Konversi Tanah Negara Menjadi Tanah Milik Individu

A. Konversi Tanah Negara Menjadi Tanah Milik Individu

Hak milik komunal sering menyebabkan timbulnya banyak penyalahgunaan seperti kecurangan, di dalam pembagian. Oleh karena itu, telah diusahakan untuk adanya hak milik perorangan, lalu diadakan kesempatan untuk mengubah atau mengganti (konversi)

hak milik komunal menjadi hak milik perorangam. 1 Konversi telah ada sejak masa penguasaan pemerintah kolonial Belanda yang saat itu telah diatur dalam perundang- undangan S. 1885 no 10 tentang conversi besluit merupakan hak milik komunal berubah

menjadi hak milik perorangan. 2 Hak perorangan merupakan hak atas tanah yang dimiliki

oleh rakyat dan perubahan ini hanya untuk tanah yang terdapat hak milik komunal.

Adanya konversi di masa pemerintah Belanda terutama di Surakarta berawal ketika abad 19 orang asing sudah mulai menamamkan modalnya dam membuat usaha di Surakarta yang dulunya disebut sebagai vorstenlanden. Sejak itu pula mengubah sistem

1 Sudikno Mertokusumo, Perundang- Undang Agraria Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1988), hlm. 15.

2 Ibid. Istilah konversi di bidang hukum pertanahan sering kali ditemukan dalam berbagai peraturan agraria. Konversi yang berasal dari kata conversion yang berarti

peralihan, perubahan, penggantian. Selain itu dalam arti lain yaitu perubahan dari sistem yang sudah berubah ke sistem yang lain.

kepada pengusaha-pengusaha asing untuk usaha pertanian. Perusahaan perkebunan di daerah Surakarta terdiri dari orang-orang bermodal terutama orang asing, sehingga Pemerintah Belanda berupaya untuk melindungi para pengusaha tersebut. Selain mendapat perlindungan dari pemerintah Belanda mereka juga mendapatkan jaminan memakai tanah dan mereka juga dijamin memperoleh cukup tenaga, buruh dan air bagi usaha perkebunannya.

Sebelum adanya reorganisasi sistem kepemilikan tanah di Surakarta, para pengusaha perkebunan hanya mempunyai hak yang dikenal dengan Landhuur reglement yang ditetapkan dengan kroon-ordonnantien dalam S. 1906-93. Hak ini ternyata dalam prakteknya dirasakan tidak cocok, kenyataannya hak ini hanya merupakan suatu hak-hak pribadi dari para pengusaha-pengusaha perkebunan. Peraturan tersebut dibuat untuk mengurangi penyalahgunaan yang akan lebih menambah beban rakyat. Walaupun sudah ada aturan landhuur, tetap saja terjadi keburukan-keburukan dalam sistem tersebut. Para pengusaha menginginkan suatu hak yang lebih kuat dan menguntungkan bagi mereka. Kemudian dilaksanakan reorganisasi dalam pemilikan tanah oleh Pemerintah Kolonial Belanda, reorganisasi ini dimaksudkan untuk menata kembali status tanah.

Peraturan tentang hak-hak bagi para pegusaha sebelumnya dirasa kurang tepat maka pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1918 mengeluarkan ordonansi yang mula – mulanya diberi nama Grondhuur reglement voor de residention Surakarta en Yogyakarta (S. 1918-20), isinya peraturan sewa menyewa tanah di daerah Surakarta dan Yogyakarta. Pada tahun 1928 diubah namanya menjadi Vorstenlandsh Grondhuur Reglement (VGR),

penguasan ini yang dinamakan dengan “konversi” sedang beschikking atau keputusan dari raja menurut Vorstenlandsh Grondhuur Reglement (VGR) tersebut disebut sebagai Conversie Beschikking . Kemudian muncullah suatu hak yang timbul dari keputusan raja disebut sebagai hak konversi. Maksudnya suatu hak dari seorang landbouwondernermer (pengusaha perkebunan) atas nikmat dari tanah, buruh air yang diperlukan untuk perusahan perkebunan. Jadi pengertian konversi dengan hak-hak konversi itu lain, berarti maksud konversi ini merupakan suatu perubahan hak tertentu kepada suatu hak lain. Jadi ada peralihan atau perubahan dari hak-hak atas tanah tertentu kepada hak-hak atas tanah

yang lainya. 3

Tinjauan tentang hak konversi yang dilihat dari segi hukum dan sejarah, dengan adanya hak konversi tersebut maka timbullah tentang tanah konversi. Pada hakekatnya merupakan suatu keputusan penguasa yang saat itu dipegang oleh raja dan Kolonial memberikan izin kepada pengusaha perkebunan untuk memakai dan mengelola tanah tertentu. Adapun keistimewan hak konversi itu adalah:

a. Jaminan dari raja, bahwa hak tersebut akan berlangsung selama waktu lama atas tanah yang luas dan tempatnya pun terjamin pula: secara tetap untuk berg cultures dan secara glebagan untuk laagvlakte cultures. Bagi laagvlakte cultures ini desa diwajibkan setiap tahun menyediakan 2/5 dari tanahnya untuk pengusaha. Diadakan pengawasan oleh pangreh praja atas tanaman yang ditanami rakyat (macam dan waktu

