Sistem Penguasaan Tanah pada Masa Kerajaan hingga Kolonial Belanda

1. Sistem Penguasaan Tanah pada Masa Kerajaan hingga Kolonial Belanda

Sistem penguasaan tanah secara tradisional menunjukkan bahwa raja merupakan pemilik mutlak atas tanah yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Rakyat yang menempati tanah raja tidak mempunyai hak milik atas tanah sama sekali. Status mereka semata-mata ialah sekedar sebagai penumpang. Mereka diharuskan menjalankan berbagai kewajiban yang diperintahkan oleh raja.

Kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan oleh rakyat yang menumpang pada tanah raja di antaranya ialah: Pertama, membayar pajak atas tanah yang dikerjakan dengan perjanjian apabila tanah yang diolah bergantung pada musim hujan, maka pajak tanah yang harus diserahkan kepada raja adalah ½ dari hasil panen. Apabila sawah tanah hujan itu merupakan tanah panganga (ladang), maka pajak yang diserahkan adalah 1/3 dari hasil panen. Apabila ada sawah yang hasilnya minim sekali, maka pajak yang

diserahkan sebesar ¼ atau 1/5 dari hasil panen. 4 Tiap 1 bau dari 5 bau tanah yang digarap rakyat dibebaskan dari pajak. Bagian 1 bau ini merupakan tanah lungguh resmi bekel. Selanjutnya 4 bau sisanya dikerjakan oleh rakyat. Setiap kepala keluarga menggarap

4 Pringgodigdo, Geschiedenis der Ondernemingen van het Mangkoenogorosche Rijk , terjemah M. Marjono Tareono (lahir serta Timbulnya Kerajaan Mangkunegaran),

(Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran, 1950), hlm. 5.

bekel sebagai penarik pajak.

Kedua, menyerahkan atau membayar tambahan yang namanya taker turun (permintaan para patuh), raja pundut (permintaan raja), dan uba rampe (perlengkapan). Tiga hal itu dianggap sebagai tambahan atas pajak dengan ketentuan tidak melebihi 75% dari pajak yang diserahkan kepada raja. Ketiga, rakyat yang menumpang di tanah itu diwajibkan menjalankan rodi (hereendiensten) yang disebut bau suku, yang dilaksanakan hanya pada hari-hari besar, misalnya Grebeg Maulud dan Grebeg Puasa. Selain itu pula, rakyat masih melaksanakan tugas desa, seperti memelihara jalan desa, bendungan dan

jembatan. 5 Selain tugas-tugas di atas, masih diberlakukan pula kerja wajib bagi rakyat. Kerja wajib dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a. Kerigan (desa diensten) untuk perbaikan jalan, pematang, jembatan, dll. Kerigan dilakukan lima sekali selama lima jam, sedangkan dines kemit yaitu menjaga rumah penyewa tanah yang dilakukan seminggu sekali.

b. Gugur gunung yaitu berupa perbaikan infrastruktur desa karena banjir dan gangguan alam. Gugur gunung tidak dapat dipastikan kapan dilakukan, tetapi sekurang- kurangnya dikerjakan sebulan sekali.

c. Kerigaji (heerendiensten) yaitu kerja wajib untuk raja dan patuh.

5 Adhi Agus W ijayanto, “Serat Nanas Mojogedang dan Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Tahun 1922- 1937”, Diakronik, Vol.3, No. IV, juli 2009, Jurusan

Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 62-63.

dilakukan pada perkebunan tebu dan kopi. Beberapa contoh ialah kerja wajib di pabrik gula, yaitu jaga malam di gudang, jaga di kebun-kebun tebu, dan lain-lain. 6 Ditinjau dari fungsinya, tanah kerajaan dibedakan menjadi dua. 7 Pertama, tanah

yang menghasilkan suatu barang yang ditentukan dan diperlukan oleh istana yang terdiri dari bumi pamajegan sebagai penghasil pajak berupa uang dan bumi pangrembe yaitu tanah yang dimanfaatkan hasil tanamannya seperti padi dan minyak kelapa untuk keperluan istana. Selain itu ada yang disebut sebagai bumi gladak, yaitu tanah yang penduduknya diberi tugas dalam bidang transportasi misalnya pada waktu pesta perkawinan, kelahiran, kematian, dan keperluan-keperluan lain. Kedua, tanah lungguh atau apanage yaitu tanah yang dipinjamkan kepada para sentono selama mereka memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja. Tanah lungguh juga berfungsi sebagai gaji untuk para pegawai istana atau narapraja.

