Perke mbangan Jo ng Islamieten B ond

B. Perke mbangan Jo ng Islamieten B ond

1. Masa Awal Pergerakan Jong Islamieten Bond JIB didirikan pada tanggal 1 Januari 1925 atas prakarsa Sjamsoeridjal. Pendirian JIB berawal dari keprihatinan kaum intelektual Muslim dan kemudian didukung H. Agus Salim tentang kurangnya perhatian kaum muda Muslim, terutama yang menikmati pendidikan gaya Barat terhadap agama mereka dan juga kurangnya perhatian Jong Java terhadap pembinaan kerohanian bagi anggota- anggota yang beragama Islam. JIB merupakan salah satu organisasi Islam yang sangat percaya diri dan sangat gigih mengecam kalangan Kristen serta memperlihatkan sikap anti-Kristen, melalui Volkstraad dan juga melalui berbagai publikasi, misalnya majalah Het Licht. Di kemudian hari JIB menjelma menjadi suatu wadah untuk mendidik kaum muda Islam hingga menjadi kader-kader yang mempunyai dasar keislaman yang kokoh. JIB tidak bergerak dalam urusan politik, namun memperbolehkan anggota-anggotanya untuk ikut terlibat dalam berbagai gerakan politik yang marak pada saat itu (Jan S. Aritonang. 2005: 181). Jo ng Islamieten Bond (JIB/Liga Pemuda Islam) menjadi suatu organisasi yang secara politik sangat penting dalam serangan balasan kaum reformis terhadap aliansi di kalangan mahasiswa yang terdidik secara Belanda (Al-Chaidar. 1999: 9).

Terbentuknya JIB dianggap sebagian kalangan sebagai perpecahan persatuan pemuda. Padahal saat itu orang sedang mengusahakan persatuan. Anggota JIB menolak tuduhan itu dan membela diri menghadapi argumen keindonesiaan. P ara anggota JIB merasa memperjuangkan persatuan nasional

walaupun dengan dasar Islam, karena itu orientasinya Indonesia. Selain itu, para aktivis JIB tidak menganggap sebagai pesaing perhimpunan-perhimpunan pemuda walaupun dengan dasar Islam, karena itu orientasinya Indonesia. Selain itu, para aktivis JIB tidak menganggap sebagai pesaing perhimpunan-perhimpunan pemuda

Perhimpunan ini terbuka untuk semua orang Islam Indonesia yang berumur tidak lebih dari tiga puluh tahun baik pelajar maupun orang yang sudah

tamat belajar (A. K P ringgodigdo. t. t: 506). JIB kemudian mengadakan suatu propaganda perluasan anggota dengan cara menghubungi murid-murid MULO dan AMS yang bersimpati. Di Jakarta, sejumlah formulir keanggotaan diedarkan, di luar dugaan 200 pemuda Islam, baik pelajar MULO maupun AMS ataupun tamatan sekolah-sekolah tersebut yang sudah bekerja, menyatakan bersedia menjadi anggota JIB (Ridwan Saidi. 1990: 13). Dalam waktu yang relatif singkat, jumlah anggota sudah meluas sehingga pada tanggal 8 Februari 1925 diadakan pertemuan pertama di Jakarta (semacam rapat terbuka). Efek dari pertemuan tersebut sedemikian besar dan luasnya, sehingga menimbulkan kekhawatiran dari sementara organisasi-organisasi kedaerahan, dan pers Belanda yang tergabung dalam In heemse p ers. Tuduhan yang dilontarkan pers Belanda pada JIB adalah JIB sebagai organisasi politik yang mau memperjuangkan kemerdekaan nasional. Dari tuduhan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kata kemerdekaan nasional masih dihindari, karena pemerintah kolonial Belanda sangat ketat dalam mengawasi organisasi pemuda yang mempunyai arah dan tujuan kemerdekaan

nasional (Ridwan Saidi. 1990: 24). Anggota JIB yang berasal dari Jong Java ternyata banyak yang tidak melepaskan keanggotaan Jong Java-nya. Hal tersebut menampik adanya anggapan dari sebagian kalangan bahwa dengan kemunculan JIB tersebut sebagai perpecahan persatuan pemuda. Sementara itu, orang Belanda tidak hanya menyesalkan bahkan menilai sangat negatif atas kehadiran JIB. Hal ini segaris dengan prasangka yang biasa menandai sikap Barat terhadap Timur. Bagi orang Barat, Islam dianggap sebagai masalah yang berbahaya sehingga dipandang dengan penuh curiga dan prasangka. Bahkan Snouck Hurgronje yang di kalangan non-Islam Barat merupakan pakar Islam dan bisa bercerita banyak tentang

kebaikan Islam, mendukung politik yang secara sadar ditujukan untuk kebaikan Islam, mendukung politik yang secara sadar ditujukan untuk

JIB mulai melakukan perekrutan anggota dan kampanye-kampanye setelah resmi terbentuk. Kampanye pertama dilaksanakan pada 8 Februari 1925 di Batavia. Kampanye itu berhasil menarik anggota sebanyak 250 orang. Kampanye

dan perluasan tersebut berlangsung sampai dengan bulan Juni 1925. Kampanye dilanjutkan di Yogyakarta, Surakarta dan Madiun. Dengan usaha keras itu, akhir tahun 1925 JIB memiliki sekitar 1000 orang anggota ditujuh cabang, yaitu di Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Bandung, Magelang dan Surabaya. Cabang Batavia dan Bandung sudah mempunyai bagian untuk kaum wanita. Cabang Bandung diketuai oleh Wiwoho Purbohadidjojo, ketua Bond Inlan dsche Stud eerend en (BIS) (Darmansyah, dkk. 2006: 15-16). Sedangkan cabang Surabaya dan Magelang berdiri pada bulan November pada tahun itu juga atas inisiatif pelajar-pelajar setempat yang selama ini melakukan kegiatan yang sejalan dengan tujuan JIB (Ridwan Saidi. 1990: 26).

Hanya seminggu setelah pertemuan di Jakarta, maka pada tanggal 15 Februari 1925 di Yogyakarta diadakan rapat terbuka dan pada saat bersamaan juga berdiri cabang Solo dan Madiun. Sampai dengan saat tersebut JIB telah mempunyai empat cabang dan dipandang perlu untuk mendirikan pengurus pusat dengan maksud untuk lebih mengefektifkan perkembangan organisasi yang berkedudukan sementara di Jakarta. Melalui perundingan keempat cabang tersebut maka dibentuk pengurus pusat dengan susunan sebagai berikut: Ketua

: R. Sjamsoeridjal Wakil Ketua : Wiwoho P urbohadidjojo Sekretaris I : Syahbuddin Latief Sekretaris II : Hoesin Bendahara I : Soetijono Bendahara II : So’eb Komisaris

: 1. Moegni

2. Thoib

3. Soewardi

4. Sjamsoeddin

5. Soetan Pelindih

6. Kasman Singodimedjo

7. Mohammad Kusban

8. Soegeng

9. H. Hasim (Ridwan Saidi. 1990: 25).

Kampanye-kampanye perluasan organisasi kembali diadakan setelah kepengurusan pusat terbentuk dengan jalan menugaskan beberapa pengurus untuk memperluas pengaruh dan memberikan ceramah pada cabang-cabang yang baru berdiri. Untusan-utusan tersebut terdiri dari Sjahboeddin Latief ke Yogyakarta dan Madiun, Mohammad Koesban ke Solo, Kasman Singodimedjo ke P oerworedjo dan Kutoredjo. Sementara itu Sjam bersama penasehat JIB, H. Agus Salim ke Bandung untuk membentuk JIB di kota tersebut. Kampanye dan perluasan tersebut berlangsung sampai dengan bulan Juni 1925. Sedangkan cabang Surabaya dan Magelang berdiri pada bulan November 1925 atas inisiatif pelajar- pelajar setempat yang selama ini melakukan kegiatan yang sejalan dengan tujuan JIB (Ridwan Saidi. 1990: 25-26).