3 Bachsan Mustafa, Hukum Agraria dalam Perspektif, (Bandung: Remadja Karya, 1988), hlm. 46.

pengusaha.

b. Hak konversi dinyatakan dengan S. 1918-21 sebagai hak yang dapat dibebani hypotheek dan harus didaftar menurut ketentuan S. 1918-23.

c. Pengusaha mendapat jaminan atas pemakaian air yang tertentu.

d. Sebagai peraturan peralihan selama 5 tahun dijamin akan mendapat tenaga buruh. Keistimewaan dari jaminan ini ialah, apabila sebelumnya pengusaha sendiri yang mengatur pengarahannya, maka kerja paksa tersebut dikerahkan oleh desa dan pangreh praja . Kelalaian dalam memenuhi kewajiban kerja tersebut dapat mengakibatkan dicabutnya bagian tanah gogolannya bahkan dapat mengakibatkan

pula jatuhnya sanksi pidana. 4

Berlakunya ketentuan konversi ini para pengusaha perkebunan di daerah Surakarta menyesuaikan dengan ketentuan konversi tersebut. pada tahun 1940 tentang luas tanah konversi sebagai berikut:

4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia:Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya , (Jakarta : Djambatan, 1999), hlm. 93-94

Glebagan Yogyakarta

257 ha

11.428 ha Surakarta

29.154 ha

19.146 ha Jumlah

29.441ha

30.574 ha Sumber: Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya , (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm. 94

Pada tabel di atas dijelaskan bahwa luas tanah tetap dan tanah glebagan di Surakarta yang dikonversikan lebih luas dibandingkan dengan daerah Yogykarta, karena di Surakarta luas daerahnya lebih luas dibandingkan dengan daerah Yogyakarta. Luas perkebunan di Surakarta lebih luas dibandingkan luas perkebunan di daerah Yogyakarta, sehingga tanah-tanah yang dikonversikan lebih banyak di daerah Surakarta dibandingkan dengan daerah Yogyakarta.

Konversi pada masa Pemerintah Belanda sebenarnya tidak berjalan dengan baik, banyak terjadi kendala dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan konversi tetap membuat rakyat tidak dapat menikmati tanah mereka, karena mereka tidak memiliki hak dan keuntungan lebih yang didapat oleh para pengusaha-pengusaha asing. Pada tahun 1942 terjadi perubahan kekuasan di Indonesia yaitu dari tangan Pemerintahan Kolonial Belanda kepada Pemerintahan Jepang di Indonesia. Perubahan kekuasaan bukan berarti terjadi penghapusan terhadap tanah dan hak konversi di masa penguasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Walaupun dalam kenyataannya selama pendudukan Jepang hak konversi tidak berlaku.

cukup besar termasuk juga dengan hak konversi, walaupun demikian kehidupan rakyat tidak lebih baik. Meskipun Pemerintah Jepang tidak memberlakukan hak konversi, tapi Pemerintah Jepang melakukan konversi yaitu mengubah perkebunan menjadi lahan pertanian. Sebelumnya Pemerintah Jepang hanya memusatkan pada penyediaan bahan makanan sehingga rakyat diwajibkan untuk menanam bahan makanan yang diperlukan oleh Jepang. Hal tersebut menyebabkan perluasan lahan sehingga Pemerintah Jepang mengubah perkebunan-perkebunan dari peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda untuk ditanami tanaman bahan makanan.

Setelah bangsa Indonesia merdeka pemerintah mulai mengubah sistem agraria yang ada. Perubahan sistem agraria dimulai dengan penghapusan tanah konversi dan hak konversi. Pada tahuan 1948 dikelurkanlah undang-undang no 13 yang mencabut ketentuan-ketentuan VRG yang mengatur hak-hak konversi tersebut. Dicabutnya ketentuan-ketentuan tentang VRG maka lembaga yang mengurusi tentang konversi menjadi terhapuskan, tetapi untuk hak-hak konversi sendiri menurut hukum masih tetap berlangsung. Pada tahun 1950 dikeluarkanlah Undang-Undang no. 5 yang memuat ketentuan-ketentuan tambahan dan pelaksanaan Undang-Undang no. 13 tahun 1948. Undang-undang no. 5 mempertegas penghapusan hak –hak konversi.

