang menyediakan seperangkat ajaran tentang nilai dan norma kepada penghayatnya. Wahyu Wewarah Tujuh dan Sesanti berisi ajaran mengenai kewajiban-kewajiban sebagai penghayat ajaran

Kerokhanian Sapta Darma. Selain itu juga bisa dilihat sebagai suatu sistem yang menuntut kesetiaan penghayatnya (faith as faithfulness) untuk melestarikan dan memelihara ajarannya. Terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan kewajiban- kewajiban yang terkandung dalam Wewarah Tujuh dan juga Sesanti. Yang terakhir yaitu berfungsi dalam memberikan basis praktek kedisiplinan moralitas dan spiritualitas yang harus dipatuhi peyakinnya (faith as obedience). Wewarah Tujuh dan Sesanti dapat dilihat sebagai basis pegangan hidup yang diyakini dan diamalkan oleh penghayat Sapta Darma. Sementara itu ritual Sujud dapat kita pahami fungsinya dalam memberikan sebuah sistem yang mengajarkan pada pengalaman ketergantungan dan penyerahan diri pada zat yang disakralkan (faith as dependence and as experience ), serta dan sistem yang membangun tradisi relijius (as deposit of the faith).

Durkheim (1964:2) melihat agama lewat penggunaan simbol-simbol membuat manusia merasa langsung merasa dekat kepada suatu kekuatan yang “luar biasa” yang muncul lewat realitas. Ritual sujud sebagai sebuah simbol yang

diwujudkan melalui realitas, memberikan jalan kepada para penghayat untuk manembah dan dekat kepada Allah Hyang Maha Kuasa yang merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa. Sementara itu dalam pandangan Geertz (1992), simbol- simbol berupa ritual dapat merumuskan konsep-konsep tentang suatu tatanan umum eksistensi. Dalam hal ini, ritual sujud menjadi sebuah simbol dalam menegaskan eksistensi nilai-nilai ajaran Sapta Darma.

Wahyu Sujud dapat dilihat sebagai ritual keagamaan yang menurut Durkheim merupakan ekspresi kesadaran kolektif dari sebuah kelompok sosial untuk menumbuhkan disiplin, integrasi dan vitalisasi keteraturan kelompok dan juga solidaritas (Pilgrim,1978:67). Hal ini dilakukan lewat ritual sujud bersama

yang dilakukan baik di Sanggar Candi Busana 12 di daerah masing-masing, ataupun agenda sujud penggalian yang diadakan satu tahun sekali di Sanggar

Sapta Rengga Jogjakarta. Sujud bersama dilakukan sebagai sarana pengisian dan

12 Sanggar: Berarti tempat yang berada di atas, dihorati atau disucikan. Candi: Berarti tempat untuk manembah kepada Hyang Maha Kuasa. Busana: Berarti pakaian, dalam hal ini pakaian raja

dan ratu yang merupakan simbol dari keluhuran. Jadi Sanggar Candi Busana adalah suatu tempat yang dihormati (disucikan) untuk manembah kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Sumber: “Pemaparan Budaya Spiritual.” Pengurus Pusat Persatuan Warga Sapta Darma, Yogyakarta:2010.

Hlm. 22.

pembinaan budi luhur tentang ajaran Kerokhanian Sapta Darma. Sementara itu, sujud penggalian merupakan sujud yang diajarkan oleh Bapa Panuntun Sri Gutama untuk membentuk penghayat yang berbudi luhur, berkepribadian dan berkewaspadaan tinggi. Selain itu juga diperuntukkan dalam meningkatkan mutu kerokhanian warga Sapta Darma, dan juga untuk keseragaman dalam penghayatan.

Sementara itu wahyu Simbul Pribadi Manusia dapat kita lihat sebagai sebuah simbol keagamaan yang secara sosiologis berperan penting dalam pembentukan kesadaran kelompok (jemaat) keagamaan terhadap agamanya. Sebagai sebuah simbol keagamaan, Simbul Pribadi Manusia merupakan media dalam mengenal pribadi dan untuk dimengerti juga dipahami agar manusia selalu mawas diri. Simbul Pribadi Manusia merupakan lambang visual yang memiliki filosofi dan arti dari tiap-tiap gambar dan warna, juga merepresentasikan asal, sifat dan pribadi manusia. Jadi dengan adanya wahyu Simbul Pribadi Manusia ini diharapkan dapat membentuk kesadaran penghayat dalam mengamalkan ajaran- ajaran Sapta Darma dan senantiasa mawas diri terhadap kehidupannya.

IV.1.4 Komunitas Penghayat Sapta Darma di DKI Jakarta

Beberapa saat setelah penerimaan wahyu yang diterima oleh Bapa Panuntun Sri Gutama pada 27 Desember 1952, ajaran ini kemudian mulai berkembang ke seluruh Indonesia. Hal ini dijelaskan oleh informan KS sebagai berikut:

“jadi pada tahun 1952 ya, jadi tepat setelah pergolakan agresi militer belanda ya dan republik ini kembali, akhirnya pada tahun itu penerimaan wahyu di Pare, Kediri Kalo di Jakarta mulai masuk itu setelah Pak Sri Gutama menerima wahyu. Jadi waktu itu ia berjanji menyebarkan ajaran ini biar istilahnya nggak disiksa lagi.. Akhirnya ya sudah, karena ini tugas saya, akhirnya beliau mau. Nah terus baru itu dia keliling ke seluruh Indonesia diantaranya itu Jakarta. Biasanya dalam penyebarannya itu beliau pergi ke tepat-tempat yang wingit (angker) nah terus tempat itu di ruwat sama beliau. Jadi perjalanan Pak Sri Gutama itu awalnya ya meruwat itu lah dan dengan sendirinya itu

menyebarkan juga ajaran Sapta Darma ini..” (Informan KS, 12 April 2011)

Setelah turunnya wahyu pada tahun 1952, akhirnya Bapa Panuntun Sri Gutama akhirnya berani keluar dan menyebarkan ajaran Sapta Darma setelah sebelumnya beliau tidak ingin menyebarkan ajaran ini. Namun karena mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa untuk menyebarkan ajaran ini, maka akhirnya beliau

menyebarkan ajaran Sapta Darma ini. Beliau melakukan perjalanan ke seluruh Indonesia diantaranya Jakarta. Dalam penyebarannya, biasanya beliau pergi ke tempat-tempat yang angker untuk melakukan ritual ruwat. Dari sini, beliau juga turut menyebarkan ajaran Sapta Darma ke daerah-daerah yang beliau datangi.

Setelah masa penyebaran oleh Bapa Panuntun Sri Gutama, mulailah berkembang para penghayat-penghayat yang mengikuti ajaran Sapta Darma ini. Perkembangan ajaran Sapta Darma dibawa oleh para penghayatnya ke seluruh wilayah di nusantara, tidak hanya memiliki cabang-cabang di pulau Jawa, tetapi hingga Sumatra seperti di Lematang (Palembang), Pringsewu (Lampung dan Medan).

Selain dibawa keseluruh Indonesia, ajaran ini juga dibawa oleh para penghayatnya termasuk hingga ke Jakarta. Hal ini seperti yang dituturkan oleh salah seorang informan:

“Ia itu kan mulai ada itu kan tahun 1950an itu sudah ada, penerimaan wahyu itu kan tahun 1952, dan mulai berkembang itu kan mulai 1955-1956 baru dikembangkan. Jadi kalau ada di Jakarta itu sendiri tahun 1957-1958an itu sudah ada di Jakarta. Jadi dulu itu ada beberapa orang yang dulu itu tinggal di daerah, kalo yang saya kenal itu bangsanya Pak Ranu, lalu Pak Gofur, terus ada lagi Pak Ismadi Urip. Dan juga dulu lebih banyak dulu itu pejabat. Jadi kebanyakan dulu kan tentara, jadi awal mulai muncul

ajaran ini kebanyakan pengikutnya itu tentara, dan banyak itu Marinir. ” (Informan BI,

23 Desember 2010) Seperti yang dijelaskan oleh informan BI bahwa ajaran Sapta Darma mulai masuk

dan berkembang di Jakarta sekitar tahun 1957-1958 di bawa oleh penghayat yang dulunya tinggal di daerah. Beberapa orang yang termasuk ke dalam generasi pertama penghayat Sapta Darma di Jakarta seperti Bapak Ranu, Bapak Gofur dan Bapak Ismadi Urip. Sementara itu, dari generasi awal penghayat yang masuk dan menyebarkan ajaran Sapta Darma di Jakarta, banyak dari penghayat yang merupakan anggota dari TNI, terutama Marinir maupun pejabat-pejabat instansi pemerintah. Mengenai banyaknya anggota tentara yang masuk dan menjadi pemeulk ajaran Sapta Darma ini kemudian lebih lanjut dijelaskan oleh informan KS sebagai berikut:

“…sebelumnya yang banyak itu ya tentara-tentara. Angkatan Udara, terus kalau di Surabaya itu Angkatan Laut, kalau di Jakarta ini dari Angkatan Darat biasanya. Nah itu mereka diantaranya itu Jenderal Sapardjo, yang mantan Mensos itu. Jadi banyak itu tentaranya. karena saat itu waktu perebutan Irian Barat, itu pak Sri Gutama itu

memberikan sangu kepada orang – orang itu yang ditugaskan ke Irian tadi, dengan

sabdanya tadi. Jadi kan waktu itu kan keadaannya ya perang terus.” (Informan KS,

12 April 2011) Jadi dalam perkembangan awalnya, banyak penghayat yang masuk dari kalangan

tentara dikarenakan situasi nasional saat itu yang sedang mengahadapi perang perebutan Irian Barat. Menurut informan KS di Jakarta sendiri banyak tentara- tentara dari Angkatan Darat yang masuk dan menjadi penghayat. Kebanyakan dari mereka menjadi penghayat karena mereka ingin selamet terhindar dari mara bahaya sewaktu menjalankan tugas di medan tempur, dan dengan sabda dari Bapa Panuntun Sri Gutama yang sangat mengangkat kondisi moril psikologis mereka pada saat itu. Salah satu penghayat ajaran Sapta Darma yang terkenal pada saat itu contohnya adalah Jenderal Sapardjo, beliau kemudian terkenal setelahnya sebagai Menteri Sosial di era Orde Baru.

Para penghayat di Jakarta yang kebanyakan berasal dari daerah-daerah, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, sudah secara aktif melakukan aktifitas sanggaran dengan sesama penghayat. Biasanya dalam kegiatan sanggaran ini para penghayat melakukan sujud penggalian dan setelah itu diselingi oleh diskusi kerohanian yang dipandu oleh tuntunan setempat. Berikut ini penuturan infoman BI mengenai sejarah mulai diadakannya sanggaran di Jakarta:

“kalau sanggaran ini sebenernya begini, kalau di Jakarta itu sebenernya semenjak tahun 1960 itu sudah ada. Jadi ada di daerah hmm, kalau di Jakarta Selatan, itu dulu ada di daerah Petogogan, terus hmm jadi banyak di pusat ya, Lapangan Banteng terus juga daerah Menteng. Kalau di Jaksel itu sendiri di Jalan Benda, disitu sejak 1960 .”

(Informan BI, 23 Desember 2010)

Jadi pada awalnya kegiatan sanggaran yang dilakukan warga penghayat Sapta Darma di Jakarta ini dimulai pada tahun 1960. Sanggaran dilakukan di beberapa tempat waktu itu. Di daerah Jakarta Selatan sendiri, sebelum berdirinya Sanggar Candi Busana di daerah Radio Dalam, dulu ada Sanggar di daerah Jalan Benda dan daerah Petogogan. Sementara itu pada tahun tersebut, sanggar-sanggar warga penghayat lainnya banyak terletak di daerah Jakarta Pusat seperti di daerah Lapangan Banteng dan Menteng.

Keorganisasian Sapta Darma di Jakarta terbagi ke dalam beberapa organisasi yang menaungi warga penghayat Sapta Darma, seperti Persatuan

Warga Sapta Darma (Persada) DKI Jakarta, Tuntunan Provinsi DKI Jakarta, dan Yayasan Srati Darma (Yasrad) DKI Jakarta. Secara fungsi, Tuntunan Provinsi DKI Jakarta berperan dalam masalah pembinaan warga penghayat dalam masalah ajaran Kerokhanian Sapta Darma. Organisasi Persada DKI bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Sementara itu Yasrad DKI berfungsi sebagai organisasi pendanaan terhadap seluruh kegiatan organisasi penghayat kepercayaan Sapta Darma di DKI Jakarta. Seperti yang diutarakan informan BI sebagai berikut:

“Dan di Jakarta itu kan karena terbagi menjadi wilayah-wilayah, kan kita ada lima wilayah nih, Jakarta sendiri Cuma ada satu Tuntunan Provinsi DKI sendiri, membawahi kelima wilayah yang disebut dengan Tuntunan Sanggar, tuntunan wilayahlah, utara sampai selatan. Itu yang spesifiknya ya yang di Jakarta. Tapi karena lama kelamaan orang-orangnya makin pada minggir.. jadi ada yang tinggal di Tangerang, KTP-nya kan masuk Banten, tapi kalo sanggaran ya gabungnya ke Jakarta, jadi cari yang paling deket. Jadi ya akhirnya kita itu cakupannya ya Jabodetabek lah. Tapi dalam provinsi ya tetep, Tuntunannya itu Tuntunan Provinsi. Kita itu Yasrad-nya DKI juga ada, Persada DKI-nya

juga ada, Tuntunan Provinsi DKI itu juga ada.” (Informan BI, 23 Desember 2010) Karena banyak faktor, seperti faktor perpindahan penghayat ke luar DKI Jakarta,

komunitas penghayat Sapta Darma DKI Jakarta secara keanggotaan komunitas meluas, bukan hanya dibatasi spasial DKI Jakarta saja, namun juga daerah-daerah sekitarnya seperti Depok, Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Hal ini juga berkaitan dengan ketersedian sanggar di daerah masing-masing, apabila masih belum ada sanggar di daerah sekitarnya, kadang warga lebih memilih melakukan sanggaran di wilayah DKI Jakarta.

Karena secara spasial dan demografi wilayah Jakarta tidak seluas provinsi- provinsi seperti Jawa Tengah dan jawa Timur, maka hal tersebut mempengaruhi keorganiasasian Sapta Darma di DKI Jakarta. Hal ini diungkapkan oleh informan SK sebagai berikut:

“Kemudian ya tergantung SDM wilayah masing-masing ya Persada itu. Karena DKI itu termasuk provinsi yang sempit ya kira-kira ya, tidak seperti Jawa Barat atau Jawa Tengah ya. Jadi misalnya kalau ditangani DKI juga sudah bisa juga, sudah cukup .”

(Informan SK, 27 Maret 2011)

Sejalan dengan pernyataan informan SK, informan BI juga menambahkan pernyataannya sebagai berikut:

“Dulu sih waktu masih agak banyak sih bisa. Tapi kan generasi yang tua-tuanya udah pada meninggal, dan generasi-generasi yang barunya ini nggak ada yang nerusin, ya

akhirnya ya udah deh kita nggak usah muluk-muluk tiap wilayah itu ada, oke jadi kita sepakat, ya satu aja dulu deh DKI.” (Informan BI, 23 Desember 2010)

Karena faktor SDM dan wilayah yang tidak seluas provinsi-provinsi lainnya, oleh karena itu untuk tingkat Provinsi DKI Jakarta, secara keorganisasian cukup ditangani oleh satu level keorganisasian di tingkat provinsi, seperti Tuntunan Provinsi, Persada Provinsi dan Yasrad Provinsi. Faktor SDM dan regenerasi cukup menjadi perhatian, sehingga dalam hal keorganisasian para penghayat di DKI Jakarta tidak mau terkesan muluk dengan mendirikan cabangnya hingga tingkat Kotamadya. Faktor regenerasi dimana tidak munculnya generasi-generasi muda dalam kepengurusan untuk menggantikan penghayat-penghayat sebelumnya yang telah meninggal maupun yang berusia lanjut menjadi salah satu perhatian serius keberlanjutan organisasi.

Gambar IV.4 Bagan Susunan Kepengurusan Organisasi Sapta Darma DKI Jakarta

Tuntunan Provinsi DKI Jakarta: Bpk. Bagjo Indriyanto, Bpk. Sukamto,

Bpk Maryanto

Persada DKI Jakarta: Yasrad DKI Jakarta:

Bpk. Sis Purwanto Bpk. Subiyantoro

Sumber: PenulisMelalui Wawancara Dengan Informan BI

Kini di Jakarta sendiri terdapat beberapa Sanggar di wilayah-wilayah tingkat Kotamadya. Kebanyakan dari sanggar-sanggar tersebut masih menyatu dengan rumah. Jadi pada sanggar yang masih menyatu dengan rumah penghayat, biasanya kegiatan sanggaran menggunakan fungsi ruangan yang ada di rumah tersebut, misalkan saja di ruang tamu. Seperti di Sanggar di SCB Jakarta Pusat di Utan

Kayu, SCB Jakarta Barat di Tambora, SCB Jakarta Timur di Klender dan SCB Jakarta Selatan di Radio Dalam. Di beberapa tempat, sanggar warga penghayat Sapta Darma ada yang sudah terpisah dan merupakan sebuah bangunan sanggar tersendiri. Seperti contohnya di Ganefo, di daerah Priok, Jakarta Utara dan di Cibubur, walaupun masuknya ke daerah Jawa Barat.

Tabel IV.1 Persebaran Sanggar di Provinsi DKI Jakarta

Tingkat

Nama Sanggar

Alamat

Sanggar Candi Busana Jakarta Jl. Radio Dalam Yado I No. E8 RT Selatan

004/004, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Sanggar

Candi

Busana Kampung Bahari, Gg. Pelita III No.24

Ganefo Jakarta Utara.

Tanjung Priok, Jakarta Utara

Kotamadya Jakarta

Sanggar Candi Busana Jakarta Tanah 80, Gg. Langgar II RT 001/009 Timur

No. 28 Klender, Jakarta Timur Sanggar Candi Busana Jakarta Jl. Jembatan II Barat RT 004/010 Angke

Barat

Tambora, Jakarta Barat. Sanggar Candi Busana Jakarta Jl. Utan Panjang III No. 10 RT 008/007

Pusat

Kemayoran, Jakarta Pusat

Sumber: Penulis melalui wawancara dengan informan SK

Dalam perkembangannya hingga saat ini, jumlah penghayat Sapta Darma di DKI Jakarta memang tidak menunjukkan angka perkembangan yang signifikan. Selain belum adanya sebuah pencatatan khusus mengenai jumlah statistik warga penghayat Sapta Darma di DKI Jakarta. Namun informan SK sebagai salah seorang Tuntunan Provinsi memberikan gambaran mengenai jumlah penghayat Sapta Darma saat ini di DKI Jakarta sedikitnya mencapai angka 400-500 orang. Jumlah ini dapat dikatakan kecil jika dibanding provinsi-provinsi lain yang jumlah penghayatnya bisa mencapai ratusan ribu orang. Faktor luas wilayah Jakarta dan

laju perpindahan penghayat merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penghayat Sapta Darma DKI secara statistik.

Selain faktor-faktor yang dikemukakan diatas, ada faktor lain yang mempengaruhi perkembangan penghayat Sapta Darma terutama di DKI Jakarta. Faktor regenerasi penghayat merupakan salah satu fenomena yang terjadi terhadap komunitas Sapta Darma DKI Jakarta. Menurut informan GP, masalah regenerasi secara biologis menurut informan masih berjalan. Namun sulitnya berkumpul dan berinteraksi karena kesibukan dianggap menjadi penghalang. Juga keengganan generasi muda untuk menjalankan ritual dan sedikitnya orang yang mau turun hingga ke tingkat penghayat menjadi masalah tersendiri dalam regenerasi. Senada dengan pernyataan informa GP, informan ES menambahkan bahwa faktor lambannya regenerasi penghayat menurut informan diakibatkan oleh faktor pendidikan anak yang semakin tidak memberikannya waktu untuk melakukan aktifitas lainnya disamping juga faktor gesekan identitas anak di pergulannya apabila tidak mendapat support yang cukup dari orangtuanya. Secara kelas sosial, kebanyakan penghayat Sapta Darma di DKI Jakarta berada pada kelas menengah kebawah. Seperti yang diungkapkan informan ES:

“Kita itu dari, hmm ya wirausaha lah ya.. tapi jangan pikir itu pengusaha ya, itu banyak dari kalangan menengah kebawah ya, jadi misalnya buruh, nelayan, ya yang non formal lah ya. Jadi memang Bapa Panuntun sendiri sudah memberitahu ya bahwa ajaran ini memang diawali dari mereka ya, mengangkat harkat dan martabat mereka ya, jadi ya memberikan penerangan dari bawah ya. Nah sisa-sisanya yang 25 % itu yang menengah

keatas ya, tapi 75 % itu yang menengah kebawah” (Informan ES, 20 Maret 2011) Menurut informan ES, kebanyakan atau sekitar 75% penghayat Sapta Darma DKI

Jakarta bekerja di sektor wirausaha, terutama yang bersifat non-formal. Sementara itu banyak pula kalangan penghayat yang datang dari kalangan nelayan, buruh, dan para pedagang. Sebanyak 25% lainnya adalah kalangan penghayat kelas menengah keatas. Gambaran ini sejalan dengan pemikiran Bapa Panuntun Sri Gutama dimana beliau memperuntukkan ajaran ini kepada kaum-kaum bawah sebagai ajaran yang dapat mengangkat harkat dan martabat mereka sebagai manusia.

IV.2 Gambaran Sejarah dan Keorganisasian Komunitas Sanggar Candi

Busana Jakarta Selatan

IV.2.1 Sejarah Berdirinya Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan

Seperti kebanyakan Sanggar lainnya di Jakarta yang masih menyatu dengan rumah penghayat, pada mulanya area sanggar ini merupakan sebidang tanah kosong di area rumah Bapak Soedono. Sanggar Candi Busana (SCB) Jakarta Selatan beralamat di Jalan Radio Dalam Yado I no. E8 RT 04 RW 04 Kelurahan Gandaria Utara, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Daerah RW 04 ini merupakan salah satu komplek yang pertama berdiri di daerah Jalan Radio Dalam. Keberadaan daerah ini dahulu dikenal dengan nama Komplek Yado-Deperdag. Menurut informan MR yang juga merupakan Ketua RW 04, komplek ini memang sudah ada sejak lama, keberadaan komplek ini bisa dilihat sejak tahun 1950an. Komplek ini pada awalnya diperuntukkan untuk pegawai Yado (Yayasan Administrasi dan Dokumentasi), sebuah badan di bawah Deperdag (Departemen Perdagangan) yang menjalankan fungsinya dalam mengatur ekspor dan impor. Selain ditujukan bagi pegawai Yado-Deperdag, beberapa kavling di komplek ini diperuntukkan bagi pegawai Departemen Keuangan, ada juga untuk pegawai Departemen Koperasi dan Departemen Perindustrian serta bagi dosen Universitas Indonesia.