Pada tanggal 15 November 1925 di Gedung Lux Orientis dilangsungkan pertemuan tokoh-tokoh organisasi pemuda untuk membentuk pengurus Kongres Pemuda Pertama, pada saat itu JIB sedang melakukan konsolidasi dan belum

mempunyai pengurus yang difinitif. Yang menjadi penggagas pertemuan tersebut adalah Mohammmad Tabrani, anggota Jong Java cabang Jakarta yang bekerja sebagai wartawan Hin dia Baro e pimpinan H. Agus Salim, penasehat JIB. Pertemuan itu dihadiri oleh Mohammad Tabrani, Soemarto dan Soewarso (Jong Java). Jong Sumatranen Bond diwakili oleh Bahder Djohan, Djamaluddin dan Sanoesi Pane. JIB sangat antusias untuk mengikuti kegiatan tersebut, sayangnya saat itu JIB belum mempunyai pengurus yang definitif pilihan kongres sehingga tidak dapat mengirimkan wakilnya. Pertemuan di Gedung Lux Orientis tersebut menghasilkan keputusan tentang waktu, tempat dan ketua kongres. Sebagai ketua kongres pemuda pertama adalah Mohammad Tabrani. Untuk mensukseskan

kegiatan kongres, Tabrani mendatangi semua organisasi pemuda termasuk JI.

Tabrani menemui Wiwoho P urbohadidjojo, wakil ketua JIB dan mengundang JIB untuk turut serta dalam pertemuan antar organisasi pemuda tersebut. Dimana dalam pertemuan tersebut diharapkan dapat dibentuk wadah baru sebagai tempat perkumpulan seluruh pemuda Indonesia. Bagi JIB ajakan tersebut tidak memberatkan sama sekali (Darmansyah, dkk. 2006: 16).

Perkembangan JIB pada periode ini juga semakin pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari penyelenggaraan kongres dari tahun ke tahun secara teratur yang diselenggarakan oleh JIB. Salah satu usaha konsolidasi organisasi adalah penyempurnaan Anggaran Dasar/Anggaran dan Rumah Tangga (AD/ART) melalui kongres yang diadakan berturut-turut di Yogyakarta (1925), Solo (1926), Yogyakarta (1927), dan Bandung (1928). Keputusan kongres di Bandung mengenai AD/ART dipertahankan sampai bubarnya JIB ketika tentara Jepang masuk. Aktivitas JIB sendiri dari tahun ke tahun dapat diikuti melalui laporan kongres yang telah dilaksanakan (Ridwan Saidi. 1990: 22).

Gedung Lux Orientis, JIB menyelenggarakan kongres pertama. Berdasarkan keputusan rapat, kongres dilaksanakan pada tanggal 25-27 Desember 1925 bertempat di Jayengprakosan, Yogyakarta. Kongres dihadiri undangan yang mencapai 47 macam organisasi pergerakan di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 17). Pada kongres pertama tersebut JIB telah mempunyai anggota 1000 orang yang dibagi atas 7 cabang. Cabang Jakarta dan Bandung mempunyai bagian gadis (A. K. Pringgodigdo. 1994: 121). Kongres juga dihadiri oleh H. O. S. Tjokroaminoto, Agus Salim dan Surjopranoto dari Sarekat Islam turut menghadirinya. Selain itu juga hadir Dwidjosewojo dari Budi Utomo dan Suwardi Suryaningrat, pendiri Taman Siswa. Sementara itu, organisasi Muhammadiyah diwakili oleh H. Fachrudin (Cahyo Budi Utomo. 1995: 125).

Sebulan setelah

pertemuan

di

Pengurus pusat kemudian dipindahkan ke Yogyakarta setelah cabang Bandung dibentuk pada bulan Juni 1925. Akibatnya banyak anggota pengurus pusat yang tidak bisa ikut pindah, sehingga pengurus pusat mengalami perubahan

sebagai berikut:

Ketua : R. Sjamsoeridjal Wakil Ketua : Wiwoho P urbohadidjojo Sekretaris

: dirangkap oleh tim ketua Bendahara : P. Hadisuwignjo Seksi Usaha : Muhammad Koesban

Anggota : 1. Sjahboeddin Latief

2. R. Kasman Singodimedjo

3. Soegeng

4. H. Hasjim

5. Puspo Soekardjo

6. Mohammad Sapari

Dengan berdirinya pengurus pusat di Yogyakarta, maka cabang Jakarta berdiri dengan ketua Soetiono, mantan bendahara pengurus pusat sebelum pindah ke Yogyakarta. Sampai saat itu cabang Jakarta adalah cabang terbesar dari segi jumlah anggota, cabang ini senantiasa mendapat bimbingan dari H. Agus Salim (Ridwan Saidi. 1990: 26).

Dalam kongres pertama tersebut juga disepakati tujuan dari organisasi JIB sebagai berikut:

a. Mempelajari dan mendorong hidupnya kembali agama Islam;

b. Memupuk dan menumbuhkan simpati terhadap pemeluk agama Islam dan pengikutnya di samping toleransi terhadap golongan lain;

c. Menyelenggarakan kursus-kursus agama Islam, darmawisata, olah raga dan seni dengan menggunakan agama Islam sebagai alatnya;

d. Meningkatkan kemajuan jasmani dan rohani anggotanya dengan jalan menahan diri dan sabar (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 35). Sebagai organisasi yang memiliki tujuan-tujuan seperti di atas maka melalui kongresnya yang pertama tersebut JIB lebih menekankan kegiatan-kegiatannya pada studi Islam sebagai langkah utama untuk menaati peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran Islam (Iin Nur Insaniwati. 2002: 18).

JIB dalam pergerakannya merupakan organisasi yang tidak melakukan kegiatan politik. Hal tersebut tampak pada tujuan organisasi JIB dalam kongres pertamanya dan pidato Sjamsoeridjal mengenai sikap JIB terhadap politik:

...Pada kursus-kursus, cerama-ceramah dan debat-debat yang kami selenggarakan,

mungkin meningkatkan pengertian tentang politik, terutama dari sudut Islam. Tetapi JIB tidak

akan

diusahakan sejauh

akan ikut aksi politik. Anggota-anggota kami pun tidak akan terjun dalam dalam bidang politik atas nama organisasi. Tetapi JIB tidak melarang para anggotanya yang secara sah dapat ikut dalam gelanggang

politik... (Ridwan Saidi. 1990: 17).

Setelah diadakan kongres pertama tersebut JIB mengaharuskan para anggotanya untuk mempelajari dan mengkaji ajaran-ajaran Islam. Islam sekarang dianggap lebih dari sekedar bahasa solidaritas sosial, dianggap menjadi landasan kerja bagi aksi sosial-politik. Dengan pengalamannya menyaksikan perbenturan wacana antara para intelektual Muslim dan sekuler dari generasi yang lebih tua, para pelajar ini menemukan suatu model bagi perumusan ideologi mereka (Yudi Latif. 2005: 308). Namun perlu diingat bahwa gagasan tentang solidaritas Islam bagi

para anggota JIB tidak bertentangan dengan ide mengenai solidaritas nasional dan tidak mengurangi keterikatan mereka pada tujuan pembentukan kelompok

nasional. Jadi, solidaritas Islam dalam konteks ini disuarakan sebagai sebuah cara untuk mendukung ide mengenai identitas kolektif di tengah-tengah persaingan ideologi politik di antara beragam aliran intelektual. Menurut Mohammad Roem, dalam menjadi seorang Muslim, seseorang harus mencintai tanah airnya karena hal ini merupakan bagian hakiki dari keyakinan Islam (Mohamad Roem dan Kustiniyati Mochtar. 1989: 131).

