Latar B elak ang Be rdirinya J ong Islamie te n Bo nd

A. Latar B elak ang Be rdirinya J ong Islamie te n Bo nd

1. Politik Islam Hindia-Belanda

Penyebaran agama Islam di kepulauan Indonesia dirintis oleh para pedagang Arab dengan penuh damai. Sebaliknya agama Kristen mulai diperkenalkan Portugis dengan kekerasan yang berlandaskan jiwa pemberontakan dan permusuhan terhadap Islam. Orang-orang P ortugis menjelang abad ke-16

segaja datang ke berbagai pelosok dunia antara lain untuk memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama Kristen. Tetapi penakhlukkan yang dibarengi dengan aktivitas missi yang hebat ini justru membangkitkan lawan-lawannya untuk beraksi dan memicu masuknya pangeran-pangeran Indonesia untuk memeluk agama Islam (Aqib Suminto. 1985: 16-17).

Dalam skala yang lebih kecil, muncul pengancam Barat lainnya yaitu VOC yang seabad kemudian membawakan akibat yang hampir serupa. Tetapi dalam hal ini orang Belanda tidak terlalu memperdulikan penakhlukan yang bersifat agama

dibandingkan dengan keuntungan-keuntungan di bidang perdagangan.

tujuan-tujuan komersial mengharuskan keterlibatan orang-orang Belanda di dalam masalah-masalah politik Indonesia, maka perlawanan terhadap campur tangan Belanda tidak jarang cenderung untuk memperkuat sentimen agama Islam. P ersaingan dan perang- perang perebutan tahta antara penguasa-penguasa yang telah menjadi Islam tidak jarang memberikan kesempatan kepada orang Portugis dan Belanda untuk menciptakan alasan mencampuri urusan politik Indonesia. Namun, kebanyakan perlawanan yang dijumpai Portugis dan Belanda menggumpal sekitar agama Islam dan di beberapa daerah di Indonesia terutama di Aceh, Islam tetap melanjutkan peranannya selama berabad-abad sebagai pusat perlawanan terhadap campur tangan Barat dan kelak terhadap pemerintahan kolonial Belanda (H. J.

Akan

tetapi

dalam

batas-batas

Benda. 1980: 29). Meskipun Islam telah memperkuat dirinya dalam tempo yang cukup singkat dan secara keseluruhan dengan damai di sebagian besar kepulauan ini, tidaklah berarti bahwa hal ini dilakukan seragam atau dalam tingkat intensitas yang sama. Hanya di daerah-daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu di abad-abad yang lalu, seperti Aceh dan Minangkabau di Sumatra Utara serta Banten di Jawa Barat agama Islam sejak awal secara mendalam mempengaruhi kesadaran agama, sosial dan politik para penganutnya. Dengan demikian di daerah-daerah tersebutlah agama yang baru ini telah menunjukkan diri dalam bentuk yang lebih murni, kurang toleran dan bahkan kadang-kadang menjadi agresif. Dengan adanya sinkretisme antara Islam dengan tradisi Hindu- Budha di daerah setempat, Islam di Jawa untuk jangka waktu yang cukup panjang lebih penting dalam arti politik daripada religius. Walaupun Islam memberikan rasa kesatuan dan rasa identitas, sekurang-kurangnya pada mulanya Islam tidak menimbulkan perubahan yang radikal dalam kehidupan agama dan sosial di pulau Jawa (H. J. Benda. 1980: 30).

Islam bukan hanya datang untuk menetap dan menyebarkan pengaruhnya, karena sudah sejak masa-masa yang sangat awal Islam telah memainkan peranan politik dan ideologis yang luar biasa pentingnya. Selama empat abad lamanya, perlawanan terhadap pemerintahan Belanda, baik yang dipimpin oleh mereka yang fanatik agamanya atau tidak terlalu sering akan tetapi lebih ditakuti yaitu perlawanan yang dipimpin oleh pangeran-pangeran Indonesia yang mengibarkan panji-panji bulan sabit, hampir dengan sendirinya ada hubungannya dengan agama Islam. Ketaatan kepada agama Islam di tingkat pedesaan yang menyebabkan orang-orang merasa tidak mungkin menerima pemerintahan kolonial sebagai bentuk pemerintahan yang sah dan langgeng di dalam pikirannya, termasuk penduduk desa yang paling tidak terdidik sekalipun. Pentingnya arti politik Islam Indonesia, termasuk Islam Jawa, sebagian besar berakar pada kenyataan bahwa di dalam Islam batas antara agama dan politik sangatlah tipis. Islam adalah suatu way of life dan agama, walaupun proses

pengislaman di Indonesia dari dulu senantiasa merupakan suatu proses setahap pengislaman di Indonesia dari dulu senantiasa merupakan suatu proses setahap

Pemerintah Hindia-Belanda yang berkuasa di Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk yang dijajahnya adalah beragama Islam. Timbulnya aneka perlawanan seperti perang P aderi (1821-1827), perang

Diponegoro (1825-1830), perang Aceh (1873-1903) dan lainnya, tidak terlepas dari kaitannya dengan agama Islam. Namun karena kurangnya pengetahuan yang tepat mengenai Islam, pada mulanya pemerintah Hindia-Belanda tidak berani mencampuri agama Islam secara langsung (Darmansyah, dkk. 2006: 1). Sikap Belanda dalam masalah ini dibentuk oleh kombinasi kontradiktif antara rasa takut dan harapan yang berlebihan. Di satu pihak Belanda sangat khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Sementara di pihak lain Belanda sangat optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan persoalaan (Aqib Suminto. 1985: 9). Semua ini membuat pemerintah Hindia-Belanda kalang kabut dan terpaksa mengambil sikap lebih hati-hati dalam kebijaksanaannya terhadap Islam. Kurangnya informasi tentang Islam membuat posisi mereka semakin sulit (Jan S. Aritonang. 2005: 134).

Politik pemerintah Belanda terhadap Islam memang didasarkan pada perasaan takut dan sikap tidak mau mencampuri, sebelum Snouck Hurgonje berkuasa di Hindia-Belanda. Hasrat untuk menjauhkan diri dari campur tangan

terhadap Islam, misalnya menyangkut masalah pembangunan masjid-masjid. Untuk pembangunan masjid-masjid tidak atau jarang sekali diberikan bantuan keuangan oleh pihak pemerintah. P emerintah menyatakan, ”Negara, dengan sendirinya, tidak semestinya campur tangan dengan pembangunan atau dengan perbaikan bangunan-bangunan suci agama Islam” (G. F. P ijper. 1987: 239). Tetapi kebijakan untuk tidak mencampuri Islam nampaknya tidak konsisten karena tidak adanya garis yang tegas. Dalam masalah haji, P emerintah Hindia- Belanda ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur tangan. P ara haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan tukang memberontak. Bahkan pada tahun 1859, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda dibenarkan mencampuri masalah

agama bahkan bila perlu demi kepentingan negara, para ulama harus diawasi

(Aqib Suminto. 1985: 10). Tindakan ini kemudian diteruskan dengan membuka konsulat di Jeddah pada tahun 1972 untuk mengawasi ribuam kaum Muslim yang berasal dari Indonesia di Arab, baik jemaah haji maupun pemukim (Jan S. Aritonang. 2005: 135).

Pemerintah kolonial berusaha untuk memberikan batasan-batasan kepada orang-orang Islam di Indonesia, terutama dalam hal naik haji ke Mekkah. Snouck

Hurgronje meyakinkan para pejabat bahwa mereka tidak perlu mengkhawatirkan pengaruh para haji. Satu-satunya cara yang paling tepat adalah menghambatnya secara halus dan tidak langsung, yakni dengan cara mengalirkan semangat pribumi ke arah lain. Snouck Hurgronje beranggapan bahwa setiap langkah pribumi yang menuju ke arah kebudayaan Belanda (Barat) berarti menjauhkannya dari keinginan naik haji (Jan S. Aritonang. 2005: 140). Namun hasil tindakan- tindakan pembatasan ini sama sekali negatif. Meskipun di Jawa pemberontakan besar-besaran di bawah panji Islam telah berhenti setelah perang Diponegoro, frekuensi pemberontakan petani-petani di bawah pimpinan Islam setempat meningkat. Di Sumatra, Belanda terlibat dalam perang berkepanjangan melawan orang-orang Aceh yang fanatik. Arah politik baru tentang masalah Islam dengan demikian menjadi keharusan bagi masa depan pemerintahan Belanda di Indonesia (H. J. Benda. 1980: 39-40).