Jika kita mengkaji sejarah pembangunan SCB Jakarta Selatan, maka kita tidak lepas dari sosok Bapak Soedono merupakan pendiri SCB Jakarta Selatan. Beliau juga merupakan salah seorang generasi pertama penghayat Sapta Darma di Jakarta. Bapak Soedono bersama dengan istri pindah ke DKI Jakarta pada sekitar tahun 1950. Sebelum menempati rumah di Jalan Yado I Kebayoran Baru, sebagai pegawai negeri sipil yang baru pindah ke Jakarta, beliau menempati rumah dinas di Jalan Sumatera, Menteng. Beliau adalah seorang pegawai Direktorat Jenderal Pajak, selain itu beliau juga merupakan dekan di STEKEN (Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Negara). Beliau juga ditunjuk sebagai sesulih atau perwakilan Bapa Panuntun Sri Gutama dan Sapta Darma untuk urusan yang berkaitan dengan pemerintah di Jakarta.

Gambar IV.5 Bapak Soedono

Sumber: Dokumentasi Penulis

Sejarah berdirinya SCB Jakarta Selatan juga tidak lepas dari keinginan dari sang penerima wahyu ajaran Sapta Darma, Bapa Panuntun Sri Gutama pergi ke Jakarta. Pada saat itu Bapak Soedono beserta istri melakukan perjalanan untuk menghadiri acara penggalian Jumat Wage di Sanggar Candi Sapta Rengga di Yogyakarta. Tepat pada momen penggalian di Sanggar Candi Sapta Rengga pada Februari 1964, tercetus keinginan dari Bapa Panuntun Agung Sri Gutama untuk mengunjungi Jakarta. Menanggapi hal tersebut, Bapak Soedono sebagai seorang penghayat, Ia berniat membangun sanggar di area rumahnya untuk menyambut kedatangan Bapa Panuntun Sri Gutama. Sepulangnya ke Jakarta, ternyata Bapa Panununtun Sri Gutama sakit, namun beliau tetap berjanji akan datang ke Jakarta setelah beliau sedikit membaik kondisinya. Hal ini seperti yang diceritakan oleh informan KS sebagai berikut:

“Sejak itu, pada februari 1964, tanggal 9 Februari sampe 12 Februari, nah Pak Sri bilang nanti kalau sudah anu saya ke Jakarta.. terus sesudah kita pulang itu Pak Sri

sakit, itu bulan Februari ya. Terus waktu sakit kita diundang kesana sama anak-anak semua, terus dia bilang nanti kalau saya sudah naik 5 kilo saya nanti ke Jakarta.” (Informan KS, 12 April 2011)

Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan informan BI sebagai berikut:

“…jadi ceritanya itu sanggar itu dibangun karena Bapak Sri Gutama itu mau ke Jakarta. Lalu bapak saya bilang, jadi kalau Pak Sri itu mau ke Jakarta, saya akan bangun sanggar di rumah. Tadinya kan ini tanah kosong, lalu ya kita bikin sanggar.. Ternyata dalam masa pembangunan sanggar itu, dia meninggal. Jadi dia tidak pernah menginjakkan kakinya di Jakarta. Jadi bapak saya selalu bilang bahwa sanggar ini dibangun karena dia ingin ke Jakarta. Iya, jadi karena dia mau ke Jakarta. Jadi sejak tahun itu, di Jakarta Selatan berdirilah sanggar. Jadi pendirinya itu bisa dikatakan

bapak saya sendiri, yaitu Pak Soedono..” (Informan BI, 23 Desember 2010)

Belum sampai beliau menginjakkan kaki ke Jakarta, pada masa pembangunan Sanggar ternyata Bapa Panuntun Sri Gutama meninggal. Pada tanggal 16 Desember 1964 Bapa Panuntun Sri Gutama meninggal dunia dengan kondisi pengerjaan Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan yang sedang dalam tahap merampungkan pembangunannya. Jadi menurut informan BI, didirikannya sanggar ini oleh Pak Soedono memang sejatinya adalah untuk menyambut kedatangan beliau ke Jakarta, walaupun hal itu tidak terjadi namun menurut informan BI, Bapak Soedono, yang merupakan ayahanda informan BI, selalu mengatakan latar belakang tersebut jika disinggung mengenai sejarah berdirinya SCB Jakarta Selatan.

Gambar IV.6 Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan

Sumber: Dokumentasi Penulis

Secara teknis, pembangunan sanggar ini dimulai pada Agustus tahun 1964. Dalam pembangunannya sendiri, dalam segi pendanaan murni menggunakan uang dari keluarga Bapak Soedono. Kondisi penghayat-penghayat di Jakarta yang saat itu masih kebanyakan dari golongan kelas bawah, sehingga tidak memungkinkan diadakannya dana swadaya untuk membangun sanggar ini secara bersama-sama. Pada saat pembangunannya juga terdapat beberapa kendala, hal ini diceritakan oleh informan KS sebagai berikut:

“saya udah beli bata, semen, udah siap mau bangun ini. Ceritanya itu udah mau bangun sampe atap, taunya ada kebijakan pemotongan uang itu lho, sanering ya pada waktu itu..

waduh, asuransi kita di bumiputra jumlahnya jadi jauh berkurang ya, terus sekolahnya Pak Dono yang jadi dekan itu kan kebetulan juga sama-sama lagi bangun.. jadi kacaulah pembangunannya kan, jadi udah tinggal atapnya uangku habis, pembangunannya

terhambat” (Informan KS, 12 April 2011)

Jadi pada saat itu, pembangunan Sanggar sempat terkendala akibat diterapkannya kebijakan pemotongan nilai mata uang saat itu atau yang biasa disebut dengan

kebijakan Sanering 13 . Pada saat itu pembangunan sedang dalam tahap akhir dimana tinggal menyelesaikan pengerjaan atap dan plafon bangunan Sanggar.

Terjadinya pemotongan nilai mata uang atua sanering sempat membuat pembangunan Sanggar terhenti karena tabungan keluarga Bapak Soedono saat itu juga ikut-ikutan terpotong nilainya. Apalagi saat itu bersamaan ketika Bapak Soedono sebagai dekan STEKEN juga sedang melakukan pembangunan Kampus. Akhirnya kekurangan dana pembangunan Sanggar yang hampir rampung tersebut dapat ditutupi. Informan KS berinisiatif menjual perhiasan-perhiasannya unuk menutupi kekurangannya hingga akhirnya pembangunan Sanggar.

Pembangunan SCB Jakarta Selatan di Radio Dalam memang praktis dimaksudkan untuk dijadikan pusat Provinsi DKI Jakarta. Pembangunan SCB Jakarta Selatan tidak memakan waktu yang panjang. Pembangunannya hanya memakan waktu empat sampai lima bulan hingga kemudian aktif digunakan oleh warga penghayat untuk sanggaran pada Januari 1965. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan informan BI sebagai berikut

“…buat di Radio Dalam itu mulai dari tahun 1964. 1964 mulai kita bangun, Agustus 1964 lah ya. Jadi ketika kita buat sanggar itu tahun 1964 itu langsung menjadi sanggar pusat di DKI. Jadi praktis jadinya itu tahun 1964 akhir ya, kira-kira bulan Desember

1964 itu jadi dan mulai dipakai sanggaran itu mulai Januari 1965. ” (Informan BI, 23 Desember 2010)

Akhirnya mulai Januari 1965, Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan mulai secara aktif digunakan sebagai tempat kegiatan para penghayat, baik yang sifatnya kerohanian maupun sosial, dan sudah merupakan sanggar pusat tingkat Provinsi DKI Jakarta yang keberadaannya masih eksis hingga saat ini.

13 Penurunan nilai mata uang yang diakibatkan tingginya nilai inflasi. Kebijakan Sanering disini berkaitan dengan kebijakan Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 Tanggal 13 Desember 1965,

dengan ini, uang Rp1.000 dipotong nilainya menjadi Rp1 saja. Saat itu pemerintah sedang mengalami defisit anggaran, karena harus membiayai proyek-proyek Mercusuar di era Presiden Soekarno seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo).

IV.2.2 Keorganisasian dan Aktifitas Penghayat di Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan

Secara aktifitas dan keorganisasian, keberadaan komunitas penghayat SCB Jakarta Selatan berada di bawah koordinasi Tuntunan Provinsi sebagai penanggungjawab kegiatan sanggar. Komunitas SCB Jakarta Selatan tidak memiliki keorganisasian khusus. Secara keorganisasian, SCB Jakarta Selatan hanya memiliki Pemangku Sanggar dan Tuntunan Sanggar sebagai pengurus. Pemangku sanggar atau orang yang bertanggungjawab atas sanggar biasanya ia diangkat atau meyatakan diri. Namun dengan keadaan sekarang dimana masih banyak sanggar-sanggar yang menyatu dengan rumah penghayat, biasanya pemangku sanggar adalah penghayat pemilik rumah, dalam hal ini Ibu Kartini Soedono. Ibu Kartini Soedono merupakan salah satu Staf Tuntunan Agung yang bergerak di bidang kewanitaan. Ia adalah istri dari Bapak Soedono pendiri SCB Jakarta Selatan. Sementara itu untuk Tuntunan Sanggar dijabat oleh informan BI, informan BI juga merupakan Tuntunan Provinsi DKI Jakarta. Berikut ini keterangan dari informan BI mengenai hal ini:

eeh, kalo strukturnya itu tetap sama, jadi yang bertanggung jawab di sanggar radio dalam tetep akhirnya kalo tiap sanggaran itu ya tuntunan provinsi DKI. Pemangku sanggarnya ya karena itu di rumah ibu ya ibu sendiri, kalo nggak ada ibu ya saya. Karena jadinya ya si pemilik rumah. Kepengurusan secara khusus, biasanya kan ada tuntunan sanggar dan sebagainya itu nggak ada.. karena larinya lebih ke provinsi ya..

(Informan BI, 23 Desember 2010)

Tidak ada kepengurusan secara khusus yang menangani sanggar tersebut, karena SCB Jakarta Selatan ini merupakan Sanggar Pusat wilayah DKI Jakarta, jadi kepengurusannya diatur oleh tingkat provinsi.

Sementara itu, untuk aktifitas penghayat Sapta Darma di SCB Jakarta Selatan ini umumnya berfokus pada aktifitas sanggaran tingkat pusat Provinsi DKI Jakarta. Karena fungsinya sendiri sebagai sanggar pusat DKI Jakarta, maka komunitas SCB Jakarta Selatan terdiri dari perwakilan dari penghayat di tiap-tiap wilayah. Berikut ini gambaran kegiatan SCB Jakarta Selatan dari informan BI:

“kalo di, jadi kan kita punya beberapa wilayah di Jakarta, kalo khusus yang di Radio Dalam itu khusus dari seluruh Jakarta, karena Radio Dalam itu pusat Jakarta. Terus itu

dilakukan tiap akhir bulan, itu tujuannya untuk mengadakan komunikasi terus kita konsolidasi lah, ada masalah apa. Terus kita itu memang kumpul dari lima wilayah kemudian itu lapor, lalu kalo ada informasi dari pusat juga, kemudian sosialisasiinnya juga disitu. (Informan BI, 23 Desember 2010)

Jadi pada setiap sanggaran setiap bulan di hari sabtu terakhir, setiap perwakilan mengirimkan perwakilannya. Perwakilan tersebut kemudian melaksanakan sanggaran dan setelah itu mengadakan semacam diskusi dalam rangka komunikasi mengenai masalah-masalah yang terjadi di daerah masing-masing. Biasanya pertemuan dimulai dengan laporan dari Anggota komunitas yang merupakan perwakilan dari wilayahnya masing-masing mengenai perkembangan penghayat yang ada di wilayahnya, dan juga permasalahan-permasalahan yang terjadi di wilayahnya. Ajang ini juga merupakan ajang konsolidasi untuk memecahkan permasalahan yang ada terkait dengan warga penghayat Sapta Darma di daerah masing-masing. Dari situ kemudian jika ada pengumuman-pengumuman juga kegiatan-kegiatan, sekaligus disosialisasikan dalam pertemuan tersebut. Jadi, selain digunakan sebagai ajang konsolidasi masalah, kegiatan sanggaran di SCB Jakarta Selatan ini juga sebagai ajang sharing informasi dari pusat (Yogyakarta) dan juga sosialisasinya.

Setelah itu acara biasanya dilanjutkan dengan kegiatan rohani, seperti ritual sujud yang biasanya dimulai pada pukul delapan malam, dan setelah itu kemudian diisi dengan semacam ceramah kerohanian. Ceramah kerohanian biasanya dilakukan dengan duduk bersila diatas kain putih dan kemudian anggota- anggota yang datang duduk secara melingkar. Ceramah kerohanian ini sifatnya dua arah, jadi lebih merupakan ajang sharing masalah-masalah atau pengalaman- pengalaman kerohanian. Sementara itu, secara jumlah, komuntitas Penghayat Sapta Darma SCB Jakarta Selatan dapat kita lihat setiap kali acara Sanggaran ini berlangsung Berikut ini pernyataan informan BI:

“Kalo sanggaran kan biasanya 15 sampai 20 orang lah. Kecuali kalo ada acara nah itu jadi rame. Jadi umpama acara suro, kita tumpengan yuk di radio, nah itu jumlahnya bisa sampe seratusan.. Karena kita lebih banyak ke tuntunan-tuntunan wilayah yang dateng itu, jadi kita laporan dan sebagainya. Jadi kadang mereka merasa kalo yang bukan tuntunan itu nggak boleh, padahal untuk kita nggak, makanya kita utamakan itu tuntunan

soalnya mereka yang tau masalah-masalah di tiap wilayah. ” (Informan BI, 23 Desember 2010)

Sanggaran yang diadakan tiap Sabtu terakhir di tiap bulannya memang diakui diperuntukkan bagi para perwakilan wilayah-wilayah. Sehingga dalam hal kuantitas memang tidak terlalu banyak. Hal ini juga sejalan dengan informasi yang diberikan oleh informan ES dan GP. Berikut ini pernyataan dari informan ES:

“Sangat variatif ya antara 15 sampe 40 orang. Itu di Radio Dalam ya, kadang lebih tapi range-nya antara segitu. Kalo kita tarik rata-ratanya ya antara 30an. Karena yang sanggaran disitu itu sifatnya perwakilan, jadi tiap wilayah itu mengirimkan beberapa orang .”(Informan ES, 20 Maret 2011)

Demikian juga yang dikemukakan informan GP:

“Ya relatif ya. Kalau di Jakarta itu ya sesuai kendalanya ya.. kadang-kadang itu 5 orang, kadang-kadang juga 40 orang. Soalnya di tiap wilayah itu ada sanggaran juga, yang

penting di radio dalam itu ada laporan dari tiap-tiap wilayah lah.. ” (Informan GP,

26 Maret 2011) Jumlah komunitas ini bisa diukur dari jumlah penghayat yang melakukan

sanggaran tiap sabtu terakhir di tiap bulannya. Jumlahnya berkisar antara angka 15 sampai 40 orang. Jumlah tersebut menjadi jumlah antara karena kedatangan penghayat tiap sanggaran akhir bulan memang tidak dapat di prediksi sehingga angkanya tidak dapat disatukan.

Selain sanggaran tingkat pusat DKI Jakarta, praktis SCB Jakarta Selatan tidak memiliki jadwal sanggaran khusus tersendiri bagi penghayat di wilayah Jakarta Selatan. Hal ini justru terlihat lebih aktif dilakukan di sanggar-sanggar tingkat Kotamadya di wilayah-wilayah lainnya. Oleh karena itu, komunitas SCB Jakarta Selatan lebih merupakan komunitas perwakilan penghayat dari tiap-tiap daerah. Jadi setiap diadakannya sanggaran, jumlah komunitas ini memang tidak begitu banyak dibandingkan jika menyelenggarakan event tahunan. Ada semacam keengganan penghayat lainnya untuk melakukan sanggaran di SCB Jakarta Selatan karena memang kebanyakan yang melakukan sanggaran adalah tuntunan tiap-tiap wilayah, dan memang ada pengutamaan sanggaran bagi para perwakilan- perwakilan wilayah karena merekalah yang mengetahui masalah-masalah di tingkat wilayah.

Selain aktifitas Sanggaran Tingkat Provinsi, ada beberapa kegiatan yang dilakukan di Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan. Selain agenda Sanggaran

Tingkat Provinsi yang sifatnya rutin, ada beberapa kegiatan lainnya sifatnya event atau tahunan seperti Suroan dan Sanggaran Wanita yang diadakan tiap Jumat Wage untuk warga penghayat khususnya ibu-ibu. Berikut ini penjelasan kegiatan sanggaran wanita oleh informan KS:

“Iya jadi wanita setiap jumat wage siang. Biasanya dateng absen, terus di absennya itu ada kolomnya Srati Darma misalnya ada yang mau nyumbang, nah disitu ditulis, nah terus itu ada tabungan ya jadi mereka itu menabung saya masukkan ke Mandiri. Tabungannya dicatet di buku masing-masing ada. Nanti kalau ada kegiatan lima tahun sekali musyawarah wanita di Jogja itu nah kita sudah punya uang sendiri untuk kesana.. Acaranya ya mesti diawali sama sujudan dulu ya jam 11 siang, sudah itu, kurang lebih

satu jam, sujud selesai lalu dilanjukan pengisian rohani.” (Informan KS, 12 April 2011)

Jadi setiap Jumat Wage, warga penghayat Sapta Darma khususnya para wanita yang kebanyakan merupakan istri-istri penghayat, datang melakukan sanggaran di SCB Jakarta Selatan. Kebanyakan dari mereka berasal dari Jakarta, Depok, dan Bekasi. Setiap kali acara sanggaran Jumat Wage ini dijalankan, jumlah penghayat wanita yang datang sekitar 15 sampai 40 orang. Jumlah 15 orang adalah jumlah minimal penghayat, karena dari jumlah itu sebanyak kurang lebih 15 orang dipastikan datang karena mereka juga terikat oleh acara arisan antar ibu-ibu warga penghayat Sapta Darma.

Seperti biasa, kegiatan diawali dengan ritual sujudan sekitar jam sebelas siang. Setelah itu acara kemudian dilanjutkan dengan pengisian rohani oleh Ibu Kartini Soedono selaku pemanku sanggar dan Staf Tuntunan Agung Bidang Kewanitaan. Selain itu, acara sanggaran Jumat Wage juga digunakan sebagai ajang pengumpulan dana oleh para ibu-ibu yang datang yang kemudian dimasukkan dalam kas Yayasan Srati Darma. Uang yang terkumpul selain dipergunakan untuk keperluan kas organisasi warga penghayat Sapta Darma, juga digunakan membiayai perjalanan warga penghayat wanita ke acara Munas Wanita yang diadakan setiap lima tahun sekali di Yogyakarta. Dengan demikian, mereka bisa berangkat secara bersama tanpa perlu mengeluarkan biaya yang besar, karena semua keperluannya sudah ditabung dari jauh hari.

Selain itu, pada sanggaran wanita tiap Jumat Wage juga diadakan semacam pembinaan kepada para warga penghayat wanita Sapta Darma. Selain pembinaan yang bersifat vertikal, seperti pembinaan rohani, pembinaan kepada

warga penghayat wanita Sapta Darma ini juga menggarap aspek-aspek horizontal atau kemasyarakatan. Hal tersebut juga dijelaskan oleh informan KS sebagai berikut:

“Lah kalo wanitanya sendiri itu yang Panca Dharma wanita itu, sebagai pegangannya kita sebagai wanita Sapta Darma ya.. Artinya yang satu itu, selain sujud ya kewajiban sebagai penghayat Sapta Darma, itu sebagai istri pendamping suami yang baik, yang kedua ibu dari anak-anaknya yang baik, yang ketiga sebagai ibu rumah tangga yang baik, keempat sebagai anggota masyarakat yang baik, kelima sebagai pribadi yang baik.

Nah itu tugas saya untuk memberikan pengarahan itu.” (Informan KS, 12 April

2011) Informan KS menjelaskan bahwa pada setiap pertemuannya, selalu diberikan

pengarahan kepada wanita warga penghayat Sapta Darma untuk selalu memperhatikan aspek vertikal dan horizontal melalui pelaksanaan Panca Dharma Wanita. Panca Dharma Wanita atau lima kewajiban utama wanita Sapta Darma adalah sebuah pegangan bagi wanita warga penghayat Sapta Darma, selain kewajiban-kewajiban lainnya sebagai penghayat Kerokhanian Sapta Darma. Isi dari Panca Dharma Wanita Sapta Darma adalah, pertama, menjadi istri pendamping suami yang baik, yang kedua menjadi ibu dari anak-anaknya yang baik, yang ketiga menjadi ibu rumah tangga yang baik, keempat menjadi anggota masyarakat yang baik, dan yang kelima dengan menjadi pribadi yang baik.

Selain kegiatan yang sifatnya berkaitan dengan komunitas penghayat Sapta Darma, rumah kediaman Bapak Soedono juga menjadi pusat kegiatan warga di RT 004 RW 004 Kelurahan Gandaria Utara. Diceritakan oleh informan BI bahwa dari dahulu semenjak kantor kelurahan Gandaria Utara letaknya masih berdekatan dengan rumah, kegiatan RT atau RW selalu mengambil tempat di rumah. Jadi menurut informan BI tidak ada sama sekali kesan eksklusif. Aktifnya kegiatan warga juga dipengaruhi karena istri Bapak Soedono, yaitu Ibu Kartini Soedono merupakan Ketua RT 004. Beberapa kegiatan yang dilakukan seperti contohnya pada Pemilu 2009, rumah Bapak Soedono menjadi tempat panitia Pemilu dan tempat perhitungan suara, selain itu TPS (Tempat Pemungutan Suara) ditempatkan di jalan besar di depan kediaman Bapak Soedono. Selain itu, rumah kediaman Bapak Soedono juga dijadikan sebagai Sekertariat Klub Jantung Sehat. Ibu Kartini Soedono juga merupakan salah sau dari pengurus Klub Jantung Sehat Yado ini. Dalam kegiatannya biasanya klub jantung sehat biasanya melakukan

latihan senam jantung sehat tiap selasa dan sabtupada jam 06.00-07.00 pagi. Sementara itu baru-baru ini, Klub Jantung Sehat juga mengadakan pemeriksaan darah dan jantung kepada anggota Komunitas Klub Jantung sehat.

Gambar IV.7 Klub Jantung Sehat Yado

Sumber: Dokumentasi Penulis

Informan MR sebagai Ketua RW 04 juga mengakui bahwa Keluarga Bapak Soedono merupakan salah satu penghuni pertama yang menempati Komplek Yado-Deperdag. Hal ini yang membuat Bapak dan Ibu Soedono menjadi orang yang dituakan dan tokoh masyarakat di wilayah RW 04. Bahkan Ibu Soedono sampai saat ini masih aktif sebagai Ketua RT 04. Informan MR mengatakan bahwa sejak dahulu, terutama Ibu Soedono dikenal aktif di lingkungan RW 04 Komplek Yado-Deperdag. Berikut ini pernyataan informan MR:

“di kegiatan kemasyarakatan juga dulu Bu Dono juga aktif menggalang ya, dulu kan jamannya waktu anak-anak mudanya melakukan kegiatan-kegiatan bikin paduan suara, bikin apa gitu. Juga dia mengajak ibu-ibu yang lain dalam mengikui kegiatan kewanitaan, bikin kerajinan tangan atau kegiatan-kegiatan antar ibu-ibu lah dulu waktu

jaman 70- 80 ya..” (Informan MR, 12 April 2011)

Ibu Soedono atau biasa dipanggil Ibu Dono sejak dahulu aktif dalam menggalang kalangan anak-anak muda maupun ibu rumah tangga dalam kegiatan seperti paduan suara dan kegiatan kewanitaan seperti arisan dan pembuatan kerajinan tangan.