JIB membangun dua prasarana yang kelak mempunyai nilai strategis dalam pembinaan generasi, yaitu dengan menerbitkan majalah Al-Nur atau Het Lich t sebagai majalah cendekiawan Islam pertama di Indonesia pada bulan Maret 1925 dan mendirikan Nation al Ind onesische Padvin derij (NATIPIJ) sebagai organisasi pandu nasional Indonesia (Ridwan Saidi. 1990: 19). Selain itu, JIB juga mempunyai bagian wanita yaitu Jon g Islamieten Bond Dames Afdeelin g (JIBDA) (A. K P ringgodigdo. t. t: 506). Kursus-kursus agama Islam segera menjadi salah JIB membangun dua prasarana yang kelak mempunyai nilai strategis dalam pembinaan generasi, yaitu dengan menerbitkan majalah Al-Nur atau Het Lich t sebagai majalah cendekiawan Islam pertama di Indonesia pada bulan Maret 1925 dan mendirikan Nation al Ind onesische Padvin derij (NATIPIJ) sebagai organisasi pandu nasional Indonesia (Ridwan Saidi. 1990: 19). Selain itu, JIB juga mempunyai bagian wanita yaitu Jon g Islamieten Bond Dames Afdeelin g (JIBDA) (A. K P ringgodigdo. t. t: 506). Kursus-kursus agama Islam segera menjadi salah

Het Licht mulai diterbitkan sejak bulan Maret 1925, dua bulan setelah JIB didirikan. Majalah ini menjadi media komunikasi yang sangat efektif, bukan hanya untuk kalangan anggota JIB saja tetapi juga di luar JIB. Het Licht terbit

secara teratur sampai tahun 1931 dan masih bertahan terus sampai dibubarkannya JIB oleh tentara penduduk Jepang pada tahun 1942. Ide kelahiran Het Lich t sebenarnya dimulai pada tangal 21-22 Februari 1925, pada suatu malam di bawah sinar lampu minyak yang remang-remang di sebuah gedung sekolah Adhi Darmo Yogyakarta oleh Soeryopranoto, Tjokro Aminoto, Mohammad Koesban, H. Hasim dan Soegeng. Tujuan diterbitkannya majalah JIB tersebut adalah untuk menyebar luaskan ide dan gagasan JIB, tidak saja dikalangan angota tetapi juga untuk kaum intelek Indonesia lain yang masih menuntut ilmu di sekolah. Fokus utama dari majalah ini adalah kaum pelajar. Majalah JIB ini dicetak pada percetakan Muhammadiyah Yogyakarta dan dibagikan secara cuma-cuma untuk para anggota dan penasehat JIB. Sebagian lagi dijual kepada umum (Ridwan Saidi. 1990: 27).

Haji Agus Salim dalam kongres pertama JIB tersebut menyatakan bahwa Sebenarnya JIB merupakan terlaksananya idaman hati Haji Agus Salim. Bantuan dan dukungannya kepada JIB semata-mata sebagai kewajiban orang Islam yang

sanggup membantu kaumnya. Di samping itu Haji Agus Salim juga sangat bersyukur dengan lahirnya JIB karena sudah menjadi bukti kemajuan kebebasan dari para anggotanya. Dipujinya JIB karena berorientasi kepada kepribadian dan jiwa bangsa sendiri yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang dianggap oleh Haji Agus Salim sebagai keluar biasaan dari JIB (Mukayat. 1985: 49).

Dua kongres berikutnya (Desember 1926 dan 1927) membicarakan hal- hal yang bertalian dengan agama Islam antara lain Islam dan pandangan dunia, perkembangan Islam di luar negeri, Islam dan pikiran merdeka, ethik perang

dalam Islam, Islam dan cita-cita persatuan, kebangsaan dan sosialisme, perempuan dalam Islam dan lainnya. Mengenai poligami yang ditentang oleh dalam Islam, Islam dan cita-cita persatuan, kebangsaan dan sosialisme, perempuan dalam Islam dan lainnya. Mengenai poligami yang ditentang oleh

Kongres ke-2 diadakan di Surakarta pada tanggal 24-26 Desember 1926. Dalam kongres itu terlihat sekali sekali arah JIB yang ingin mendorong anggota- anggotanya agar mempelajari agama Islam sesuai dengan asas dan tujuan

organisasi. Sementara itu pada kongresnya yang ke-3, yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 23-27 Desember 1927, tema yang menonjol dalam ceramah-ceramahnya adalah mengenai permasalahan umum yang dihadapi umat Islam. Termasuk di dalam hal ini cita-cita persatuan dan nasionalisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa JIB, sekalipun merupakan organisasi yang berdasarkan pada suatu agama, tetapi dapat berasimilasi secara ideologis dengan organisasi pergerakan yang ada pada saat itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 125). Dalam penutupan kongres ketiga tersebut ketua Wiwoho menerangkan bahwa JIB tidak dapat ikut dalam fusi yang diusulkan P PP I, yaitu Indonesia Muda, karena JIB hendak tetap berdasarkan agama Islam. Ini tidak berarti bahwa JIB tidak mendukung cita-cita Indonesia Raya. Pidato-pidato dalam kongres ke-4 (Desember 1936) juga menyatakan hal itu (cinta tanah air dan bangsa dalam Islam, Islam dan kemajuan, agama dan politik) (A. K Pringgodigdo. t. t: 506).

Pada kongres ke-4 JIB di Bandung, 22-25 Desember 1928, dibahas secara khusus tentang nasionalisme (Darmansyah, dkk. 2006: 52). Salah seorang

aktivis JIB Bandung Mohammad Natsir dikemudian hari menjadi perdana menteri RI (Darmansyah, dkk. 2006: 16). Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh JIB yang paling vokal. Di samping mengasah pemikiran tentang hal-hal politik dan ideologi, termasuk nasionalisme menurut Islam melalui kegiatan diskusi dan debat. Di lingkungan JIB, Natsir juga memberi ceramah dan pelajaran agama Islam dan itu disampaikan dalam bahasa Belanda agar mendapat perhatian dari para pemuda-pemudi yang merasa dirinya kaum intelektual dan kaum terpelajar (Jan S. Aritonang. 2005: 182). Mohammad Natsir mulai aktif dalam JIB sejak menjadi siswa MULO di Padang dan kemudian diteruskannya di AMS Bandung. Aktivitas dalam JIB menjadi sangat penting karena dua hal, yaitu pertama, JIB

telah menjadi suatu perkumpulan yang mempunyai ikatan tersendiri bagi pemuda- telah menjadi suatu perkumpulan yang mempunyai ikatan tersendiri bagi pemuda-

Tujuan JIB didirikan adalah untuk memajukan pengetahuan tentang Islam, hidup secara Islam dan persaudaraan secara Islam (Jan S. Aritonang. 2005:

181). Selain itu, pendirian JIB juga bertujuan untuk memperkuat persatuan di kalangan pemuda muslimin. Keanggotaannya terbuka bagi para pemuda Islam yang berumur antara 14-30 tahun. Walaupun ada pembatasan umur, organisasi yang dibentuk itu tidak hanya terbatas bagi para pelajar saja, tetapi juga bagi mereka yang sudah menyelesaikan sekolah. Secara formal organisasi ini tidak bergerak dalam bidang politik, tetapi anggotanya yang telah berumur 18 tahun ke atas diperbolehkan mengikuti kegiatan-kegiatan politik (Cahyo Budi Utomo. 1995: 124). Sedangkan tujuan JIB yang menyangkut masalah wanita yaitu JIB harus memperhatikan pembinaan remaja putri dan kaum wanita umumnya di lingkungan kaum intelek. JIB sangat menaruh perhatian pada persamaan hak dan kewajiban di antara kaum laki-laki dengan wanita, sesuai dengan ajaran Islam. Pandangan tentang wanita sangat ditekankan mengingat kondisi kaum wanita pada saat itu (tahun duapuluhan) sangat direndahkan. Dikemudian hari aktivitas JIB bagian putri dititik beratkan pada yang terakhir ini, melalui usaha-usaha penyadaran dengan jalan kursus dan tablig. Sasaran utama mereka adalah

pencegahan pernikahan di bawah usia 14 tahun. Dikemukakan oleh Sjam bahwa JIB akan mengebangkan organisasi putri sejalan dengan aktivitas anggota pria (Ridwan Saidi. 1990: 22-23).

Disela-sela aktivitas JIB yang demikian pesatnya, di luar sedang bergelora semangat kebangsaan dan suasana pergerakan politik ketika itu mengarah pada persatuan bangsa. Sumbangan JIB dalam mendorong organisasi pemuda agar bersatu, tidaklah sedikit. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa lahirnya JIB telah menimbulkan kegelisahan di kalangan organisasi pemuda kedaerahan, karena JIB mampu mempersatukan berbagai pemuda dari

semua lapisan dan asal kesukuan serta cabang-cabangnya telah dibuka di luar Jawa, seperti Sumatra, Sulawesi dan kepulauan lainnya (Ridwan Saidi. 1990: 28).

Dalam perkembangan pergerakan JIB selanjutnya, komitmen JIB untuk menjalin persatuan dengan organisasi pemuda lain ditunjukkan dengan keikutsertaan JIB dalam Kongres P emuda P ertama yang dilaksanakan pada tanggal 30 April-2 Mei 1926. Pada Kongres P emuda Pertama tersebut JIB diwakili oleh Emma Poeradiredja, ketua JIB Dames Afdelling cabang Bandung (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 321). Pada kesempatan tersebut JIB berupaya untuk menunjukkan gagasan persatuan pergerakan pemuda. Hal ini sesuai dengan tujuan Kongres Pemuda Pertama untuk menggugah semangat kerjasama di antara berbagai macam organisasi pemuda pelajar di Indonesia supaya dapat diwujudkan pokok-pokok untuk lahirnya persatuan Indonesia di tengah bangsa-bangsa di dunia (Darmansyah, dkk. 2006: 20). Kongres ini tidak diakui oleh organisasi pemuda yang ada dengan berbagai alasan. Salah satu alasan penolakan tersebut adalah kepanitiaannya dilakukan individu-individu yang latar belakang organisasinya tidak begitu kuat dan jelas. Sementara itu bahasa yang digunakan sebagai pengantar selama rapat-rapat adalah bahasa Belanda (Koentjara Purbopranoto. 1987: 314).

Perdebatan tentang fusi dan federasi terus berlangsung setelah Kongres Pemuda P ertama. Masing-masing pihak mempertahankan pendapat dan keinginannya. Atas inisiatif Jong Java maka pada tanggal 15 Agustus 1926 diadakan Na tional Co nferentie di Jakarta yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Jo ng Ja va , Jon g Sumatranen Bond, S ek ar Roekoen, Jo ng Bataks Bond, Jo ng Minahasa, Vereenig ing voor Ambo nsche S tudeerenden, Jon g Islamieten Bon d cabang Jakarta dan Komite Kongres P emuda Pertama. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan untuk membentuk sebuah organisasi tetap, Jong Ind on esia (P emuda Indonesia), yang akan mendampingi organisasi pemuda yang ada dengan tujuan ”Memajukan dan membuktikan Ind on esische eenheid ag ed achte, menguatkan ikatan persatuan antara perkumpulan-perkumpulan pemuda” (Sek a r Roek oen. No. 4. April 1929 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 21).

Adanya ketidaksepakatan di kalangan pemuda menghalangi lahirnya Jong Indonesia. Dalam rapat tanggal 20 Februari 1927 yang dihadiri oleh Jo ng

Ja va , Jon g Sumatranen Bond, S ek ar Roekoen, Jo ng Bataks Bond, Jo ng Minahasa,

Jo ng Ambo n, Jo ng Islamieten Bond dan P PP I mengemukakan beberapa pendapat. Fusi ternyata lebih dikehendaki daripada badan kotak seperti yang diputuskan dalam rapat 15 Agustus 1926. Badan kontak hanya akan mendekatkan para pemimpin perkumpulan pemuda dan tidak organisasi secara keseluruhan (Darmansyah, dkk. 2006: 21). Dengan diputuskannya cita-cita persatuan Indonesia sebagai cita-cita bersama dan kemerdekaan Indonesia maka banyak perkumpulan yang menentang JIB ikut serta dalam badan kontak karena JIB dalam pergerakannya hanya dianggap berdasarkan agama.

Untuk memasyarakatkan gagasan persatuan di kalangan JIB maka pada Kongres ke-3 JIB yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 23-27 Desember 1927, gagasan persatuan dibahas secara khusus. Dalam kongres JIB menyatakan sikap akan tetap konsisten dalam perjuangan bangsa, tetapi JIB tetap tidak akan fusi dengan organisasi pemuda lain yang tidak seasas (Islam) (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 231).

JIB merupakan pendukung cita-cita persatuan Indonesia sehingga tidak mengherankan jika JIB ikut mengirim utusan ke dalam panitia Kongres Pemuda II di Jakarta pada Agustus 1928 (Ridwan Saidi. 1990: 5). Karena disadari betapa pentingnya pelaksanaan Kongres Pemuda II, peserta pertemuan sepakat bahwa pelaksanaan kongres akan diadakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928 (Darmansyah, dkk. 2006: 24). Johan Mohammad Tjaja sebagai wakil dari JIB ikut menandatangani naskah Sumpah Pemuda yang dirumuskan pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sinilah kelebihan JIB, karena JIB mampu memadukan pemikiran Islam dan nasionalisme dalam satu bentuk yang sangat dinamis. Selain melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan yang diadakan oleh kelompok nasionalis, JIB juga aktif dalam berbagai wadah keislaman (Ridwan Saidi. 1990: 5). Dalam kesempatan Kongres P emuda II tersebut Ma’mun Ar- Rasjid dari JIB menyampaikan pidato pembukaan yang menyatakan akan berusaha mempersatukan dan menumbuhkan cinta tanah air. Wakil JIB lainnya, Emma P uradiredja menyatakan simpatinya terhadap kongres dan menganjurkan

kepada kaum wanita untuk turut aktif dalam pergerakan, tidak hanya bicara, tetapi harus dengan perbuatan (Darmansyah, dkk. 2006: 28-29).