Politik Islam pemerintah Hindia-Belanda berubah setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889, politik terhadap Islam atas nasehatnya mulai

didasarkan pada fakta-fakta dan tidak atas rasa takut saja. Snouck Hurgronje memperingatkan agar Islam sebagai kekuatan politik dan religius jangan dipandang rendah. Apabila ideologi Islam disebarkan sebagai doktrin politik yang digunakan untuk membuat perlawanan terhadap pemerintahan asing sebagai pemerintahan kaum kafir sehingga orang meragukan atau mengingkari legalitas pemerintah Belanda, maka di sini ada bahaya bahwa fanatisme agama akan menggerakkan rakyat untuk menghapus orde kolonial (Sartono Kartodirdjo, Mawarti Djoened P oesponegoro, Nugrohonotosusanto. 1975: 75).

Pemahaman Snouck Hurgronje tentang hakekat Islam di Indonesia, sangat besar nilainya untuk mengarahkan politik Belanda terhadap Islam menuju Pemahaman Snouck Hurgronje tentang hakekat Islam di Indonesia, sangat besar nilainya untuk mengarahkan politik Belanda terhadap Islam menuju

Pemerintah Belanda sebagai kolonialis memerlukan in land sch po litiek , yakni kebijaksanaan mengenai pribumi, untuk memahami dan menguasai pribumi. Dengan politik Islamnya, Snouck Hurgronje berhasil menemukan seni memahami dan menguasai penduduk yang sebagian besar Muslim itu. Snouck dikenal sebagai arsitek keberhasilan politik Islam yang paling legendaris, yang telah melengkapi pengetahuan Belanda tentang Islam, terutama dalam bidang sosial dan politik (Aqib Suminto. 1985: 11).

Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pada hakekatnya orang Islam di Indonesia itu penuh damai, namun dia pun tidak buta terhadap kemampuan politik

fanatisme Islam. Bagi Snouck Hurgronje, musuh Pemerintah Hindia-Belanda bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik (H. J. Benda. 1980: 22-23). Islam sering menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Walaupun Islam di Indonesia banyak bercampur dengan animisme dan Hindu, namun orang Islam di Indonesia pada waktu itu memandang bahwa agamanya sebagai alat pengikat kuat yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dalam kenyataannya Islam memang berfungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah Kristen dan asing (Aqib Suminto. 1985: 11-12). Selain itu, agama Islam terbukti dapat berfungsi sebagai lambang pemersatu dan sekaligus sebagai ideologi politik sehingga menimbulkan

kekuatan politik luar biasa (Sartono Kartodirdjo. 1999: 94-95).

Hubungan antara pemerintah kolonial dengan agama tidaklah bisa dilepaskan dari hubungan antar sesama umat beragama, yakni antara umat Islam- Kristen yang melatarbelakangi hubungan Indonesia-Belanda dan pada hubungan para penguasa Belanda yang pada umumnya beragama Kristen dengan pribumi yang umumnya beragama Islam. Dalam hal ini keinginan untuk tetap menjajah, betapapun mengakibatkan pemerintah kolonial tidak akan mampu memperlakukan agama pribumi sama dengan agamanya sendiri. Juga tidak akan mampu memperlakukan pribumi yang beragama lain sama dengan pribumi yang seagama dengannya. Latar belakang ini bisa menjelaskan mengapa sering terjadi diskriminasi dalam kebijaksanaan yang berhubungan dengan agama, meskipun dinyatakan bahwa pemerintah kolonial bersikap netral terhadap agama. Diskriminasi tersebut berupa penganut Kristen pada umumnya menikmati berbagai keuntungan dari pemerintah Belanda, baik dalam memasuki sekolah pemerintah, mencari lapangan kerja maupun memperoleh kenaikan pangkat. Dalam hal ini diskriminasi akan nampak lebih jelas pada alokasi anggaran, sehingga pada suatu saat agama Islam hanya memperoleh sepersekian persen dari anggaran agama Kristen (Aqib Suminto. 1985: 15). Misalnya dalam hal pembiayaan gereja Protestan di Indonesia, termasuk belanja personilnya dan memberi banyak subsidi bagi usaha zending dan missi di berbagai bidang, sedangkan bagi keperluan umat Islam jumlahnya sangat sedikit (Jan S. Aritonang. 2005: 134).

Snouck Hurgronje membagi Islam menjadi tiga bagian yaitu ibadah, sosial kemasyarakatan dan politik. Masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan yang berbeda. Konsep pembagian itulah yang kemudian dikenal sebagai kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam menangani masalah Islam. Pemerintah memberikan kebebasan dalam masalah ibadah dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda tetapi tidak dalam hal politik. P emerintah mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan P an Islam. Kebijakan P emerintah Hindia-

Belanda dalam menghadapi tiga masalah ini dikenal dengan nama Politik Islam Hindia -Belan da (Darmansyah, dkk. 2006: 2).

Prinsip politik Islam Snouck Hurgronje di bidang kemasyarakatan adalah menggalakkan pribumi agar menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda. Prinsip ini sebenarnya tidak terlepas dari kaitannya dalam upaya untuk merebut kemenangan dalam persaingannya dengan Islam demi kelestarian penjajahannya (Aqib Suminto. 1985: 38). Pemerintah juga harus memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dengan mendorong rakyat dan para pemimpin adat untuk bekerjasama dengan pemerintah Hindia-Belanda. Dalam bidang agama murni atau ibadah, pemerintah harus memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Sedangkan dalam bidang politik, seperti yang sudah disinggung di atas, pemerintah harus mencegah dan menumpas secara keras setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islamisme seperti yang muncul di Turki. Sejalan dengan hal itu daerah-daerah yang Islamnya kuat dan masih terus berjuang mempertahankan kemerdekaan mereka, misalnya Aceh dan Jambi, harus ditindas secara sistematis (Jan S. Aritonang. 2005: 140).

Keadaan pada masa itu memang memungkinkan Snouck Hurgronje melaksanakan gagasan politik Islamnya, karena pada tahun 1889 dia ditugaskan sebagai penasehat urusan P ribumi dan Arab. Pengalamannya dalam penelitian lapangan di negeri Arab (1885), Jawa (1889-1890), dan Aceh (sejak tahun 1891), serta pengalamannya selama menjabat penasehat urusan Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam sejak tahun 1981 itu juga, cukup membekali dirinya dalam usaha menemukan seni memahami dan menguasai penduduk Muslim tersebut. Meskipun tidak seluruhnya, namun garis politik Snouck Hurgronje itu mampu juga bertahan sampai akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia (Aqib Suminto. 1985: 13). Snouck Hugronje pun berperan dalam mencobakan sebuah eksperimen untuk memberikan pendidikan Barat kepada kaum pribumi, termasuk menempatkan inlanders sebagai tenaga konsulat Belanda di beberapa negara. Tahun 1905, Hugronje merekomendasikan Agus Salim untuk menempati posisi

konsultat Belanda di Jeddah, Arab Saudi (http://www.ra dityaiswara.co.cc diakses tanggal 7 Agustus 2009).

Masalah kristenisasi Hindia-Belanda erat kaitannya dengan masalah menghadapi Islam di Indonesia. P ada abad ke-19, banyak orang Belanda, baik di negerinya

sendiri maupun di Hindia-Belanda, sangat berharap untuk menghilangkan pengaruh Islam dengan kristenisasi secara cepat pada sebagian besar orang Indonesia. Di parlemen Belanda, agama Islam sering mendapat

perlawanan sengit dari anggota-anggota Kristen partai agama. Van Bylandt misalnya, hampir setiap tahun selalu memperingatkan berbahayanya pengaruh Islam dan menghendaki digalakkannya propaganda Kristen, sementara Visser juga setuju untuk membendung pengaruh Islam (Aqib Suminto. 1985: 22). Harapan ini sebagian berdasarkan kepercayaan yang tersebar luas dikalangan orang Barat tentang superioritas agama Kristen terhadap Islam dan sebagian berdasarkan anggapan keliru bahwa sifat sinkretik agama Islam Indonesia di tingkat desa mengakibatkan bahwa masyarakat pribumi Indonesia tersebut akan lebih mudah dikristenkan daripada di negara-negara Muslim lainnya (H. J. Benda. 1980: 39).

Masalah sinkretisme agama Islam di Indonesia terutama di kalangan suku Jawa, memang cukup banyak disoroti orang. Pada awal abad ini Snouck Hurgronje menyatakan bahwa orang Islam di kawasan ini sebenarnya hanya nampaknya saja memeluk Islam dan hanya dipermukaan kehidupan mereka ditutupi agama ini, ibarat berselimutkan kain yang penuh lubang besar-besar sehingga nampak keaslian di dalamnya. Pada akhir abad ini pula di negeri Belanda masih ditulis orang bahwa mayoritas penduduk Jawa adalah abangan yang hidupnya tidak persis sesuai dengan tuntunan formal agama. Namun satu hal yang harus diingat adalah bahwa betapapun sinkretis dan abangannya orang Jawa, namun mereka tetap Muslim bahkan agama Islam merupakan kekuatan dinamik di kalangan para petani Jawa (Aqib Suminto. 1985: 19).