Jadi secara garis besar, keorganisasian SCB Jakarta Selatan tidak memiliki sebuah keorganisasian khusus. Sebagai Sanggar pusat, keberadaannya langsung

dibawah Tuntunan Provinsi. Sehingga dalam keorganisasiannya, SCB Jakarta Selatan hanya memiliki Tuntunan Sanggar yang merupakan Tuntunan Provinsi yaitu Bapak Bagjo, dan pemangku sanggar, yaitu orang yang ditunjuk untuk mengurus segala kebutuhan sanggar, yaitu sang pemilik rumah yaitu Ibu Kartini Soedono. Secara garis besar, aktifitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan hanya terbagi menjadi dua kegiatan yang sifatnya rutin. Kegiatan-kegiatan tersebut diantaranya seperti Sanggaran perwakilan-perwakilan wilayah yang diadakan di sabtu terakhir tiap bulannya dan Sanggaran warga penghayat wanita Sapta Darma yang diadakan tiap Jumat Wage. Selain kegiatan yang sifatnya terkait dengan Komunitas Sapta Darma SCB Jakarta Selatan, rumah kediaman Bapak Soedono sejak dahulu digunakan untuk kegiatan RT/RW seperti pertemuan RT/RW ataupun kegiatan-kegiatan besar tahunan seperti Pemilu. Rumah tersebut juga digunakan untuk Sekertariat Klub Jantung Sehat yang memiliki beberapa kegiatan rutin seperti senam jantung sehat dan pemeriksaan kesehatan. Jadi dapat dikatakan fungsi dari SCB Jakarta Selatan beserta Rumah Bapak Soedono tidak eksklusif hanya berkaitan dengan kegiatan kepenghayatan saja, namun juga aktif digunakan dalam kegiatan kemasyarakatan.

IV.3 Deskripsi Gambaran Kerokhanian Sapta Darma: Sebuah Kesimpulan

Kemunculan Kerokhanian Sapta Darma tidak dapat dilepaskan dari konteks kebangkitan Gerakan Kebatinan yang berkembang dengan pesat pada sekitar pertengahan abad ke-20. Beberapa ilmuwan sosial yang meneliti mengenai gerakan kebatinan seperti Mulder dalam Lestari (2007) maupun Koentjaraningrat (1994), keduanya melihat bahwa kebangkitan gerakan kebatinan merupakan sebuah respons akan perubahan sosial budaya yang berlangsung cepat yang mengakibatkan gejolak sosial di masyarakat. Jadi sejarah berdirinya kelompok- kelompok kepercayaan tidak lepas dari sejarah kebangkitan gerakan kebatinan. Kebatinan dan kepercayaan pada dasarnya merupakan dua konsep yang maknanya sama. Namun, konsep kepercayaan lebih dipilih untuk digunakan guna membedakannya dengan agama

Dalam perkembangannya, proses pengakuan terhadap kelompok kepercayaan mengalami pasang surut dalam sejarah dan hubungannya dengan negara. Secara legal aliran kepercayaan diakui oleh negara pada tahun 1955 melalui dibentuknya BKKI (Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia) di Semarang yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro. Setelah melalui serangkaian Musyawarah Nasional Kebatinan dan Seminar-seminar, perjuangan untuk mendapat legalitas akhirnya terwujud dengan lahirnya ketetapan MPR RI No IV/MPR/1973-22 Maret 1973. Dengan demikian diakuilah kehidupan kepercaayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, di samping agama dan sejak itu aliran kebatinan berubah nama menjadi aliran kepercayaan. Pengakuan legalitas ini berbarengan dengan timbulnya keberatan di masyarakat yang merasa resah dengan isu yang menyebar secara nasional bahwa akan dikabulkannya aspirasi penghayat kepercayaan yang akan menjadi agama. Langkah kompromi diambil pemerintah dengan memasukkan urusan penghayat kepercayaan berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, agama formal tetap berada di bawah

Departemen Agama. Pada tahun 1978, hal ini kembali ditegaskan dengan ditetapkannya kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah bagian dari kebudayaan dan tidak mengarah kepada pembentukan agama baru oleh Presiden Indonesia ke-

2, Bapak Soeharto. Dalam perkembangannya, terdapat berbagai macam kelompok kebatinan

atau yang biasanya disebut aliran kepercayaan. Pernyataan versi negara melalui Asdep urusan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa K.R.T H. Widyahadikusuma menyatakan bahwa di Jawa Tengah saja terdapat 61 organisasi penghayat kepercayaan dengan jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia mengalami peningkatan sebanya 8,8 juta. Data lainnya menjelaskan bahwa jumlah organisasi kepercayaan ada dan tersebar di 25 provinsi mencapai jumlah 980 organisasi, sementara itu jumlah para penghayat atau yang disebut penganut kepercayaan ada sekitar 9 juta orang.

Salah satu dari berbagai macam aliran kepercayaan yang ada di Indonesia adalah Sapta Darma. Sapta Darma (yang berarti tujuh kewajiban) adalah sebuah gerakan spiritual pasca perang kemerdekaan yang lahir setelah kemunculan Subud

(1932), Pangestu (1932), dan Sumarah (1935) yang berdiri sebagai sebuah gerakan pada periode-periode akhir pada masa Kolonial Belanda. Kemunculan Sapta Darma tidak dapat dilepaskan dari sosok Bapak Hardjo Sapoetro atau biasa dipanggil Pak Sepuro. Sapta Darma sudah memiliki pengikut berjumlah ratusan yang tersebar di Jawa, Bali, dan Sumatera hanya dalam waktu beberapa tahun setelah kelahirannya pada awal 1950-an. Setelah revolusi kemerdekaan, beberapa saat tidak terdengar kegiatan Sapta Darma, hingga pada tahun 1956 Hardjo Sapoetro muncul kembali dengan ajaran-ajarannya di Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya di Jawa Tengah. Kemunculannya didampingi Mahasiswi Fakultas Hukum bernama Sri Suwartini, yang nantinya bergelar Sri Pawenang. Tempat dan kedudukan Sapta Darma tidak lagi di Pare, Kediri tetapi dipindahkan ke Yogyakarta.

Sapta Darma di Jakarta, banyak dari penghayat yang merupakan anggota dari TNI, terutama Marinir maupun pejabat-pejabat instansi pemerintah. Sapta Darma mulai masuk dan berkembang di Jakarta sekitar tahun 1957-1958 di bawa oleh penghayat yang dulunya tinggal di daerah. Karena banyak faktor, seperti faktor perpindahan penghayat ke luar DKI Jakarta, komunitas penghayat Sapta Darma DKI Jakarta secara keanggotaan meluas, bukan hanya dibatasi spasial DKI Jakarta saja, namun juga daerah-daerah sekitarnya seperti Depok, Tangerang, Bogor, dan Bekasi

Kini di Jakarta sendiri terdapat beberapa Sanggar di wilayah-wilayah tingkat Kotamadya. Kebanyakan dari sanggar-sanggar tersebut masih menyatu dengan rumah. Jadi pada sanggar yang masih menyatu dengan rumah penghayat, biasanya kegiatan sanggaran menggunakan fungsi ruangan yang ada di rumah tersebut, misalkan saja di ruang tamu. Seperti di Sanggar di SCB Jakarta Pusat di Utan Kayu, SCB Jakarta Barat di Tambora, SCB Jakarta Timur di Klender dan SCB Jakarta Selatan di Radio Dalam. Di beberapa tempat, sanggar warga penghayat Sapta Darma ada yang sudah terpisah dan merupakan sebuah bangunan sanggar tersendiri. Seperti contohnya di Ganefo, di daerah Priok, Jakarta Utara dan di Cibubur, walaupun masuknya ke daerah Jawa Barat. Sementara SCB Jakarta Selatanmerupakan sanggar tingkat pusat Provinsi DKI Jakarta.

Sanggar Candi Busana (SCB) Jakarta Selatan yang terletak di Rumah Bapak Soedono mulai secara aktif digunakan sebagai tempat kegiatan para penghayat sejak Januari 1965, baik yang sifatnya kerohanian maupun sosial, dan sudah merupakan sanggar pusat tingkat Provinsi DKI Jakarta yang keberadaannya masih eksis hingga saat ini. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh SCB Jakarta Selatan antara lain Sanggaran, diadakan setiap satu bulan sekali tiap hari sabtu terakhir. Sanggaran tingkat pusat memang diperuntukkan bagi para perwakilan tiap-tiap daerah yang merupakan ajang konsolidasi untuk memecahkan permasalahan yang ada terkait dengan warga penghayat Sapta Darma di daerah masing-masing. Selain itu, juga ada kegiatan Sanggara khusus wanita Sapta Darma yang diadakan tiap Jumat Wage. Sanggaran tiap Jumat Wage diarahkan pada kegiatan pembentukan pribadi wanita Sapta Darma dan pengumpulan kas dana sosial untuk Yayasan Srati Darma.

Selain kegiatan yang sifatnya komunitas, rumah kediaman Bapak Soedono sejak dahulu digunakan untuk kegiatan RT/RW seperti pertemuan RT/RW ataupun kegiatan-kegiatan besar tahunan seperti Pemilu. Pada Pemilu 2009, rumah Bapak Soedono dijadikan tempat sekertariat panitia Pemilu. Selain itu, Ibu Soedono juga aktif di Klub Jantung Sehat, sehingga rumahnya juga dijadikan Sekertariat Klub Jantung Sehat dan rutin melakukan kegiatan melakukan latihan senam jantung sehat tiap Selasa dan Sabtu pada jam 06.00-07.00 pagi. Sementara itu baru-baru ini, Klub Jantung Sehat juga mengadakan pemeriksaan darah dan jantung kepada anggota Komunitas Klub Jantung sehat. Jadi dapat disimpulkan bahwa Rumah Bapak Soedono tidak eksklusif hanya berkaitan dengan kegiatan kepenghayatan saja, namun juga aktif digunakan dalam kegiatan kemasyarakatan.

BAB V

Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Penghayat Kepercayaan Sapta Darma: Sebuah Diskusi Hasil Temuan

Setelah dalam Bab IV sebelumnya telah dijabarkan hasil temuan lapangan berupa gambaran kemunculan Sapta Darma dan perkembangan Komunitas Sanggar Candi Busana (SCB) Jakarta Selatan. Pada Bab V ini berisi analisis temuan-temuan lapangan tersebut dengan menggunakan kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini. Bab ini memberikan gambaran mengenai proses eksklusi hak-hak sipil penghayat kepercayaan serta konstruksi identitas penghayat kepercayaan terkait eksklusi hak-hak sipil yang mereka alami.

V.1 Dinamika Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan

V.1.1 Masalah Seputar Pemenuhan Hak-Hak Sipil Penghayat Kepercayaan

Hak Sipil merupakan hak-hak yang dianggap paling dasar atau fundamental dari semua hak-hak manusia. Hak sipil adalah kebebasan yang mendapat perlindungan secara hukum. Menurut An- Na‟im, hak sipil mengacu pada status hukum dan perUndang-Undangan, dan juga perlakuan kepada kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan dari kelompok mayoritas atas dasar ras, agama dan asal-usul bangsa.(Kholiludin,2009:32) Oleh karena itu, pemenuhan hak-hak sipil, terutama bagi kalangan penghayat kepercayaan adalah sebuah kewajiban yang seharusnya diberikan oleh Negara setara dengan penganut agama-agama lainnya. Perkembangan hak-hak sipil penghayat kepercayaan saat ini sudah mulai mengalami perkembangan. Kelompok kepercayaan saat ini mulai mendapatkan legitimasi hukum. Dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksaaan UU Nomor 23 Tahun 2006 juga Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 Tahun

Universitas Indonesia

2009 mengenai Pedoman Pelayanan Kepada Pengahayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, semakin memperjelas legitimasi terhadap kaum penghayat kepercayaan.

Namun, lahirnya peraturan-peraturan pemerintah tersebut tidak diimbangi dengan sosialisasi yang baik ke tingkat pemerintahan bawah seperti kelurahan dan RT/RW. Beberapa contoh implementasi dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penghayat ini dijabarkan oleh beberapa orang informan. Menurut informan ES, sosialisasi UU Adminduk ke tingkat RT hingga Kelurahan sangat kurang. Hal ini dialami informan ES sewaktu pengurusan KTP dimana informan harus membawa surat pernyataan yang di dalamnya memuat keterangan bahwa informan adalah penghayat kepercayaan. Hal serupa juga sama seperti yang dialami oleh informan GP. Tahun lalu saat informan mengurus perpanjangan KTP, pengisian kolom agama informan di KTP sempat bermasalah karena pihak RT hingga kelurahan masih belum bisa mencatatkan identitas informan sebagai penghayat kepercayaan. Berikut ini kutipan wawancara dari informan GP mengenai masalah ini:

“Jadi kondisinya kan gini, sistem di Indonesia itu kan antara policy di atas kan belum tentu nyambung kan dengan yang di bawah. Coba aja, pasti lambat itu di bawah nangkepnya. Kalo belum ada surat edarannya, jadi itu kan merupakan petunjuk teknis pelaksanaan dari suatu keputusan ke pelaksana di daerah, artinya itu bakal internal mengikat pegawai agar seperti ini. Kita memang harus punya wawasan yang luas terjun di masyarakat itu. Kalo orangnya nggak ngerti terus mau kita marahi juga ya nggak ketemu, jadi berantem. Tapi kalo kita ahu oh ini belum nyampe, ya sudah.. ikutin aja.” (Informan GP, 26 Maret 2011)

Informan GP melihat bahwa ada sistem yang salah mengenai sosialisasi kebijakan. Seringkali singkronisasi kebijakan antara tingkat pusat dengan tingkat birokrat yang lebih rendah kurang berjalan dengan baik. Pengetahuan akan Undang-Undang yang kurang pada tingkat birokrasi bawah dan keterlambatan pusat dalam memberikan surat edaran kepada birokrasi yang terkait dibawahnya menjadi kendala-kendala yang masih terjadi menurut informan GP. Ada beberapa daerah, menurut Informan BI, dimana pergantian identitas penghayat di KTP masih belum bisa diakomodasi oleh birokrasi setempat, daerah-daerah tersebut seperti Bekasi, Tangerang dan Tanjung Priok.

Selain masalah sosialisasi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang masih belum berjalan dengan baik, masih adanya diskriminasi terutama dalam pelaksanaan hak-hak sipil penghayat masih saja dilakukan oleh oknum- oknum birokrat terkait. Edwards (1992:2) menjelaskan bahwa diskriminasi merupakan sebuah proses peminggiran sekelompok manusia yang memiliki ciri dan karakteristik tertentu dan memaksa mereka terpinggirkan dari masyarakat dan hidup dengan hambatan terhadap kehidupan normal pada umumnya. Proses diskriminasi terkait peminggiran identitas sosial penghayat kepercayaan dalam pemenuhan hak-hak sipil, terutama yang dilakukan oleh oknum-oknum birokrat atau secara institusional contohnya dialami oleh informan BI. Informan BI mengakui dalam pengurusan perizinan sanggar, sempat mengalami kendala di PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat). Kendala tersebut lebih merupakan diskriminasi dari oknum-oknum yang ada di birokrasinya saat itu yang mempengaruhi pengurusan perizinan. Informan BI juga menambahkan saat mengajukan perizinan Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan di Polres, informan mengalami terjadinya pungutan liar dalam hal pengurusan izin oleh beberapa oknum kepolisian dengan alasan untuk memperlancar masalah perizinan.

Selain itu, diskriminasi terhadap identitas Sapta Darma juga terjadi dalam karir, terutama penghayat yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Hak-haknya sebagai pengahayat untuk melakukan sumpah jabatan secara penghayat memang untuk beberapa orang sudah bisa dilakukan, namun implikasinya bahwa akan berimbas ke karir kepegawaian yang nantinya tidak akan berkembang. Hal ini lebih lanjut dikatakan oleh informan BI sebagai berikut:

“nah, itu yang menjadi masalah adalah umumnya, mereka tidak berani menunjukkan identitas diri mereka sebagai penghayat, terutama di KTP-nya ya. Tapi beberapa kali di Depkeu, beberapa penghayat waktu naik jabatan eselon ke eselon tiga disumpahnya itu melalui Sapta Darma, bahkan biro kepegawaiannya yang minta. Ada lagi di BPPT, tapi kalau itu orangnya sendiri yang minta. Nah, tapi, ada tapinya nih, dia itu mentok karirnya, Cuma sampai eselon tiga, gitu.. gak mungkin kedua nih, kalo sampe kedua oke nih, sampe mau naik kesatunya, abis.. gak mungkin deh, kalo bukan titipan partai dan

s ebagainya.” (Informan BI, 23 Desember 2010)

Seperti beberapa contoh yang terjadi di Depkeu dan BPPT dimana ada penghayat Sapta Darma yang sudah dapat menjalankan sumpah jabatan secara kepercayaan.

Namun, menurut informan BI, politisasai identitas di badan-badan Negara menghambat kesempatan berkarir si penghayat.

V.1.2 Dinamika Identitas Penghayat Kepercayaan Di Masyarakat

Castells mengutip Giddens (1991) dalam Barker (2000:7) mengatakan bahwa identitas adalah sumber pemaknaan untuk dan oleh seorang aktor, yang dikonstruksikan melalui proses individuasi. Para penghayat Sapta Darma komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan telah secara terbuka membuka identitas mereka sebagai seorang penghayat kepercayaan di masyarakat. Tahapan hingga ke proses tersebut dibangun dari sebuah proses pemaknaan individu mengenai ajaran Sapta Darma itu sendiri sebagai sebuah ajaran yang mereka yakini dan amalkan. Beberapa informan seperti informan BI, GP dan ES memang semenjak kecil telah diperkenalkan dengan ajaran ini oleh kedua orang tua mereka yang juga merupakan penghayat Sapta Darma, dengan kata lain melalui saluran biologis, identitas mereka coba dikonstruksikankan melaui institusi keluarga.

Beberapa informan seperti informan BI dan GP memiliki garis keturunan dari para penghayat generasi Sapta Darma sebelumnya. Orangtua-orangtua informan BI dan GP merupakan Tuntunan Sapta Darma di daerahnya masing- masing. Sementara itu informan ES dan SK besar di keluarga yang akrab dengan

tradisi kebatinan Jawa abangan. 14 Walaupun besar dan tumbuh dalam lingkungan tersebut, mereka tidak lantas menjadikan Sapta Darma sebagai identitas relijius

mereka. Para informan, seperti informan ES, GP dan SK, juga mengakui sebelum mendalami ajaran Sapta Darma, mereka juga belajar salah satu „agama resmi‟

waktu mereka duduk di bangku pendidikan formal. Informan ES, GP dan SK menceritakan bahwa mereka mulai mendalami ajaran ini setelah mereka dewasa dan mulai sadar mengenai ajaran ini. Mereka melalui serangkaian pengalaman- pengalaman keagaamaan yang bersifat individu. Dari pengalaman-pengalaman tersebut, informan akhirnya meyakini dan menghayati ajaran Sapta Darma, dan

14 Abangan disini mewakili sikap memiliki segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan petani (Geertz,1989:X). Abangan juga mengacu kepada rakyat kebanyakan

yang tidak relijius atau mereka yang tidak melaksanakan peradaban Islam. (Mulder,2003:1)

mereka pada akhirnya mengkonstruksikan identitas relijius mereka sebagai penghayat Sapta Darma.

Menurut Peek (2005:9) Agama merupakan identitas sosial, sebagai sebuah identitas sosial ditonjolkan oleh individu penyandang identitas tersebut. Di Indonesia sendiri, identitas agama secara formal dimasukkan sebagai salah satu kolom isian di Kartu Tanda Penduduk. Artinya identitas keberagamaan tiap-tiap warga negara disandang dan ditonjolkan melalui sebagai salah satu identitas formal dalam tiap kartu identitas penduduk. Sebelum munculnya UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksaaan UU Nomor 23 Tahun 2006 kebanyakan penghayat kepercayaan masih mencantumkan identitas salah satu agama resmi. Namun setelah kedua perangkat hukum itu keluar, banyak dari penghayat yang langsung mengurus pergantian identitas mereka menjadi strip (-) atau lainnya.

Sebagai identitas yang ditonjolkan oleh individu yang menyandangnya, identitas sebagai penghayat kepercayaan masih memperjuangkan identitas relijiusnya di masyarakat yang sebagian besar memeluk „Agama Resmi‟, yaitu agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Politik pengakuan identitas ini bisa kita runut semenjak diterapkannya Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), dimana pemerintah menerapkan agama-agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

Castells (1997:8) lewat teori konstruksi identitasnya, melihat bahwa konstuksi sosial terhadap identitas ini selalu ditempatkan dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan. Negara sebagai institusi dominan berusaha mempertahankan dominasi mereka terhadap aktor-aktor sosial. Dalam kaitannya dengan keberadaan kelompok penghayat kepercayaan, negara mencoba membuat sebuah konstruksi keberagaman agama di Indonesia dengan hanya menetapkan enam agama resmi. Akibat adanya kontruksi Negara terhadap identitas keberagamaan maka timbulah dikotomi „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟.

Hal ini cukup menyulitkan komunitas penghayat kepercayaan dimana terdapat

labeling terhadap identitas mereka yang secara resmi tidak diakui oleh Negara. Label komunis, tak bertuhan dan sesat seringkali dialamatkan kepada komunitas penghayat kepercayaan. Memang diakui informan BI bahwa masih ada pandangan aneh terhadap komunitas penghayat, terutama yang datang dari orang-orang yang fanatis. Stigma dan labeling terhadap identitas Sapta Darma diakibatkan oleh kurangnya level edukasi masyarakat dan ketakutan secara politis dari kaum mayoritas. Sementara itu informan ES melihat bahwa masih terjadinya labeling sebagai orang kejawen di level penghayat menengah kebawah. Kurangnya informasi dan masih banyak orang yang awam mengenai kepercayaan Sapta Darma menjadi salah satu penyebab terjadinya labeling terhadap identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan.

Melihat fenomena yang terjadi terhadap identitas penghayat Sapta Darma di masyarakat, dapat kita katakana terjadi sebuah label dan stigma. Maka menurut Peek (2005:9) dalam sebuah kelompok dimana identitas mereka merasa “dimusuhi” atau semakin ditekan oleh orang-orang di sekitar, mereka merasa

perlu menjelaskan dan mendemonstrasikan kepercayaan mereka lebih baik lagi dari sebelumnya. Informan BI menekankan komunikasi dan approach ke masyarakat untuk menjaga hubungan baik, juga tidak bersifat mentang-mentang ke sekitarnya adalah kunci menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar. Salah satu contohnya adalah dengan berbagi berkah dan makanan dengan masyarakat sekitar Sanggar Candi Busana Ganefo Jakarta Utara dalam kegiatan suroan adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan komunitas masyarakat sekitar. Sementara itu informan SK sebagai Tuntunan Provinsi mensosialisasikan warganya agar tidak eksklusif dan selalu aktif mengikuti kegiatan di lingkungannya.

V.2 Dimensi Politik Sebagai Dimensi Eksklusi Sosial Terhadap Penghayat Kepercayaan Sapta Darma

Eksklusi sosial terhadap penghayat kepercayaan tidak lepas dari atribut identitas yang mereka sandang sebagai penghayat kepercayaan. Menurut Barry

(2006) Eksklusi sosial merupakan sebuah konsekuensi dari tidak adanya kondisi yang adil dalam kehidupan yang disebabkan ketidakberuntungan yang dialami sejak lahir. Bentuk-bentuk ketidakberuntungan secara lahir dapat berupa etnis, agama, ras, orientasi seksual yang dialami seseorang, kasta, gender, usia, kecacatan, HIV, status migrasi atau tempat tinggal. Negara melalui intrumen hukumnya pada tahun 1965 lewat Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), menetapkan agama resmi di Indonesia yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Sehingga dengan ini Negara berhak menentukan spiritual landscape atas keberagaman relijius di Indonesia. Hal ini merupakan sebuah ketidakberuntungan bagi kelompok-kelompok penghayat kepercayaan dimana identitas mereka tidak diakui oleh Negara. Dari sini kemudian sejarah dikotomis antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟ terjadi di Indonesia.