Salah satu keistemewaan dari Kongres P emuda II adalah bahwa pada setiap ceramah akan digunakan bahasa pengantar dari bahasa sendiri. Jadi tidak menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda sebagaimana yang dilakukan pada kongres yang pertama dulu. Peristiwa itu menjadi istimewa karena pada waktu itu bahasa Belanda masih digunakan sebagai bahasa pengantar. Oleh karena itu, dengan digunakannya bahasa sendiri (bahasa Melayu) selain menunjukkan adanya keberanian dari para pemuda pada waktu itu untuk tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, juga menunjukkan keinginan untuk mengangkat bahasa sendiri sebagai bahasa pengantar dalam aktivitas kehidupan bangsa Indonesia pada waktu itu (Cahyo Budi Utomo. 1995: 142).

Masalah yang menjadi pembicaraan setelah Kongres Pemuda II adalah masalah fusi dan federasi di antara organisasi-organisasi pemuda pergerakan. Sebagian organisasi menghendaki fusi sedangkan sebagian lagi menghendaki federasi. Kelompok yang mempelopori fusi dimotori oleh mahasiswa Rechtshoogeschool yang tergabung dalam Perhimpu na n Pelajar-pela jar In do nesia (P PPI). Sedangkan kelompok yang menginginkan federasi dimotori oleh JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 32). P asca Kongres Pemuda Kedua setidaknya terdapat 3 organisasi pemuda yang menyetujui diadakannya fusi, yaitu Jong Java, Jong Sumatranen Bond dan P emuda Indonesia yang kemudian ketiga organisasi tersebut tergabung dalam suatu fusi, yaitu In do nesia Mu da (IM). Menanggapi

masalah fusi tersebut JIB tetap berpegang pada hasil Kongres ke-3 JIB di Yogyakarta, “Fusi dan pandangan Indonesia tidak lagi menjadi persoalan, kesatuan Indonesia sebaiknya dicapai dengan cara Islam“ (Darmansyah, dkk. 2006: 33).

JIB adalah organisasi pertama kali yang mencetuskan pandangan kesatuan Indonesia. Hal ini terbukti dari cabang-cabang di luar Jawa, kerjasama persaudaraan antara orang Jawa, Minangkabau, Palembang dan lainnya dalam organisasi JIB. Baik memiliki hak dan kewajiban yang sama, semuanya demi kemajuan seluruh umat Islam Indonesia. Dalam gerakan pemuda, pertentangan semakin mengarah pada konflik antara organisasi-oganisasi pemuda nasionalis di

satu sisi dan JIB di sisi lain. Kelompok P emuda Indonesia terdiri dari

Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda dan organisasi pelajar yang lebih kuat, PPP I di Hindia-Belanda. Para tokoh organisasi-oganisasi pemuda nasionalis antara lain tokoh P NI, Mr. Sartono dan Sunario. Tokoh-tokoh organisasi tersebut hanya berpandangan nasionalis Indonesia dan secara resmi netral terhadap Islam atau bahkan memusuhi seperti para tokoh nasionalis P NI. Pemuda Indonesia pada saat itu masih didominasi oleh orang Jawa dalam kepemimpinannya. Ideologi yang menjadi landasan aksinya sangat khas Jawa (Darmansyah, dkk. 2006: 38).

Pergerakan JIB didasarkan atas unsur Muslim dan nasionalis Indonesia namun atas dasar Islam. Dasar pandangan agama telah memberi kepastian prinsip seperti P emuda Indonesia dengan ideologi nasionalisnya yang kuat. Karenanya mereka sangat bertentangan dengan semboyan pada masa itu. Kenyataan bahwa organisasi ini telah mempunyai pengurus untuk 5 tahun yang sama juga sangat berguna bagi kepastian prinsip mereka. Meskipun kepemimpinan arah dikuasai oleh orang Jawa (Wiwoho sebagai ketua, Sugeng sebagai sekretaris, Sjamsoeridjal sebagai bendahara), suku lain (Minangkabau, Bengkulu) juga memainkan peranan yang jauh lebih besar dalam organisasi JIB daripada yang terjadi dengan Pemuda Indonesia. Adanya ikatan agama dalam JIB mengakibatkan ikatan persaudaraan yang jauh lebih luas daripada perjuangan kesatuan nasional. Mungkin hal ini juga pengaruh dari tokoh Minangkabau, Agus Salim, yang tampil sebagai penasihat ikut membantu dalam hal ini (Darmansyah, dkk. 2006: 39).

Sikap JIB terhadap Indonesia Muda disesuaikan dengan pasal 2 Anggaran Dasar JIB pasal 2 b tentang maksud JIB, Berdaya upaya, menerbitkan, mendidik dan memajukan perasaan

keislaman di antara anggota-anggotanya dan mengadakan dan mengekalkan perasaan persaudaraan dengan pemeluknya, sambil bersikap sabar, menurut faham Islam terhadap orang-orang yang berkeyakinan lain (Het Licht. No. 1. Maret 1930: 3 dalam Darmansyah, dkk. 2006: 39).

JIB hanya mendukung fusi atas dasar Islam, jiwa yang lunak dan setia pada kongres serikat ini yang berhasil nampak di sini adalah pernyataan suka dibandingkan sikap benci dari kaum nasionalis ekstrim. P enolakan dari kubu nasionalis P NI dan setiap usaha JIB digunakan sebagai pembiakan bibit bagi JIB hanya mendukung fusi atas dasar Islam, jiwa yang lunak dan setia pada kongres serikat ini yang berhasil nampak di sini adalah pernyataan suka dibandingkan sikap benci dari kaum nasionalis ekstrim. P enolakan dari kubu nasionalis P NI dan setiap usaha JIB digunakan sebagai pembiakan bibit bagi

Perkembangan JIB pada tahun 1928 cukup pesat. Pada tahun 1928 berdiri cabang Semarang, Tegal, Pekalongan, Banjarmasin, Makasar dan Palembang. Cabang Medan yang telah dibubarkan kembali dibentuk. Jumlah keseluruhan cabang mencapai 20 cabang dengan jumlah anggota sekitar 2.000 orang. Jumlah itu setara dengan jumlah Jong Java, perkumpulan pemuda tertua dan terbesar. Berkat kegiatan JIB dalam Islam S tu die Club maka banyak cendekiawan Muslim muda yang tercegah meluncur jauh dari ajaran-ajaran Islam, sementara mereka tetap tekun menuntut ilmu pegetahuan (Darmansyah, dkk. 2006: 23).

2. Masa Perkembangan Pergerakan Jong Islamieten Bond JIB sebagai sebuah organisasi pemuda pelajar Islam berusaha menghimpun seluruh pemuda pelajar Islam dalam organisasinya. Dalam usahanya

tersebut JIB mengalami proses dari organisasi pelajar yang kecil menjadi organisasi pelajar yang besar. Pada masa kepemimpinan Kasman Singodimedjo (1929-1935), JIB mengalami dua hal penting dalam catatan sejarah suatu organisasi yaitu masa kejayaan dan mulai menapaki masa surutnya.

Pada awal masa kepengurusan Kasman hasil dari kongres ke-5 JIB pada tahun 1929, kondisi organisasi JIB sudah mapan, baik intern maupun ekstern. Oleh karena itu, tugas yang paling penting menurut Kasman adalah bagaimana organisasi ini semakin berkembang. Atas usaha Kasman pada kongres ke-6 bulan Desember 1930 di Batavia (Jakarta) dilaporkan bahwa cabang JIB bertambah menjadi 34 cabang yang tersebar di lima pulau yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan,

Sulawesi dan Bali. Kasman juga berhasil menetapkan status JIB Dames Afd eling (JIBDA) yaitu JIB bagian wanita (Darmansyah, dkk. 2006: 68).