Di bawah ini akan dijelaskan tentang macam-macam jenis tanah kerajaan, yaitu:

a. Tanah apanage Masyarakat agraris menjadikan tanah sebagai satu-satunya sumber pendapatan. Raja

sebagai pemilik tanah kemudian memberikan tanah dengan hak meminjam kepada para sentono dalem sesuai dengan loyalitas maupun hirarkis kekuasaan yang dipegangnya.

6 Suhartono, Apanage dan Bekel Perubahan Sosial Pedesaan Surakarta 1830- 1920 , (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 41-42.

7 Suhartono., op.cit., hlm 35.

tanah lungguh atau tanah apanage. 8 Kata lungguh di sini menunjukan kedudukan atau status di dalam birokrasi tradisional. Diangkatnya seseorang menjadi pejabat pemerintah kerajaan berimplikasi pada meningkatnya kedudukan dan pemberlakuan privelege atau hak istimewa yang berlaku dalam sistem lungguh.

Tanah lungguh terdiri dari lahan-lahan yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Seorang penduduk desa dapat memperoleh satu patok (kurang lebih 3,5 ha) untuk digarap. 9 Luas tanah apanage yang diberikan menunjukkan tinggi rendahnya kedudukan dari pemerintah kerajaan dan kedudukan tanah tersebut bersifat gadhuhan atau pinjaman. Setelah masa jabatan seseorang tersebut habis, maka tanah gadhuhan tersebut dikembalikan kepada istana. Sementara jika jabatan tersebut kosong dan belum ada penggantinya, maka tanah apanage diurus oleh kepatihan sebagai tanah gatungan.

Luas tanah apanage dihitung menurut cacah, yaitu berdasarkan jumlah penduduk yang tinggal sebagai pembayar pajak. Seberapa pun luas tanah tidak akan berfungsi tanpa keberadaan mereka. Sebagai gambaran, jika seorang bupati mendapatkan 1000 karya berarti ia mendapatkan tenaga yang terdiri 1000 sikep. Sikep di sini berkedudukan sebagai petani pemilik sawah dan pekarangan. Semakin banyak sikep yang ada di

8 Rouffaer., “Vorstenlanden Adatrechtsbund XXXIV”, terjemahan M. Husodo, (Surakarta: Rekso Pustoko pemerintah Swapraja, 1987). hlm 11 .

9 Sediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi., Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, (Jakarta: PT

Gramedia, 1984), hlm. 150.

keberhasilan pengolahan suatu daerah apanage diperlukan keberadaan cacah serta diperlukan orang yang mengorganisasikan para cacah tersebut. Untuk kepentingan itulah maka seorang lurah patuh kemudian mengangkat bekel sebagai wakilnya yang mengkoordinasikan para cacah tersebut. Bekel bertugas sebagai pengumpul pajak dari para sikepnya. Selain itu bekel juga berfungsi sebagi perantara antara patuh dengan para sikepnya . Sebagai imbalan atas pekerjaan tersebut, seorang bekel berhak mendapat 1/5 bagian dari hasil tanah daerah kekuasaannya, dan 2/5 bagian untuk raja atau patuh dan

2/5 bagian yang lain untuk sikep yang menggarap tanah tersebut. 10

b. Tanah pangrembe Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan yang terletak di pedalaman dengan basis

kehidupan masyarakat yang bersifat agraris. Konsep tradisional ini tidak dapat dipisahkan dari tanah. Masyarakat tradisional menganggap raja sebagai pemilik seluruh tanah kerajaan. Tanah merupakan sarana legitimasi kekuasan, karena penguasaan tanah yang luas merupakan kewibawaan serta kekayaan raja. Di samping itu tanah merupakan sarana ekonomi yang menunjang pemenuhan kebutuhan kerajaan dengan cara memanfaatkan hasil alam. Bagi Kasunanan, kedudukan sebagai raja menempatkan penguasa itu sebagai pemilik tunggal tanah kerajaan sehingga raja memiliki hak istimewa terhadap tanah. Raja

10 Panjang Jatmika, “Penguasaan Tanah dan Pajak (Studi Kajian Sosial Ekonomi di Daerah Kabonangan Kasultanan Yogyakarta Pada Tiga Dasawarsa Awal Abad XX).