Proses pengakuan oleh Negara kepada hanya enam agama juga kemudian melahirkan diskriminasi kepada kelompok-kelompok kepercayaan terutama dalam pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga Negara. Ketidakberuntungan identitas para penghayat, dimana identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan

tidak diakui oleh Negara sebagai „agama resmi‟. Hal ini membuat mereka tidak bisa mengisi identitas mereka di kolom agama di KTP. Sehingga yang terjadi

banyak dari mereka mencantumkan salah satu agama resmi yang diakui pemerintah, walaupun dalam kesehariannya mereka tetap menjalankan ritual mereka sebagai penghayat kepercayaan. Cap sebagai Islam KTP akhirnya terlanjur melekat kepada mereka merujuk identitas formal di KTP dan identitas relijius yang bertolakbelakang dalam kenyataannya. Hal ini sempat dialami oleh beberapa informan, seperti informan GP dan SK yang mengalami pengalaman tersebut di lingkungan kantornya.

Eksklusi sosial merupakan sebuah proses yang multidimensional, namun dalam kaitannya dengan yang terjadi terhadap kelompok penghayat kepercyaan, dalam hal ini kelompok penghayat kepercayaan Sapta Darma, politik menjadi dimensi yang paling penting dalam menjelaskan bagaimana proses eksklusi sosial terjadi terhadap pengakuan identitas mereka. Dalam dimensi politik, eksklusi

sosial dapat diinterpretasikan sebagai sebuah keadaan dimana terjadinya penolakan hak-hak atau keadaan dimana kewarganegaraannya tidak lengkap (Bhalla,2004:22). Menurut Marshall (1964) dalam (Bhalla,2004:22), hak-hak dapat digolongkan ke dalam tiga kategori hak-hak kewarganegaraan, yang pertama hak sipil, lalu yang kedua hak politik, dan yang ketiga adalah hak sosio- ekonomi. Penolakan hak-hak sipil terhadap kelompok kepercayaan Sapta Darma ini mempersulit para penghayat. Namun beberapa informan memilih mengambil jalan tengah yang lebih moderat dan berkompromi. Beberapa informan memilih salah satu agama resmi seperti dalam prosesi perkawinan, pendidikan bagi anak- anak dan prosesi sumpah pegawai bagi penghayat pegawai negeri sipil. Selain untuk menghindari konflik dengan warga sekitar yang masih awam dengan identitas mereka, hal ini juga digunakan untuk menghindari kendala yang bersifat birokratis.

Penolakan atas pencatatan identitas sebagai penghayat kepercayaan, sebagai komunitas yang secara relijius belum diakui oleh Negara sebagai salah satu agama resmi, juga dialami oleh komunitas penghayat Sanggar Candi Busana (SCB) Jakarta Selatan. Sebelum terbitnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) No. 23 Tahun 2006, hak-hak pencatatan atas identitas mereka ditolak. Bukan hanya hak-hak dalam pencatatan keendudukan, beberapa hak-hak lainnya seperti pencatatan dan registrasi perkawinan antar penghayat di Kantor Catatan Sipil; hak atas pendidikan, dalam hal ini hak anak-anak penghayat untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan kepercayaannya; hak atas sumpah jabatan sesuai dengan kepercayaannya bagi PNS; hak atas lahan pemakaman dan penguburan sesuai dengan kepercayannya; hak untuk berkumpul dan membangun rumah ibadah.

Menurut Barry (Haralambos, Holborn & Heald,2000:282), eksklusi sosial itu tidak hanya disebabkan karena pilihan dan lingkungan dimana individu itu berada, tetapi juga disebabkan karena kebijakan nasional dan pelayanan di tingkat lokal. Beberapa tahun kebelakang ini, lahirnya beberapa peraturan seperti UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksaaan UU Nomor 23 Tahun 2006

, juga Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 Tahun 2009 menenai Pedoman Pelayanan Kepada Pengahayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, semakin memperjelas legitimasi hukum terhadap kaum penghayat kepercayaan. Namun dalam perkembangannya, lambannya sosialisasi peraturan-peraturan tersebut ke tingkat birokrasi bawah seperti RT/RW dan Kelurahan, sehingga banyak penghayat kepercayaan yang belum bisa mengakses hak-hak sipilnya.

Seperti yang dikemukakan Barry bahwa antara kebijakan nasional dengan pelayanan di tingkat lokal memang masih menjadi salah satu kendala dalam pemenuhan hak-hak sipil. Hal ini juga yang dihadapi informan ES dan GP saat mengurus pergantian identitas KTP mereka setelah dikeluarkannya UU Adminduk No. 23 Tahun 2006. Selain faktor keluarnya UU Adminduk yang baru mengakomodasi pencatatan identitas mereka. Pergantian identitas ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan diantara pemeluk agama-agama lainnya di masyarakat. Para informan mengakui bahwa hal ini dilakukan karena memang mereka berbeda, dan memiliki tradisi kepercayaan dan ajaran-ajaran tersendiri yang lepas dari agama- agama lainnya. Pada saat infoman GP mengurus pergantian identitas di KTP-nya informan mengalami kesulitan di kelurahan, karena pihak kelurahan merasa belum ada SK (Surat Keputusan) mengenai pencatatan bagi penghayat kepercayaan. Hal serupa juga dialami informan ES. Informan ES sudah dapat mencatatatkan identitasnya di KTP sebagai penghayat. Namun, informan harus membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa dirinya adalah penghayat kepercayaan dan menyimpulkan bahwa sosialisasi UU Adminduk belum berjalan sampai tingkat bawah. Namun hal ini tergantung dengan daerah masing-masing, di beberapa daerah, birokrasinya juga sudah dapat mencatatkan perubahan identitas penghayat kepercayaan. Hal ini dialami oleh informan BI dan SK yang tidak mengalami masalah dengan pergantian identitas mereka di KTP setelah UU Adminduk keluar.

Minimnya penegakan hak-hak warganegara muncul akibat buruknya sistem penegakan hak-hak oleh negara dan ketidakmampuan individu-individu

atau organisasi kelompok-kelompok sosial dalam mempertahankan hak-hak mereka (Bhalla,2004:22). Dari pernyataan informan ES dan GP diatas menandakan bahwa Negara lemah dalam penegakan Undang-Undang dan perarturan yang telah mereka buat. Negara lemah dalam sosialisasi ke tingkat birokrasi bawah sehingga level pengetahuan birokrasi tingkat bawah di beberapa daerah tidak cukup memadai dalam mengakomodasi Undang-Undang, terutama dalam mengakomodasi kebutuhan penghayat kepercayaan. Umumnya yang terjadi terhadap penghayat kepercayaan adalah level pengetahuan mereka yang rendah terhadap Undang-Undang sehingga mereka tidak bisa mempertahankan hak-hak mereka sebagai warga Negara. Namun dalam hal ketidakmampuan individu dalam mempertahankan hak-haknya, hal itu tidak terjadi terhadap penghayat Komunitas SCB Jakarta Selatan. Hal ini dikarenakan penghayat telah sadar hukum, mereka dibekali pengetahuan dan sosialisasi Undang-Undang yang baik oleh SCB Jakarta Selatan tiap kali pertemuan sanggaran yang diadakan sabtu terakhir tiap bulannya, sehingga dengan bekal itu mereka percaya diri dalam proses pegurusan hak-hak mereka ke birokrasi. Sehingga dalam kasus eksklusi hak-hak sipil penghayat Sapta Darma Komunitas SCB Jakarta Selatan, yang terjadi adalah minimnya penegakan hak-hak warganegara timbul akibat buruknya sistem penegakan hak- hak oleh negara.

Jadi, melalui dimensi politik, kita melihat bahwa eksklusi terjadi pada kelompok penghayat kepercayaan terutama dalam pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga Negara. Walaupun secara teoritis, dimensi-dimensi lainnya seperti ekonomi dan sosial saling berhubungan dengan dimensi politik.

V.2.1 Eksklusi Sosial Penghayat Kepercayaan Sapta Darma dalam Pemenuhan Hak-Hak Sipil

Hak sipil merupakan bagian dari hak-hak yang paling mendasar dan fundamental dari semua hak-hak manusia. Negara Indonesia sebagai Negara yang menghormati dan melindungi hak-hak warga negaranya, termasuk hak-hak dalam memeluk dan meyakini agama. Hak-hak tersebut juga terkait dengan kebebasan

meyakini kepercayaan. Di satu sisi, Negara memiliki produk hukum yang menjamin keberadaan kelompok kepercayaan seperti melalui UUD 45 Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1) dan (2). Lalu UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) dan masih banyak lagi instrumen HAM Internasional yang memberikan jaminan dan perlindungan (Tresno,2005:87). Namun dalam perkembangannya, perdebatan mengenai agama dan kepercayaan yang tercantum dalam Undang- Undang sempat mengemuka. Di satu sisi ada yang memberikan penafsiran bahwa agama dan kepercayaan dalam Undang-Undang merupakan dua konsep yang

berbeda yang menyangkut komunitas „agama resmi‟ dan kelompok kepercayaan. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa kata kepercayan dalam Undang-Undang mengacu kepada kepercayaan terhadap agama-agama resmi yang diakui oleh Negara. Pandangan ini dikemukakan Howell (2004:2) yang menyatakan bahwa agama dan kepercayaan dalam ketentuan konstitusi yang dibuat pada Tahun 1945 memiliki arti yang sama. Walaupun menurut Howell dalam perkembangannya, pada tahun 1973, perwakilan dari kelompok kebatinan mencoba mendikotomikan konsep kepercayaan dalam Undang-Undang untuk mengacu dan merepresentasikan kelompok kepercayaan dan membedakannya dengan agama.

Namun sebagai sebuah produk hukum, yang menjamin keberadaan kelompok kepercayaan, hal tersebut memang bersifat paradoks apabila kita melihat produk hukum lainnya yaitu Penetapan Presiden Republik Indonesia No.

1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dalam penjelasannya pada pasal 1 disebutkan “Agama-agama yang dipeluk oleh

penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu”. Meskipun ada penjelasan lebih lanjut “Ini tidak berarti bahwa

agama-agama lain, misalnya Yahudi Zarazustrian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia”, namun hanya enam agama resmi tersebut yang direproduksi terus

menerus sebagai indek kependudukan dan administrasi kewargaan oleh pemerintah (Cholil et al,2009:17). Undang-Undang ini merupakan akar dari konsep penduduk yang agama yang belun diakui. Pada perkembangannya hal ini sangat berpengaruh terhadap pemenuhan hak-hak sipil kelompok kepercayaan sebagai kelompok penduduk yang agamanya belum diakui. Seperti contohnya

dalam penulisan identitas di KTP ataupun dokumen-dokumen kependudukan lainnya, hanya enam agama resmi ini yang bisa menuliskan identitas agamanya secara tegas. Pada akhirnya hal ini juga berpengaruh terhadap pemenuhan hak-hak sipil lainnya bagi kelompok penghayat kepercayaan.

Hak-hak sipil menekankan lebih secara rinci pada hak-hak setiap warga negara untuk mengambil bagian dengan bebas dan setara dalam ruang-ruang politik dan kepentingan publik dalam urutan dengan aktif untuk mengupayakan kebijakan publik yang lebih memihak melalui keikutsertaan pribadi dalam proses- proses politik. An- Na‟im dalam Kholiludin (2009:32) menjelaskan bahwa hak sipil mengacu pada status hukum dan perUndang-Undangan, dan juga perlakuan kepada kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan dari kelompok mayoritas atas dasar ras, agama dan asal-usul bangsa. Sementara itu jika ditinjau dari konsep eksklusi sosial, hal ini menunjukkan bahwa kelompok kepercayaan mengalami semacam situasi dimana mereka terdiskriminasi secara sistemik dari masyarakat karena perbedaan identitas relijius mereka. Melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 1965, eksistensi identitas relijius mereka tidak diakui oleh negara yang menyebabkan mereka terdiskriminasi secara sistemik, terutama dalam pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara.

Terkait dengan penelitian ini ada, enam hak-hak sipil penghayat kepercayaan yang masih mengalami eksklusi seperti hak-hak pencatatan atas identitas mereka di KTP, hak atas pencatatan dan registrasi perkawinan antar penghayat di Kantor Catatan Sipil, hak atas pendidikan, yaitu yang mengacu pada hak anak-anak penghayat untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan kepercayaannya, hak atas sumpah jabatan sesuai dengan kepercayaannya bagi PNS, hak atas lahan pemakaman dan penguburan sesuai dengan kepercayannya, hak untuk berkumpul dan membangun rumah ibadah.

Fenomena ini berhubungan dengan definisi Barry (Haralambos, Holborn & Heald,2000:282), dimana eksklusi sosial itu tidak hanya disebabkan oleh pilihan individu dan lingkungan dimana individu itu berada, tetapi juga disebabkan karena kebijakan nasional dan pelayanan di tingkat lokal. Sementara itu, fenomena ini juga dapat dijelaskan melalui definisi eksklusi sosial dimana

terjadinya sebuah situasi dimana beberapa kelompok dalam masyarakat mengalami ketidakberuntungan karena didiskriminsai secara sistematis karena perbedaan ras, etnis dan gender ( http://www.gsdrc.org/go/topic-guides/social- exclusion ). Oleh karena itu dalam sub-bab berikutnya penulis akan menjelaskan bagaimana eksklusi sosial itu terjadi bukan hanya karena adanya disparitas antara kebijakan nasional mengenai pelayanan hak-hak sipil penghayat kepercayaan dengan implementasinya pelayanan di tingkat lokal, tapi terkait juga diskriminasi baik oleh produk hukum dan aparat birokrasi pemerinah, serta pilihan dari penghayat itu sendiri dan linkungan di sekitar penghayat.

V.2.1.1 Eksklusi Sosial Dalam Pencantuman Identitas Penghayat di Kolom Agama Dalam KTP

Identitas agama sebagai salah satu kolom identitas resmi dalam KTP, sempat menjadi sebuah masalah dan momok yang cukup menakutkan bagi sebagian kelompok, seperti kelompok minoritas agama-agama besar diluar „agama resmi‟ pemerintah, penghayat kepercayaan dan kelompok penganut agama-agama lokal. Sebelum pemerintah mengeluarkan produk hukum berupa Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) UU Nomor 23 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksaaan UU Nomor 23 Tahun 2006, kebanyakan dari mereka terpaksa menganut salah satu agama resmi. Hal ini dikarenakan memang pemerintah belum bisa mengakomodasi pencatatan diluar enam agama resmi tersebut. Sementara itu, bagi penghayat Sapta Darma, khususnya komunitas SCB Jakarta Selatan, semua informan mengakui bahwa dalam pengurusan kolom agama di KTP sebelum keluarnya UU No. 23 Tahun 2006 sangat sulit untuk mengganti kolom agama sesuai dengan kepercayaan yang dijalani.

Sulitnya mengganti kolom agama sebelum lahirnya UU No. 23 Tahun 2006 juga diceritakan oleh informan SK dan GP. Informan GP mengalami kesulitan dalam perubahan kolom agama sebelum UU Adminduk keluar. Saat

informan mengurus identitas KTP-nya di kelurahan, tetapi yang keluar di identitas adalah salah satu agama formal. Berikut ini pernyataan informan GP:

“..sebelumnya memang karena belum ada UU Adminduk itu KTP-nya memang agak susah. Dulu waktu saya di Rawamangun, itu sudah kosong, lalu saya perpanjangan

karena saya sibuk tau- tau hasilnya kok Islam..” (Informan GP, 26 Maret 2011) Sementara itu informan SK mengakui bahwa setelah tahun 2006, tepat setelah

Undang-Undang tersebut keluar, informan baru mengurus pergantian identitas informan yang tadinya tercantum salah satu agama resmi menjadi lainnya.

Pada tahun 2006 akhirnya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) UU Nomor 23 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksaaan UU Nomor 23

Tahun 2006. UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan salah satu indikator kemajuan legislasi dalam bidang kebebasan beragama dan berkeyakinan di era Reformasi yang antara lain memberikan jaminan hak sipil lebih luas bagi warga penghayat kepercayaan. UU no.23 tahun 2006 telah mengakomodir kepentingan para penghayat kepercayaan yang dalam pasal (8) ayat (4) yang berbunyi “Kewajiban sebagaimana diamksud pada ayat (1) untuk persyaratan dan tata cara Pencatatan Peristiwa Penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perUndang- Undangan atau bagi penghayat kepercayaanberpedoman pada peraturan perUndang-Undang an.”

Sebagai sebuah produk Undang-Undang, UU No.23 Tahun 2006 memang sudah cukup ideal. Namun permasalahan yang masih dirasakan di beberapa daerah contihnya seperti sosialisasi yang kurang terhadap Undang-Undang ini di tingkat aparat kelurahan ataupun RT/RW. Seperti yang dijelaskan oleh informan BI bahwa di beberapa daerah seperti di Bekasi, Tangerang dan Tanjung Priok belum semuanya bisa diganti. Informan SK juga menambahkan ada beberapa daerah di Jakarta Pusat yang birolrasi tingkat RT/RW-nya masih belum mengerti mengenai Undang-Undang Adminduk ini.

Sementara itu informan ES juga merasakan lemahnya sosialisasi terhadap Undang-Undang ini, informan merasakan bahwa pada saat informan mengurus

pergantian identitas di KTP, informan harus membuat surat pernyataan. Sehingga inform menyimpulkan bahwa sosialisasi UU Adminduk belum jalan sampai tingkat bawah. Hal yang berbeda dialami oleh informan GP yang ditolak oleh kelurahan saat informan akan melakukan pergantian KTP. Pada saat informan mengurus pergantian identitas di KTP-nya informan mengalami kesulitan di kelurahan, hal ini dikarenakan pihak kelurahan merasa belum menerima SK (Surat Keputusan) mengenai pelaksanaan Undang-Undang tersebut. Berikut ini pernyataan dari informan GP mengenai hal tersebut:

“Jadi kondisinya kan gini, sistem di Indonesia itu kan antara policy di atas kan belum tentu nyambung kan dengan yang di bawah. Coba aja, pasti lambat itu di bawah nangkepnya. Kalo belum ada surat edarannya, jadi itu kan merupakan petunjuk teknis pelaksanaan dari suatu keputusan ke pelaksana di daerah, artinya itu bakal internal mengikat pegawai agar seperti ini. Kita memang harus punya wawasan yang luas terjun di masyarakat itu. Kalo orangnya nggak ngerti terus mau kita marahi juga ya nggak ketemu, jadi berantem. Tapi kalo kita ahu oh ini belum nyampe, ya sudah.. ikutin aja. Iya, jadi sudah bisa. Sosialisasinya juga sudah jalan ya sampe tingkat kecamatan. Jadi, tadinya ini di kelurahan itu masih belum bisa, terus ya saya ya bilang, ya udah mana pak pengantarnya, nanti saya ke kecamatan. Pas udah ke kecamatan ya udah jadi.”

(Informan GP, 26 Maret 2011)

Dalam pernyataannya mengenai kejadian yang Ia alami saat mengurus pergantian identitas agama di KTP, informan GP menekankan adanya kesenjangan antara kebijakan di tingkat atas dengan birokrasi di tingkat bawah. Birokrasi di tingkat bawah dinilai lamban dalam menangkap perubahan Undang-Undang dan sangat tergantung dengan SK atau petunjuk pelaksana Undang-Undang dari tingkat atas.

Pelaksanaan Undang-Undang yang masih bermasalah di tingkat bawah sangat ditunjang proses sosialisasi Undang-Undang yang buruk. Hal ini disampaikan oleh informan MR yang merupakan ketua RW 04 dan informan SG yang merupakan ketua RT 01/RW 04, bahwa semenjak keluarnya UU Adminduk mereka sebagai pengurus RT dan RW belum pernah disosialisasikan secara detail oleh pihak terkait, dalam hal ini kelurahan, berterkaitan dengan pengisian kolom agama kelompok penghayat kepercayaan yang kini sudah dapat diakomodasi melalui UU Adminduk.

Jadi, eksklusi sosial dalam pencantuman identitas penghayat dalam KTP penduduk dapat kita lihat dari dua tahap. Yang pertama, saat sebelum dikeluarkannya UU Adminduk No. 23 Tahun 2006. Sebelum dikeluarkannya UU Adminduk, penghayat tereksklusi karena mereka terdiskriminasi akibat identitas

relijiusnya yang belum diakui oleh Negara. Pada tahap ini, kebanyakan penghayat terpaksa memeluk sala h satu „agama resmi‟ yang diakui oleh Negara dan diakomodasi oleh Undang-Undang untuk dicatatkan dalam KTP.

Sementara itu pada tahap kedua, yaitu setelah lahirnya UU Adminduk No.

23 Tahun 2006. Pada tahap ini, penghayat kepercayaan Sapta Darma sudah bisa melakukan pergantian kolom agama di KTP, walaupun di beberapa daerah, masih ditemukan birokrasi yang masih belum tanggap akan Undang-Undang Adminduk ini. Masih terjadinya ketidak tanggapan birokrasi, terutama di tingkat RT/RW dan Kelurahan, di beberapa daerah seperti contohnya di Bekasi, Tangerang, Tanjung Priok, dan beberapa di Jakarta Pusat, mengindikasikan masih lemahnya sosialisasi terhadap Undang-Undang Adminduk ini terutama di tingkat birokrasi bawah seperti RT/RW dan Kelurahan. Hal ini sejalan dengan konsep eksklusi sosial yang dikemukakan Barry dimana eksklusi sosial terjadi disebabkan karena adanya kesenjangan antara kebijakan nasional dan pelayanan di tingkat lokal.

V.2.1.2 Eksklusi Sosial Dalam Pencatatan dan Registrasi Perkawinan Antar Penghayat.

