Kajian Pustaka

E. Kajian Pustaka

Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya,( 1999). Salah satu bab membahas tentang hak-hak konversi, pada masa kolonial terdapat sebuah lembaga tentang Konversi yang berlaku di Keresidenan Surakarta dan daerah Istimewa Yogyakarata. Konversi pada saat itu, yaitu tanah milik raja berubah kepemilikan menjadi milik kolonial, sehingga raja tidak berhak atas tanah mereka, sedangkan tanah tersebut disewakan kepada pengusaha oleh pemerintah kolonial.

Setelah kemerdekaan pada tahun 1948 lembaga konversi yang dibuat oleh pemerintah kolonial dihapus, karena sangat merugikan rakyat. Kemudian pada saat itu juga pemerintah mengelurkan Undang-Undang no.13 tahun 1948, yang mencabut ketentuan-ketentuan VGR (Vorstenlandsch Grondhuur Reglement) yang mengatur hak-hak konversi tersebur. Tahun 1950 dikeluarkan Undang-Undang No.5 tahun 1950 yang memuat ketentuan-ketentuan tambahan dan pelaksana Undang-undang Setelah kemerdekaan pada tahun 1948 lembaga konversi yang dibuat oleh pemerintah kolonial dihapus, karena sangat merugikan rakyat. Kemudian pada saat itu juga pemerintah mengelurkan Undang-Undang no.13 tahun 1948, yang mencabut ketentuan-ketentuan VGR (Vorstenlandsch Grondhuur Reglement) yang mengatur hak-hak konversi tersebur. Tahun 1950 dikeluarkan Undang-Undang No.5 tahun 1950 yang memuat ketentuan-ketentuan tambahan dan pelaksana Undang-undang

Sediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi dalam bukunya Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa Ke Masa , (1984) membahas tentang stuktur penguasaan tanah dan stuktur sosial di pedesan Jawa, pengolahan tanah di Jawa yang masih menggunakan tradisi. Dalam pemilikan tanah ada beberapa bentuk atau status penguasan tanah tradisioanal yaitu:

a. Tanah yasan, yasa atau yoso, yaitu tanah dimana hak seseorang atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnya lah yang pertama-tama membuka atau mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini memperoleh status legal dalam UUPA 1960 sebagai tanah milik

b. Tanah norowito, gogolan, pekulen playangan, kasikep, dan sejenisnya, adalah tanah pertanian milik bersama, yang para warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap.

c. Tanah titisara, bondo desa, kas desa, adalah tanah milik desa yang biasanya disewakan, dengan cara dilelang kepada siapa yang mau menggarap.

terutama lurah yang dianggap sebagai gaji selama meraka memduduki jabatan tersebut.

Pembagian tanah tersebut masih berlaku dan mulai mengalami sedikit perubahan pasca kemerdekaan. Buku ini sebagai pedoman untuk membahas tentang peguasaan tanah di daerah Pajang yang merupakan daerah dari kasunanan Surakarta pada masa itu. Teori-teori yang ada di dalam buku ini juga digunakan dalam kaitannya dengan masalah penguasaan tanah di Surakarta yang khususnya di daerah Pajang.

Sediono M.P Tjondronegoro dalam bukunya yang berjudul Keping-keping Sosiologi dari Pedesaan dalam salah satu babnya membahas tentang masalah tanah dalam tinjuan sosiologis, pemecahan masalah-masalah tanah bila ditinjau dari sudut pandang sosiologis berarti menganalisa antar-hubungan golongan-golongan beserta usaha-usaha merubah antar-hubungan lapisan-lapisan masyarakat yang meguasai aset tanah, sehingga terjadi lapisan yang kuat dan lemah.

Masalah tanah tidak terlepas dari faktor politik, ekonomi dan sosial. Tinjuan sosiologis lebih menyoroti situasi-situasi konflik dalam pertanahan, bukan berdasarkan pada kekuatan tetapi lebih pada kepentingan ekonomi. Di dalam buku ini ada pembahasan tentang tanah negara yang tidak dapat diperjual belikan, namun dikonversikan oleh negara menjadi tanah pribadi atau badan hukum, sehingga ada keterkaitannya dengan pembagian tanah secara lotre. Tanah lotre merupakan tanah negara yang diberikan kepada rakyat berbadan hokum bisa diperjual-belikan. Teori- Masalah tanah tidak terlepas dari faktor politik, ekonomi dan sosial. Tinjuan sosiologis lebih menyoroti situasi-situasi konflik dalam pertanahan, bukan berdasarkan pada kekuatan tetapi lebih pada kepentingan ekonomi. Di dalam buku ini ada pembahasan tentang tanah negara yang tidak dapat diperjual belikan, namun dikonversikan oleh negara menjadi tanah pribadi atau badan hukum, sehingga ada keterkaitannya dengan pembagian tanah secara lotre. Tanah lotre merupakan tanah negara yang diberikan kepada rakyat berbadan hokum bisa diperjual-belikan. Teori-