Adanya undang-undang tersebut menjadikan tanah-tanah untuk laagvlatek cultur kembali kepada desa dan petani tidak lagi diharuskan untuk menyerahkan tanah kepada pengusaha setiap tahun. Pengusaha hanya memperoleh tanah yang diperlukannya dengan menyewa dari desa atau petani yang menguasainya. Tanah-tanah untuk berg cultures Adanya undang-undang tersebut menjadikan tanah-tanah untuk laagvlatek cultur kembali kepada desa dan petani tidak lagi diharuskan untuk menyerahkan tanah kepada pengusaha setiap tahun. Pengusaha hanya memperoleh tanah yang diperlukannya dengan menyewa dari desa atau petani yang menguasainya. Tanah-tanah untuk berg cultures

akan dipersamakan dengan daerah-daerah lainnya hingga sampai terbentuknya UUPA. 5

Perubahan kebijakan tersebut membuat pengusaha tidak lagi mendapatkan hak-hak konversi seperti yang didapatkan ketika masa Pemerintahan Kolonial Belanda.

Negara Indonesia berpedoman pada pembukaan Undang-Undang dasar 1945 pada alenia keempat isinya yaitu “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusian yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh R akyat Indonesia”. Berpedoman pembukaan Undang-undang tersebut Pemerintah membuat sebuah kebijakan yang mengubah sistem agraria dan mengubah sistem hak-hak sesuai keadaan Bangsa Indonesia. Ketika masa Pemerintahan Kolonial Belanda hak-hak tersebut tidak pro-rakyat melainkan keuntungan oleh pengusaha asing. Walaupun hak konversi telah dihapuskan

5 Boedi Harsono, op.cit., hlm. 94-95.

mengatur status kepemilikan tanah dan perkebunan milik orang asing menjadi milik negara. Lahan-lahan dan tanah kosong juga dikonversikan menjadi milik negara, serta beberapa tanah atau lahan yang telah ditinggalkan oleh Belanda juga dikonversikan kepemilikan atau statusnya menjadi tanah negara. Selain tanah dan perkebunan milik bangsa asing, pemerintah juga melakukan konversi di Surakarta yaitu tentang kepemilikan tanah dari milik kerajaan menjadi milik negara.

Pada 19 Agustus 1945 berdasarkan keputusan pemerintah pusat menetapkan Surakarta sebagai daerah istimewa atau swapraja, dengan hal tersebut maka Kasunanan dan Mangkunegaran kembali menguasai tanah. Penetapan tersebut membuat Kasunanan dan Mangkunegaran memiliki hak-hak istimewa terhadap pengusaan tanah, sehingga raja berkuasa penuh terhadap kekuasaan termasuk penguasaan tanah. Penetapan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Surakarta sehingga menimbulkan masalah yang meluas di masyarakat Surakarta.

Kondisi Surakarta tidak stabil dengan adanya penetapan daerah istimewa, maka pemerintah secara tidak langsung mengambil keputusan mengeluarkan surat Penetapan Pemerintah tanggal 15 Juli 1946 yang secara langsung dihapusnya hak-hak istimewa di Kasunanan dan Mangkunegaran. Keputusan tersebut mengubah kekuasaan dua kerajaan tersebut, sehingga kekuasaan hanya di wilayah keraton dan wilayah lain dikonversikan menjadi tanah milik negara. Sementara itu, diantara tanah-tanah bekas konversi di karesidenan Surakarta, baik tanah pegunungan maupun tanah datar yang sudah digarap atau dipakai oleh penduduk setempat untuk usaha pertanian atau perumahan. Pemakaian Kondisi Surakarta tidak stabil dengan adanya penetapan daerah istimewa, maka pemerintah secara tidak langsung mengambil keputusan mengeluarkan surat Penetapan Pemerintah tanggal 15 Juli 1946 yang secara langsung dihapusnya hak-hak istimewa di Kasunanan dan Mangkunegaran. Keputusan tersebut mengubah kekuasaan dua kerajaan tersebut, sehingga kekuasaan hanya di wilayah keraton dan wilayah lain dikonversikan menjadi tanah milik negara. Sementara itu, diantara tanah-tanah bekas konversi di karesidenan Surakarta, baik tanah pegunungan maupun tanah datar yang sudah digarap atau dipakai oleh penduduk setempat untuk usaha pertanian atau perumahan. Pemakaian

Perubahan status kepemilikan menyebabkan tanah-tanah tersebut menjadi tanah negara atau tanah kas negara. Tanah-tanah itu selanjutnya dibagikan kepada rakyat melalui berbagai cara atau sistem. Selain mengkonversikan tanah-tanah di wilayah swapraja, lahan kosong yang ditinggal oleh pemiliknya atau lahan bekas milik Kolonial Belanda, pemerintah juga mengkonversikan hak-hak tanah yang dibuat pada masa Pemerintah Kolonial Belanda. Hak-hak yang dikonversikan oleh Pemerintah Republik Indonesia seperti hak eigendom, hak erfpacht dan hak vruchtgebruik. Sebelum berlakunya UUPA, dalam hukum tanah dikenal dua kelompok hak atas tanah yaitu:

a. Hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum Barat, yang lazim disebut hak Barat.

b. Hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum adat, yang lazim disebut hak Indonesia.