Saat ini, dengan diterbitkannya PP No. 37 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 ikut mempercepat efektifitas pemenuhan hak sipil perkawinan warga penghayat kepercayaan. Dalam PP Nomor 37, Bab I Pasal I ayat 20 dikatakan bahwa Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan adalah bukti perkawinan Penghayat Kepercayaan yang dibuat, ditandatangani dan disahkan oleh Pemuka Penghayat Kepercayaan. Terlebih Bab X Pasal 81 PP Nomor 37 Tahun 2007 juga menegaskan bahwa, ’’Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan

untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan”. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pencatatan dan registrasi perkawinan penghayat di Komunitas SCB Jakarta Selatan, kebanyakan informan masih menjalani pencatatan dan registrasi perkawinan dengan tata cara salah satu agama formal. Karena kondisi saat itu dimana belum munculnya Undang-Undang yang mengakomodasi dan masih mengikuti identitas di KTP. Terkait dengan hal

tersebut, dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Sementara mengacu pada UUD 1945 sebelum amandemen, penafsiran kala itu menempatkan konsep „agama dan kepercayaannya‟ ini merupakan konsep yang satu substansi, dimana kepercayaannya yang dimaksud disini adalah mengacu kepada agama-agama resmi pemerintah. Dari ketiga informan, hanya informan SK yang dapat mencatatkan dan meristrasikan perkawinannya walaupun dengan tata cara penghayat. Informan SK melakukan perkawinan dengan tata cara penghayat pada tahun 1980 di tempat kelahirannya Purwokerto. Berikut ini pernyataan informan SK:

“dulu masih di daerah, saya kan sudah di Jakarta kan tapi istri saya kan orang Purwokerto kan. Nah jadi saya nikahnya disana, dan kebetulan mertua saya sama dengan saya, sama-sama penghayat, istri saya juga pengahayat ya. Saya jadi sesuai dengan UU pada waktu itu jadi saya nikah itu secara penghayat. Kemudian pernikahan, jadi pernikahan ini memang sudah bisa ya. Hanya kasus pernikahan di DKI ini secara penghayat ini belum terjadi.. belum ada, terus terang kalo di DKI ini para penghayat ini yang usianya yang usia-usia seperti saya ini lah. Yang usianya sudah nikah lah gitu, yang usia-usianya remaja ya banyak juga sih, tapi belum jadi yang pernikahan antar

penghayat itu belum ya..” (Informan SK, 27 Maret 2011)

Saat itu memang diakui oleh informan SK bahwa ia menikah sesuai dengan Undang-Undang pernikahan yang berlaku, dan kondisi birokrasi disana bisa mengakomodasi keinginan informan SK untuk menikah secara penghayat. Informan SK juga menambahkan bahwa kebanyakan penghayat di DKI Jakarta ini memang berada pada kelompok umur dimana kebanyakan dari mereka berusia paruh baya yang umumnya sudah menikah sebelumnya, sementara itu untuk generasi mudanya, memang hingga saat ini belum ada yang menikah secara penghayat.

Namun dalam kenyataannya, dengan keluarnya Undang-Undang ini, tidak lantas membuat para penghayat, terutama di DKI latas melakukan perkawinan dan pencatatan serta registrasi sesuai dengan tata cara penghayat. Menurut informan BI dan SK, yang merupakan dua orang Tuntunan Provinsi dan orang yang berhak mengawinkan penghayat dengan tata cara Sapta Darma mengatakan bahwa perkawinan secara Sapta Darma di DKI ini masih belum ada yang melakukan. Informan BI menyimpulkan hal ini terjadi karena konsekuensi politis terutama

dalam kehidupannya dan dalam karirnya. Sementara itu hal senada juga diakui oleh informan ES, bahwa belum adanya pasangan di DKI yang menikah dengan tatacara Sapta Darma menurut informan dikarenakan banyak dari penghayat yang menikahi non-penghayat, lalu mereka lebih memilih menggunakan tata cara

„agama resmi‟ untuk menghindari konflik karena masyarakat masih awam. Sementara itu informan GP berpendapat bahwa masih banyaknya

penghayat yang memilih menikah dengan tata cara salah satu „agama resmi‟ didasari oleh alasan yang cukup logis. Misalnya pada informan GP, karena pertimbangan informan dan istrinya merupakan pegawai negeri dan takut terjadi hambatan-hambatan yang sifatnya birokratis, maka informan dan istri memilih menikah secara Islam. Kondisi yang belum menjamin dan ketakutaan terjadi salah paham juga menjadi pertimbangan informan menikah secara Islam. Berikut ini pernyataan dari informan GP:

“.. jadi istri saya dulu itu kan juga sujud juga karena bapaknya itu tuntunan juga, terus saya diskusi dengan istri saya nanti ini kan kasus karena ada kasusnya, susah daripada nanti kita bermasalah kan kita juga pegawai negeri dan ada hambatan macem-macem ya, dan semua orang juga memahami, ya sudah, kita dengan tata cara Islam di KUA. Tapi sebelum ke KUA saya dengan istri saya itu kawin secara ritual pake tata cara Sapta Darma. Jadi ada dua prosesi. ” (Informan GP, 26 Maret 2011)

Pada dasarnya informan GP dan istri melaksanakan dua macam prosesi perkawinan, yaitu secara resmi di KUA (Kantor Urusan Agama) secara Islam dan secara Sapta Darma.

Jadi jika kita simpulkan pada sub-bab ini mengenai pencatatan dan registrasi perkawinan penghayat Sapta Darma, bahwa perkawinan kebanyakan informan terjadi di masa dimana belum adanya produk hukum yang secara rinci mengakomodasi pencatatan, registrasi dan perkawinan antar penghayat. Pada dasarnya penulis juga belum bisa melihat efektifitas PP No. 37 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 yang mengakomodasi perkawinan antar penghayat karena memang di DKI Jakarta sendir memang belum terjadi perkawinan antar penghayat.

Sementara itu, penghayat Sapta Darma Komunitas SCB Jakarta Selatan umumnya mengalami eksklusi hak sipil dalam pencatatan, registrasi dan perkawinan antar penghayat. Hal ini dikarenakan payung hukum perkawinan saat

itu, yaitu UU No. 1/1974 memang belum secara jelas dan detail mengakui perkawinan antar penghayat kepercayaan. Selain memang berbagai argumen terkait dengan penerimaan masyarakat sekitar dan terjadinya hambatan-hambatan yang sifatnya birokratis juga menjadi hambatan penting selain belum adanya payung hukum perkawinan antar penghayat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa eksklusi sosial terhadap pencatatan, registrasi dan perkawinan antar penghayat kepercayaan terjadi akibat diskriminasi secara sistemik lewat tidak hadirnya payung Undang-Undang mengenai perkawinan antar penghayat, dimana terjadi sebelum keluarnya PP No. 37 tahun 2007. Selain itu faktor yang juga tidak kalah penting adalah akibat pilihan dan lingkungan dimana individu itu berada, dalam hal ini terkait penerimaan masyarakat yang masih awam dengan tata cara perkawinan secara penghayat kepercayaan.

V.2.1.3 Eksklusi Hak Atas Pendidikan Anak-Anak Penghayat Sesuai dengan Keyakinannya

Pendidikan bagi anak-anak penghayat kepercayaan merupakan salah satu hak sipil yang belum diakomodir melalui UU. Saat ini UU Sistem Pendidikan Nasional cuma mengatur hak pendidikan bagi pemeluk-pemeluk agama, hal ini dapat dilihat pada Bab V Peserta Didik, Pasal 12 ayat a dan Bab X Kurikulum Pasal 37 ayat 1a dan ayat 2a. Akibatnya, dalam praktik pendidikan formal di sekolah, anak-anak penghayat kepercayaan tidak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya. Untuk mendapatkan nilai mata pelajaran agama, si anak diharuskan mengikuti salah satu dari „agama resmi‟ yang diajarkan di sekolah itu

Untuk komunitas penghayat SCB Jakarta Selatan, diakui memang kesemua anak-anak informan di pendidikan formalnya harus memilih salah satu agama yang diajarkan di sekolah. Dalam hal ini informan BI mengatakan bahwa dalam bidang pendidikan masih belum dimungkinkan. Berikut ini kutipan wawancara informan BI:

“Kalau pendidikan itu gini, ada beberapa anak yang minta, saya penghayat dan bapak saya penghayat, saya pengin minta pendidikan agama saya penghayat, nggak ada.. jadi mau nggak mau dia masuk kemana.. Itu jadi sasarannya seperti itu. Jadi yang maju itu kemarin saya dan satu guru dari Solo itu, nah keponakan dari si Guru itu yang kekeuh diajarin dengan cara penghayat. Saya bilang ya jangan seperti itu juga lah, jangan

kekeuh sumekeuh, keadaan dan kondisin ya belum memungkinkan..” (Informan BI, 23 Desember 2010)

Kebanyakan anak penghayat, mau tidak mau masih mengikuti agama formal. Informan BI juga mengatakan bahwa dengan kondisi yang sekarang, para penghayat agar tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi hak pendidikan anak penghayat. Karen mennurut informan BI hal tersebut memang belum memungkinkan dan masih diperjuangkan dengan kelompok-kelompok kepercayaan lainnya. Hal senanda juga diungkapan oleh informan SK. Bagi informan SK, masalah pendidikan merupakan salah satu masalah yang masih mengganjal, hal ini menurutnya juga masih diperjuangkan. Kebanyakan anak penghayat di Jakarta masih mengikuti agama resmi yang diminati.

Mengenai masalah pendidikan agama ini, informan ES mengatakan bahwa kedua anaknya masih ikut agama formal dengan alasan kepraktisan. Informan juga tidak setuju dengan format pendidikan agama yang ada sekarang, seharusnya yang diajarkan adalah agama-agama di Indonesia dan filosofinya, bukan mengacu pada satu agama saja yang harusnya menjadi tanggung jawab keluarga. Berikut ini pernyataan informan ES:

“Nah kalau pendidikan, di Jakarta bagi saya ya sama, jadi ikut lingkungan saja. Sebenarnya ada kawan ya, dia ngotot, ya bisa saja. Jadi minta nilai dari tuntunan ya, ya bisa, tetapi lama-lama ya mungkin ya tidak praktis ya. Nah karena kondisinya sudah seperti ini, nah saya daan teman teman ya sudah lah ikutkan saja. Yang paling gampang dan yang paling tahu orangtuanya. Toh yang di kejar kan nilai, selain itu juga kamu juga punya pengetahuan tentang agama lainnya Harusnya negara ini menyediakan pendidikan agama titik, yang mengajarkan agama-agama di Indonesia itu apa saja dan juga filosofi-filosofi masing-masing agama. Kalau mengenai keislaman, kekristenan,

silahkan masuk ke yayasan masing-masing at au ke keluarga.” (Informan ES, Minggu 20 Maret 2011)

Menurut informan ES lebih lanjut faktor pendidikan ini secara tidak langsung memang mengakibatkan faktor gesekan identitas anak di pergaulannya apabila tidak mendapa support yang cukup dari orangtuanya. Hal ini juga ditambahkan informan BI bahwa faktor pergaulan dan lingkungan adalah salah satu penyebab lambannya regenerasi penghayat ke generasi yang lebih muda.

Jadi pada kesimpulannya, eksklusi hak atas pendidikan bagi anak-anak penghayat sesuai dengan keyakinannya terbukti terjadi dalam komunitas penghayat Sapta Darma SCB Jakarta Selatan. Hal ini terjadi karena adanya diskriminasi dalam UU Sisdiknas yang hanya berfokus kepada hak pendidikan agama hanya bagi enam agama resmi. Eksklusi sosial terjadi sescara sistemik lewat payung hukum yang diskriminatif terhadap anak-anak penghayat kepercayaan. Bukan hanya secara formal, tapi faktor pendidikan ini juga sangat berpengaruh terhadap faktor gesekan identitas anak dengan lingkungan pergaulannya. Dengan kata lain, banyak dari orangtua yang lebih memilih si anak

mendapatkan pendidikan salah satu „agama resmi‟. Hal ini dilakukan demi perkembangan mental psikologis anak dalam menghadapi lingkungannya yang belum tentu toleran terhadap identitasnya sebagai penghayat kepercayaan. Lebih jauh lagi, ketiadaan hak pendidikan kepada anak-anak penghayat kepercayaan dapat menyebabkan putusnya regenerasi penghayat ke generasi yang lebih muda.

V.2.1.4 Eksklusi Hak Atas Sumpah Jabatan Dengan Tata Cara Penghayat

Sama halnya dengan hak di bidang pendidikan, hak atas sumpah jabatan dengan tata cara penghayat adalah salah satu hak yang belum mendapatkan perlindungan dan payung hukum yang jelas. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, secara nyata dalam penjelasan pasal 42, UU ini mengatakan bahwa sumpah yang dilakukan oleh pejabat Negara haruslah menurut agama yang diakui oleh pemerintah (Kholiludin,2009:223), yakni:

a) Diawali dengan ucapan “Demi Allah” untuk pasal 48 penganut agama Islam;

b) Diakhiri dengan ucapan “Semoga Tuhan menolong saya” untuk penganut agama Kristen Protestan / Katholik;

c) Diawali dengan ucapan “Om atah paramawisesa” untuk penganut agama Hindu dan;

d) Diawali dengan ucapan “Denii sanghyang Adi Budha” untuk penganut agama Budha.

Dalam aturan tersebut jelas bahwa kedudukan sumpah jabatan dengan tata cara penghayat memang masih belum bisa dilakukan. Selain mengenai Undang- Undang, eksklusi sosial mengenai hak atas sumpah jabatan dengan tata cara penghayat juga menyangkut identitas penghayat terutama pada instansi pemerintah dan peluang karier penghayat kepercayaan didalamnya.

Terkait dalam pemenuhan hak atas sumpah jabatan dengan tata cara penghayat yang dialami oleh penghayat komunitas SCB Jakarta Selatan, maka dapat dikatakan bahwa walaupun secara payung hukum memang belum mendapatkan perlindungan, namun dengan perjuangan beberapa orang penghayat yang gigih dalam memperjuangkan haknya, maka hal tersebut bisa tercapai. Hal ini contohnya terjadi pada informan GP di Departemen Keuangan dan beberapa penghayat lainnya misalnya di BPPT (Badan Pusat Pengkajian Teknologi). Namun di beberapa instansi seperti Pemda DKI Jakarta, hal tersebut memang belum bisa terjadi.

Menurut informan GP, keberhasilannya dalam memperjuangkan haknya dalam melakukan sumpah dengan tata cara penghayat merupakan sebuah keberhasilannya dalam melakukan pendekatan pribadi ke pejabat yang levelnya lebih atas, sehingga informan dapat melakukan sumpah pejabat dengan tata cara kepercayaan. Berikut ini kutipan wawancaranya:

“Jalannya gini, saya kan sering ngobrol, orang-orang juga tahu saya orang kepercayaan. Waktu saya dilantik, saya kan diem aja. Pak Gatot dilantik pake apa? Saya tau Pak Gatot kan kepercayaan ya. Oh jadi boleh ya? Oh boleh pak. Ya sudah saya bilang sama dia ya pake itu saja. Kalo nggak boleh gimana? Ya sudah terserah situ disumpah pake apa, hehehe.. Malah ketawa dia. Jadi ya pendekatan pribadi ya, jadi di levelnya diatas saya. Ada juga setjennya nanya, ini betul nih pak gatot pake kepercayaan nih? Betul pak kalo memang itu diperkenakan jawab saya. Lalu dia bilang ya ooh bisa pak.. Jadi ya tergantung pribadi, dan tergantung pribadi-pribadi itu, cara memahaminya. Kan ada juga pejabat yang fanatis ya, ya sakarepe dewe ya! Hahaha.. ya itu, kita memang harus bener-bener paham gitu ya dengan lingkungannya dengan temen- temennya segala. Jadi waktu itu saya dari pelaksana ya, jadi eselon 4 ke eselon 3. Saya

pensiun di eselon 3 ya, kabag..” (Informan GP, 26 Maret 2011)

Informan GP mengatakan bahwa keberhasilannya dalam melakukan sumpah pejabat dengan tata cara kepercayaan juga tergantung pada pejabat-pejabat di instansi terkait, menurut informan GP memang masih ada pejabat yang fanatis, namun tidak sedikit juga dari mereka yang berpikiran terbuka. Hal yang berbeda justru dialami oleh istri dari informan GP. Istri informan GP merasakan adanya

aturan, interaksi dan pressure agama yang terjadi pekerjaannya sebagai guru di salah satu SMA (Sekolah Menengah Atas) negeri di Jakarta Barat. Jadi ia lebih memilih salah satu identitas agama.

Sementara itu menurut informan SK, yang bekerja pada Dinas Olahraga Pemda DKI Jakarta mengatakan bahwa dulu pada saat pengucapan sumpah pegawai, informan SK masih belum bisa menjalankannya dengan tata cara penghayat. Informan SK juga melihat di Pemda DKI sendiri masih belum ada yang disumpah dengan tata cara penghayat walaupun menurut informan, banyak penghayat kepercayaan di Pemda DKI itu sendiri.

Sementara itu informan BI menekankan bahwa walaupun di beberapa instansi sudah bisa melakukan sumpah tata cara penghayat, namun belum ada jaminan identitas penghayat yang bekerja di PNS, namun informan nilai karirnya tidak terlalu berkembang. Hal itu seakan diperjelas informa SK yang mengatakan bahwa Informan mengungkapkan masih adanya politisasi identitas di tubuh PNS Pemda DKI. Bahkan dengan sesama agama resmi masih terjadi diskriminasi, informan mengatakan hal itu akan lebih buruk apabila terjadi terhadap penghayat kepercayaan. Diskriminasi identitas di PNS ini tergantung dari oknum-oknum di dalamnya, menurut informan lebih karena faktor aparat walikotanya.

Jadi, dalam hal eksklusi hak atas sumpah dengan tata cara penghayat ini bisa dikatakan masih terjadi eksklusi. Yang pertama tentunya adalah eksklusi berupa diskriminasi dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang secara nyata mendiskriminasi penghayat kepercayaan karena tidak mencantumkan sumpah pegawai dengan tata cara penghayat kepercayaan. Selain itu, eksklusi terhadap hak atas eksklusi hak atas sumpah dengan tata cara penghayat ini dapat kita lihat juga diskriminasi oknum-oknum pejabat yang sengaja menghambat para penghayat yang bekerja di instansi pemerintah untuk mendapatkan haknya. Tidak kalah penting lagi bahwa hambatan terhadap karier juga menjadi salah satu hal yang terjadi kepada penghayat kepercayaan sehingga banyak dari mereka sengaja tidak menonjolkan identitasnya agar tidak bermasalah dengan birokrasi dan kelacaran berkarier di instansi pemerintah.

V.2.1.5 Eksklusi Hak Atas Lahan Pemakaman dan Penguburan Sesuai Dengan Kepercayaannya.

Terkait dengan hak atas lahan pemakaman dan penguburan yang sesuai dengan kepercayaan penghayat, kini pemerintah telah menagkomodasi dengan menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No 43 dan No 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu pelayanan kepada kelompok kepercayaan yang tercantum di peraturan tersebut salah satunya adalah aturan pelayanan pemakaman bagi penghayat kepercayaan yang meninggal. Dalam Perber Dua Menteri No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 menyebutkan bahwa: "Penghayat Kepercayaan yang meninggal dunia dimakamkan di tempat pemakaman umum " (ayat 1); "Dalam hal pemakaman Penghayat Kepercayaan ditolak di pemakaman umum yang berasal dari wakaf, pemerintah menyediakan pemakaman umum " (ayat 2). Berikutnya di ayat 3, disebutkan "Lahan pemakaman umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disediakan oleh Penghayat Kepercayaan " dan di ayat 4.

Dalam kaitannya dengan pelayanan pemakaman bagi penghayat terutama pengahayat Sapta Darma komunitas SCB Jakarta Selatan, bahwa penulis masih belum bisa melihat kefektifitasan peraturan ini. Karena beberapa peristiwa pemakaman penghayat yang terjadi dalam komunitas ini terjadi sebelum Perber Dua Menteri No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 keluar. Terakhir kali anggota komunitas SCB Jakarta Selatan yang wafat adalah Bapak Soedono. Bapak Soedono wafat pada tahun 2002. Karena pada saat itu memang belum ada payung Undang-Undang, sehingga tata cara pemakaman Bapak Soedono masih mengikuti salah satu „agama resmi‟ walaupun tidak diikuti secara total, karena di beberapa

ritual juga masih memasukkan ajaran Sapta Darma. Hal ini seperi yang dikemukakan oleh informan BI sebagai berikut:

“Sebenernya kalau di Sapta Darma sendiri, ada fatwa yang mengatakan bahwa jika kamu meninggal ikutilah tata cara yang berlaku disekitarnya. Jadi kalau mayoritas Islam, kan kalo ada keluarga kita yang meninggalitu kan yang ngurusin itu tetangga- tetangga, kalo dia mayoritas Islam dan menjalankan secara Islam ya silahkan.. Jadi dulu waku bapak saya meninggal itu, sebelum meninggalnya ia pesan bahwa biar Yayasan Bunga Kamboja aja yang ngurusin. Bapak saya cuma pesen, bahwa ia jangan di pocong, cukup dikafanin saja dan kepalanya diberikan penutup kepala khas Sapta Darma. Dan

kalau yang datang ingin mendoakan dengan caranya masing-masing ya silahkan. Jadi untungnya bapak saya waktu itu dimakamkannya di Tonjong (Pemakaman para pensiunan .red) jadi nggak ada masalah, lain ceritanya misal di pemakaman umum .”

(Informan BI, 23 Desember 2011)

Dalam pengurusan penguburan, informan BI menceritakan bahwa terdapat fatwa yang menyebutkan bahwa tata cara pemakaman penghayat mengikuti yang dipakai kebanyakan di masyarakat, hal itu untuk menghindari konflik. Sementara untuk pemakaman Bapak Soedono sendiri, ayahanda informan BI, dimakamkan di pemakaman khusus pensiunan.

Sehingga dari sini kita bisa lihat bahwa faktor lingkungan merupakan faktor yang penting, karena dalam sebuah prosesi pemakaman, bukan hanya melibatkan keluarga, namun juga tetangga-tetangga dekat. Fatwa bahwa penggunaan tata cara setempat bagi pemakaman penghayat mengandung makna bahwa penghayat juga merupakan bagian dari masyarakat, sehingga pada saat meninggalnya pun penghayat juga tidak bisa lepas dari linkungan masyarakat sekitarnya. Sehingga penggunaan tata cara yang lazim digunakan di masyarakat adalah sebuah cara menghormati lingkungan sekitar penghayat dan tentunya menghindari konflik dengan sekitarnya.

Faktor lingkungan sebagai faktor terbesar dalam eksklusi hak atas pemakaman juga ditekankan oleh informan lainnya seperti ES yang mengatakan bahwa karena masih mengikuti tata cara setempat dan belum menggunakan full tata cara Sapta Darma, kebanyakan bisa dikuburkan di pemakaman umum. Informan ES sekali lagi menekankan bahwa problem utamanya adalah lingkungan. Sementara itu informan GP melihat bahwa dalam tata cara pemakaman penghayat Sapta Darma di Jakarta itu sifatnya cukup moderat, umumnya masih mengikuti lingkungan sekitar, jadi pemakamannya umumnya tidak bermasalah. Sementara informan SK lebih melihat keterkaitannya dengan identitas penghayat di KTP sehingga menurutnya kebanyakan penghayat yang meninggal ini karena KTP-nya masih agama formal sehingga bisa dimakamkan di pemakaman umum.

Jadi pada kesimpulannya, penulis tidak dapat melihat eksklusi dalam penerapan Perber Dua Menteri No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 tentang pelayanan pemakaman bagi penghayat kepercayaan, karena memang di Jakarta sendiri faktor utamanya adalah lingkungan masyarakat dimana penghayat tinggal. Jadi dalam hal hak atas pemakaman dan penguburan yang sesuai dengan kepercayaannya, panghayat Sapta Darma mengalami eksklusi yang terjadi terutama karena pilihan individu terkait lingkungan masyarakat tempat penghayat tinggal. Sementara itu Pemerintah DKI Jakarta hingga saat ini masih belum menyediakan lahan pemakaman khusus bagi penghayat kepercayaan.