UUPA 1960 yang mengatur tentang masalah pengelolaan tanah merupakan

perbaikan dari Undang-Undang Agraria Tahun 1870. UUPA 1960 secara jelas ingin melakukan pembaharuan yang memberikan kemakmuran kepada rakyat Indonesia yang sebagian besar kehidupannya tergantung pada sektor agraria. Akan tetapi, adanya landreform juga menimbulkan banyak konflik pada masa Orde Baru yang memfokuskan kebijakannya pada sektor pembangunan. Buku ini sebagian isinya membahas tentang permasalahan agraria dari tahun 1945-1965. Buku ini sebagai pedoman untuk pembahasan kondisi tanah lotre ketika adanya perubahan sistem agraria dan munculnya UUPA serta sebagai pedoman tentang konflik agraria setelah tahun 1965.

Panjang Jatmika dalam skripsi yang berjudul: “Penguasaan Tanah dan Pajak (Studi Kajian Sosial Ekonomi di Daerah Kabonangan Kasultanan Yogykarata Pada Tiga Dasawarsa Awal Abad XX) ”( 2002), menjelaskan sistem pemilikan tanah yang lebih menguatkan hak penduduk terhadap tanah yang terjadi pada abad XX melalui apa yang disebut sebagai Reorganisasi Agraria oleh Pemerintah Belanda. Sistem telah

dan secara permanen menjadi milik rakyat. Namun perbaikan ini kemudian menjadi sia-sia ketika politik eksploitasi Kolonial dengan sengaja menciptakan apa yang disebut sebagai Hak Konversi untuk tetap menguasai tanah rakyat tetapi tetap membebankan pajak tanah kepada rakyat. Akibatnya adalah rakyat semakin mendapatkan tekanan yang lebih besar yaitu kegagalan dalam mendapatkan tanah secara permanen dan masih ditambah lagi dengan adanya pembayaran pajak terhadap tanah yang tidak pernah dimiliki. Teori dalam skripsi ini digunakan dalam pembahasan tentang penguasaan tanah di Surakarta dan khususnya di Pajang tentang proses pajak yang terjadi pada saat penguasaan tanah masa Kolonial Belanda.

R. A Pri Eny dalam skripsinya yang berjudul: “Perubahan Status Pemilikan Tanah Milik Mangkunegaran sam pai dengan Pelaksanaan UUPA 1960” (1988), menjelaskan tentang sistem penguasaan tanah di Mangkunegaran masa kolonial dari masa sebelum reorganisasi tanah sampai masa reorganisasi tanah di Mangkunegaran. Penguasaan tanah di Mangkunegaran masa sebelum reorganisasi yaitu ketika pada masa feodalisme terjadi sistem tuan tanah. Raja sebagai penguasa atas tanah maka berlakunya sistem apanage yang bersifat kebekelan. Pada masa reorganisasi sistem apanage atau sistem kebekelan mulai dihapuskan, dengan seperti itu rakyat mendapatkan kejelasan tentang kepemilikan tanah. walaupun itu semua masih dalam pengawasan dari pemerintah kolonial Belanda. Penguasaan tanah pada masa kolonial, juga membahas tentang peralihan kekuasaan ketika masa kemerdekaan, ketika itu daerah Surakarta dijadikan sebagai daerah istemewa atau swapraja. Skripsi ini R. A Pri Eny dalam skripsinya yang berjudul: “Perubahan Status Pemilikan Tanah Milik Mangkunegaran sam pai dengan Pelaksanaan UUPA 1960” (1988), menjelaskan tentang sistem penguasaan tanah di Mangkunegaran masa kolonial dari masa sebelum reorganisasi tanah sampai masa reorganisasi tanah di Mangkunegaran. Penguasaan tanah di Mangkunegaran masa sebelum reorganisasi yaitu ketika pada masa feodalisme terjadi sistem tuan tanah. Raja sebagai penguasa atas tanah maka berlakunya sistem apanage yang bersifat kebekelan. Pada masa reorganisasi sistem apanage atau sistem kebekelan mulai dihapuskan, dengan seperti itu rakyat mendapatkan kejelasan tentang kepemilikan tanah. walaupun itu semua masih dalam pengawasan dari pemerintah kolonial Belanda. Penguasaan tanah pada masa kolonial, juga membahas tentang peralihan kekuasaan ketika masa kemerdekaan, ketika itu daerah Surakarta dijadikan sebagai daerah istemewa atau swapraja. Skripsi ini