Tahun tiga puluhan JIB tetap menjauhkan diri dari panggung politik. Berbeda dengan Indonesia Muda yang membiarkan dirinya terilhami politik seperti PNI Baru dan Partindo (Darmansyah, dkk. 2006: 41). Meskipun demikian

JIB tetap bercita-cita untuk mencapai Indonesia merdeka dan memiliki jiwa kebangsaan, terbukti dalam pidato yang diberikan dalam kongres ke-6 pada tanggal 24-28 Desember 1930 di Jakarta yang berisikan tentang cinta tanah air dan bangsa dalam Islam. Ceramah-ceramah lain dalam kongres tersebut adalah tentang Islam dan kemajuan agama oleh H. Agus Salim. Usaha yang dipentingkan adalah agar kaum intelek tetap memeluk agama Islam. Di dalam gerakan pemuda Islam JIB sering menjadi organisasi penggerak (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2006: 97).

Melihat kinerja Kasman yang berhasil meluaskan keanggotaan JIB, maka pada kongres ke-7 di Madiun bulan Desember 1931, Kasman terpilih kembali sebagai ketua JIB. Selama satu tahun kepengurusannya berbagai kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan keputusan kongres, salah satunya adalah pendirian sekolah-sekolah HIS di cabang-cabang JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 69). Pada bulan Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS yang bertempat di Tegal dan di bulan November tahun itu juga dibuka lagi sekolah HIS di Tanah

Tinggi, Batavia. JIB bahkan merencanakan membangun percetakan (Ridwan Saidi. 1990: 31). Namun pada kongres tersebut Central Bestuu r (CB) NATIPIJ berkeinginan untuk melepaskan diri dari JIB. NATIPIJ yang pada waktu itu dipimpin oleh Mohammad Roem dan Azran sebagai sekretaris, mulai menyadari bahwa JIB tidak lagi menaruh perhatian pada kegiatan pelajar, sehingga para tokoh NATIP IJ tersebut berpendapat bahwa organisasi kepanduan sebaiknya berdiri sendiri, lepas kaitannya dengan organisasi apapun (Ridwan Saidi. 1990: 33).

Pada tahun 1932 JIB memasuki masa keemasannya dengan jumlah anggota mencapai 4.000 orang yang tersebar di 55 cabang. Hampir di seluruh

kepulauan yang tersebar di Indonesia bendera JIB berkibar, mulai dari Aceh kepulauan yang tersebar di Indonesia bendera JIB berkibar, mulai dari Aceh

Di balik kemajuan pesat yang dialami JIB, ternyata di dalam tubuh JIB itu menyimpan bara api konflik. Tedapat pemikiran baru bagi sebagian kalangan di JIB yang menganggap bahwa agama tidak dapat dijadikan sebagai sandaran dalam mencapai cita-cita (politik, kemerdekaan). Selain itu juga munculnya rasa ketidakpuasan karena JIB dianggap tidak tegas dan tidak menjalankan AD dan ART. Hal yang semakin memperuncing permasalahan adalah hilangnya rasa kebersamaan karena adanya persaingan yang tajam antara pengurus JIB dan pengurus bawahannya untuk memperebutkan kedudukan dalam organisasi (Darmansyah, dkk. 2006: 70).

Bibit-bibit perseteruan pun juga mulai muncul antara NATIPIJ dan JIB. Dalam NATIPIJ, Mohammad Roem berperan sebagai salah satu pemimpinnya. Kendati hubungan antara NATIP IJ dan JIB sangat erat, tetapi seiring dengan

berjalannya waktu, di antara keduanya terjadi perbedaan pendapat. JIB menghendaki agar NATIP IJ tunduk terhadap JIB sebab NATIPIJ adalah bagian dari JIB. Sementara itu, pada kongres ke-7 JIB di Malang, NATIPIJ berkeinginan memisahkkan diri dari JIB. Mohammad Roem (ketua NATIP IJ) dan Azran (Sekretaris NATIPIJ) memandang JIB sudah tidak mampu lagi membina NATIP IJ, karena kepemimpinannya sudah mulai lemah (Iin Nur Insaniwati. 2002: 18-19). Mereka mulai menyadari bahwa JIB tidak lagi menaruh perhatian pada kegiatan pelajar sehingga mereka berpendapat bahwa organisasi kepanduan seyogyanya independent, terlepas kaitannya dari organisasi apapun (Ridwan Saidi. 1990: 33). JIB mengemukakan alasannya dengan bersumber pada Anggaran

Dasar Jong Islamieten Bond (AD JIB) yang mengatakan bahwa NATIPIJ adalah Dasar Jong Islamieten Bond (AD JIB) yang mengatakan bahwa NATIPIJ adalah

Kongres ke-7 JIB menghasilkan keputusan NATIP IJ tidak boleh lepas dari JIB. P eserta kongres menyatakan, ”Langkah-langkah yang ditempuh

pengurus NATIPIJ dalam menggalang dukungan dari cabang-cabangnya agar NATIP IJ melepaskan diri dari JIB adalah tindakan tidak baik dan dapat memecah belah organisasi”. Sebagian dari anggota kongres menuntut agar pengurus NATIP IJ dipecat dari jabatannya. Namun, berdasarkan pertimbangan kebaikan organisasi dan pengurus NATIPIJ adalah kader-kader JIB juga, maka kongres akhirnya memutuskan untuk mema’afkan pengurus NATIP IJ dengan catatan tidak akan mengadakan lagi kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi cabang-cabang NATIP IJ agar lepas dari JIB. Namun di Jakarta, Mohammad Roem masih mengadakan aksi mempengaruhi cabang-cabang NATIP IJ. Ternyata kegiatan serupa dilakukan juga oleh pengurus NATIP IJ lainnya pada cabang-cabang yang berada di bawah pengaruh masing-masing tokoh NATIP IJ tersebut (Darmansyah, dkk. 2006: 72-73). P emikiran tersebut tidak dapat diterima oleh pemimpin JIB yang pada waktu itu dipegang oleh Kasman Singodimedjo dan karena pimpinan NATIP IJ bepegang keras pada pendirianya, maka pada tahun 1932 pimpinan JIB memecat pengurus NATIP IJ, salah satunya Mohammad Roem (Iin Nur

Insaniwati. 2002: 19). Konflik dalam tubuh JIB mengakibatkan pada kongres ke-8 bulan Juni 1933, Kasman secara formal menyangkal tuduhan terhadap Pengurus Besar JIB yang dianggap tidak menjalankan AD dan ART organisasi. Sebagai wujud nyata dari pembelaan itu, maka pada kongres terebut diputuskan untuk menghidupkan Badan Studi Organisasi. Di dalam kongres itu pula para peserta dengan tegas mendukung kebijaksanaan Kasman. Kepercayaan para peserta kongres itu menempatkan Kasman kembali memimpin organisasi JIB untuk periode satu tahun berikutnya (Darmansyah, dkk. 2006: 71). Setelah masalah NATIPIJ dianggap selesai, bukan berarti konflik dalam tubuh JIB mereda. Kenyataannya,

Pengurus Besar JIB tetap kewalahan menangkal terpaan isu dan tuduhan serta Pengurus Besar JIB tetap kewalahan menangkal terpaan isu dan tuduhan serta

Keputusan untuk membentuk Badan Studi Organisasi bukan berarti segala rongrongan dan tindakan oposisi terhadap kepemimpinan Kasman berakhir. Namun figur seorang Kasman tetap dipercaya dan diterima di dalam organisasi.