V.2.1.6 Eksklusi Hak Untuk Berkumpul dan Membangun Rumah Ibadah

Dalam pembangunan rumah ibadah penghayat kepercayaan Perber Dua Menteri No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 telah memfasilitasi pembangunannya dengan melibatkan Bupati/Walikota setempat. Hal ini tercantun pada Bab V mengenai Sasana, Sarasehan atau Sebutan Lainnya. dalam Pasal 13 tercantum bahwa “Bupati/Walikota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung sasana sarasehan atau sebutan lain yang telah memiliki Ijin Mendirikan Bangunan yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.“.

dalam perkembangannya, hak untuk mendirikan rumah ibadah dan berkumpul juga terkait dengan keberadaan komunitas penghayat kepercayaan di masayarakat.

Dalam implementasinya terhadap komunitas Sapta Darma SCB Jakarta Selatan dan Komunitas Sapta Darma di Jakarta, penulis memang tidak bisa melihat implementasi Perber Dua Menteri No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 dalam keterkaitannya dengan pembangunan Sanggar penghayat Sapta Darma di Jakarta. Hal itu terjadi karena beberapa sanggar memang didirikan jauh sebelum peraturan ini dibuat. Hal ini dikemukakan oleh informan BI sebagai berikut:

“Ya jadi begini, kalau di Jakarta itu kan kita sudah ada sebelum ketentuan SKB itu keluar. Jadi orang sudah lebih banyak tahu, ooh itu tempat orang berkumpul. Sejak orang masih sepi disini, sejak saya lahir disitu, sampe dirumah itu ada sanggar, mereka

nggak bisa ngomong. Lha sebelom elu tinggal disitu kita udah ada.” (Wawancara

Informan BI. 23 Desember 2010)

Sementara itu dalam pengurusan sanggar, ada beberapa institusi yang terkait dengan perizinan sanggar. Yang pertama adalah Kepolisian, dan yang kedua adalah PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan di Masyarakat) sebuah organisasi di bawah Kejaksaan Agung.

Terkait dengan eksklusi hak atas pembangunan rumah ibadah ini dapat kita lihat dari bagaimana pengurusan perizinan sanggar di kedua institusi tersebut, yaitu kepolisian dan PAKEM. Informan BI sebagai Tuntunan Provinsi sangat mengetahui proses ini, informan BI mengakui bahwa dalam hal perizinan sanggar itu mudah, walaupun masih menjadi pertanyaan saat mengajukannya di Polres. Belum lagi menurut informan dalam hal pengurusan izin ada pungutan liar untuk melancarkan masalah perizinan. Informan BI mengakui dalam pengurusan perizinan sanggar, sempat mengalami kendala di PAKEM. Kendala tersebut terjadi lebih ke oknum-oknum yang ada di birokrasinya saat itu. Lalu yang juga menjadi kendala adalah setiap pergantian Kapolres. Hal ini menjadi masalah karena informan BI sebagai Tuntunan Provinsi harus menjelaskan kembali kondisi yang ada. Berikut ini petikan pernyataan informan BI mengenai masalah tersebut:

Oh pasti, pasti.. UUD-lah (Ujung-ujungnya duit .red). tapi pertanyaannya menjadi detail buat kita yang mungkin jadi buat kita itu ngeselin ya.. kayak misalnya, ini apa ni, ini kan nggak boleh nih, ini bertentangan dengan agama dong, bla bla bla, sebagainya. Bahasa awam gitu lho, yang seharusnya kan aparat itu kan harusnya sudah lebih tahu. Dia seharunya di pendidikannya kan elu udah harus diajarin dong hal-hal yang seperti itu. Tapi ya begitu, ujung-ujungnya sih duit.. kita capek harus bawa berkas, harus jelasin ini lho begini, larinya kesitu..” (Wawancara Informan BI. 23 Desember 2010)

Masih adanya pertanyaan seputar apa itu kepercayaan dan hubungannya dengan agama, juga terkait dengan kegiatan-kegiatan, dianggap informan BI sebagai sebuah pertanyaan yang awam yang harusnya sudah tidak perlu ditanyakan lagi oleh aparat pemerintah. Informan ES juga menyatakan bahwa dalam masalah perizinan ini, memang masih ada semacam pungutan liar yang dilakukan oleh aparat terkait, walaupun dalam pembangunannya memang tidak bermasalah karena kebanyakan memang dibangun sebelum era reformasi.

Sementara itu dalam hak untuk berkumpul dan menjalankan ibadah, terkait dengan keberadaan Komunitas SCB Jakarta Selatan dan kegiatan-kegiatannya di

masyarakat. Informan BI mengatakan bahwa keberadaan SCB Jakarta Selatan sempat mengundang kasak-kusuk warga sekitar terkait aktifitasnya. Berikut ini pernyataan informan BI:

“Ada yang mulai kasak-kusuk, ooh ini kan tempat gini-gini, ada yang ekstrim mulai dateng pas arisan pas di rumah ibu saya itu wah ini gini gini gini.. Kalau saya sih simple aja, kenapa sih nggangu gw? Kebetulan dia itu pendatang, jadi nggak digubris sama orang lain, sama warga yang lain kan yang tahu, oh gak apa- apa.” (Wawancara

Informan BI. 23 Desember 2010)

Informan BI menjelaskan bahwa adanya sebagian warga yang merasa keberatan dengan aktifitas sanggaran selama ini adalah merupakan warga pendatang. Sementara itu warga asli yang telah lama mengetahui keberadaan SCB Jakarta Selatan merasa sama sekali tidak terganggu. Hal ini dikarenakan fungsi dari rumah Bapak Soedono tidak hanya merupakan sanggar bagi komunitas Sapta Darma SCB Jakarta Selatan, namun dalam perjalanannya, rumah Bapak Soedono ini juga digunakan warga masyarakat sekitar dalam aktifitasnya, seperti sebagai tempat pertemuan RT/RW dan juga aktif melaksanakan kegiatan seputar Klub Jantung Sehat dimana rumah Bapak Soedono tersebut merpakan salah satu sekertariatnya.

Hal serupa juga pernah terjadi di daerah Cempaka Sari. Informan GP menceritakan bahwa pada tahun 1980an pernah terjadi penolakan terhadap pembangunan sanggar di daerah Cempaka Sari, Jakarta Timur oleh warga sekitar. Namun hal ini bisa diatasi setelah tuntunan provinsi turun tangan berkomunikasi sehingga berakhir dengan damai dan akhirnya mendapatkan izin dari warga masyarakat sekitar. Peristiwa yang terjadi di Cempaka Sari hanya merupakan sebuah kesalah pahaman dan miskomunikasi yang bisa diatasi lewat dialog antar pihak-pihak terkait.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam hak atas berkumpul dan rumah ibadah, komunitas SCB Jakarta Selatan masih mengalami eksklusi. Hal ini dapat dilihat dari adanya oknum-oknum yang mempersulit proses perizinan sanggar, terutama pada instansi Kepolisian dan PAKEM dengan masih adanya pungutan- pungutan liar. Pungutan-pungutan liar ini biasanya terjadi dalam pengurusan izin kegiatan sanggar, dalam hal ini instansi yang terkait adalah Kepolisian. Sementara itu dalam hal pengurusan izin sanggar, dimana melibatkan PAKEM, hal yang

sama juga terjadi. Walaupun menurut informan BI lebih dikarenakan oleh faktor oknum-oknum nakal yang bermain di dalam institusi tersebut. Sementara itu dalam hubungannya dengan masyarakat, memang masih terjadi eksklusi walaupun dalam tahap yang tidak signifikan. Eksklusi ini bisa kita lihat dengan masih adanya beberapa penolakan kecil dari warga pendatang di komunitas sekitar.

Tabel V.1 Matriks Eksklusi Hak-Hak Sipil Penghayat Kepercayaan Eksklusi

Kebijakan Nasional

Pilihan individu dan

dan Pelayanan di

lingkungan dimana

Undang-Undang yang Diskriminatif

Tingkat Lokal

individu berada

Hak-Hak Sipil

Hak-hak pencatatan atas identitas Agama di KTP

Hak atas pencatatan dan registrasi perkawinan antar

penghayat

Hak atas pendidikan bagi anak-anak

penghayat

Hak atas sumpah jabatan sesuai dengan kepercayaannya bagi

PNS

Hak atas lahan pemakaman dan

penguburan sesuai

dengan kepercayannya

Hak untuk berkumpul dan membangun rumah ibadah.

Sumber: Penulis, diolah dari data primer

V.2.2 Bentuk-Bentuk Eksklusi Sosial Terhadap Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan

Bentuk-bentuk eksklusi sosial dijelaskan melalui teori Sen (2000) yaitu Eksklusi Aktif dan Eksklusi Pasif. Eksklusi Aktif adalah adanya kebijakan atau tindakan baik dari pemerintah maupun agen lainnya yang dengan sengaja mengeksklusi sekelompok orang dari sebuah kesempatan. Sedangkan Eksklusi Pasif yaitu terputusnya akses dari sebuah kesempatan tanpa disengaja. Dalam pembahasan sub-bab ini, penulis akan melihat bentuk-bentuk eksklusi sosial yang dialami oleh penghayat Sapta Darma dalam pemenuhan hak-hak sipil mereka.

V.2.2.1 Eksklusi Sosial Aktif

Eksklusi sosial aktif menurut Sen (2000:15) mengacu pada kebijakan atau tindakan baik dari pemerintah maupun agen lainnya yang dengan sengaja mengeksklusi sekelompok orang dari sebuah kesempatan yang dialami oleh penghayat Sapta Darma komunitas SCB Jakarta Selatan terutama dalam pemenuhan hak-hak sipil dialami karena adanya kebijakan yang mengeksklusi dan tindakan-tindakan aparat pemerintah yang dengan sengaja mengeksklusikan mereka dalam akses terhadap hak-hak sipil. Hak sipil merupakan hak yang paling fundamental dalam kehidupan manusia. Eksklusi hak-hak sipil penghayat terjadi pada beberapa poin seperti dalam hal pencatatan kolom agama di KTP, pendidikan anak-anak penghayat, sumpah jabatan dengan tata cara penghayat hingga pengurusan perizinan sanggar.

Pihak pemerintah melakukan eksklusi secara aktif lewat peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Hal ini bisa kita lihat contohnya pada UU Sisdiknas. Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, negara hanya mengatur hak pendidikan bagi pemeluk-pemeluk agama. Akibatnya, dalam praktik pendidikan formal di sekolah, anak-anak penghayat kepercayaan tidak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan keyakinannya. Untuk mendapatkan nilai mata pelajaran agama, si anak diharuskan mengikuti salah satu dari „agama resmi‟ yang diajarkan di sekolah itu. Selain itu praktik undang-

undang yang diskriminatif juga ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Secara nyata dalam penjelasan pasal 42, UU ini mengatakan bahwa sumpah yang dilakukan oleh pejabat negara haruslah menurut agama yang diakui oleh pemerintah. Akibatnya,

para penghayat kepercayaan harus mengikuti tata cara sumpah salah satu „agama resmi‟. Kalaupun pada akhirnya sumpah jabatan dengan tata cara kepercayaan bisa dilakukan, untuk mencapainya harus melalui serangkaian lobby yang panjang dengan birokrasi terkait.

Sementara itu praktik birokrasi yang melakukan eksklusi lewat oknum- oknumnya terhadap para penghayat dapat kita lihat pada praktik pengisian kolom agama penghayat di KTP dan pengurusan perpanjangan izin sanggar. Dalam proses pengisian kolom agama di KTP, beberapa informan merasa kesulitan akibat masih belum adanya sosialisasi Undang-Undang ke tingkat bawah, sehingga beberapa birokrasi tingkat RT/RW dan kelurahan sempat menolak pergantian kolom agama penghayat karena alasan masih belum adanya surat keputusan mengenai hal tersebut dari tingkat pusat. Sementara itu dalam pengurusan perpanjangan izin sanggar, masih ditemukannya eksklusi dalam hal terjadinya pungutan liar untuk melancarkan masalah perizinan yang dilakukan oleh oknum-oknum birokrasi instansi terkait.

V.2.2.2 Eksklusi Sosial Pasif

Eksklusi sosial pasif terjadi akibat karena terputusnya akses dari sebuah kesempatan tanpa disengaja (Sen, 2000:15). Eksklusi sosial pasif terkait dengan kebijakan makro yang membuat aktor-aktor dalam birokrasi pemerintahan mengeksklusikan penghayat kepercayaan melalui diskriminasi Undang-Undang maupun dalam praktik implementasinya. Eksklusi sosial pasif dapat dirunut semenjak diterapkannya Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), dimana pemerintah menerapkan agama-agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Dengan diterapkannya Undang-Undang tersebut maka pemerintah berhak menentukan keberagaman

relijius, dan dengan diterapkannya peraturan tersebut, terjadilah politik identitas dimana tercipta dikotomi antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟ yang pada

akhirnya berpengaruh terhadap hak-hak sipil bagi warga Negara yang agamanya belum diakui oleh negara.

Eksklusi pasif secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap eksklusi aktif yang menyebabkan timbulnya beberapa peraturan peraturan yang diskriminatif bagi penghayat kepercayaan. Beberapa peraturan seperti UU Sisdiknas dan No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan dalam negeri adalah beberapa contoh Undang-Undang yang diskriminatif terhadap kelompok kepercayaan. Selain menciptakan Undang-Undang yang bersifat diskriminatif, adanya politik identitas juga mempengaruhi oknum-oknum birokrasi dalam memperlakukan kelompok penghayat kepercayaan yang dianggap bukan „agama resmi‟ dengan melakukan diskriminasi terhadap kelompok kepercayaan dalam pemenuhan hak-hak sipilnya.

V.2.3 Diskriminasi Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan

Kelompok penghayat Sapta Darma sebagai sebuah kelompok minoritas yang identitas relijiusnya belum diakui secara resmi oleh negara dalam perkembangannya mengalami berbagai macam kendala dalam pemenuhan hak- haknya sebagai warga negara. Bukan hanya dalam pemenuhan hak-haknya, juga dalam kehidupan bermasyarakat identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan juga masih dianggap sesuatu yang aneh dan diluar kewajaran. Sehingga tidak berlebihan jika ada yang mengatakan dari segala hambatan-hambatan yang mereka terima, mereka masih dianggap sebagai warga negara kelas dua. Sebagai sebuah kelompok yang memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda, secara tidak langsung ada proses peminggiran dari masyarakat dan juga mereka hidup dengan hambatan-hambatan terhadap kehidupan normal pada umumnya.

Hambatan-hambatan yang dialami kelompok penghayat Sapta Darma pada umumnya masih berkisar pada dua hal utama. Pertama, dengan status identitas relijiusnya yang masih belum diakui oleh negara, hal berdampak pada hak-hak sipil mereka sebagai warga Negara. Pemenuhan hak-hak sipil masih terkendala aturan-aturan yang diskriminatif terhadap identitas mereka. Pelayanan birokrasi pun juga masih terpengaruh isu-isu identitas yang membuat pelayanan kepada kelompok penghayat Sapta Darma terkadang juga masih mengalami diskriminasi dari oknum-oknum tertentu. Dalam menjelaskan fenomena ini, dapat dikatakan bahwa penghayat Sapta Darma masih mengalami bentuk diskriminasi secara struktural dimana terjadinya praktik-praktik institusional yang terakumulasi yang mengahasilkan kerugian kepada kelompok minoritas.

Praktik Undang-Undang yang mendiskriminasi penghayat kepercayaan dapat kita lihat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Undang-Undang ini, kepentingan pendidikan agama bagi anak-anak penghayat kepercayaan tidak bisa terpenuhi karena UU Sisdiknas hanya mengatur hak pendidikan bagi pemeluk-pemeluk agama yang diakui oleh Negara. Seperti yang dikemukakan oleh informan ES, bahwa kebanyakan penghayat Sapta Darma di Jakarta akhirnya harus memilih salah satu pelajaran agama yang tersedia di sekolah. Informan ES mengatakan bahwa kedua anaknya masih ikut agama formal dengan alasan kepraktisan. Sementara itu menurut informan SK masalah pendidikan merupakan salah satu masalah yang masih mengganjal, hal ini menurutnya juga masih diperjuangkan. Kebanyakan anak-anak penghayat kepercayaan di Jakarta masih mengikuti agama resmi yang diminati.

Proses diskriminasi tidak hanya terjadi lewat praktik-praktik institusional yang terakumulasi yang mengahasilkan kerugian kepada kelompok minoritas rasial, namun di tingkat lingkungan masyarakat, praktik diskriminasi terjadi akibat adanya sebuah pemikiran yang didasarkan atas sikap dan kepercayaan yang mendasari individu A memberikan sebuah label dan stereotip kepada individu B, atau melakukan bentuk-bentuk tertentu yang secara jelas mendiskriminasi individu. Dalam proses ini, pengahayat Sapta Darma masih mengalami bentuk

diskriminasi individual dalam kaitannya dengan hubungan dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.

Secara kelas sosial kebanyakan warga penghayat Sapta Darma di Jakarta adalah warga kelas menengah kebawah. Mereka banyak berkerja pada sektor non- formal dan berpendidikan rendah. Secara statistik informan ES mengungkapkan bahwa sebanyak 75% warga Sapta Darma di DKI Jakarta masuk dalam kategori sosial tersebut. Dengan level ekonomi dan pendidikan yang rendah, menurut informan ES Di level penghayat menengah kebawah masih adanya labeling orang kejawen terhadap identitas relijiusnya. Karena masih banyak orang yang belum tahu mengenai kepercayaan Sapta Darma. Lebih lanjut hal ini dijelaskan oleh informan BI yang mengakui bahwa masih ada pandangan aneh terhadap komunitas penghayat, terutama yang datang dari orang-orang yang fanatis. Stigma dan labeling terhadap identitas Sapta Darma diakibatkan oleh kurangnya level edukasi masyarakat dan ketakutan secara politis dari kaum mayoritas. Dengan pengalaman tersebut informan BI membebaskan anak-anaknya dalam memeluk agama, Ia juga memikirkan perkembangan kejiwaan anak-anaknya. Informan BI berpandangan bahwa Iklim politis di Indonesia dinilainya masih belum sehat.

Sementara itu pengalaman mengenai labeling dan stereotyping terhadap identitas penghayat juga dirasakan melalui pengalaman-pengalaman pribadi informan. Seperti yang dialami oleh informan ES sewaktu informan kuliah. Informan pernah mendapatkan teror karena kepercayaannya yang dianggap menyimpang oleh lingkungan pergaulan informan. Sementara itu Informan SK juga mengalami pengalaman serupa. Informan yang bekerja di Dinas Olahraga Pemda DKI Jakarta sering menerima ejekan dan celaan dari teman sekantornya yang terkadang mengganggunya, tapi informan tidak pernah ambil pusing. Informan juga sering dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan awam mengenai identitasnya. Selain itu, informan SK juga memiliki pengalaman terkait dengan identitasnya sebagai penghayat kepercayaan di keluarganya. Pilihan informan sebagai penghayat Sapta Darma sempat mendapat sedikit pertentangan dan menjadi bahan pembicaraan keluarganya. Hal ini terjadi karena pilihan informan SK menjadi penghayat Sapta Darma dianggap aneh oleh keluarganya dan menjadi

bahan perbincangan. Hal ini juga terjadi karena informan adalah anak pertama yang seharusnya memberi panutan kepada adik-adiknya . Jadi pada kesimpulannya bahwa diskriminasi di masyarakat masih terjadi lewat labeling dan stereotype bagi pengahayat kepercayaan Sapta Darma komunitas SCB Jakarta Selatan.

Sementara itu di tingkat komunitas, diskriminasi juga pernah dirasakan oleh Komunitas SCB Jakarta Selatan terkait dengan hubungannya dengan warga masyarakat sekitar. Masih melekatnya pandangan miring terhadap komunitas ini memang merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, apalagi bagi sebagian kalangan masyarakat yang fanatis terhadap ajaran agama tertentu. Pengalaman tersebut sempat diceritakan oleh informan MR yang merupakan Ketua RW 04, yang wilayahnya merupakan tempat Komunitas SCB Jakarta Selatan berada. Berikut ini pernyataan informan MR:

“Kalo masalah tentang kepercayaannya komunitas itu, dulu memang pernah ada warga yang memang karena kefanatikan dari pandangan mereka terhadap agama masing- masing, dulu sih itu pada tahun 1980an sekarang kan yang begitu kan warganya udah pada meninggal. Kalo itu ya waktu masih ada warga-warga yang fanatis aja gitu.. karena mereka fanatik jadi ya ada pertanyaan-pertanyaan juga. Kata mereka ya itu termasuk kategori apa itu, apa temasuk kafir atau apa itu, ya ada pandangan-pandangan

gitu sih.” (Informan MR, Sabtu 7 Mei 2011)

Menurut informan MR, keberadaan Komunitas SCB Jakarta Selatan masih mengundang pandangan negatif warga masyarakat sekitar, terutama di RW 04. Peristwa ini terjadi pada tahun 1980an, ketika beberapa warga yag fanatis sempat mempertanyakan dan me-labeling komunitas ini, yang dalam pandangan mereka, sebagai kafir dan golongan yang menyimpang. Namun saat ini ketika warga- warga fanatis tersebut telah meninggal dunia, diakui oleh informan MR bahwa saat ini sudah berbeda dengan era 1980an. Pada saat ini masyarakat wilayah RW

04 yang umumnya dihuni oleh kalangan menengah keatas sudah tidak terlalu memperdulikan lagi masalah tersebut. Menurut informan MR, faktor ini disebabkan karena memang karakteristik lingkungannya yang memang individualistis dan tingkat pemahaman agama warga yang tidak begitu mendalam. sehingga kecenderungan warga di wilayahnya mengarah ke moderat dan lebih toleransi terhadap keberadaan Komunitas SCB Jakarta Selatan

Jadi dapat disimpulkan bahwa proses diskriminasi yang terjadi pada penghayat Komunitas SCB Jakarta Selatan terjadi melalui dua bentuk. Bentuk yang pertama mengarah pada Diskriminasi Struktural dimana individu terdiskriminasi lewat praktek-praktek institusional, seperti contohnya pelaksanaan Undang-Undang yang diskriminatif terhadap kelompok penghayat dan praktik oknum-oknum birokrasi yang mempersulit pemenuhan hak-hak penghayat kepercayaan. Sementara itu bentuk yang kedua mengarah pada Diskriminasi Individual dimana individu mengalami diskriminasi akibat proses labeling dan stereotyping terhadap identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan. Contoh kasusnya seperti masih terjadinya labeling dan stereotyping terhadap identitas mereka baik secara individu ke individu ataupun komunitas dengan warga masyarakat sekitar.

V.3 Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan

Pada sub-bab ini penulis akan menganalisis konstruksi identitas penghayat Sapta Darma. Sapta Darma adalah sebuah kelompok kepercayaan, hal ini merupakan salah satu identitas sosial. Sebagai sebuah identitas sosial berkembang ditonjolkan oleh individu penyandang identitas ini. Dalam perkembangannya sangat menarik megkaji konstruksi identitas karena konstuksi sosial terhadap identitas ini selalu ditempatkan dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan. Sebagai sebuah kelompok kepercayaan, sangat menarik jika melihat bagaimana mereka mengkonstruksikan identitas mereka ditengah-tengah masyarakat.

V.3.1 Kontruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Sebagai Identitas Sosial yang Disandang Oleh Penghayatnya

Identitas Sapta Darma sebagai identitas relijius berkembang menjadi sebuah identitas sosial yang berkembang dan ditonjolkan oleh para

penghayatnya. Peek (2005) mengatakan, sebagai sebuah identitas sosial, identitas keagamaan berkembang melalui tiga tahap meliputi: Religion as Ascribed Identity , Religion as Chosen Identity, dan yang terakhir adalah Religion as Declared Identity .