Di dalam masyarakat Islam lainnya, guru-guru agama dan ahli kitab suci Islam, seperti para kyai dan ulama, sejak awal juga merupakan unsur sosial yang penting dalam masyarakat Indonesia. Antara tradisi abangan dalam kalangan petani Jawa yang berakar di dalam mistisisme pra-Hindu yang telah berabad-abad

umurnya ditambah dengan unsur-unsur religius pada masa-masa terakhir termasuk Islam dan peradaban priyayi dalam kalangan yang memerintah lebih kuat berakar

di dalam kebudayaan Hindu-Jawanisme yang aristokratik, maka kaum ulama merupakan inti dari cara hidup yang ketiga, yaitu dari golongan santri. Akar tradisional golongan santri berada di dalam pusat agama Islam. Di luar Jawa, dikotomi yang serupa terdapat antara santri dan kepala-kepala adat. Di pihak lain, hakim-hakim Islam yang berhubungan dengan mahkamah-mahkamah penguasa- penguasa Indonesia turut memainkan peranan yang semakin penting, kadang- kadang jauh melampaui peranannya yang hanya sebagai penasihat pengadilan semata. Sewaktu penetrasi Belanda secara terus-menerus menghabiskan kekuasaan politik para sultan, hakim-hakim Islam ini berhasil melancarkan pengaruhnya yang semakin besar lagi. Dan semakin penting lagi di Indonesia, sebagaimana di dunia Islam lainnya, penganjur-penganjur Islam yang ortodoks cenderung untuk berbenturan dengan para penguasa sekuler. Hal ini muncul karena adanya ketakutan akan tantangan kaum fanatik Islam sehingga menyebabkan aristokrasi Jawa, seperti juga kepala-kepala adat di pulau-pulau lain, paling banter menjadi Islam pas-pasan dan Islam di atas kertas (H. J. Benda. 1980: 32-34).

Para priyayi tetap melangsungkan kebudayaan aristokrasinya sendiri meskipun telah memeluk agama Islam, yang pada umumnya bertentangan dengan kebudayaan santri dan para ulama yang sedang tumbuh. Dalam kenyataannya Islam di Indonesia segera berkembang menjadi dua cabang yang kurang lebih berbeda antara yang satu dengan lainnya. Cabang pertama merupakan cabang resmi dan administratif yang dapat dikatakan sebagai pembantu pemerintah sekuler, berpusat di sekitar masjid atau rumah sembahyang dan pengadilan agama. Sedangkan cabang kedua berpusat di sekitar kyai dan ulama independen yang memperoleh kesuciannya bukanlah berdasarkan restu pemerintahan sekuler akan tetapi karena pengetahuannya tentang agama Islam dan Bahasa Suci, kepergiannya naik haji ke Mekkah dan cara hidupnya yang khas Islam, sering kali ke-Arab-araban. Cabang yang pertama menjadi bagian dari kebudayaan priyayi, sedangkan cabang yang kedua menjadi inti dari kebudayaan santri yang baru.

Kedua kelompok itu bukan saja dipisahkan oleh permusuhan dan saling curiga, akan tetapi mereka juga bersaing untuk memperebutkan kesetiaan mayoritas Kedua kelompok itu bukan saja dipisahkan oleh permusuhan dan saling curiga, akan tetapi mereka juga bersaing untuk memperebutkan kesetiaan mayoritas

Sejak pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, agama Islam Indonesia secara bertahap mulai menanggalkan sifat-sifatnya yang sinkretik. Terjadi perubahan bukan hanya di dalam lingkungan agama Islam Indonesia, akan tetapi juga di dalam semakin meluasnya kebudayaan santri dalam arti yang sebenarnya dalam masyarakat Indonesia. Ortodoksi Islam perlahan-lahan mengambil alih pengaruh mistisisme Islam baik di Jawa maupun di Sumatra. Sekolah-sekolah dusun tradisional sebagian besar memperhatikan orientasi sinkretiknya, maka kyai ortodoks yang mendapat latihan di Mekkah membangun pesantren yang semakin menarik siswa-siswanya dalam jumlah besar. Pusat-pusat kebudayaan santri Indonesia ini yang semakin berkembang dalam arti sebenarnya (H. J. Benda. 1980: 37).

Dalam menghadapi Islam, penguasa kolonial menurut tradisi dapat mengharapkan dukungan dari kaum adat meskipun golongan ini tidak dapat

menahan pengaruh, baik dari perkembangan Islam maupun dari perubahan- perubahan kearah modernisasi, maka dari itu tidak mungkin politik ini dijalankan untuk mencapai tujuan pemerintahan kolonial dalam jangka panjang (Sartono Kartodirdjo, Mawarti Djoened P oesponegoro, Nugrohonotosusanto. 1975: 75).

Menurut pengertian orang Belanda tentang Islam, Islam dibayangkan sebagai sebuah agama yang diorganisir secara ketat, di dalam banyak hal yang diatur oleh hukum Islam serta persekutuannya dengan para sultan Islam di luar negeri dan pengaruhnya terhadap kehidupan penduduk asli. Dengan demikian

Islam dianggap sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini kemudian mendorong bangsa Belanda untuk merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen-elemen Islam dianggap sebagai musuh yang ditakuti. Ketakutan ini kemudian mendorong bangsa Belanda untuk merumuskan sebuah politik aliansi dengan elemen-elemen

Kebijaksanaan politik pemerintah Hindia-Belanda selalu mendapat masukkan dari para penasehatnya seperti Snouck Hurgronje, antara lain agar

pemerintah harus bertindak netral terhadap Islam sebagai agama, tetapi tegas terhadap politiknya, pemerintah supaya membantu menghidupkan golongan pemangku adat agar senantiasa timbul pertentangan-pertentangan di dalam masyarakat, pemerintah harus menyempitkan ruang gerak dan pengaruh Islam dengan jalan menjalin kerjasama dalam rangka kebudayaan Indonesia dan Belanda. Artinya, dengan jalan mendidik golongan priyayi dengan pendidikan Barat. Usaha-usaha tersebut ternyata menunjukkan hasilnya. Banyak orang dari kalangan pemuda pelajar Islam sempat menjadi sinis dan acuh tak acuh terhadap ajaran agama Islam. Bahkan sampai-sampai muncul anggapan bahwa agama Islam adalah agama yang kolot, menghambat kemajuan bangsa. Ada pula sebagian yang menanggalkan agamanya dan mengambil pola kehidupan yang berdasar kebudayaan Barat dan lainnya (Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim. 1984: 66-67). Dalam hal ini peradaban Belanda haruslah menggantikan peradaban tradisional priyayi dan di atas semuanya, peradaban santri. Snouck Hurgronje memusatkan perhatiannya kepada para bangsawan Jawa dan kepada para elite priyayi pada umumnya, sebagai suatu kelas sosial yang pertama dan yang paling jelas untuk ditarik ke arah Westernisasi. Tingkat kebudayaan aristokrasi yang lebih tinggi, dekatnya dengan pengaruh-pengaruh Barat berkat kontaknya dengan pemerintah Eropa dan akhirnya keterpisahannya dari Islam, secara logis menjadi skema asimilasionis Snouck. Kaum bangsawan Indonesia yang telah kehilangan ikatan kultural dan politik sebagai akibat penakhlukan Belanda, menurut Snouck, menuntut partisipasi di dalam kebudayaan Belanda (H. J. Benda. 1980: 47).

Di bawah pengaruh kekuasaan Barat dan pendidikan Barat, rakyat Hindia-Belanda terutama golongan intelektual tercekam di bawah sugesti Di bawah pengaruh kekuasaan Barat dan pendidikan Barat, rakyat Hindia-Belanda terutama golongan intelektual tercekam di bawah sugesti

Sejalan dengan kebijakan itu, maka pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dari jenjang terendah sampai jenjang tertinggi tidak memberikan pelajaran agama Islam kepada pelajar-pelajar yang beragama Islam. Rezim ini mengupayakan sekularisasi di dunia pendidikan dengan menyingkirkan pelajaran keagamaan dari dunia sekolah. Akibat sistem pendidikan ini maka pelajar Islam yang tidak mempunyai kesempatan belajar sendiri di luar sekolah menjadi kurang pemahamannya dari agama Islam. Seorang Agus Salim bahkan sampai berkata bahwa ia hampir kehilangan iman selepas dari Ho og ere Burgere schoo l (HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) (Darmansyah, dkk. 2006: 2). HBS merupakan sekolah lanjutan Euro pesche Leg ere Scho ol (ELS/Sekolah Rendah Eropa) yang diperuntukkan bagi golongan Eropa, bangsawan pribumi atau tokoh terkemuka (Darmansyah, dkk. 2006: 87). Dengan demikian pendidikan Barat mulai meraih kemenangan dalam perlombaan melawan saingannya yang Islam. Pandangan-pandangan Snouck Hurgronje dalam kenyataannya merupakan cerminan dari suatu era baru di dalam kebijaksanaan kolonial Belanda yang disebut Politik Etis yang secara resmi bermula pada tahun 1901 (H. J. Benda. 1980: 49).