Sehingga pada kongres ke-9 di Semarang bulan Oktober 1934, Kasman kembali terpilih menjadi ketua umum JIB dan baru tergantikan pada kongres JIB ke-10 yang diselenggarakan di Malang, tahun 1935. Figur ketua umum JIB pengganti Kasman adalah Nur Arifaini (Darmansyah, dkk. 2006: 71). Kasman Singodimedjo yang terpilih pada Kongres ke-5 JIB pada tahun 1929 menggantikan Wiwoho purbohadidjojo, menduduki jabatan ketua sampai kongres JIB ke-10 di Malang pada tahun 1935 (Ridwan Saidi. 1990: 32).

Di tengah konflik dalam tubuh JIB yang masih membara muncul tantangan dari luar organisasi dengan munculnya organisasi-organisasi saingan JIB, seperti Stud en ten Islam S tudieclub (SIS) yang berdiri pada bulan Desember 1934. SIS dipelopori oleh Jusuf Wibisono dan Mohammad Roem mantan tokoh JIB yang dipecat. Adanya serangan yang bertubi-tubi membuat JIB tidak bisa mencegah proses kemundurannya secara pelan-pelan. Apalagi setelah kedudukan Pengurus Besar JIB dipindahkan ke Semarang, kota yang jauh dari pusat aktivitas kalangan pergerakan pemuda pelajar. Dengan demikian, sejak tahun 1935 itulah

secara drastis organisasi JIB mulai menapaki masa surutnya (Darmansyah, dkk. 2006: 74).

3. Masa Akhir P ergerakan Jong Islamieten Bond Terdorong oleh perkembangan keadaan di luar dirinya, kegiatan JIB telah berkembang sedemikian lebar dan luas sehingga menimbulkan akibat sulitnya melakukan koordinasi. JIB tidak hanya mengkhususkan diri pada pembinaan pelajar dan mahasiswa, tetapi juga bergerak menjadi semacam organisasi sosial, sampai-sampai JIB mendirikan sekolah, badan usaha dan

percetakan. Hal ini dapat dimaklumi karena para pemimpin JIB semakin tua, bukan hanya dalam pengertian usia saja, tetapi juga dalam pemikiran dan bahkan

secara fisik banyak di antara para anggota JIB yang sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai pemuda dalam arti yang sebenarnya. Seperti diketahui bahwa JIB adalah oganisasi pemuda yang beranggotakan pelajar sekolah menengah dan mahasiswa. Klasifikasi keanggotaan yang demikian, menyulitkan pembatasan umur secara kongrit. Di samping itu jumlah anggota JIB yang berasal dari mahasiswa semakin surut dan JIB tidak lagi mengarahkan perhatiannya pada kegiatan membina intelektual. JIB lebih terpengaruh pada semangat kebangsaan yang sedang berkobar ditahun 30-an (Ridwan Saidi. 1990: 30-31). Selain itu adanya kepemimpinan yang dipimpin oleh orang yang sama selama beberapa periode kepemimpinan, lamanya pimpinan dalam satu tangan tidak saja melemahkan sistem pengkaderan organisasi, tetapi juga menyebabkan pemikiran pimpinan semakin mandeg. P ada tahun-tahun berikutnya perkembangan JIB mengalami kemunduran yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik intern dengan NATIPIJ dari JIB, kemudian menyusul lahirya S tu denten Islam Stu dieclub (SIS).

Menyangkut masalah keanggotaan JIB, tidaklah mengherankan jika JIB mendapat kritik dari berbagai kalangan yang menaruh perhatian pada pembinaan pelajar dan mahasiswa. Kritik yang keras datang dari pencetus JIB itu sendiri yakni Sjam dan kawan-kawannya, melalui majalah MUSTIKA yang terbit pada tahun 1931. Sjam menulis artikel yang mengecam keras kepengurusan Kasman Singodimedjo yang menurut pengamatannya menjadi sebab kemunduran JIB. Kasman Singodimedjo yang terpilih pada Kongres ke-5 JIB pada tahun 1929 menggantikan Wiwoho purbohadidjojo, menduduki jabatan ketua sampai kongres JIB ke-10 di Malang pada tahun 1935. Kasman yang lahir pada tanggal 25 Februari 1904, ketika meninggalkan kursi ketua pengurus pusat JIB telah berusia

31 tahun. Suatu usia yang cukup tua untuk memimpin organisasi pemuda pada waktu itu, karena tokoh-tokoh organisasi pemuda pada saat itu rata-rata berumur di bawah 30 tahun. Sebenarnya usia tersebut belum terlalu tua untuk ukuran organisasi seperti HMI maupun PMII (Ridwan Saidi. 1990: 32). Kritik lainnya

datang dari pengurus NATIP IJ yang menganggap kebijakan Kasman dalam pendirian sekolah HIS telah keluar dari rel organisasi. Atas nama pengurus

NATIP IJ, M. Azran dan Mohammad Roem berpendapat bahwa NATIPIJ sebagai wadah bagi pelajar-pelajar yang belum dewasa merasa tidak cocok dengan sikap JIB tersebut sehingga akan melepaskan diri dari organisasi JIB (Darmansyah, dkk. 2006 72).

Keterpurukan kondisi organisasi JIB yang telah terjadi pada masa kepemimpinan Kasman Singodimedjo mendorong JIB harus segera mengadakan

pembenahan di segala bidangnya. Setelah tahun 1935, JIB berusaha bangkit kembali. Pada saat kongres JIB ke-11 di Yogyakarta tahun 1938, Soenardjo Mangoenpoespito ketua JIB pada saat itu melaporkan adanya penambahan jumlah cabang, yang pada tahun 1935 tinggal 12 buah. P ada tahun 1941 menjadi tahun terakhir keberadaan JIB, jumlah cabang JIB meningkat menjadi 20 cabang, 14 cabang Nation al Islamitische Pad vind erij (NATIP IJ/Pandu Islam Nasional) dan 2 cabang Jon g Islamieten Bond Dames Afd eling (JIBDA/JIB bagian Keputrian). Walaupun belum menyamai banyaknya cabang seperti pada masa keemasannya, yaitu mencapai 55 cabang (Darmansyah, dkk. 2006: 74).

Untuk melakukan koreksi ke dalam, P engurus Besar JIB mengingatkan kepada pengurus dan anggota JIB semua untuk melaksanakan keputusan kongres ke-12 di P ekalongan pada bulan Oktober 1939. Keputusan kongres menurut Pengurus Besar JIB, ”Ucapan kita sendiri yang harus dilakukan dengan baik”. Berbagai usaha untuk mengembangkan kembali organisasi JIB dilakukan oleh pengurus JIB (Darmansyah, dkk. 2006: 76).

Figur kepemimpinan Kasman digantikan oleh M. Arifaini dan dalam periode Arif, tempat kedudukan pengurus pusat yang pada periode Kasman berkedudukan di Jakarta, dipindahkan ke Semarang dan terus di sana sampai dengan masuknya tentara pendudukan Jepang di tahun 1942. P emindahan tempat kedudukan pengurus pusat JIB dari Jakarta ke Semarang semakin memperlemah posisi JIB (Ridwan Saidi. 1990: 32).