Selain dua kelompok itu ada lagi yang tunduk kepada hukum yang diciptakan Pemerintah Belanda dahulu, tetapi dalam rangka konversi maka dimasukkan ke dalam kelompok hak Indonesia yaitu: hak Agrarisch Eigendom, hak erfpacht yang altijddurend

dan landerijen bezitrecht. 7 Ketika ketentuan-ketentuan konversi UUPA hak barat maupun hak Indonesia diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang disebut dalam hukum tanah yang baru.

6 Boedi Harsono., loc.cit.

7 Perangin, Effendi., Hukum Agraria Di Indonesia:Suatu Telaah dari sudut Pandang Praktisi Hukum , (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1986), hlm. 145.

hak atas tanah yang diatur oleh hukum perdata Eropa yang dimuat dalam buku kedua KUHS tentang pembekuan suatu benda kecuali peraturan-peraturan tentang hipotek yang masih tetap berlaku. Hak-hak atas tanah yang diatur dalam buku kedua KUHS diantaranya adalah hak eigendom (hak milik menurut pengertian hukum Eropa), hak erfpacht , hak opstal dan hak vruchtgebruik dialihkan atau diubah masing-masing ke dalam salah satu hak atas tanah yang tercantum dalam pasal 16 UUPA No. 5/1960, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak sewa dan hak-hak lainnya. Selain konversi hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum perdata Eropa, juga hak-hak atas tanah diatur oleh hukum adat seperti diantaranya hak gogolan, hak pakulen, atau hak

sanggah dialihkan ke dalam salah satu hak atas tanah dalam pasal 16 UUPA No. 5/1960. 8 Selain mengkonversikan tanah-tanah dan hak-hak di atas, pemerintah juga melakukan perubahan dari hak negara menjadi hak individual. Seperti mengkonversikan tanah milik negara menjadi tanah milik individual atau hak milik negara menjadi hak milik individual. Konversi status kepemilikan menjadi hak milik individual ada beberapa hal dan cara seperti tanah gogol dan pembagian tanah secara sistem lotre. Salah satu proses konversi status kepemilikan tanah massa yaitu pada tanah gogolan.

Tanah gogolan merupakan tanah desa yang dikuasai dengan maksud digarap oleh orang-orang tertentu berdasarkan hak gogolan yang didapatkannya. Hak gogolan yaitu hak seorang gogol seperti yang ada dalam perundang-undangan agraria ketika masa

8 Bachsan Mustafa, loc. cit.

yaitu gogol bersifat tetap dan bersifat tidak tetap. Hak gogol bersifat tetap yaitu jika para gogol secara terus-menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan apabila para gogol tersebut meninggal dunia dapat diwariskan ke ahli warisnya terutama istri atau anaknya. Menurut hukum adat setempat ditentukan siapa saja dari ahli warisnya yang akan mewarisi gogolnya. Hak gogol bersifat tidak tetap yaitu jika para gogol tidak terus- menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan jika si gogol meninggal maka hak gogolan nya kembali ke desa.

Pada tanggal 24 November 1960 hak gogol bersifat tetap dikonversikan menjadi hak milik sehingga hak tersebut tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya. Hak gogol yang bersifat tidak tetap dikonversikan menjadi hak pakai. Hal ini berdasarkan pasal VII UUPA yaitu :

a. Hak gogolan, pakulen atau sanggan bersifat tetap menjadi hak milik tertulis pada pasal 20 ayat 1.

b. Hak gogolan, pakulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tertulis pada pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya mulai berlakunya Undang-undang ini.

c. Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan. 9

9 Perangin, Effendi., op.cit., hlm. 184 .

disebabkan adanya perbedaan tafsiran mengenai ketentuan UUPA dan Peraturan Menteri Agraria no. 2 tahun 1960. Untuk mengakhiri sengketa tersebut, dikeluarkanlah Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria no. Sk 28/ka/1964. Keputusan tersebut diganti dengan Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Agraria serta Menteri Dalam Negeri no. Sk 40/Ka/1964-DD 18/1/32, dalam keputusan tersebut ditegaskan:

a. Konversi hak gogolan yang bersifat tetap menjadi hak milik itu diresmikan sejak tanggal 24 September 1960

b. Sejak itu hak tersebut tidak lagi tunduk pada peraturan–peraturan gogolan, tetapi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.