Penguasa kolonial tidak dapat mengabaikan Islam sebagai faktor politik atau kekuatan sosial. Selaras dengan fakta itu organisasi yang netral lebih disukai

daripada organisasi yang pergerakannya berasaskan agama. Dalam hal ini politik daripada organisasi yang pergerakannya berasaskan agama. Dalam hal ini politik

nonkeagamaan (Sartono Kartodirdjo. 1999: 118). Hasil penyelidikan Snouck Hurgronje membuahkan kebijaksanaan pemerintah Belanda untuk tidak perlu menggalakkan kristenisasi (gerakan missie dan zending). Dan sebaliknya membiarkan dalam batas tertentu kehidupan Islam. Yang dibiarkan adalah kehidupan ibadat, sepanjang tidak mengganggu kehadiran pihak Belanda (Deliar Noer. 1979: 6). Sehingga pada tahun-tahun tersebut semakin banyak orang Islam, terutama di kalangan pemudanya mengalami keasingan dalam agamanya sendiri sebagai hasil dari pendidikan Belanda. Mereka asing dari kalangan rakyat yang masih banyak menganut kebiasaan lama dalam iman dan kepercayaan, mereka tidak lagi memilih organisasi yang bersifat keagamaan sebagai tempat mereka berkecimpung dalam pergerakan dan lebih tertarik kepada dasar lain dalam pergerakan (Deliar Noer. 1990: 268).

Tujuan diselenggarakannya pendidikan Belanda tersebut sekurang- kurangnya menjurus hakekatnya pada pengasingan mereka dari ajaran Islam.

Minimal inilah yang diharapkan Snouck Hurgronje dan pihak Belanda pada umumnya. Usaha-usaha seperti ini terletak di bidang pendidikan yang dijaman Belanda dibedakan menjadi pendidikan yang menekankan segi intelek dalam pengertian kebudayaan Barat di satu pihak dan pendidikan yang menekankan segi rohani di pihak lain. Di samping itu dijumpai juga lembaga-lembaga pendidikan yang berusaha menumbuhkan kedua segi itu, intelek dan rohani sekaligus dan kemudian menghasilkan golongan intelektual di satu pihak dan di pihak lain golongan ulama/kyai/santri. Golongan ini bertujuan untuk membina kalangan pemuda yang berpendidikan Barat agar merasa tidak asing dari agamanya (Deliar Noer. 1979: 6).

Bangkitnya kesadaran agama Islam tanpa dapat dibantah disebabkan, sebagian besar oleh tersedianya kebudayaan Barat yang semakin meningkat. Dasar-dasar kebijaksanaan pemerintah, pemeliharaan kebebasan beragama dan menjauhkan diri dari campur tangan urusan agama, telah menyebabkan perluasan dan pengukuhan agama Islam. Rasa puas yang semakin besar dapat dicapai, jika pemerintah dapat memutuskan untuk meniadakan sama sekali peraturan-peraturan yang oleh kaum Muslim dirasakan sebagai penghambat mengenai kebebasan pelaksanaan beribadah (G. F. P ijper. 1987: 252-253). Selain itu, kebangkitan agama Islam sebagian besar adalah karena hasil dari usaha-usaha missie dan zending yang dilaksanakan oleh pihak Belanda. Kaum Muslim harus menyusun barisan perjuangan yang lebih rapi untuk menumbuhkan semangat dan memperteguh benteng keislaman dalam menghadapi usaha-usaha sekularisasi umat Islam yang dilakukan oleh pihak Belanda (Moh. Natsir. 1980).

Sebenarnya sejak tahun 1936 ada ketegangan yang memuncak dengan golongan Islam. Golongan Islam mengambil sikap yang tajam terhadap segala macam penghinaan dari pihak bukan Islam, terutama dari pihak Belanda atau Kristen. Nada yang tajam dari Islam ini disebabkan karena memang adanya politik anti-Islam atau karena golongan Barat dalam arogansi mereka memberikan sebab-sebab akan hal ini. Selain itu tentu juga disebabkan karena hidupnya kembali nasionalisme dan diperkuatnya kesadaran akan diri sendiri di kalangan

Islam (Onghokham. 1987: 124).

2. Munculnya Kaum Intelektual Islam Saat Belanda masuk ke Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda mengetahui bahwa dengan adanya pendidikan, maka gerakan-gerakan perlawanan terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada saat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda. Usaha Belanda untuk membatasi pendidikan terhadap kalangan pribumi terus berlanjut, hingga saat muncul kritik dari para kaum humanis Belanda yang telah memaksa Belanda untuk memberlakukan politik etis atau juga dikenal sebagai politik balas budi pada sekitar tahun 1901. Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada 2. Munculnya Kaum Intelektual Islam Saat Belanda masuk ke Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat oleh Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda mengetahui bahwa dengan adanya pendidikan, maka gerakan-gerakan perlawanan terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada saat itu dapat muncul dan menyulitkan Belanda. Usaha Belanda untuk membatasi pendidikan terhadap kalangan pribumi terus berlanjut, hingga saat muncul kritik dari para kaum humanis Belanda yang telah memaksa Belanda untuk memberlakukan politik etis atau juga dikenal sebagai politik balas budi pada sekitar tahun 1901. Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada

Maret 2010). Sehingga pemerintah Belanda mendapatkan tenaga keraja terdidik untuk birokrasinya dengan gaji yang murah, karena apabila mendatangkan pekerja dari kalangan orang Eropa tentunya akan sangat mahal biayanya (http://www.roll- k on g.b lo gspo t.com diakses tanggal 1 Maret 2010).

Penerapan P olitik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda telah memberi peluang kepada anak-anak bumiputra untuk memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial. Kesempatan untuk mengenyam pendidikan tersebut tidak terbuka luas, hanya mereka yang berasal dari prangreh-praja atau mereka yang b erda rah biru (kaum bangsawan) yang dapat mengenyam pendidikan (Ridwan Saidi. 1990: 9). Hal tersebut disebabkan karena adanya berbagai faktor yang menyangkut masalah kebijakan, fasilitas dan

sarana sehingga sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah Belanda sangat terbatas, tidak seimbang dengan populasi penduduk Indonesia dan tingkat penghasilan ekonomi masyarakat Indonesia yang masih rendah. Sebagai alternatifnya yaitu mulai muncul pendidikan yang lebih merakyat, pendidikan di pesantren menjadi pilihan bagi masyarakat Indonesia sehingga masyarakat Muslim pada waktu itu banyak yang memasukkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan tersebut (H. Haidar Putra Daulay. 2007: 30-31).

Tak banyak pembagian sosial yang mutlak antara priyayi baru dan priyayi lama, yaitu antara kaum cendekiawan dan pejabat-pejabat pribumi.

Banyak orang dari keturunan rendah yang berkat kedudukan teknis atau profesinya menjadi priyayi baru. Mereka tidak menginginkan lebih daripada

penerimaan sosial oleh elite yang telah mapan tersebut dan untuk itu mereka berusaha menyesuaikan tingkah-lakunya. Karena keturunan merupakan masalah penting untuk memperoleh pendidikan, maka banyak di antara kaum cendekiawan yang berasal dari keluarga-keluarga pangreh-praja atau anak-anak pegawai pemerintah mempunyai hubungan dengan priyayi. Lebih daripada itu, kaum cendekiawan baru tersebut bukanlah marmer putih polos tempat menuliskan gagasan-gagasan Barat. Sebaliknya, mereka merupakan produk dari tradisi politik Jawa yang maju dan tinggi tingkatannya. Mereka berusaha mendapatkan dasar ideologi mereka dengan mengkombinasikan nilai-nilai pribumi dan nilai-nilai Eropa (Heather Sutherland. 1983: 115-116). Dengan demikian politik etis telah menghasilkan sejumlah elite baru di kalangan pribumi, baik yang menjadi birokrat maupun intelektual dan di antara elite baru tersebut banyak yang tampil menjadi tokoh pergerakan anti penjajahan, termasuk dari kalangan Islam (Robert van Niel. 1984: 12). P olitik etis itulah yang kemudian menguak dimensi baru bagi pergerakan nasional bangsa Indonesia.