Pada tahap pertama perkembangan identitas relijius penghayat Sapta Darma adalah lewat tahap Religion as Ascribed Identity. Pada tahap ini, individu mendapatkan identitas sebagai suatu agama karena ia lahir pada keluarga yang beragama tersebut. Jika kita lihat pada beberapa informan, latar belakang keluarga para informan kesemuanya berasal dari latar belakang keluarga abangan jawa yang masih kental dengan tradisi kebatinan. Beberapa informan bahkan lahir dari keluarga dimana para orang tua mereka adalah penghayat Sapta Darma. Informan BI dan GP lahir dari keluarga dimana kedua orang tua mereka adalah Tuntunan Sapta Darma di daerahnya masing-masing. Orang tua dari informan ES juga merupakan penghayat Sapta Darma, sementara itu keluarga dari informan SK merupakan keluarga jawa abangan yang memang tidak terlalu taat menjalankan syariat Islam. Dari latar belakang keluarga tersebut maka bisa disimpulkan bahwa institusi keluarga memiliki pengaruh dalam mengkonstruksikan ajaran Sapta Darma kepada para informan.

Pada tahap yang kedua, perkembangan identitas relijius Sapta Darma adalah melalui tahap Religion as Chosen Identity. Pada tahap kedua ini mereka tidak lagi melihat agama sebagai karakteristik yang diterima begitu saja, namun sebagai identitas yang mereka pilih. Pada akhirnya para informan memilih menghayati ajaran Sapta Darma karena memang tiap-tiap informan memiliki pengalaman-pengalaman relijius tersendiri mengenai ajaran ini. Ajaran ini bukan hanya diturunkan dan disosialisasikan dalam keluarga, namun pada akhirnya lebih karena ketertarikan informan mengenai ajaran ini. Pada umumnya, informan baru secara aktif menjalankan ajaran ini dan menjadikannya pegangan hidup pada usia- usia dewasa dan dianggap telah matang dan menyadari pilihan-pilihannya. Beberapa informan seperti informan ES, GP dan SK mulai aktif menjadi penghayat pada saat usia mereka diatas 17 tahun atau pada masa-masa SMA dan perkuliahan. Mereka pada umumnya merasa telah membuktikan manfaat dari

ajaran-ajaran Sapta Darma dan merasakan pengalaman-pengalaman relijius sehingga pada akhirnya mereka meyakini ajaran ini sebagai identitas relijius yang mereka pilih.

Pada tahap terakhir, yaitu Religion as Declared Identity. Tahap perkembangan identitas agama ini muncul dalam respon terhadap suatu krisis sehingga mereka merasa perlu menjelaskan dan mendemonstrasikan kepercayaan mereka lebih baik dari sebelumnya k arena merasa “dimusuhi” atau semakin ditekan oleh orang-orang di sekitar. Pada tahap ini, perkembangan identitas relijius penghayat Sapta Darma berkaitan dengan stereotype maupun labeling di masyarakat terkait dengan identitas mereka. Tidak dapat dipungkiri lagi, sebagai sebuah identitas relijius di luar agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah, masih banyak orang yang berpandangan miring terhadap identitas mereka. Namun sebagai penghayat Sapta Darma yang juga berkewajiban untuk kasih dan sayang kepada sekitarnya, para informan secara perlahan berusaha mengubah pandangan tersebut di masyarakat lewat hubungan keterbukaan dan komunikasi yang baik di masyarakat. Seperti yang diungkapkan Informan GP, bahwa ia tidak menutupi identitasnya, tetapi terbuka bagi yang ingin mengetahui tentang ajaran Sapta Darma. Menurut informan GP, salah satu pengamalan Wewarah tujuh poin ke- enam adalah bebrayan atau bergaul ke sesamanya dan saling kasih sayang di lingkungan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh informan ES, bagi informan, yang terpenting ia dapat menempatkan diri ke sekitarnya. Informan ES juga sangat terbuka dan membuka pintu jika ada yang ingin bertanya mengenai identitasnya.

Bagi informan BI komunikasi dan pendekatan ke masyarakat juga menjaga hubungan baik, juga tidak bersifat mentang-mentang ke sekitarnya adalah kunci menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar. Informan BI juga menceritakan bahwa pada acara suroan yang dilakukan komunitas Sapta Darma DKI Jakarta tahun lalu, komunitas ini sembari mengadakan acara ini, mereka juga saling berbagi berkah dengan masyarakat sekitar. Hal ini menurut informan BI adalah salah satu cara untuk mendekatkan komunitas Sapta Darma dengan komunitas masyarakat sekitar.

Bukan hanya mengembangkan komunikasi yang baik dan keterbukaan, namun banyak juga dari informan yang mengabdikan diri di lingkungannya. Seperti yang dikatakan oleh informan SK bahwa banyak warga Sapta Darma yang mengabdi di lingkungannya lewat kelebihannya dalam pangusadan atau pengobatan lewat jalan Sapta Darma dan memberikan pengobatan secara gratis di lingkungannya. Selain itu, dalam kaitannya dengan Komunitas SCB Jakarta Selatan, informan MR selaku Ketua RW 04 juga mengatakan bahwa peran Keluarga Bapak Soedono cukup besar di lingkungannya. Ibu Soedono misalnya, beliau aktif dalam kepengurusan RT dan aktif menggalang para pemuda dan ibu rumah tangga di wilayah RW 04 dalam berbagai kegiatan seperti paduan suara, arisan dan pembuatan kerajinan tangan.

Menarik jika lihat tahap religion as declared identity dalam kaitannya dengan bagaimana Komunitas Sapta Darma SCB Jaksel menjelaskan dan mendemonstrasikan kepercayaan mereka dengan lebih baik lagi ke masyarakat sekitar. Kita dapat melihat hal ini lewat konsep kekuatan komunitas menurut Etzioni (1996) dalam Karim (2008:44) lewat kekuatan centripetal dan centrifugal. Pengabdian diri ke lingkungan sekitar dengan memaksimalkan kelebihan- kelebihan yang dimiliki beberapa penghayat. Seperti dalam pangusadan, yaitu melakukan Penyembuhan di jalan Tuhan secara Kerokhanian Sapta Darma kepada orang yang menderita sakit. Hal ini diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat yang membutuhkan. Sementara itu dapat juga dilakukan dengan memaksimalkan peran sosial di lingkungan sekitar. Seperti yang ditunjukkan oleh keluarga Soedono yang aktif di lingkungan Komplek Yado. Rumahnya selain digunakan sebagai sanggar, tetapi juga menjadi pusat aktifitas warga seperti tempat perkumpulan RT dan RW, arisan warga, dan Sekertariat Senam Jantung Sehat Yado. Pada era 1980an Ibu Soedono juga aktif dalam mengasuh para remaja sekitar untuk diajari beberapa macam kesenian di rumahnya, seperti paduan suara dan seni tari. Bukan suatu hal yang mengherankan apabila Keluarga Soedono dijadikan warga sekitar sebagai tokoh masyarakat atau yang dituakan. Hal-hal tersebut dapat dianalisis sebagai kekuatan centripetal. Dengan kekuatan centripetal ini penghayat Sapta Darma berusaha mengamalkan Wewarah Tujuh

dengan menunjukkan apa yang bisa diberikan terhadap komunitas masyarakat sekitar.

Sementara itu dengan melakukan komunikasi dan pendekatan ke masyarakat dan menjaga hubungan baik, juga tidak bersifat mentang-mentang ke sekitarnya, maka hal ini dapat kita lihat sebagai kekuatan centrifugal. Kekuatan centrifugal ini mendorong masing-masing anggota komunitas untuk bertindak atas dasar kepentingan masing-masing individu. Jadi dengan menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar, kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan individu penghayat tidak akan mendapatkan resistensi dari lingkungan masyarakat sekitar.

Jadi dalam perkembangannya, walaupun disatu sisi identitas relijius mereka sebagai penghayat masih mengalami labeling dan stigma, namun untuk para informan hal tersebut harus dijawab dengan lewat kasih ke sesama yang sesuai dengan salah satu poin dalam wewarah pitu poin ke-enam yang bunyinya: “Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta halusnya budi pakerti, selalu merupakan penunjuk jalan yang mengandung jasa

serta memuaskan.”

V.3.2 Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma di Masyarakat Terkait dengan Relasi Kekuasaan

Dalam melihat proses konstruksi identitas penghayat Sapta Darma, konteks kekuasaan merupakan konteks penting dalam melihat bagaimana identitas mereka dikonstruksikan melibatkan aktor-aktor di masyarakat. Aktor-aktor ini bisa diidentifikasi sebagai institusi-institusi yang dominan yang mencoba mengkonstruksikan identitas mereka di masyarakat dan actor-aktor dari dalam komunitas sendiri yang mencoba mengubah konstruksi dengan merekonstruksi identitas mereka kembali di masyarakat.

Pada tahap pertama kontruksi identitas Komunitas Sapta Darma yang berkaitan dengan kekuasaan adalah Legitimizing Identity. Tahap ini diperkenalkan

oleh institusi dominan dalam masyarakat untuk memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka terhadap aktor-aktor sosial. Dalam tahap ini, maka konstruksi sosial terhadap penghayat kepercayaan bisa kita runut sejak dikeluarkannya instrumen hukum pada tahun 1965 lewat Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), yang menetapkan agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Dengan dikeluarkannya Undang- Undang ini maka terjadi dekonstruksi identitas penghayat kepercayaan oleh negara. Hal ini diperkuat dengan pernyataan pemerintah bahwa kepercayaan dianggap bukan bagian dari agama, dan hal ini dikukuhkan lagi oleh TAP MPR No. IV/1978 juga menyatakan bahwa: “Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agart idak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan unuk

memeluk salah satu agama yang diakui oleh Negara.”. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa dengan ditetapkannya hanya enam agama resmi, maka identitas Komunitas Sapta Darma terdekonstruksi. Dekonstruksi ini membawa identitas Komunitas Sapta Darma tidak diakui sebagai salah satu kepercayaan yang diakui dan dijamin keberadaannya oleh pemerintah.

Dari sinilah muncul politik identitas di masyarakat dimana perangkat UU No. 1/PNPS/1965 merupakan cikal bakalnya. Dari Undang-Undang ini kemudian

lahirlah istilah dikotomis antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟. Efeknya kemudian bahwa timbulnya konstruksi di masyarakat bahwa penghayat kepercayaan bukan merupakan sebuah agama, dan kepada para penghayat yang masih menghayati ajarannya, banyak yang menganggap bahwa Ia tidak bertuhan atau atheis. Berikut ini pernyataan dari informan BI mengenai masalah ini:

“Nah sekarang ini, sangat mudah orang kita itu untuk bilang yang ini nih gini, nah yang itu tuh begitu, pokoknya katanya katanya katanya.. Jadi hambatan ini selalu mereka

anggep kita itu atheis, nah sekarang saya tanya, atheis itu apa sih? Jadi kebanyakan dari mereka itu nggak ngeh apa sih itu sebenernya dan cenderung nggak mau tahu. Jadi makin kesini ini, saya kira rasa ketakutan ini sifatnya politis, karena Islam itu kan mayoritas, iya kan? banyak hal yang melenceng itu, yang membuat kita akhirnya, aduh kok susah amat ya. Kita dicapnya seperti ini, seperti itu, macem-macem deh.. Jadi ya nggak ada kesetaraan, sejak 65 itu ya kita merangkak lagi, memperjuangakan bahwa ini bukan sesuatu yang hmm.. ya bisa kita bilang sih bukan virus. Terus terang selalu problem yang menghambat kita adalah orang-orang muslim, karena ketakutan tadi, secara politis dan mereka yang radikal itu selalu punya cita-cita untuk membangun

negara ini menjadi negara Islam.. “ (Wawancara Informan BI, 23 Desember 2010)

Dalam kutipan wawancara dengan informan BI juga tersirat bahwa terjadinya ketakutan-ketakutan yang sifatnya politis dari kelompok mayoritas, sehingga dalam perjalanannya, dekonstruksi identitas penghayat kepercayaan oleh negara ini merupakan sebuah cara untuk melindungi agama-agama besar dari kepercayaan- kepercayaan lokal yang dianggap „tidak sehat‟ dan masih berbau klenik dan bid‟ah. Dekonstruksi identitas penghayat Sapta Darma di masyarakat menurut informan BI banyak yang melenceng dari inti yang sebenarnya, label dan stigma yang terlanjur melekat merupakan buah dari politisasi kelompok mayoritas terhadap identitas penghayat kepercayaan .

Pada tahap kedua, yaitu Resistence Identity. Yaitu yang mengarah pada pembentukan komunitas. Pembentukan komunitas ini untuk membentuk kolektif resisten terhadap bentuk-bentuk opresi yg berbasis identitas. Pada tahap ini kemudian dibentuklah sebuah komunitas, dalam kaitannya dengan studi ini, penghayat Sapta Darma membentuk Komunitas SCB Jakarta Selatan. Dalam kegiatannya, komunitas yang merupakan perwakilan dari wilayah-wilayah di DKI Jakarta dan sekitarnya. Terkait dengan ini, SCB Jakarta Selatan sebagai Sanggar Pusat DKI Jakarta mengadakan sanggaran tiap Sabtu minggu terakhir tiap bulannya. Selain diisi oleh kegiatan rohani, sanggaran ini biasanya menjadi ajang informasi perkembangan penghayat yang ada di wilayahnya, dan juga permasalahan-permasalahan yang terjadi di wilayahnya. Ajang ini juga merupakan ajang konsolidasi untuk memecahkan permasalahan bersma yang ada terkait dengan warga penghayat Sapta Darma di daerah masing-masing. Komunitas ini sangat penting dalam kaitannya dengan membentuk kolektif resisten, dengan adanya komunitas ini maka tiap-tiap anggota bisa saling memecahkan masalah-masalah bersama terkait identitas mereka sebagai penghayat Sapta Darma. Dengan adanya komunitas ini, mereka juga bisa memperjuangkan hak-hak mereka yang tersidiskriminasi lewat instansi-instansi terkait seperti Direktorat Kepercayaan, Departemen Dalam Negeri, maupun Pemda DKI. Beberapa masalah yang mereka perjuangkan seperti masalah

pengisian kolom agama di KTP , dan yang saat ini sedang mereka perjuangkan adalah mengenai hak atas pendidikan bagi anak-anak penghayat.

Pada tahap ketiga, yaitu Project Identity. Yaitu yang terbentuk ketika aktor sosial, dengan dasar materi yang sudah ada dalam diri mereka, membangun identitas baru yang mendefinisikan ulang posisi mereka dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan konstruksi identitas kelompok Sapta Darma, pada tahap ini mereka sudah mulai mensosialisasikan kembali identitas mereka di masyarakat. Membangun kembali konsep sebagai kelompok penghayat kepercayaan yang merupakan sebuah kearifan budaya lokal yang terlepas dari agama-agama formal yang ada. Hal ini dilakukan untuk mengubah stigma dan labeling masyarakat yang terkadang masih melihat keterkaitan antara kepercayaan dengan agama- agama formal di masyarakat, sehingga seringkali mereka dianggap sesat karena ritualnya berbeda dengan agama-agama yang dikenal masyarakat saat ini. Berikut ini pernyataan dari informan ES:

“Nah kalau kami ditanya bukan agama, ya iya, tidak punya kitab suci, lha iya, so what? Stop, can not be compared, sampe disitu. Walaupun kami sendiri secara spiritual

menganggap ini agama. Karena masyarakat kita memintanya hitam putih kan, ketika ditanya you apa? Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa titik, stop. We are different, yes. Kalau mau tau ajarannya ya silahkan. Kita juga tidak melarang. Kadang kita juga butuh suatu ketegasan bahwa iya kita begini, karena ya memang tuntutan mereka. Lalu yang kedua, kita kalau memperkenalkan itu kita itu bukan agama, jadi kalau ditanya ini agama apa, ya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kita

ngikui rules dari negara yaa.” (Wawancara Informan ES, 20 Maret 2011)

Dalam pernyataannya, informan ES menyatakan bahwa kadang masyarakat kita ini selalu menginginkannya hitam-putih, sehingga menurut informan ES penting baginya untuk mensosialisasikan dalam rangka mendefinisikan ulang konsep di masyarakat tentang penghayat kepercayaan. Sebuah ketegasan untuk mengakui bahwa komunitas ini merupakan komunitas penghayat kepercayaan yang berbeda dengan agama adalah salah satu cara dalam mengkonstruksi ulang identitas masyarakat.

Adanya stigma dan labeling juga terjadi di Komunitas SCB Jakarta Selatan. Masih adanya pandangan miring mengenai keberadaan mereka sebagai sebuah komunitas oleh beberapa kalangan masyarakat yang fanatis pernah terjadi pada tahun 1980an di wilayah RW 04 Kelurahan Gandaria Utara, tempat

komunitas ini berada. Namun hal tersebut tidak lantas memicu konflik terbuka karena Komunitas SCB Jakarta Selatan dan individu-individu di dalamnya aktif dan memiliki peran yang cukup besar dalam kegiatan masyarakat setempat.

Dalam proses konstruksi ulang di masyarakat, komunitas SCB Jakarta Selatan sangat terbuka dengan masyarakat yang ingin mengetahui lebih jauh tentang ajaran ini. Melalui sifat keterbukaan dan tidak eksklusif, diharapkan masyarakat sekitar bisa mengetahui bahwa mereka itu adalah kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki otentisitas ajaran dan bukan merupakan kelompok pecahan dari agama besar manapun yang ada. Dengan demikian dapat dibangun komunikasi yang lebih baik sehingga hubungan yang baik dengan komunitas masyarakat sekitar terjaga dengan baik. Dengan dibangunnya pengertian dan keterbukaan antara komunitas Sapta Darma SCB Jakarta Selatan dengan komunitas masyarakat sekitar, diharapkan dapat mengikis stigma dan labeling terhadap diri mereka yang selama ini masih melekat.

V.4 Keterkaitan Antara Eksklusi Sosial dengan Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan

Konsep eksklusi sosial dengan identitas sosial merupakan dua buah konsep yang berkaitan. Menurut Sullivan (2002:4) Eksklusi sosial dapat dipahami dalam konteks identitas, individu-individu mengalami eksklusi sosial sebagai sebuah konsekuensi dari identitas personal mereka, sementara kelompok atau komunitas yang mengalami eksklusi sosial diakibatkan konsekuensi dari identitas kolektif kelompok mereka. Dalam kaitannya dengan eksklusi hak-hak sipil pengahayat kepercayaan, sebagai sebuah komunitas penghayat kepercayaan, mereka memiliki identitas relijius mereka tonjolkan sebagai penghayat kepercayaan. Di Indonesia, eksistensi identitas penghayat kepercayaan masih belum sepenuhnya diakui keberadaannya oleh negara. Di satu sisi Negara menjamin keberadaan kelompok ini melalui produk hukum seperti UUD 45 Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal

29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1) dan (2). Lalu UU No.39/1999 tentang

Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) dan masih banyak lagi instrumen HAM Internasional yang memberikan jaminan dan perlindungan. Namun di sisi lain, pemerintah masih memberlakukan produk hukum UU No. 1/PNPS/1965 yang salah satu isinya mengenai pengakuan enam agama resmi oleh negara.

Efek dari diberlakukannya kebijakan yang bertolak belakang tersebut membawa identitas kelompok penghayat kepercayaan ke dalam sebuah politik pengakuan mengenai „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟. Imbas dari politik

pengakuan terhadap identitas sosial mereka sebagai kelompok penghayat kepercayaan salah satunya terkait dengan eksklusi hak-hak sipil penghayat kepercayaan. Hak-hak sipil merupakan hak yang paling fundamental dalam kehidupan manusia. Hak sipil ini juga berkaitan dengan life cycle kehidupan manusia, sehingga sangat penting pemenuhan hak-hak tersebut dalam kehidupan manusia. Namun pada kenyataannya, penghayat kepercayaan diluar enam „agama resmi‟ tersebut masih mengalami kesulitan dalam pemenuhan hak-hak sipil

sebagai warga negara. Beberapa hak, seperti Hak Pendidikan bagi anak-anak penghayat dan Hak

atas sumpah jabatan dengan tata cara penghayat masih belum mengatur mengenai penghayat kepercayaan. Undang-Undang yang mengatur kedua hak-hak tersebut masih bersifat diskriminatif karena hanya mengatur agama-agama resmi pemerintah. Sementara itu dalam pengisian kolom agama dalam KTP dan hak atas perizinan dan pembangunan sanggar, memang pemerintah sudah mengeluar beberapa Undang-Undang dan Peraturan Bersama antara Mendagri dan Menbudpar terkait dengan rumah ibadah. Namun dalam implementasinya di masyarakat, masih terjadi diskriminasi oleh oknum-oknum pemerintah sehingga menghambat pemenuhan hak-hak penghayat.

Eksklusi terhadap identitas mereka tidak berhenti sampai disitu. Eksklusi berupa diskriminasi terhadap identitas mereka di masyarakat juga masih terjadi. Masih adanya stigma dan labelling terhadap identitas mereka di masyarakat adalah cerminan implementasi politik pengakuan di masyarakat. Meminjam pernyataan dari informan BI, bahwa Stigma dan labeling terhadap identitas Sapta

Darma diakibatkan oleh kurangnya level edukasi masyarakat dan ketakutan secara politis dari kaum mayoritas. Jadi dapat disimpulkan bahwa identitas yang mereka sandang sebagai penghayat kepercayaan membawa mereka ke dalam proses eksklusi baik dalam hak-hak sipil penghayat kepercayaan maupun dalam hubungannya dengan kelompok masyarakat lainnya.

Karena eksklusi sosial terjadi terhadap identitas mereka, maka sebagai penghayat kepercayaan mereka perlu mengkonstruksi ulang identitas mereka terkait dengan identitasnya dan identitas lingkungan disekitarnya. Pentingnya mengkonstruksi ulang identitas mereka merupakan sebuah cara dalam mengatasi kesulitan demi kesulitan yang mereka alami terkait dengan eksklusi sosial. Konstruksi mengenai jati diri seorang pelaku dan pelaku lain (construction self and other ) senantiasa berkaitan dengan relasi kekuasaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Li (2003 dan 2004) bahwa identitas adalah sebuah artikulasi dari upaya memposisikan diri dengan mempertimbangkan peluang- peluang yang dimiliki para pelaku yang terlibat dalam suatu arena sosial tertentu.