c. Bahwa pelaksanaan konversi itu dilarang untuk disertakan syarat-syarat khusus apa pun yang memberatkan gogol yang bersangkutan, seperti yang telah disebutkan di atas.

d. Tanah bekas gogolan yang telah diambil untuk memenuhi syarat tersebut harus dikembalikan kepada gogol bersangkutan atau ahli warisnya. Apabila ada alasan lain, suatu pengembalian tidak mungkin dilaksanakan harus diganti tanah lain atau uang.

e. Akibat adanya salah tafsir setelah tanggal 24 September 1960 tanah bekas gogolan yang pemiliknya meninggal dunia diberikan kepada orang lain misalnya karena ahli waris pemilik itu dianggap tidak memenuhi syarat-syarat gogolan, maka atas permintaan ahli warisnya tanah yang bersangkutan harus dikembalikan kepadanya.

gogolan , tanah gogolan yang dialihkan kepada pihak lain tanpa ijin desa, maka hak atas tanah yang bersangkutan dihapuskan dan tanahnya kembali kepada desa untuk

dilandreformkan. 10

Demikan keputusan bersama untuk mengakhiri terjadinya sengketa tentang hak gogol yang bersifat tetap. Akan tetapi sengketa tersebut juga terjadi pada hak gogol yang bersifat tidak tetap. Permasalahan dalam hal ini yaitu hak pakai masih tunduk terhadap peraturan gogolan atau tidak, khususnya jika pemegang haknya meninggal dunia, tanah tersebut jatuh kepada ahli waris atau kepada magang gogol yang tertinggi. Untuk mengatasi masalah maka dikeluarkanlah Keputusan Bersama Agraria dan Menteri Dalam Negeri no. 30/DEPAG/65-11/DDN/1965, yang memberikan penegasan sebagai berikut:

a. Hak gogol bersifat tidak tetap, yaitu hak gogol yang tidak memenuhi salah satu unsur hak gogolan tetap seperti yang telah disebutkan.

b. Konversi hak tersebut menjadi hak pakai terjadi karena hukum pada tanggal 24 September 1960;

c. Hak pakai asal konversi itu tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, selama peraturan-peraturan tersebut belum berlaku ketentuan-ketentuan desa setempat yang telah disesuaikan dengan jiwa UUPA. Misal para pemegang hak pakai tidak lagi dikenakan rodi (pekerjaan desa tanpa dibayar). Tetapi ketentuan-ketentuan mengenai penguasaan tanah-tanah hak

10 Perangin, Effendi., op.cit., hlm. 185-186.

bergilir, haknya turun-temurun atau tidak. 11

Keputusan tersebut mengakhiri permasalahan dalam hak gogolan yang bersifat tidak tetap. Terdapat 3 bentuk hak gogolan tersebut yaitu: disebut atok sirah gilir galeng: hak menggarap atau penguasaan tanahnya bersifat turun-temurun (atok sirah), tetapi tanah yang digarap atau dikuasai itu berganti-ganti (gilir galeng). Kemudian ada juga disebut gogol musiman atau gogol glebagan maksudnya menggarap atau penguasaan tanahnya bersifat turun-temurun, tetapi pada suatu waktu tertentu yang menggarap hanya sebagian dari para gogol masing-masing untuk selama waktu (musim) tertentu, setelah itu mereka diganti dalam kurun waktu yang bersamaan.

Bentuk yang terakhir yaitu gogol gilir mati maksudnya tanah yang digarap atau dikuasai tetap, tetapi setelah gogol bersangkutan meninggal dunia tanahnya diserahkan kembali kepada desa, kemudian diberikan kepada magang gogol yang kedudukannya

tertinggi dalam daftar urutan. 12 Tanah gogolan merupakan konversi dari hak milik komunal menjadi hak milik dan hak pakai yang diatur oleh undang-undang. Demikian proses konversi dari tanah gogolan yang terjadi ketika masa sesudah adanya UUPA. Sebelum adanya UUPA terdapat konversi tanah negara menjadi tanah individual. Perubahan tersebut mengunakan sistem lotre, yaitu pembagian tanah kas negara dengan sistem lotre.

11 Perangin, Effendi., op.cit., hlm. 188 .

12 Ibid., hlm189.

Ketika bangsa Indonesia sedang menata dan merancang pembuatan undang-undang tentang sistem agraria. Di Surakarta, tanah-tanah bekas swapraja dan bekas kolonial Belanda konversi menjadi tanah negara. Tanah negara yang ada di Surakarta sebagian telah dipakai dan lainnya dibagikan kepada rakyat sambil menunggu keputusan dari penetapan undang-undang tentang agraria. Pembagian tanah di Surakarta terjadi pada tahun 1951-1952. Pembagian ini berpedoman pada Undang-Undang Dasar 1945 yang terdapat pada pasal 33 ayat 3, yang berisi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pembagian tanah tersebut juga berdasarkan pada Undang-Undang

No. 13 tahun 1946, yang menegaskan: hak istimewa (atas tanah) tidak sesuai dengan cita- cita revolusi Indonesia. Adanya undang-undang tersebut pemerintah mempunyai wewenang mengambil sebagian tanah milik aparatur desa era Mangkunegaran dan Kasunanan yang kemudian membagikannya kepada para petani penggarap dan rakyat.