Pada masa ini pendidikan-pendidikan rakyat juga turut muncul. Sekolah- sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa tersebut terdapat tiga tipe jalur pendidikan yang berbeda. Jalur pertama, sistem pendidikan dari masa Islam yang diwakili dengan berkembangnya pondok pesantren; jalur kedua, pendidikan bergaya Barat yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia-Belanda dan jalur ketiga, pendidikan swasta pro-pribumi seperti Taman Siswa, Muhammadiyah dan lainnya (http://pik ok ola.files.wordpress.co m diakses tanggal

1 Maret 2010). Pengajaran asli di Indonesia pada mulanya terdiri dari pendidikan yang diadakan di langgar, surau dan pesantren. Di tempat tersebut dilatih mengaji Al- Qur’an, mempelajari kepercayaan dan syariat agama Islam. Sampai pada akhirnya kebutuhan akan pengajaran dibutuhkan oleh pemerintah, pembaharuan datang dari luar sebagai usaha balas budi dan mengurangi jumlah penduduk buta huruf.

Perluasan bidang pemerintahan dan administrasinya mendorong timbulnya kebutuhan akan tenaga kerja. Untuk memenuhi itu pemerintah kolonial mulai Perluasan bidang pemerintahan dan administrasinya mendorong timbulnya kebutuhan akan tenaga kerja. Untuk memenuhi itu pemerintah kolonial mulai

Menurut Snouck Hurgronje, pendidikan Barat merupakan jalan terbaik untuk memajukan peradaban dan tingkat sosial-ekonomi masyarakat. Berdasarkan

pengalamannya, kalangan elite bangsa atau kaum bangsawan adalah golongan yang paling mudah untuk didekati, karena itu Snouck Hurgronje yang didukung oleh Direktur Departemen P endidikan dan Peribadahan, J. H. Abendanon (1900- 1905), menyelenggarakan pendidikan berbahasa Belanda dan mengikuti model Barat yang bersifat elitis, yakni bagi anak-anak bangsawan. Bahkan sebagian murid ditampung di rumahnya ataupun di rumah keluarga Belanda lainnya. Setelah tamat, mereka diberi jabatan dalam sistem pemerintahan Hindia-Belanda dengan harapan nantinya dapat melahirkan para elite yang tahu berterimakasih dan bersedia bekerjasama, termasuk dalam hal mengendalikan fanatisme terhadap Islam dan akhirnya menciptakan suatu keteladanan yang akan menjiwai masyarakat Indonesia golongan bawah (M. C. Ricklefs. 1991: 236).

Berbeda dari Snouck Hurgronje dan Abendanon yang lebih memprioritaskan pendidikan yang bersifat elitis, Gubernur Jendral Van Heutsz (1904-1909) dan penerusnya A. W. F. Idenburg, lebih memberi prioritas pada

pendidikan dasar dan kejuruan-praktis, yang disediakan bagi sebanyak mungkin rakyat golongan bawah dan yang menggunakan bahasa daerah, walaupun pendidikan elitis tadi tetap dilanjutkan. Menurut Van Heutsz dan Idenburg, pendekatan yang lebih merakyat ini akan memberi sumbangan secara langsung bagi peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi. Dalam rangka perluasan pendidikan dasar dan kejuruan inilah pemrintah Hindia-Belanda memberi subsidi yang cukup besar kepada badan-badan zending dan missi, karena mereka inilah yang dinilai memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan pemerintah dan karena dengan cara itu biaya penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih murah jika dibandingkan dengan ditangani sendiri oleh pemerintah. Sementara itu

lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah Islam tradisional (pesantren lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah Islam tradisional (pesantren

Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Hindia-Belanda telah menyebabkan para pemimpin masyarakat Indonesia sangat berorientasi ke Barat.

Snouck Hurgronje dan lainnya telah merancang ide-ide asimilasi yaitu bahwa masyarakat Indonesia atau paling sedikit golongan elitnya harus diasimilir oleh kebudayaan Barat. Untuk itu didirikan Ho lla nd sch Inlan dsche S ch oo l (HIS/Sekolah Bumi P utera-Belanda), beberapa anak Indonsia diperbolehkan masuk Euro pesche Leg ere Scho ol (ELS/Sekolah Rendah Eropa), yang membuka pintu ke Ho og ere Burg ere S ch ool (HBS/Sekolah Tinggi Warga Masyarakat) atau Algemeene Middelba re S ch oo l (AMS/Sekolah Menengah Atas) dan kemudian ke perguruan-perguruan tinggi, baik di Indonesia maupun di Belanda. Di samping pendidikan yang menggunakan konsep bangsa Barat (Westerse Sfeer) ini terdapat juga bagi rakyat berbagai macam sekolah rakyat, desa dan lain-lain atau Scha kel Scholen sebagai jembatan antara kedua macam sistem pendidikan. P ada sistem pendidikan untuk rakyat ini dipertahankan seratus persen pendidikan yang menggunakan konsep bangsa Timur (Oo sterse Sfeer), seperti halnya tidak ada pelajaran-pelajara n bahasa Barat dan lain-lain (Onghokham. 1987: 107).

Adanya kondisi tersebut telah menyebabkan munculnya jurang pemisah yang dalam antara rakyat dan pemimpin-pemimpin atau golongan elite yang berpendidikan Barat. Semakin lanjut orang Indonesia meningkat dalam bidang pendidikan untuk kemudian lulus pada salah satu perguruan tinggi maka semakin jauh pula mereka dari rakyatnya dalam jalan pikiran dan pandangan dunia. Namun pendidikan dengan konsep Barat ini adalah satu-satunya jalan untuk naik ke tangga sosial sehingga masyarakat Indonesia yang elite tersebut berkorban segala macam untuk mengirimkan anak-anaknya ke HIS. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan pendidikan Belanda, dengan pertimbangan- pertimbangan lain yaitu dengan mengirimkan anaknya ke HIS selain anaknya

memperoleh pengetahuan Barat atau dididik secara Belanda juga karena HIS memperoleh pengetahuan Barat atau dididik secara Belanda juga karena HIS

Dalam keadaan yang demikian, HIS sudah sewajarnya menjadi populer, dapat dimengerti. Sekolah ini membuka pintu gerbang yang memberikan jalan

masuk menuju jabatan-jabatan gubernurmen dengan gaji tinggi, yang memang menurut ukuran orang pribumi demikian halnya, sesuatu yang didambakan. Selain itu sekolah tersebut juga memberikan kepuasan psikologis yang kuat, karena pengetahuan tentang bahasa Belanda memberikan perasaan bahwa diri mereka dapat disamaan dengan orang-orang Belanda, yang orang merasa hormat kepadanya (I. J. Brugmans. 1987: 185).

diterapkan pemerintah sulit membayangkan akan lahir generasi intelektual Muslim. Akan tetapi, di penghujung abad ke-19 generasi pertama intelektual muslim Indonesia telah lahir. Mereka umumnya pernah mengenyam pendidikan Barat dan sekaligus mendalami agama Islam secara khusus. Seperti halnya Agus Salim, selain lulusan HBS juga pernah bermukim di Mekkah untuk mendalami agama Islam. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok generasi pertama intelektual Muslim adalah R. M Tirtoadisurjo, H. O. S Tjokroaminoto, Agus Salim, Achmad Dachlan, Achmad Soerkati dan lain-lain. Sumbangsih generasi pertama intelektual Muslim tersebut terlihat dengan dibentuknya berbagai organisasi kemasyarakatan yang berasaskan Islam (Darmansyah, dkk. 2006: 3). Tanpa menyerah diri pada tantangan-tantangan yang ada, mereka berusaha mendirikan sekolah-sekolah dengan sistem dan cara yang ditiru dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh pihak pemerintah Belanda, tetapi dengan berusaha mempertahankan semangat serta isi ajaran Islam. Tujuannya adalah untuk menggalang umat dan mendidik mereka sejalan dengan tuntutan masa dengan memasukkan berbagai mata pelajaran bukan agama ke dalam kurikulum. Mereka berusaha menghapuskan segala macam tambahan yang melekat pada ajaran Islam yang menurut mereka tidak sesuai dengan ajaran yang

Melihat sistem

pendidikan yang

mereka dasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Mereka mengimbau agar kembali kepada ajaran-ajaran pokok dari Islam (Deliar Noer. 1987: 10).