Di dalam sebuah konferensi tahunan yang diselenggarakan di Kediri pada tahun 1940, ketua JIB Soenarjo Mangoenpoespito menggambarkan JIB

sedang giat kembali untuk memperbaiki dirinya dari kerusakan. Soenarjo Mangoenpoespito menyatakan bahwa tahun depan merupakan tahun harapan bagi

Jong Islamieten Bond untuk meningkatkan kinerja organisasi yang lebih baik lagi sehingga pada kongres JIB ke-13 yang rencananya akan diselenggarakan di Bandung pada akhir tahun 1941 merupakan saat yang dinantikan terutama untuk mengukur keberadaan organisasi Jong Islamieten Bond. Akan tetapi, di luar dugaan pada akhir tahun 1941 di Hindia-Belanda memasuki masa perang melawan Jepang. Tidak banyak keterangan yang dapat diperoleh tentang kegiatan JIB pada masa perang itu. Majalah Het Licht hanya beredar sampai edisi bulan Mei 1941 dan kongres ke-13 batal dilaksanakan, karena kondisi Hindia-Belanda pada saat itu sangat gawat (Deliar Noer. 1990: 262).

Pada saat Belanda jatuh ke tangan Jerman, P emerintah Hindia-Belanda pun terus bersikeras untuk tidak memberikan konsesi politik kepada tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Hal itu berdampak ketika Jepang menyerbu Indonesia dalam rangka usahanya untuk membangun imperium di Asia Timur dan Tenggara, pihak nasionalis tidak bergerak untuk membantu pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Akibatnya

untuk mempertahankan pemerintahannya tanpa bantuan dari rakyat Indonesia. Dalam hitungan tiga bulan, dimulai dari awal tahun 1942 hingga Maret 1942, seluruh wilayah Hindia-Belanda secara resmi jatuh ke tangan Jepang. Tepatnya pada tanggal 8 Maret 1942 ditandatangani penyerahan tanpa syarat oleh Letnan Jenderal H. Ter Poorten, Panglima Angkatan P erang Hindia-Belanda atas nama Angkatan P erang Serikat di Indonesia kepada tentara ekspedisi Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Immamura, maka berakhirlah pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia (Darmansyah, dkk. 2006: 82).

Pendudukan Jepang yang dimulai pada bulan Januari 1942 merupakan momen penempaan bagi penguatan nasionalisme Indonesia. Kemenangan mudah Jepang terhadap Belanda menciptakan kesan yang luar biasa bagi orang-orang Indonesia. Belanda telah kehilangan prestisenya dimata banyak orang Indonesia. Jepang sendiri datang ke Indonesia dengan mencitrakan diri sebagai saudara tua Asia dan pada awalnya, Jepang membangkitkan perasaan umum bahwa mereka

datang sebagai pembebas. Karena itulah, kedatangan mereka disambut secara antusias. Kesan demikian diperkuat ketika Jepang dengan segera memperbolehkan datang sebagai pembebas. Karena itulah, kedatangan mereka disambut secara antusias. Kesan demikian diperkuat ketika Jepang dengan segera memperbolehkan

Pihak Jepang dengan segera memenjarakan semua orang Belanda serta banyak orang Indo maupun orang-orang Indonesia yang beragama Kristen yang

dianggap bersimpati pro-Belanda. Sementara untuk mengisi posisi-posisi administratif dan teknisi level menengah dan atas yang telah ditinggalkan oleh orang-orang Belanda dan Indo, pihak Jepang sangat bergantung pada intelegensia fungsional Indonesia. Dengan tiba-tiba, hampir semua personel Indonesia diberikan promosi dengan dinaikkan pangkatnya setidaknya satu bahkan dua atau tiga tingkat dalam hierarki di tempat mereka bekerja. Sebagai hasilnya, para elite fungsional Indonesia tersebut mengalami kenaikkan yang tinggi dalam status sosial-ekonominya (Yudi Latif. 2005: 319-320).

Banyak pemimpin Islam di masa-masa setelah runtuhnya Hindia- Belanda, terutama tokoh-tokoh Masyumi, merupakan hasil pembinaan JIB dan mereka memberi sumbangan yang penting di dalam perjuangan bangsa dan negerinya, seperti Muhammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Burhanuddin Harahap dan lain-lain (Jan S. Aritonang. 2005: 182).

Bermaksud hendak menarik semua kekuatan utama anti-Belanda ke pihak mereka, Jepang merasa bahwa usaha untuk memastikan dukungan dari

kalangan Muslim jauh lebih mendesak ketimbang harus memuaskan tuntutan- tuntutan elite nasionalis. Di mata pemerintah pendudukan Jepang, baik golongan priyayi maupun elite fungsional lainnya, tidak mudah terbebas dari stigma pernah loyal kepada pemerintah kolonial sebelumnya. Lagi pula, berbeda dengan para pemimpin nasionalis, yang pengaruh politiknya masih terbatas pada beberapa pusat kota besar, keunggulan politik dari para pemimpin Muslim dari sudut pandang Jepang sangatlah besar karena yang terakhir ini memiliki ratusan ribu, bahkan jutaan pengikut. Selain itu, pihak Jepang mungkin telah memilih para

pemimpin Muslim sebagai elemen Timur yang barangkali paling bisa diandalkan dari komunitas politik Indones ia (H. J. Benda. 1980: 108-110).

Pada awalnya, pihak pemerintah Jepang berusaha untuk menciptakan kesan baik kepada komunitas politik Indonesia dengan jalan membebaskan para tahanan politik yang dipenjarakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun setelah itu, semua aktivitas politik Indonesia dilarang oleh dekrit yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Jepang pertama di Jawa, Letnan Jendral Immamura, yang melarang setiap diskusi dan organisasi yang berhubungan dengan administrasi politik di negeri jajahannya. Hal ini memang tidak secara otomatis mematikan partai-partai politik, tetapi mendorong terciptanya kondisi yang menghalangi keberlangsungan partai-partai tersebut karena setiap aktivitas politik dalam ruang publik dikontrol secara ketat oleh polisi militer Jepang (H. J. Benda. 1980: 111).

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP KINERJA KEUANGAN pada PERUSAHAAN yang MELAKUKAN SEO (Studi pada Perusahaan Manufaktur di BEJ 2000-2006)

0 1 96

Analisis marjin pemasaran ubi kayu (Manihot utilissim ) (studi kasus di Kecamatan Slogohimo Kabupaten Wonogiri)

0 2 85

A translation analysis of taboo expressions in a film entitled “knocked up” and their indonesian subtitles

0 1 119

FRONT UMAT ISLAM DAN PERANANNYA DALAM KEGIATAN SOSIAL KEAGAMAAN DI KABUPATEN KLATEN 2002-2007

0 0 100

HUBUNGAN PELAYANAN RESTORAN SIAP SAJI, TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN DENGAN TINDAKAN RASIONAL PELANGGAN (Studi Tentang Hubungan Pelayanan Restoran Siap Saji, Tingkat Kepuasan Pelanggan dengan Tindakan Rasional Pelanggan Di McDonalds Jalan Dr.Radjiman No.136

1 1 119

AZEFEK ANALGESIK AIR PERASAN DAUN SELEDRI ( Apium graveolens L. ) PADA MENCIT SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 0 50

PERANCANGAN ALAT PENYARING TAHU BERDASARKAN PRINSIP ERGONOMI (Studi Kasus Industri Tahu Sari Murni Surakarta)

0 2 89

1 ANALISIS PROFITABILITAS SEBELUM DAN SESUDAH PERISTIWA STOCK SPLIT (Studi Pada Perusahaan Yang Terdaftar Di BEI)

0 0 89

Pengaruh air perasan herba seledri ( Apium graveolens L) terhadap kadar kolesterol total darah tikus putih ( Rattus norvegicus ) SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

2 5 45

EFEK ANTIPIRETIK EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimi sancti folium ) PADA TIKUS PUTIH SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

0 4 50