Beberapa informan mengakui bahwa di penghayat Sapta Darma sendiri ada perbedaan cara pendekatan dalam mengahadapi masalah-masalah terkait dengan identitas Sapta Darma. Konflik-konflik mengenai identitas ini umumnya terjadi di daerah karena banyak penghayat di daerah yang sifat kepenghayatannya dinilai masih fanatik. Beberapa konflik dengan pemerintah terkait hak-hak sipil penghayat pernah terjadi di Sukoharjo mengenai masalah hak pendidikan anak penghayat, lalu konflik penyerangan Sanggar Sapta Darma di daerah Sleman oleh beberapa kelompok fundamentalis adalah beberapa contoh konflik yang terjadi terhadap penghayat Sapta Darma di daerah. Kefanatisan yang membuat timbulnya beberapa konflik di daerah terjadi karena faktor pendidikan dan kelas ekonomi penghayat itu sendiri dan bagaimana pemahaman dia terhadap lingkungannya. Hal ini juga dikatakan oleh infoman GP sebagai berikut:

“Jadi kalau disini itu lebih moderat ya, walaupun di tingkat musyawarah nasional kita harus perjuangkan betul-betul. Supaya juga konsekuen identitasnya gitu, nanti disangka kita diajari untuk munafik gitu. Jadi supaya klop gimana caranya ya kita perjuangkan. Kalo nggak berhasil ya bukan salah kita kan, ya salah pemerintahnya. Itu aja jadi mas, pemahaman-pemahaman di tingkat warganya masing-masing itu kadang masih kurang jelas.. mungkin kalo yag di daerah itu tuntunan level pengetahuannya itu tidak setaraf yang ada disini. Kalo disinikan hampir semuanya levelnya kan S1. Kalo di daerah ya itu

tadi, kita kan banyaknya warga kita itu menengah kebawah, nah sekarang itu sudah mulai ada perbaikan ya, tingkat pendidikannya ya sudah mulai naik ya. Jadi dia cara memberikannya itu dia harus paham dengan lingkungannya. Tidak melihat

kepentingannya saja..” (Wawancara Informan GP, 26 Maret 2011)

Seperti yang dikatakan oleh informan GP bahwa pola penghayatan penghayat di Jakarta lebih cenderung moderat. Walaupun perjuangan terhadap pemenuhan hak-hak mereka juga tetap dilakukan. Pola yang moderat ini juga disosialisasikan oleh Tuntunan Provinsi kepada para penghayat lainnya, sehingga pemahaman mereka terhadap identitasnya berjalan seiringan dengan dinamika lingkungan sosial. Pemahaman terhadap lingkungan sekitarnya ini yang juga kemudian membuat mereka masih dapat berkompromi dalam pemenuhan hak-hak sipil mereka. Pemahaman moderat penghayat berdampak pada minimnya kecenderungan terjadinya konflik antara penghayat dengan masyarakat sekitar. Hal ini dikemukakan oleh informan MR selaku ketua RW 04 yang mengatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas SCB Jakarta Selatan cenderung low profile sehingga tidak memicu konflik dengan masyarakat sekitar. Berikut ini pernyataannya:

“kelompok mereka juga tidak terlalu menonjolkan kegiatan maupun keeksklusifan kelompok mereka ya, gak seperti Ahmadiyah ya mereka nggak terlalu menonjolkannya dan vulgar gitu ya.. ya saya anggep kegiatan mereka itu ya low profile ya, kegiatannya pada umumnya mereka lakukan pada malam hari diatas jam 7, yang relative tetangga- tetangga lainnya udah di dalam rumah ya jadi relative nggak mengganggu.”

(Wawancara Informan MR, 7 Mei 2011)

Contoh dari implementasi sikap kompromi dan moderat dalam pemenuhan hak-hak sipil adalah dalam hak atas perkawinan dan pemakaman. Kedua hak tersebut sudah diatur oleh Undang-Undang, namun di Jakarta sendiri masih belum ada yang menikah ataupun dikubur dengan full tata cara Sapta Darma karena kebanyakan masih menggabungkan antara pelaksanaan ritual Sapta Darma dan tata cara yang berlaku umum di masyarakat. Hal ini menunjukkan kompromi mereka terhadap lingkungan sekitarnya, karena mayoritas dari mereka juga memahami bahwa identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan masih belum bisa dicerna oleh lingkungan mereka yang rata-rata masih awam. Hal ini juga menunjukkan bahwa mereka bukanlah sebuah entitas yang terpisah dari masyarakat, bahwa mereka juga bagian dari masyarakat dan tidak eksklusif.

Sementara itu dalam beberapa kasus, terutama bagi penghayat yang bekerja di instansi pemerintah, bahwa mereka harus berkompromi dengan tidak menunjukkan idenitas mereka sebagai penghayat.

“mereka tidak berani menunjukkan identitas diri mereka sebagai penghayat, terutama di KTP-nya ya. Nah misalnya kalo saya ngaku saya ini penghayat, karirnya pasti abis.. kenapa, ya karena tadi. Kalo dia tidak mengakui agama formal itu, apalagi PNS, abiis.. kan gitu lho.. “ (Wawancara Informan BI, 23Desember 2011)

Dengan masih masifnya politisasi agama di instansi pemerintah, maka pilihan berkompromi untuk tidak menunjukkan identitas diri mereka sebagai penghayat adalah sebuah hal yang logis, karena terkait dengan karir mereka di instansi masing-masing.

Sejalan dengan konsep Li (2003 dan 2004) dapat kita lihat bahwa proses rekonstruksi identitas penghayat kepercayaan yang lebih moderat dan kompromistis terhadap lingkungan masyarakat sekitar, merupakan usaha memposisikan diri dengan mempertimbangkan peluang-peluang yang dimiliki para pelaku yang terlibat dalam suatu arena sosial tertentu. Dengan dikembangkannya pola kepenghayatan yang lebih moderat, maka penghayat kepercayaan dapat terlibat di arena sosial secara lebih luas dan terhindar dari friksi antar identitas di masyarakat. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena memang kondisi identitas penghayat kepercayaan di Indonesia masih merupakan sebuah hambatan jika dibandingkan dengan identitas agama-agama resmi pemerintah lainnya yang mendapatkan jaminan, bantuan-bantuan dan perlindungan yang utuh dari negara.

V.5 Diskusi Akhir Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Penghayat Kepercayaan Sapta Darma

Dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak sipil, kelompok penghayat Sapta Darma masih mengalami eksklusi sosial. Aspek-aspek eksklusi seperti yang dikemukakan oleh Barry (Haralambos, Holborn &Heald,2004:282) bahwa eksklusi sosial terjadi karena pilihan dan lingkungan dimana individu itu berada dan juga disebabkan karena kebijakan nasional dan pelayanan di tingkat lokal

masih terjadi terkait dengan hak-hak sipil mereka. Eksklusi yang disebabkan oleh buruknya pelayanan di tingkat lokal dapat kita lihat dari pemenuhan hak atas pencatatan atas identitas agama di KTP dan hak untuk berkumpul dan membangun rumah ibadah, dalam hal ini proses pengajuan perizinannya. Sementara itu eksklusi sosial yang terjadi akibat pilihan dan lingkungan dimana individu berada terjadi pada pemenuhan hak atas lahan pemakaman dan penguburan sesuai dengan kepercayannya dan hak atas pencatatan dan registrasi perkawinan antar penghayat. Sementara itu dalam pemenuhan hak pendidikan agama anak-anak penghayat yang sesuai dengan kepercayaannya dan hak atas sumpah jabatan dengan tata cara penghayat masih mengindikasikan adanya eksklusi sosial dalam hal masih adanya Undang-Undang yang diskriminatif yang hanya mengatur kepentingan „agama resmi‟ pemerintah tanpa mengakomodir kepentingan kelompok penghayat kepercayaan.

Sementara itu proses diskriminasi juga masih terjadi pada penghayat Komunitas SCB Jakarta Selatan terjadi melalui dua bentuk yaitu Diskriminasi Struktural (Structural Discrimination) dan Diskriminasi Individual (Individual Discrimination ). Bentuk yang pertama mengarah pada Diskriminasi Struktural dimana individu terdiskriminasi lewat praktek-praktek institusional, seperti contohnya pelaksanaan Undang-Undang yang diskriminatif terhadap kelompok penghayat dan praktik oknum-oknum birokrasi yang mempersulit pemenuhan hak-hak penghayat kepercayaan. Sementara itu bentuk yang kedua mengarah pada Diskriminasi Individual dimana individu mengalami diskriminasi akibat proses labeling dan stereotyping terhadap identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan. Contoh kasusnya seperti masih terjadinya labeling dan stereotyping terhadap identitas mereka baik secara individu ke individu ataupun komunitas dengan warga masyarakat sekitar.

Proses konstruksi identitas pengahayat dapat kita lihat dari dua bentuk yaitu kontruksi identitas relijius mereka sebagai penghayat dan proses konstruksi identitas mereka di masyarakat. Pada umumnya identitas relijius jika dilihat dari konsep Peek (2005), informan sudah berada pada tahap Religion as Chosen Identity . Pada tahap ini informan memilih menghayati ajaran Sapta Darma karena

memang tiap-tiap informan memiliki pengalaman-pengalaman relijius tersendiri mengenai ajaran ini. Ajaran ini bukan hanya diturunkan dan disosialisasikan dalam keluarga, namun pada akhirnya lebih karena ketertarikan informan mengenai ajaran ini. Sementara itu karena tekanan dari masyarakat mengenai identitas mereka yang tidak diakui oleh n egara dan bukan salah satu dari „agama resmi‟ maka mereka identitas relijius mereka berkembang ke tahap Religion as Declared Identity . Jadi dalam perkembangannya, walaupun di satu sisi identitas relijius mereka sebagai penghayat masih mengalami labeling dan stigma, namun untuk para informan hal tersebut harus dijawab dengan lewat kasih ke sesama yang sesuai dengan salah satu poin dalam wewarah pitu sebagai penghayat Sapta Darma yang juga berkewajiban untuk kasih dan sayang kepada sekitarnya, para informan secara perlahan berusaha mengubah pandangan tersebut di masyarakat lewat hubungan keterbukaan dan komunikasi yang baik di masyarakat.

Dalam kaitannya dengan konsep konstruksi komunitas Etzioni (1996), pengabdian diri ke lingkungan sekitar lewat memaksimalkan peran sosialnya di masyarakat dan kelebihan-kelebihan seperti pangusadan, dapat dianalisis sebagai kekuatan centripetal. Dengan kekuatan centripetal ini penghayat Sapta Darma berusaha mengamalkan Wewarah Tujuh dengan menunjukkan apa yang bisa diberikan terhadap komunitas masyarakat sekitar. Semetara itu dengan melakukan komunikasi dan pendekatan ke masyarakat dan menjaga hubungan baik, juga tidak bersifat mentang-mentang ke sekitarnya, maka hal ini dapat kita lihat sebagai kekuatan centrifugal. Kekuatan centrifugal ini mendorong masing-masing anggota komunitas untuk bertindak atas dasar kepentingan masing-masing individu.

Proses konstruksi identitas penghayat Sapta Darma Komunitas SCB Jakarta Selatan tidak lepas dari hubungannya dengan kekuasaan, dalam hal ini negara sebagai institusi yang dominan. Hal ini dapat kita lihat dari penentapan enam agama resmi oleh pemerintah lewat UU No.1/PNPS/1965 yang secara tidak langsung mendekonstruksikan identitas mereka di masyarakat sehingga akhirnya timbul stigma maupun labeling terhadap identitas mereka sebagai kelompok yang bukan agama, ateis, komunis bahkan sebagian kalangan fanatis menganggap

152

mereka sebagai kelompok yang menyimpang dan kafir. Dalam tahap ini seperti yang dikatan oleh Castells (1997), negara sebagai institusi dominan melakukan Legitimizing Identity terhadap kelompok-kelompok kepercayaan.

Terkait dengan eksklusi sosial terjadi terhadap identitas mereka, maka sebagai penghayat kepercayaan mereka perlu merekonstruksi identitas mereka terkait dengan identitasnya dan identitas lingkungan disekitarnya. Pentingnya merekonstruksi identitas mereka merupakan sebuah cara dalam mengatasi kesulitan demi kesulitan yang mereka alami terkait dengan eksklusi sosial. Proses rekonstruksi identitas penghayat kepercayaan yang lebih moderat dan kompromistis terhadap lingkungan masyarakat sekitar, merupakan usaha memposisikan diri dengan mempertimbangkan peluang-peluang yang dimiliki para pelaku yang terlibat dalam suatu arena sosial tertentu. Dengan dikembangkannya pola kepenghayatan yang lebih moderat, maka penghayat kepercayaan dapat terlibat di arena sosial secara lebih luas dan terhindar dari friksi antar identitas di masyarakat.

BAB VI Penutup

Pada Bab VI ini berisi rangkuman kesimpulan dari hasil deskripsi dan analisis penelitian mengenai eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas penghayat kepercayaan Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana (SCB) Jakarta Selatan. Pada akhir bab ini, ditutup dengan saran yang penulis buat terkait dengan penelitian ini, yang ditujukan baik kepada Pemerintah, Komunitas SCB Jakarta Selatan dan Penghayat Kepercayaan Sapta Darma.

VI. 1 Kesimpulan

Dalam penelitian ini penulis melihat bahwa kemunculan Kerokhanian Sapta Darma tidak dapat dilepaskan dari konteks kebangkitan gerakan kebatinan. Kebangkitan kebatinan di Jawa berkembang dengan pesat pada sekitar pertengahan abad ke-20, dimana tumbuh dalam sebuah gelombang kegoncangan masyarakat pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Beberapa ilmuwan sosial yang meneliti mengenai gerakan kebatinan seperti Mulder dalam Lestari (2007) maupun Koentjaraningrat (1994), keduanya melihat bahwa kebangkitan gerakan kebatinan merupakan sebuah respons akan perubahan sosial budaya yang berlangsung cepat yang mengakibatkan gejolak sosial di masyarakat. Jadi sejarah berdirinya kelompok-kelompok kepercayaan tidak lepas dari sejarah kebangkitan gerakan kebatinan. Kebatinan dan kepercayaan pada dasarnya merupakan dua konsep yang maknanya sama. Namun, konsep kepercayaan lebih dipilih untuk digunakan guna membedakannya dengan agama

Secara sosiologis, Kerokhanian Sapta Darma merupakan sebuah kelompok keagamaan. Hal ini tercermin dari simbol dan ritual yang dimiliki oleh Kerokhanian Sapta Darma. Seperti yang dijelaskan Durkheim yang menekankan penggunaan simbol-simbol didalam agama yang membuat manusia merasa langsung merasa dekat kepada suatu kekuatan yang “luar biasa”. Semua agama secara umum akan memaknai simbol-simbol tersebut secara sama, yaitu

Universitas Indonesia

menghubungkan dengan sesuatu yang “luar biasa” tersebut sehingga terciptanya sebuah solidaritas dari kelompok agama. Simbol-simbol tersebut dapat kita lihat

lewat ritual sujud memberikan jalan kepada para penghayat untuk manembah dan dekat kepada Allah Hyang Maha Kuasa yang merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa. Sementara itu Simbul Pribadi Manusia dapat kita lihat sebagai sebuah simbol keagamaan yang secara sosiologis berperan penting dalam pembentukan kesadaran kelompok (jemaat) keagamaan terhadap agamanya

Dalam perkembangannya, proses pengakuan terhadap kelompok kepercayaan mengalami pasang surut dalam sejarah dan hubungannya dengan negara. Indonesia adalah negara berkeTuhanan, Pancasila sebagai dasar negara mencantumkan KeTuhanan Yang Maha Esa pada sila pertamanya yang implikasinya adalah semua warga negara mengacu kepada prinsip ketuhanan. Sebagai Negara yang berkeTuhanan, prinsip-prinsip ketuhanan dan kebebasan beragama ini dituangkan Di dalam pasal 29 ayat (1) UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan bahwa Negara Republik Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Namun semangat Negara dalam merayakan kebebasan dalam beragama seakan bertolak belakang dengan Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Spiritual landscape ditentukan oleh negara melalui instrumen hukum pada tahun 1965. Negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya, namun di sisi lain, negara menetapkan legalitas agama dan kepercayaan di masyarakat lewat pengakuan hanya enam agama.

Sebagai kelompok diluar „agama resmi‟ yang ditetapkan oleh pemerintah, berbagai macam kesulitan dialami oleh kelompok penghayat Sapta Darma. Salah satunya dalam pemenuhan beberapa hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak sipil, kelompok penghayat Sapta Darma masih mengalami eksklusi sosial. Eksklusi yang disebabkan oleh buruknya

Universitas Indonesia

pelayanan di tingkat lokal dapat kita lihat dari pemenuhan hak atas pencatatan atas identitas agama di KTP dan hak untuk berkumpul dan membangun rumah ibadah, dalam hal ini proses pengajuan perizinannya. Sementara itu eksklusi sosial juga terjadi akibat pilihan dan lingkungan dimana individu berada terjadi pada pemenuhan hak atas lahan pemakaman dan penguburan sesuai dengan kepercayannya dan hak atas pencatatan dan registrasi perkawinan antar penghayat. Sementara itu dalam pemenuhan hak pendidikan agama anak-anak penghayat yang sesuai dengan kepercayaannya dan hak atas sumpah jabatan dengan tata cara penghayat masih mengindikasikan adanya eksklusi sosial dalam hal masih adanya Undang-Undang diskriminatif yang hanya mengatur

kepentingan „agama resmi‟ pemerintah tanpa mengakomodisi kepentingan kelompok penghayat kepercayaan.

Sementara itu proses diskriminasi juga masih terjadi pada penghayat Komunitas SCB Jakarta Selatan terjadi melalui dua bentuk yaitu Diskriminasi Struktural (Structural Discrimination) dan Diskriminasi Individual (Individual Discrimination ). Bentuk yang pertama mengarah pada Diskriminasi Struktural dimana individu terdiskriminasi lewat praktek-praktek institusional, seperti contohnya pelaksanaan Undang-Undang yang diskriminatif terhadap kelompok penghayat dan praktik oknum-oknum birokrasi yang mempersulit pemenuhan hak-hak penghayat kepercayaan. Sementara itu bentuk yang kedua mengarah pada Diskriminasi Individual dimana individu mengalami diskriminasi akibat proses labeling dan stereotyping terhadap identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan. Contoh kasusnya seperti masih terjadinya labeling dan stereotyping terhadap identitas mereka baik secara individu ke individu ataupun komunitas dengan warga masyarakat sekitar.

Dalam hal konstruksi identitas, karena mereka bukan salah satu bagian dari „agama resmi‟ yang diakui oleh pemerintah maka dalam tahap perkembangan

identitas relijiusnya, meminjam penjelasan Peek (2005), berkembang ke tahap Religion as Declared Identity . Jadi dalam perkembangannya, walaupun disatu sisi identitas relijius mereka sebagai penghayat masih mengalami labeling dan stigma, namun untuk para informan hal tersebut harus dijawab dengan lewat kasih ke

Universitas Indonesia

sesama yang sesuai dengan salah satu poin dalam wewarah pitu. Wewarah pitu merupakan pedoman hidup penghayat Sapta Darma mengajarkan untuk kasih dan sayang kepada sekitarnya, para informan secara perlahan berusaha mengubah pandangan tersebut di masyarakat lewat hubungan keterbukaan dan komunikasi yang baik di masyarakat.

Sementara itu, proses konstruksi identitas penghayat Sapta Darma juga berkaitan dengan negara sebagai institusi sebagai institusi yang dominan. Hal ini dapat kita lihat dari penentapan enam agama resmi oleh pemerintah lewat UU No.1/PNPS/1965 yang secara tidak langsung mendekonstruksikan identitas mereka di masyarakat sehingga akhirnya menuimbulkan kesulitan-kesulitan dalam pemenuhan beberapa hak-hak sipil mereka sebagai warga negara dan stigma maupun labeling terhadap identitas mereka. Pada tahap ini terjadi dekonstruksi identitas penghayat Sapta Darma seperti yang dikemukakan Castells (1997) sebagai Legitimizing Identity, yaitu proses konstruksi yang diperkenalkan oleh institusi dominan dalam masyarakat untuk memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka terhadap aktor-aktor sosial.

Terkait dengan eksklusi sosial dan diskriminasi yang mereka alami terhadap identitas mereka, maka sebagai penghayat kepercayaan mereka perlu merekonstruksi identitas mereka terkait dengan identitasnya dan identitas lingkungan disekitarnya. Pentingnya merekonstruksi identitas mereka merupakan sebuah cara dalam mengatasi kesulitan demi kesulitan yang mereka alami terkait dengan eksklusi sosial. Proses rekonstruksi identitas penghayat kepercayaan yang lebih moderat dan kompromistis terhadap lingkungan masyarakat sekitar meminjam konsep dari Li (2003 dan 2004) dalam Rudyansjah (2009:243) merupakan sebuah usaha memposisikan diri dengan mempertimbangkan peluang- peluang yang dimiliki para pelaku yang terlibat dalam suatu arena sosial tertentu. Dengan dikembangkannya pola kepenghayatan yang lebih moderat, maka penghayat kepercayaan dapat terlibat di arena sosial secara lebih luas dan terhindar dari friksi antar identitas di masyarakat.

Universitas Indonesia

VI.2 Saran

Berkaitan dengan kesimpulan dari penelitian ini, penulis mengemukakan beberapa saran mengenai eksklusi sosial dan konstruksi identitas penghayat kepercayaan Sapta Darma Komunitas SCB Jakarta Selatan. Beberapa saran tersebut diantaranya:

Kepada pihak pemerintah, diharapkan dapat meninjau kembali pemberlakuan Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965) yang selama ini menjadi cikal bakal politik identitas

bagi kelompok kepercayaan yang tidak termasuk ke dalam agama-agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah. Peninjauan Undang-Undang ini bukan hanya terkait dengan masih terjadinya eksklusi sosial dalam pemenuhan beberapa hak-hak sipil penghayat kepercayaan, juga terkait identitas kelompok penghayat ini di masyarakat.

Selain itu, pemerintah diharapkan dapat menghapuskan Undang-Undang yang bersifat diskriminatif terhadap keberadaan penghayat kepercayaan.

Beberapa Undang-Undang seperti UU Sisdiknas dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah hanya mengakomodir kepentingan penganut „agama resmi‟ yang diakui oleh Negara.

Beberapa produk Undang-Undang yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) UU

Nomor 23 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksaaan UU Nomor 23 Tahun 2006 dan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No 43 dan No 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat apresiasi. Dengan ini pemerintah sudah mulai memberikan legitimasi hukum keberadaan kelompok penghayat kepercayaan. Namun hal ini menjadi sia- sia jika tidak diikuti dengan sosialisasi yang gencar ke tingkat birokrasi yang lebih rendah. Hal ini banyak terjadi di kalangan penghayat bahwa

Universitas Indonesia

pada level pemerintahan RT/RW dan Kelurahan bahwa sosialisasi Undang-Undang ini masih belum berjalan.

Kepada Komunitas SCB Jakarta Selatan agar tetap memberikan pengetahuan hukum kepada para penghayat mengenai hak-haknya sehingga para penghayat memiliki bekal pengetahuan Perundang-

Undangan yang cukup memadai dalam mengakses hak-hak sipilnya. Terkait dengan identitas penghayat kepercayaan di masyarakat yang masih

mengalami stigma dan labeling, komunikasi dan pendekatan ke masyarakat juga menjaga hubungan baik, adalah kunci menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar. Penghayat juga perlu mengembangkan sikap keterbukaaan dan juga bergaul ke sesamanya, saling kasih sayang di lingkungan. Sebagai bagian dari masyarakat, diharapkan warga Sapta Darma dapat secara aktif mengabdi di lingkungannya dalam berbagai macam kegiatan.

Dalam pengembangan identitas penghayat kepercayaan ini, pemerintah sebagai institusi yang berperan di masyarakat harus membantu mensosialisasikan identitas penghayat kepercayaan sebagai sebuah

kebudayaan spiritual di masyarakat yang berakar dari kebudayaan bangsa. Sosialisasi ini bisa dilakukan dalam bidang pendidikan ataupun memberikan sebuah wadah komunikasi antar penghayat kepercayaan dengan masyarakat luas pada umumnya. Pentingnya sosialisasi ini ditekankan karena sebagian besar masyarakat masih kurangnya informasi dan awamnya pemahaman masyarakat mengenai kelompok penghayat kepercayaan.

Universitas Indonesia