Pada awal abad ke-20 Indonesia telah dimasuki ide-ide pembaharuan pemikiran Islam, sekaligus ide-ide tersebut juga memasuki dunia pendidikan Islam. Dampak dari munculnya ide-ide pembaharuan dalam bidang pendidikan yaitu lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak lagi berorientasi pilah antara ilmu agama dan ilmu umum, walaupun belum seimbang setidaknya telah memunculkan pemikiran untuk menganggap penting kedua ilmu tersebut. Misalnya, di kalangan sekolah-sekolah agama yang diwakili oleh madrasah terutama madrasah yang muncul di Sumatera Barat telah memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam kurikulumnya. Selanjutnya di kalangan sekolah-sekolah umum yang diasuh oleh organisasi Islam seperti HIS, MULO dan AMS telah memasukkan mata pelajaran agama. Hal itulah yang kemudian menjadi dasar bagi pengembangan penyatuan kedua ilmu itu untuk seterusnya (H. Haidar Putra Daulay. 2007: 35-36).

Para sarjana Islam menilai bahwa kelemahan utama pandangan Snouck Hurgronje dan politik Islam pemerintah Hindia-Belanda adalah karena hal tersebut di dasarkan pada asumsi bahwa Islam dapat dipilah-pilah dan dimensi politik dapat dilucuti dari keyakinan maupun paktek Islam. P adahal tiap-tiap suruhan Islam yang bersangkut-paut dengan ibadah, bersangkut-paut dan berjalin pula dengan urusan keduniaannya, inilah bedanya antara Islam denga agama lainnya (Moh. Natsir. 1980: 126). Dengan demikian kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia-Belanda menyangkut masalah pendidikan telah

menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam yang menikmati pendidikan Barat justru semakin sadar akan kebangsaannya sekaligus keislamannya dan semakin bersemangat pula untuk menentang penjajahan (Jan S. Aritonang. 2005: 143). Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum politik Islam yang dirancang Snouck Hurgronje mengalami kegagalan. Di mata kalangan Islam Indonesia sendiri, Snouck Hurgronje lebih banyak dipandang dan dinilai sebagai penghambat ketimbang pendukung kemajuan Islam. Walaupun Snouck Hurgronje berhasil dan terkenal dengan upayanya memperbaiki hubungan antara pejabat pemerintah kolonial dengan kebanyakan pemimpin Islam di Indonesia, terutama di Jawa (H. J. Benda. 1980: 40). Sebenarnya Snouck Hurgronje lebih dilihat sebagai bagian menyebabkan tokoh-tokoh pribumi Islam yang menikmati pendidikan Barat justru semakin sadar akan kebangsaannya sekaligus keislamannya dan semakin bersemangat pula untuk menentang penjajahan (Jan S. Aritonang. 2005: 143). Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum politik Islam yang dirancang Snouck Hurgronje mengalami kegagalan. Di mata kalangan Islam Indonesia sendiri, Snouck Hurgronje lebih banyak dipandang dan dinilai sebagai penghambat ketimbang pendukung kemajuan Islam. Walaupun Snouck Hurgronje berhasil dan terkenal dengan upayanya memperbaiki hubungan antara pejabat pemerintah kolonial dengan kebanyakan pemimpin Islam di Indonesia, terutama di Jawa (H. J. Benda. 1980: 40). Sebenarnya Snouck Hurgronje lebih dilihat sebagai bagian

Keyakinan terhadap keberadaan dan kekuatan Islam semakin tumbuh dan berkembang sebagai refleksi dari posisi dan fungsi agama di dalam kehidupan orang Indonesia. Bagi orang Indonesia Islam adalah lebih dari agama, Islam

adalah tuntunan hidup. Dengan demikian, Islam lama-kelamaan sama dengan segala sesuatu yang asli sebagai lawan dari yang asing. Islam menjadi suatu faktor pemersatu dalam kesadaran akan diri sendiri dalam kalangan orang Indonesia dan dalam waktu yang bersamaan menjadi ukuran untuk solidaritas nasional, dari kulit berwarna terhadap kulit putih (Robert van Niel. 1984: 115). Sejalan dengan kondisi tersebut maka dalam menghadapi kehidupan yang tertekan, masyarakat Jawa tradisional menggunakan agama terutama agama Islam sebagai alat untuk menghadapi tekanan yang begitu keras. Islam sebagai pertahanan terhadap tekanan sosial. Sedangkan pemerintah kolonial menggunakan agama Kristen sebagai tandingan dalam menghadapi gerakan pribumi.

Di kalangan umat Islam Indonesia timbul pula kesadaran untuk berorganisasi. Rasa persatuan di kalangan umat Islam mulai terpupuk hingga melahirkan suatu pergerakan yang sangat penting artinya bagi nasionalisme Indonesia. Di jaman VOC ulama sangat keras melawan Belanda dan pemerintah Belanda juga bertindak keras karena pengaruh Islam pada waktu itu dirasa sangat mengkhawatirkan pemerintah jajahan. Tetapi sebaliknya bagi bangsa Indonesia, pengaruh agama Islam yang besar itu telah menciptakan nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia (C. S. T. Kansil dan Julianto. 1983: 24-25).

Islam dirasakan sebagai gagasan yang belum banyak dialami dan diketahui aspek keseluruhannya. Tetapi paham modernisme Islam telah masuk ke Indonesia dan mempengaruhi aliran pergerakan pendidikan dan sosial Islam ( M. Dawam Rahardjo. 1993: 47). Hal tersebut muncul sebagai akibat dari adanya perubahan Islam di Indonesia. Cukup banyak orang dan organisasi Islam yang merasa tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Al-Qur’an dan studi agama sehingga pribadi-pribadi dan organisasi-organisasi Islam pada permulaan abad ke-20 berusaha untuk memperbaiki pendidikan Islam, baik dari Islam dirasakan sebagai gagasan yang belum banyak dialami dan diketahui aspek keseluruhannya. Tetapi paham modernisme Islam telah masuk ke Indonesia dan mempengaruhi aliran pergerakan pendidikan dan sosial Islam ( M. Dawam Rahardjo. 1993: 47). Hal tersebut muncul sebagai akibat dari adanya perubahan Islam di Indonesia. Cukup banyak orang dan organisasi Islam yang merasa tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Al-Qur’an dan studi agama sehingga pribadi-pribadi dan organisasi-organisasi Islam pada permulaan abad ke-20 berusaha untuk memperbaiki pendidikan Islam, baik dari

Salah satu tokoh intelektual muslim yang sangat berpengaruh dalam pergerakan Islam di Indonesia adalah Agus Salim, satu dari sedikit tokoh muslim pemikir modernis. Agus Salim menyadari bahwa hubungan antara Islam dan internasional tak lagi bisa terelakkan. Baik itu hubungannya dengan dunia Arab maupun Barat. Kedua dunia yang berbeda itu didekati Agus Salim degan pandangan dan pendekatan integral, bahwa dunia Arab dan Barat adalah suatu sumber daya yang harus dimanfaatkan. Sebagai Intelektual, Agus Salim berhasil membangun kelompok studi yang beranggotakan mahasiswa Islam sekolah Belanda, seperti Stovia, Rechtshoogeschool dan Geneskundigehoogeschool. Mereka kebanyakan sekuler dan abangan. Dengan kapasitas dan kemampuannya, anggota kelompok studi itu jadi tertarik pada Islam. Tokoh seperti R. Kasman Singodimedjo (nantinya menjabat sebagai ketua umum Jon g Islamieten Bond periode 1929-1935) dan Prawoto Mangkusasmito yang berpendidikan Belanda dan bukan dari keluarga santri dapat tertarik untuk menjadi aktivis Islam. Agus Salim mempunyai hubungan yang sangat luas dengan kalangan pelajar. Rumah Agus Salim merupakan tempat berkumpulnya kalangan pelajar yang sekolah di Batavia. Di antara para pengunjung rumah Agus Salim untuk berdiskusi adalah Moh. Hatta, Moh. Amir Bahder Djohan. Haji Agus Salim menjadi tempat untuk bertanya atau bertukar pikiran di kalangan para pelajar Muslim (Darmansyah, dkk. 2006: 4-6).