Skripsi, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS, 2002, hlm. 20-21.

digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan keluarganya. Raja harus membiayai kehidupan pribadi dan keluarga. Guna mencukupi semua itu, raja harus memiliki sumber penghasilan yang besar. Tanah khusus yang menjadi milik raja untuk rumah tangganya inilah yang disebut sebagai tanah pangrembe. Tanah ini menghasilkan bahan pangan, kudapan dan bahan-bahan yang diperlukan istana. Raja menyerahkan penggarapan tanah itu kepada bekel. Khusus untuk desa-desa yang cukup luas, para bekel ada di bawah pengawasan demang.

Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, Surakarta atau Kasunanan terikat kontrak- kontrak dengan Gubernemen sebagai bagian dari Vorstenlanden. 11 Pajang merupakan

bagian dari daerah Surakarta. Sebelum kemerdekaan, Pajang merupakan kekuasaan dari Kraton Surakarta. Berhubung Pajang merupakan bagian dari Kraton Surakarta, maka penguasaan tanah di Pajang tidak jauh berbeda dengan penguasaan di Surakarta.

Penguasaan tanah pada masa kerajaan tradisional di bawah kekuasaan Kasunanan menempatkan raja sebagai pemilik seluruh tanah kerajaan dengan memberlakukan tanah apanage sebagai gaji untuk para pegawai pemerintah kerajaan. Hak-hak penguasaan tanah berada di bawah kekuasan raja, tetapi pengaturan penggunaan hak diserahkan kepada pemegang lungguh. Setelah adanya campur tangan pemerintah kolonial, ditandai dengan adanya perjanjian antara Paku Buwono II dengan pemerintah kolonial pada tanggal 11 Desember 1749, dalam lampiran 6a termuat pernyataan sebagai berikut:

11 Suhartono., op.cit., hlm. 23 .

menggah karaton matawis,saking Kangdjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Hangalaga Ngabdulrahman Sajidin Panatagama, hinggih hawit saking hikang parentah kangdjeng kumpeni kang ageng wahu, Gupernur sartta direktur hing tanah Djawi Djohan Handrajs

Baron Van Hohendoref. 12

Terjemahan lampiran 6a sebagai berikut: surat perjanjian ini menyatakan tentang pelepasaan sebagian Pemerintah Kraton dari Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama, yang berasal dari Pemerinth Pembesar Kompeni, Kraton itu diserahkan kepada Gubernur Jendral Kompeni serta direktur yang memimpin di tanah Jawa Djohan Handrajs Baron Van Hohendoref.

Adanya perjanjian tersebut mengakibatkan adanya perubahan penguasaan tanah. Rakyat yang menempati tanah raja diwajibkan menyerahkan upeti melalui para birokrat tradisonal. Setelah perjanjian 11 Desember 1749, beban rakyat bertambah. Mereka harus mengeluarkan upeti kepada raja dan juga kepada pemerintah Kolonial. Adanya peraturan tentang pertanahan dari pemerintah kolonial juga menimbulkan perubahan struktur tanah yang semula berdasarkan adat kemudian berubah menjadi berdasarkan peraturan dari pemerintah kolonial yang diberlakukan di Vorstenlanden, termasuk juga di Pajang.