Christina Vivit Virtawati dalam skripsinya yang berjudul: “Sistem Persewaan Tanah di Karesidenan Surakarta Akhir Abad XIX sampai XX”(2008), menjelaskan

tentang munculnya sistem persewaan tanah di kerisidenan Surakarta karena adanya lahan yang subur sehingga menarik para pengusaha swasta asing untuk menanamkan modal di kerisidenan Surakarta. Pelaksanaan sistem persewaan tanah di kerisidenan Surakarta dikelola oleh masyarakat pribumi di bawah kekuasaan seorang bekel dan penguasa pribumi, calon penyewa harus mempunyai syarat-syarat yang ada untuk memperoleh tanah sewaan dengan mudah dan lancar yang salah satunya dengan adanya uang sewa tanah yang besar kecilnya disepakati oleh kedua belah. Dalam sistem sewa tanah diatur oleh undang-undang agraria tahun 1870, dengan undang- undang tersebut diharapkan dapat mengatur dan menjamin kelancaran proses sistem persewaan tanah di Kerisidenan Surakarta.

Skripsi ini sebagai pedoman dalam pembahasan tentang kepemilikan tanah di Surakarta terutama di daerah Pajang, karena dalam sistem penguasaan tanah di dalamnya juga menjelaskan tentang sistem persewaan tanah yang ada di Surakarta. Dalam skripsi ini juga dijelaskan bagaimana sistem persewaan tanah yang diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda di Surakarta pada masa reorganisasi penguasaan tanah.

Kartosapotra, G. dkk. dalam bukunya Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi

Keberhasilan Pendayagunaan Tanah yang terbit tahun 1985, menjelaskan tentang

manusia tidak bisa dipisahkan dari tanah. Mereka hidup dari tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara menggunakan tanah. Tanah juga memiliki fungsi sosial sehingga mengharuskan adanya keseimbangan antara individu dengan kepentingan masyarakat dan negara dalam pendayagunaan tanah. Selain itu buku ini juga menyajikan pembahasan tentang hukum-hukum pemilikan dan pendayagunan tanah. Penguasaan dan penggunaan tanah diatur agar tidak terjadi kepemilikan tanah secara bebas, karena sudah ada dalam perundang- undangan yang mengatur tentang tanah.

Imam Soetiknjo dalam bukunya yang berjudul Politik Agraria Nasional (1983), membahas tentang hubungan manusia dengan tanah berdasarkan Pancasila yang dijelmakan dalam UUPA, dalam hal ini ialah adanya hubungan yang bersifat abadi antara bangsa Indonesia dengan bumi di wilayah Indonesia yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mewajibkan siapa saja yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah untuk memelihara dan menjaganya. Dalam buku ini juga menjelaskan proses pembentukan dari UUPA dan kerjasama Pemerintah dengan UGM, buku sebagai pedoman tentang penguasaan tanah lotre kaitannya dengan adanya UUPA 1960 dan berlakunya UUPA tersebut.

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, suatu metode yang digunakan untuk menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu —lisan maupun tulisan--dan merekontruksi

secara imajinatif masa lalu berdasarkan data yang diperoleh. 6 Pendapat lain mengatakan bahwa metode sejarah adalah proses mengumpulkan, menguji, dan menganalisa secara kritis rekaman-rekaman peninggalan masa lampau serta usaha

melakukan sintesa terhadap data masa lampau tersebut menjadi kisah sejarah. 7 Penulisan sejarah ini diharapkan dapat memberikan keterangan mengenai kejadian yang ada dengan mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya, konteks sosial-kulturalnya, atau dengan menganalisis secara mendalam tentang faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual serta unsur-unsur yang merupakan komponen dan eksponen dari sejarah tentang pembagian tanah kepada rakyat yang terjadi di Surakarta khususnya di Kelurahan Pajang.

Pendekatan yang dipakai adalah multidimensional yang dapat digunakan untuk meneropong segi-segi sosial, budaya, dan politik permasalahan yang dikaji. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi dan politik guna mengungkapkan kondisi masyarakat Pajang dalam memperoleh tanah secara sistem Lotre tahun 1951- 1972.