Makna negara yang menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, menjadi sebuah tumpuan harapan bagi masyarakat untuk melangsungkan kehidupannya. Rakyat juga berhak mendapatkan tanah, karena ketika masa penjajahan banyak rakyat yang kehilangan tanah mereka. Dalam program pembagian tanah yang harus dipersiapkan yaitu tanah-tanah yang akan dibagikan. Tanah-tanah obyek dari pembagian tanah tersebut meliputi:

a. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah dihapuskan dan beralih kepada negara.

yang telah ditinggal pemiliknya.

c. Tanah-tanah lain yang langsung dikuasai oleh negara misalnya bekas tanah partikelir dan tanah bekas konversi.

d. Tanah-tanah lain yang didalamnya tidak termasuk tanah-tanah wakaf dan tanah-tanah

untuk peribadahan. 13

Tanah-tanah di atas disebut sebagai tanah kas negara atau tanah negara, tanah- tanah dalam kriteria-kriteria di atas nantinya dibagikan kepada rakyat dan program ini

diberitahukan kepada rakyat sekitar tahun 1951. 14 Tanah kas negara merupakan tanah

yang akan dibagikan kepada rakyat atau tanah yang digarap oleh rakyat setempat untuk keperluan masyarakat hukum. Tanah kas negara ini sebelum dibagikan kepada rakyat merupakan tanah yang dikelola oleh pemerintah daerah dalam hal ini adalah kelurahan setempat, yang kemudian dimanfaatkan masyarakat setempat untuk ditanami atas ijin dari kelurahan.

Program pembagian tanah ini, salah satunya dengan cara sistem lotre atau sistem kopyok. Lotre dalam kamus besar Indonesia yang berarti undian, yang dimaksud dengan sistem lotre ini adalah cara pembagian tanah dengan undian menggunakan nomer. Pembagian tanah-tanah tersebut memerlukan persiapan adminitrasi yang tidak sedikit, namun waktu persiapannya hanya membutuhkan waktu satu tahun saja untuk mendata

13 Data diolah dari wawancara dengan Parto tanggal 26 Desember 2011.

14 Data diolah dari wawancara dengan Mardi Suwarno pada tanggal 5 September 2011 .

tersebut telah diumumkam, daerah –daerah obyek pembagian tanah mulai mempersiapkan tanah dan warganya yang akan mendapatkan tanah tersebut. Pembagian tanah ini tidak semua rakyat dapat mengikutinya, ada ketentuan-ketentuan bagi penerima tanah tersebut. adapun ketentuan-ketentuan dalam pembagian tanah tersebut meliputi:

a. Warga Indonesia dan tercatat sebagai warga kelurahan setempat.

b. Orang yang magersari. Magersari yaitu tanah yang diberikan kepada abdi dalem keraton atau sentana dalem dan bertempat tinggal di pekarangan yang sama. Magersari juga disebut sebagai penduduk desa yang tidak memiliki tanah dan pekarangan. Mereka tetap mempunyai rumah sendiri, rumahnya didirikan diatas tanah atau pekarangan orang lain dan pekerajaan sehari-harinya memburuh tanah atau sebagai

penyakap. 15

c. Seseorang yang telah menikah dan memiliki rumah tapi masih dalam satu perkarangan milik orang tuanya.

Ketiga kententuan tersebut adalah syarat yang harus dipenuhi agar mendapatkan tanah dari pembagian tanah secara lotre. Ketiga persyaratan tersebut yang diutamakan terlebih dahulu atau diprioritaskan untuk orang-orang yang magersari, setelah itu baru

15 Tiwuk Kusuma Hastuti, “Transaksi Tanah Sende dan Perubahan Sosial dalam Masyarakat Jawa Tengah (Studi Kasus Desa Sumberharjo Kec. Prambanan Kab. Sleman

Yogyakarta Pada Tahun 1980-1990- an)”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS, 1996, hlm. 96.

tersebut memberikan batasan-batasan bagi rakyat untuk mendapatkan tanah secara sistem lotre sehingga tidak semua rakyat dapat mengikuti pembagian tanah-tanah yang diberi dari Pemerintah. Hal ini dikarenakan pembagian tanah dengan sistem lotre ini tidak dipungut biaya baik dari pendafatran hingga proses mendapatkan tanah tersebut.