Salim tidak hanya dikerumuni oleh pemuda-pemuda Jo ng Islamieten Bon d (JIB). Berbagai kalangan inteletual sering datang menanyakan masalah besar yang dihadapi bersama sebagai bangsa terjajah. Salim mengkritik tajam

terhadap gaya hidup intelektual Indonesia yang kebarat-baratan akibat dari adanya pendidikan Barat yang telah mereka alami, tetapi sikap rasional Barat tidak pernah terhadap gaya hidup intelektual Indonesia yang kebarat-baratan akibat dari adanya pendidikan Barat yang telah mereka alami, tetapi sikap rasional Barat tidak pernah

1) Adanya kepercayaan serta prinsip-prinsip yang diakui sebagai milik bersama,

2) Adanya toleransi yang berarti menghargai pendapat dan keyakinan orang lain,

3) Adanya permusyawaratan dalam mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan rakyat bersama yang dimaksud adalah menguatkan persatuan hati, kehendak dan mendidk serta pengertian keterikatan dalam persatuan

(http://ahmadfathulba ri.multiply.com/jou rn al/item/10 diakses tanggal 7 Agustus 2009). Pada waktu ide pembentukan cendekiawan Islam dalam tahap pengembangan, Sjam sebagai ketua Jong Java mengutarakan gagasan agar Jong Java menyelenggarakan kursus-kursus agama Islam bagi para anggotanya. Sjam mencetuskan gagasan itu didorong karena adanya kesadaran ideologi dalam kerangka kesatuan organis Jong Java, kesadaran tersebut bangkit karena adanya

fakta bahwa pelajar-pelajar Islam sebagai calon-calon cendekiawan yang tengah menuntut ilmu pada sekolah-sekolah umum dihimpit pada posisi keharusan pelestarian nilai-nilai Islam bagi kehidupan para pelajar, karena kelestarian Islam sebagai ajaran terancam dengan adanya kurikulum dan sistem pengajaran yang berlaku pada dunia pendidikan resmi pada waktu itu. Sementara kompetisi intelektual dengan pelajar yang beragama lain berlangsung secara kurang fair dalam pengertian bahwa untuk pelajar yang secara ideologis dan kultural berasal dari lingkungan bukan Islam dirangsang oleh lembaga swasta untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya melalui pembinaan tertentu, misalnya pemberian beasiswa (Ridwan Saidi. 1990: 18-19). Tetapi ide Sjam untuk

melaksanakan kursus-kursus agama Islam ditentang oleh anggota-anggota Jong

Java dengan berbagai alasannya. Beruntung kemudian muncul sebuah formulasi baru yaitu Sjam bersama kawan-kawannya tetap menjadi anggota Jong Java dan Jong Islamieten Bond sebagai wadah cendekiawan Islam. Dalam pergerakan JIB, R. Sjamsoeridjal, Wiwoho dan H. Agus Salim dikenal sebagai peletak dasar pembentukan cendekiawan Islam melalui organisasi JIB.

Para pemimpin umat Islam menyadari bahwa reaksi terhadap peristiwa dan perlakuan tidak adil dari penjajah tidak cukup dilawan dengan kritik-kritik saja. Ancaman terhadap eksistensi Islam secara mendasar memerlukan reorientasi organisasi. Tujuannya agar kepentingan umat Islam dapat dijaga lebih tepat dari masa-masa yang lalu (H. J. Benda. 1980: 119). Dengan berdirinya JIB di Jakarta pada 1 Januari 1925 telah menjadi suatu organisasi yang secara politik sangat penting dalam serangan balasan kaum reformis terhadap aliansi di kalangan mahasiswa yang terdidik secara Belanda. JIB tumbuh menjadi pusat latihan bagi kepemimpinan Islam yang berbeda dari intelektual Indonesia sekuler yang berorientasi ke Barat (H. J. Benda. 1980: 73).

Anggota JIB, seperti halnya dengan anggota organisasi Islam lainnya, tidak menarik diri dari gelanggang politik. JIB menjadi fokus pelatihan kepemimpinan untuk cendekiawan muda Islam yang memiliki pandangan jernih tentang syarat-syarat bagi suatu negara merdeka, yang hendaknya Islam. Gerakan modernis di dalam Islam mempunyai tujuan pokok untuk kembali ke sumber murni Islam; Qur’an, sunah atau kata-kata dan perbuatan Nabi Muhammad yang dirawikan (C. Van Dijk. 1995: 14-15). Gerakan tersebut menghendaki perombakan cara hidup umat Islam disesuaikan dengan perkembangan zaman (L. Stoddard. 1966: 318-319).

Pada masa-masa inilah JIB telah memunculkan tokoh-tokoh Muslim intelek, seperti Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito, Jusuf Wibisono dan masih banyak lagi. Mereka sehari- harinya sangat dekat dengan Agus Salim dan keluarganya, Agus Salim tak henti- hentinya menanamkan kejujuran intelektualisme berdasarkan Islam, percaya diri, kesetiaan terhadap perjuangan, kesederhanaan dan tanggungjawab terhadap nasib

bangsa, terutama nasib rakyat kecil (Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji

Agus Salim. 1984: 67). Dengan berdiriya JIB tersebut maka telah memberikan kesempatan bagi Mohammad Roem untuk ikut dalam organisasi yang berasaskan Islam tersebut. Mohammad Roem masuk menjadi anggota JIB pada tahun 1925, keanggotaanya dalam Jong Java tidak dilepasnya. Tetapi jika dibandingkan denga Jong Java, Mohammad Roem lebih aktif di dalam JIB, suatu organisasi yang dikhususkan bagi pemuda atau pelajar Islam yang keanggotaannya bersifat terbuka bagi pemuda atau pelajar dari berbagai daerah (Iin Nur Insaniwati. 2002: 17).

Pandangan keindonesiaan dikembangkan Sjam dan kawan-kawan melalui wadah Islam, JIB. Islam dan kebangsaan Indonesia tidak pernah diletakkan

sebagai komponen yang terpisah apalagi berhadap-hadapan, sebagaimana yang yang banyak dituduhkan. Organisasi kepanduan NATIPIJ dengan

Mohammad Roem mengembangkan pelajaran-pelajaran kewiraan, yang kelak pelajaran tersebut mempunyai manfaat yang besar bagi pertahanan tanah air. Kasman mendapat kepercayaan untuk menjadi Daida nco (Komandan Batalion) Pemb ela Tana h Air (P ETA) Jakarta berkat pengalamannya dalam NATIPIJ (Ridwan Saidi. 1990: 21).

3. P eranan Raden Sjamsoeridjal Dalam Kelahiran Jong Islamieten Bond Di antara anggota Lingkaran Studi Haji Agus Salim terdapat R.

Sjamsoeridjal atau lebih dikenal dengan nama Sjam. Sjam berasal dari kalangan Islam yang taat. Ayahnya seorang penghulu di Karanganyar, Karesidenan Surakarta. Pada kongres Jong Java ke-6 tahun 1923, Sjam terpilih sebagai ketua Pedoman Besar (h oo fdbestuur) Jong Java, organisasi pemuda pelajar terbesar di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 6).

Usaha-usaha untuk menjadikan Islam sebagai unsur pemersatu digalang oleh Sjamsoeridjal dengan kawan-kawannya. Dan untuk menyebarkan gagasan tersebut diusahakan agar pendidikan Islam diajarkan pada anggota-anggota Jong Java karena dalam kenyataannya telah diadakan kursus-kursus pendalaman untuk

anggota beragama Kristen dan Katholik. Puncak perjuangan sebagian anggota Jong Java yang menginginkan agar Islam dapat diajarkan pada anggota Jong Java anggota beragama Kristen dan Katholik. Puncak perjuangan sebagian anggota Jong Java yang menginginkan agar Islam dapat diajarkan pada anggota Jong Java

Haji Agus Salim sebagai pembimbing dalam lingkaran studi yang anggotanya berasal dari beberapa anggota Jong Java, sering hadir dalam kongres- kongres organisasi pemuda tersebut. P ada salah satu kongres Jong Java, Agus Salim menyampaikan pidato Islam dan Jong Java, yang berisi bahwa dasar Jong Java yang semata-mata nasionalisme menjauhkan pemuda terpelajar dari agama Islam. Antara Agus Salim dan Sjam terdapat kesamaan pandangan tentang Islam sebagai landasan perjuangan. Agus Salim menyampaikan gagasan tentang Islam kepada para pemuda termasuk kepada anggota Jong Java yang sekuler (Darmansyah, dkk. 2006: 6-7).

Pada saat Sjam memimpin Jong Java, Sjam terilhami oleh pidato H. Agus Salim sehingga mencoba melakukan pembaharuan dalam Jong Java. Dalam pertemuan tahunan Jong Java, kongres Jong Java ke-7 di Yogyakarta pada tanggal 27-31 Desember 1924 (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 34), Sjam mengajukan usul sebagai berikut:

a. Anggota yang berumur di bawah 18 tahun, tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik.

b. Anggota yang berumur 18 tahun ke atas, secara sendiri-sendiri boleh ikut dalam kegiatan politik. Dalam hal ini mereka akan dibantu dan dipimpin oleh

anggota luar biasa, yang akan merupakan golongan ketiga dalam Jong Java.

Aturan ini akan menambah fungsi Jong Java sebagai tempat latihan mental nasional (A. K. Pringgodigdo. 1994: 114-115).

c. Diadakan kursus agama Islam bagi anggota Jong Java mengingat agama Islam adalah agama yang dipeluk oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Selain itu, banyak kaum terpelajar yang tidak paham dengan agamanya (Tim Yayasan

Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 221). Hal ini sebagai respon terhadap kuliah-kuliah tentang agama Kristen di Jong Java, para pelajar Muslim yang lebih ortodoks juga meminta agar diadakan pula kuliah-kuliah mengenai agama Islam (Yudi Latif. 2005: 306).