6 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 2.

7 Louis Goutschalk, Mengerti Sejarah (edisi terjemahan oleh Nugroho Notosusanto), (Jakarta: UI Press, 1975), hal. 32.

kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Langkah pertama yaitu heuristik, mencari dan menemukan sumber data dokumen di beberapa lembaga, yaitu Badan Pertanahan Nasional Surakarta, Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, dan beberapa pusat dokumen lainnya seperti monumen press, perpusatakaan keraton Surakarta, instansi Pemerintah yaitu kelurahan Pajang serta penerima tanah tersebut. Di samping itu, metode oral history dan life history juga sangat diperlukan untuk mengungkap kejadian masa lalu ditingkat individu, berkaitan dengan pengalaman

dalam memperoleh tanah secara sistem Lotre di kelurahan Pajang. 8 Wawancara mendalam dilakukan secara bebas dan terbuka terhadap sejumlah informan yang dipilih secara representatif, yaitu para narasumber yang dianggap mampu memberikan penjelasan tentang sistem Lotre sesuai keperluan penelitian ini. Para narasumber tersebut adalah masyarakat yang mendapatakan tanah lotre dan informan lain yang secara langsung bisa menambah perbendaraan data dalam penelitian ini.

Penelitian ini dengan studi pustaka 9 juga cukup penting guna melengkapi data

yang diperoleh. Studi pustaka ini berupa buku-buku yang dapat memperkaya data yang tidak diperoleh melalui pengkajian secara wawancara ataupun bahan-bahan

8 Kasijanto, et. al., Pedoman Penulisan Sejarah Lokal, (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2005), hal. 26.

9 Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan literatur dan referensi sebagai bahan informasi untuk mendapatkan teori dan data baru

dalam menganalisa masalah. (Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 37.

perpustakaan Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Perpustakaan Ilmu Sejarah.

Setelah menemukan berbagai sumber tertulis dan sumber lisan, langkah berikutnya adalah mengkritik sumber-sumber tersebut, baik menyangkut validitas maupun kredibilitasnya, dengan membandingkan sumber satu dengan lainnya. Langkah berikutnya setelah dilakukan kritik adalah menganalisis dan menginterpretasi data-data yang terkumpul untuk menemukan makna sejarah. Tahap interpretasi ini akan menghasilkan fakta dari data sumber yang akan terekam dalam pemikiran tentang informasi yang terkandung di dalamnya.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari wawancara mendalam, dokumen, tulisan dalam media

massa dan foto. 10 Setelah berhasil mengumpulkan fakta melalui proses analisis,

dilakukan reduksi data yaitu membuat abstraksi, menyusunnya dalam satuan-satuan, kemudian dikategorisasikan. Selanjutnya menuangkan ide-ide yang diperolehnya dalam bentuk fakta itu pada suatu karya penulisan sejarah ilmiah. Pada tahap ini, dituntut untuk menganalisis lebih lanjut dengan berbagai teori dan pendekatan yang diambil dari ilmu bantu terkait. Tahap ini dinamakan dengan istilah interpretasi. Langkah terakhir dalam metode sejarah adalah menyusun laporan dalam bentuk narasi yang sifatnya deskriptif maupun analitis.

10 Kasijanto, et. al., op. cit., hal. 33-34.

Sistematika penulisan dimaksudkan untuk lebih memudahkan memahami dan mempelajari skripsi ini, yang akan diuraikan dalam bab-bab secara berurutan.

Bab I merupakan Pendahuluan, berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Bab II dalam bab ini menguraikan stuktur pemilikan tanah di kelurahan Pajang sebelun tahun 1951 meliputi: kondisi geografis, penguasaan tanah di Pajang.

Bab III dalam bab ini menguraikan pembagian tanah negara berdasarkan lotre di kelurahan Pajang tahun 1951-1952 meliputi: konversi Tanah Negara menjadi Tanah milik individual, Proses pembagian tanah secara Lotre di Kelurahan Pajang, dampak yang terjadi terhadap masyarakat yang mendapatkan tanah Lotre.

Bab IV dalam bab ini menguraikan tentang proses kepemilikan tanah lotre di kelurahan Pajang tahun 1953-1972 meliputi, Pemilikan Tanah Lotre Tahun 1953 Hingga 1972 Di Kelurahan Pajang, Jual-Beli Tanah Lotre .