Setelah adanya pengumuman tentang pembagian tanah 1951, Kelurahan Pajang mulai mempersiapkan adminitrasi dan obyek tanah yang akan dibagikan kepada rakyat. Setelah tanah mulai dipersiapkan kemudian setiap penduduknya didata untuk mengetahui yang berhak mengikuti dan mendapatkan tanah tersebut, namun sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Masyarakat tidak perlu datang ke kelurahan untuk mendaftarkan atau mengajukan diri untuk dapat mengikuti pembagian tanah. Tanah-tanah yang akan dibagikan terlebih dahulu diukur dan dibatasi kemudian diberi nomor. Pengukuran pada waktu itu dilakukan oleh Panitia yang dibentuk kelurahan.

Nomor-nomor inilah yang nantinya dilotrekan kepada rakyat untuk membuktikan dimana letak tanah yang mereka dapatkan. Setiap tanah yang diukur memiliki luas yang berbeda-beda, karena dilihat dari letak tanah yang dibagikan. Tanah-tanah yang letaknya berbatasan dengan kelurahan lain atau berbatasan dengan sungai serta berbatasan dengan tanah makam maka pengukurannya lebih luas dibandingkan yang lainya. Setiap tanah yang akan diberikan luasnya berkisar antara 300 m sampai 600 m perkaplingnya.

16 Data diolah dari wawancara dengan Padmo Suproto pada tanggal 21 September 2011.

lotre dilakukan di kelurahan. Setelah semua adminitrasi dan tanah-tanah telah siap untuk dibagikan kepada rakyat, para petugas kelurahan memberitahukan kepada masyarakat yang telah terdaftar dalam pembagian tanah untuk datang ke kelurahan. Adanya pemberitahuan tersebut maka mereka datang ke kelurahan untuk melakukan lotre agar mendapatkan nomor, karena nomor tersebut menunjukkan tempat dan letak tanah yang mereka dapatkan. Setelah mereka mendapatkan nomor tersebut mereka harus mencari tanah yang sesuai dengan nomor yang didapatkan.

Setelah menemukan tanah yang sesuai dengan nomor tersebut maka mereka segera ke kelurahan untuk melaporkan letak tanah yang mereka dapatkan. Kebanyakan tanah-tanah yang dibagikan kepada rakyat itu berada di daerah Pajang bagian selatan. Masyarakat yang mendapatkan tanah di sekitar daerah tersebut berjumlah 29 orang, dari jumlah tersebut rata-rata tanah yang didapat seluas 300-400 m perorang. Beberapa nama orang dari sebagian yang mendapatkan tanah tersebut yaitu:

No Nama yang menerima tanah Luas tanah per-meter

1 Mardi suwarno

3 Padmo suparto

7 Harso waluyo

Sumber: wawancara dengan penerima dan ahli waris dari penerima tanah lotre tersebut yang hingga sekarang.

Tabel di atas terdapat satu orang yang mendapatkan tanah lebih luas dibandingkan yang lain, hal tersebut disebabkan dalam pembagian tanah luasnya tidak bisa dibagikan secara sama. Setelah mendapatkan tanah, rakyat hanya dibebani biaya untuk mengesahkan atau untuk mendapatkan surat dalam kepemilikan atas tanah tersebut yang Tabel di atas terdapat satu orang yang mendapatkan tanah lebih luas dibandingkan yang lain, hal tersebut disebabkan dalam pembagian tanah luasnya tidak bisa dibagikan secara sama. Setelah mendapatkan tanah, rakyat hanya dibebani biaya untuk mengesahkan atau untuk mendapatkan surat dalam kepemilikan atas tanah tersebut yang

pembagian tanah. 17 Sistem lotre atau undian ini juga digunakan dalam pembagian tanah desa kepada para gogol setelah dikonversi dari hak gogol. Tanah desa yang sudah dibagikan kepada para gogol, Marawita, kuli dan sebagainya itu, pada waktu-waktu tertentu dapat dibagi kembali (gogol gilir). Kondisi ini dilakukan apabila anggota pada pembagian pertama mendapatkan bidang tanah yang kurang subur, saat pembagian berikutnya mendapatkan bagian tanah yang subur. Demikian ini sesuai dengan rasa keadilan mereka. Pembagian kembali tanah menjadi makin jarang, dari tiap 1 tahun menjadi tiap 3 tahun, 6 tahun dan kemudian atas persetujuan bersama tidak pembagian lagi dari gogol gilir menjadi gogol patoh. Caranya membagi kembali melalui undian dengan cara beralih tempat atau dengan cara meratakan pematang, membagi kembali dalam jumlah yang sama tetapi dengan pola yang berbeda,

untuk kemudian diundi. Istilah ini ialah tanah dibubur kembali. 18

Pembagian tanah dengan menggunakan sistem lotre atau undian, dianggap sebagai hal yang efektif karena dalam pembagianya tanah tidak bisa dibagi secara merata

17 Notonegoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agrarian di Indonsia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1984), hlm. 213.