Usulan Sjam ini mendapat dukungan dari Raden Kasman Singodimedjo, Supinah (kemudian menjadi Nyonya Kasman Singodimedjo), Moeso Al- Machfoeld (Gus Muso, bukan Muso tokoh P KI), Soehodo (Sekpri Sri Paku Alam VIII). Mereka berpendapat bahwa agama Islam yang akan membantu mempersatukan para pemuda. Selama ini dalam pergaulan antar suku kaku sekali laksana minyak dengan air. Islam adalah agama rakyat umum di Nusantara. P ara anggota Jon g Ambon, Jo ng Minahasa, Jo ng Bataks, Jon g Su matran en , sama dan serupa dengan anggota Jong Java, Sekar Rukun, dan lain-lain, semua itu putra- putri rakyat Nusantara. Maka Islam adalah agama yang telah mempersatukan mereka. Jong Java harus berani memelopori memakai Islam sebagai dasar untuk selanjutnya disampaikan kepada sesama anggota organisasi pemuda (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 221). Tetapi ada pula kalangan yang menentangnya dengan alasan karena Jong Java bukanlah perkumpulan agama atau karena

perpecahan, sedangkan yang didambakan adalah persatuan. Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa usul itu tidak diperlukan karena agama tidak perlu. Bukankah ketika itu zaman kemajuan, sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan agama menunjukkan pada keterbelakangan, kekolotan dan sebagainya (Ridwan Saidi. 1990: 12).

Gagasan Sjam tersebut tidak didukung oleh suara mayoritas. Alasan penolakan terhadap gagasan Sjam adalah Sjam bermain politik. Serekat Islam juga

dituduh sedang menyusup ke dalam tubuh Jong Java (Tim Yayasan Gedung- Gedung Bersejarah. 1974: 34). Setelah diadakan pemungutan suara sebanyak dua dituduh sedang menyusup ke dalam tubuh Jong Java (Tim Yayasan Gedung- Gedung Bersejarah. 1974: 34). Setelah diadakan pemungutan suara sebanyak dua

Demi menjaga persatuan dalam perhimpunan Jong Java, Sjam menyatakan mundur dari Jong Java dan akan mendirikan perhimpunan baru untuk memperjuangkan aspirasi keislamannya. Sjam mendapat dukungan dari Agus Salim, H. O. S. Tjokroaminoto, A. M. Sangaji (Sarekat Islam) dan K. H. Achmad Dahlan (Muhammadiyah). Tokoh pemuda yang mendukung gagasan Sjam adalah Mohammad Roem, Mohammad Natsir, P rawoto, Jusuf. Mereka menyatakan siap membantu merealisasikan gagasan Sjam dan siap bekerjasama (Moh. Roem. 1977: 247).

Agus Salim yang mengikuti rapat itu dan telah lama menyadari akan pentingnya membentuk kader-kader inteligensia Islam juga menyarankan agar mereka mendirikan sebuah organisasi pelajar yang baru, yang kemudian bernama Jo ng Isla mieten Bond . Karena pengalaman traumatisnya, pendirian JIB diorientasikan untuk mengislamkan kaum terpelajar. Kepedulian utama dari organisasi ini adalah bagaimana menjadikan orang-orang Indonesia yang berpendidikan Barat menjadi lebih dekat dengan umat Islam atau paling tidak

membujuk mereka untuk tidak sepenuhnya menjadi anggota fanatik dari organisasi-organisasi sekuler. Cara pandang terhadap Islam sekarang (dalam JIB) berbeda dengan yang sebelumnya dibayangkan di Jong Java. Sementara ide untuk memberikan pengajaran Islam dalam konteks Jong Java didasarkan pada alasan- alasan pragmatis, yaitu demi persatuan dan kepemimpinan nasional, ide yang sama sekarang diletakkan dalam idealisasi pembentukan sebuah identitas kolektif tertentu dan sebagai sebuah ideologi tersendiri. Solidaritas Islam sekarang dianggap sebagai satu-satunya solusi bagi masalah-masalah sosial (Yudi Latif. 2005: 307).

sebuah sekolah Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta. Rapat tersebut menyepakati nama

Rapat-rapat

pendahuluan

dilaksanakan

di di

31 Desember 1924, tetapi secara de jure JIB dinyatakan berdiri di Jakarta pada 1 Januari 1925 (Darmansyah, dkk. 2006: 9). P ada waktu itu H. O. S. Tjokroaminoto juga ikut menghadiri pendirian JIB di Yogyakarta yang berlangsung dalam sebuah

ruangan deterangi cahaya lampu teplok. P endirian JIB ini mendapat restu dari H. Agus Salim, K. H. Achmad Dahlan (Moh. Roem. 1977: 71). Keanggotaan JIB tidak membatasi diri pada kedaerahan. Kesempatan mempelajari agama Islam dibuka dalam organisasi ini karena menurut Sjam agama Islam adalah agama mayoritas yang dianut oleh rakyat Indonesia pada masa itu (Mohamad Roem dan Kustiniyati Mochtar. 1989: 98 dan 128).

Tokoh-tokoh Islam lain yang peranannya juga besar dalam mendorong berdirinya JIB adalah Achmad Soerkati yang merupakan sahabat K. H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sejumlah tokoh pemuda pergerakan nasional seperti Agus Salim dan Kasman Singodimedjo juga kerap berdialog dengan Achmad Soerkati mengenai berbagai masalah. Syekh Achmad juga menjadi guru spiritual JIB, dimana para aktivisnya seperti Mohammad Natsir (mantan perdana menteri), Mohammad Roem, dan lainnya sering belajar kepada beliau. Achmad Soerkati sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia diperbudak oleh orang-orang Belanda serta berupaya mengubah kondisi itu dengan menanamkan kesadaran pada segenap umat akan bahayanya penjajahan. Sikap anti penjajahan diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia. P emerintah kolonial Belanda membedakan manusia berdasarkan ras dan golongan. Menurut Achmad Soerkati, ”Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah”. Ditegaskan bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka. Belanda bukan hanya menjajah fisik namun juga menindas harkat dan jiwa bangsa Indonesia. Melalui perhimpunan Al-Irsyad Achmad Soerkati memberikan kesempatan kepada pemuda-pemuda pergerakan nasional untuk menggunakan fasilitas pendidikannya.

Mereka secara berkala mengikuti ceramah dan kursus agama yang diadakan di gedung Al-Irsyad. Selain itu, Achmad Soerkati juga sering kali mengisi ceramah- Mereka secara berkala mengikuti ceramah dan kursus agama yang diadakan di gedung Al-Irsyad. Selain itu, Achmad Soerkati juga sering kali mengisi ceramah-

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP KINERJA KEUANGAN pada PERUSAHAAN yang MELAKUKAN SEO (Studi pada Perusahaan Manufaktur di BEJ 2000-2006)

0 1 96

Analisis marjin pemasaran ubi kayu (Manihot utilissim ) (studi kasus di Kecamatan Slogohimo Kabupaten Wonogiri)

0 2 85

A translation analysis of taboo expressions in a film entitled “knocked up” and their indonesian subtitles

0 1 119

FRONT UMAT ISLAM DAN PERANANNYA DALAM KEGIATAN SOSIAL KEAGAMAAN DI KABUPATEN KLATEN 2002-2007

0 0 100

HUBUNGAN PELAYANAN RESTORAN SIAP SAJI, TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN DENGAN TINDAKAN RASIONAL PELANGGAN (Studi Tentang Hubungan Pelayanan Restoran Siap Saji, Tingkat Kepuasan Pelanggan dengan Tindakan Rasional Pelanggan Di McDonalds Jalan Dr.Radjiman No.136

1 1 119

AZEFEK ANALGESIK AIR PERASAN DAUN SELEDRI ( Apium graveolens L. ) PADA MENCIT SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 50

PERANCANGAN ALAT PENYARING TAHU BERDASARKAN PRINSIP ERGONOMI (Studi Kasus Industri Tahu Sari Murni Surakarta)

0 2 89

1 ANALISIS PROFITABILITAS SEBELUM DAN SESUDAH PERISTIWA STOCK SPLIT (Studi Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di BEI)

0 0 89

Pengaruh air perasan herba seledri ( Apium graveolens L) terhadap kadar kolesterol total darah tikus putih ( Rattus norvegicus ) SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

2 5 45

EFEK ANTIPIRETIK EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimi sancti folium ) PADA TIKUS PUTIH SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 4 50