18 Imam Soetiknjo, “Penguasaan Tanah di Desa dan Perkembangannya”. Makalah pada Seminar Desa dalam Prespektif Sejarah. Oleh PAU-studi Sosial-UGM,

Yogyakarta, 10-11 Februari 1988.

tentang kesuburan tanah. Pembagian tanah berdasarkan kesuburan tanah ini digunakan pada tanah gogolan. Cara ini dapat menanggulangi terjadinya kecemburuan tentang luas tanah setiap masyarakat yang memperoleh tanah tersebut. Pembagian tanah tersebut berjalan lancar, walaupun ada perbedaan dalam memperoleh tanah-tanah.

Ketika UUPA sudah terbentuk, redistribusi tanah atau pembagian tanah masih terjadi. Tanah-tanah yang memiliki lebih batas maksimumnya diambil oleh pemerintah dan kemudian dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Peraturan tentang redistribusi tanah diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. Tanah yang dibagikan tidak hanya terbatas pada tanah-tanah yang melebihi dari batas maksimum yang diambil oleh pemerintah, tetapi juga tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah karena pemiliknya

“absentee”, tanah-tanah bekas swapraja. Demikian juga tanah-tanah lain yang dikuasai oleh negara, misalnya tanah-tanah bekas perkebunan besar dan tanah-tanah bekas

partikelir. Tanah ini tidak hanya diberikan kepada rakyat biasa saja melainkan juga diberikan kepada para petani yang tidak memiliki lahan sendiri. Sebelum tanah tersebut diberikan dengan hak milik kepada para petani yang memenuhi syarat, tanah-tanah bersangkutan diizinkan untuk dikerjakan oleh para petani, masa penggarapannya selama

2 tahun. Petani berkewajiban membayar sewa kepada pemerintah sebesar sepertiga dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu. Pemakaian istilah sewa sebenarnya tidak sesuai dengan penguasaan tanah kelebihan tersebut. Melainkan mempergunakan istilah 2 tahun. Petani berkewajiban membayar sewa kepada pemerintah sebesar sepertiga dari hasil panen atau uang yang senilai dengan itu. Pemakaian istilah sewa sebenarnya tidak sesuai dengan penguasaan tanah kelebihan tersebut. Melainkan mempergunakan istilah

Pembagian tanah ini diutamakan kepada para petani akan tetapi tidak semua petani mendapatkan tanah tersebut. Petani atau rakyat yang menginginkan tanah itu harus memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan tanah tersebut telah diatur dalam pasal 8 dan 9 yang isinya petani penggarap atau buruh tani harus berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Kecamatan tempat

letak tanah yang bersangkutan serta kuat bekerja dalam pertanian. 19 Dilihat dari rationya syarat tentang tempat tinggal tersebut masih dimudahkan sesuai dengan ketentuan tentang “absentee”. Hal tersebut berlaku apabila petani penggarap bertempat tinggal di

Kecamatan yang berbatasan dengan tempat letak tanahnya. Tanah yang dibagikan kepada petani luasnya terbatas jika dibandingakan dengan para petani, sehingga diadakan prioritas dalam pembagian tanah itu. Para penggarap tanah yang bersangkutan mendapatkan prioritas pertama dalam pembagian tanah tersebut. Penggarap lebih diutamakan dalam pembagian tanah tersebut, karena mereka yang dianggap paling membutuhkan.

Dilihat dari pembagian tanah tersebut, memang lebih diutamakan dibagikan kepada para petani seperti juga halnya pembagian tanah pada tanah gogol. Pembagian tanah pada UUPA ini tidak menggunakan sistem lotre atau undian, melainkan

19 Boedi Harsono, op.cit., hlm. 366.

Berbeda halnya dengan pembagian tanah menggunakan sistem lotre, tanah yang dibagikan lebih ditujukan kepada rakyat biasa. Tanah-tanah yang dibagikan itu menjadi hak milik sehingga mereka harus mendaftarkan tanah mereka untuk mendapatkan tanda bukti kepemilikan tanah. Program pembagian tanah secara lotre sebenarnya kembali dilanjutkan setelah adanya UUPA tentang reditribusi tanah dan obyek tanahnya sama yaitu tanah kas negara yang masih tersisa ketika pembagian tanah pada tahun 1952. Namun hal tersebut tidak terealisasi, hal ini disebabkan situasi politik pada saat itu mengalami kekacauan dengan munculnya pemberontakan G 30 S/PKI .