Penguasaan tanah pada masa reorganisasi terbagi ke dalam 3 golongan, yaitu:

a. Komplek tanah dengan pajak yang berupa hasil bumi innatural (padi, kayu, dan sebagainya) terdapat di tanah pangrembe,

b. Tanah lungguh dan apanase dari putra sentana dan pegawai praja atau orang lain, dan

12 Soekanto, Sekitar Yoyakarta 1755-1825, (Yogyakarta: Mahabarata,1952), hlm.178 12 Soekanto, Sekitar Yoyakarta 1755-1825, (Yogyakarta: Mahabarata,1952), hlm.178

Mereka yang mendapat tanah lungguh ini disebut para patuh. Pengelolaan tanah tersebut tidak dikerjakan sendiri, melainkan diserahkan kepada bekel. Para bekel ini bertanggung jawab mengelola tanah milik para patuh dan memobilisasi tenaga kerja petani untuk menggarap tanah. Peraturan-peraturan dalam mengatur tanah-tanah tersebut disebut sebagai Angger gunung dan Angger Sudasa yang berasal dari Kasunanan. Para bekel ini juga berfungsi untuk menarik pajak para petani. Tanah yang digarap oleh petani dalam sistem apanage harus memberikan hasil kepada kerajaan untuk membantu perekonomian kerajaan dan pemerintah Kolonial. Hasil itulah yang dinamakan pajak.

Pembayaran pajak dapat berupa uang atau barang. Pembayaran untuk bumi pangrembe dilakukan dengan maro hasil, sedangkan pembayaran untuk bumi pamajegan dibayar dengan uang dengan perhitungan satu real setiap jung (1 jung + f 2,80). 14 Selain

pajak tersebut masih juga terdapat pajak-pajak lain yang diwajibkan kepada rakyat.

Posisi bekel berada pada jenjang paling bawah dalam hierarki feodalistik, sehingga secara vertikal ia menampung tugas-tugas dari atas dan memberikan pelayanan ke atas. Posisi ini memberikan keuntungan bagi para bekel. Keuntungan itu banyak diperoleh dari sawah dengan menarik pajak yang hasilnya diperuntukkan bagi para patuh, raja dan sebagian untuk bekel. Perhitungan sistem pajak ditentukan dengan separoh dari

13 Ibid., hlm 54.

14 Suhartono., op.cit., Hlm. 39.

pemerintah kolonial serta pajak yang lain yang telah ditetapkan. Pada masa sistem sewa tanah, awal abad 19 para raja menyewakan tanahnya kepada orang-orang Cina dan Belanda/Eropa. Sistem sewa ini meniadakan kebebasan rakyat karena tanah-tanah yang disewakan kepada orang Belanda dan oleh para penyewa lainnya tersebut bukan hanya tanah yang disewakan, namun termasuk pula masyarakat yang tinggal di atas tanah yang disewakan.

Petani merupakan seorang penggarap tanah apanage dan membagi hasil panennya menjadi dua atau sering disebut dengan sistem maro: 2/5 bagian, 25 bagian penggarap dan 1/5 bagian bekel. Pada setiap desa terdapat hampir 3 (tiga) sampai 7 (delapan) bekel dan para sikep.

Sistem bagi hasil yang berlaku di Surakarta pada umumnya, pada khususnya Pajang ialah:

1. Sistem Maro, yaitu suatu perjanjian pembagian hasil pertanian dengan perbandingan 1:1 dengan berbagai ketentuan sebagai berikut:

a. Pemaro merupakan penyerahan sejumlah uang kepada pemilik tanah atas sejumlah tanah yang digarap dan diserahkan kepada penggarap. Sebelum tanah digarap, penggarap tanah harus menyerahkan sebagian uang kepada pemilik tanah.

b. Pemilik tanah mendapat sewa berupa hasil sebelum diserahkan kepada penggarap dan menerima 50% dari hasil panen, sedangkan yang 50% diberikan kepada penggarap.

tanah agar penggarap tanah memperoleh hak sepenuhnya atas tanah garapan, sedangkan sisanya dari 1/8 dibagi rata antara pemilik tanah dan penggarap.

2. Sistem mertelu, yaitu suatu perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:2 dengan maksud pemilik tanah memperoleh 2/3 dari hasil panen, sedangkan penggarap hanya memperoleh 1/3 bagian.

3. Sistem mrapat, yaitu suatu perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:3. 15 Sistem sewa ini merugikan para penggarap tanah lungguh, karena tanah ini disewakan kepada orang asing, sehingga penggarap juga dijadikan buruh mereka, sebab mereka menggarap tanah yang telah disewakan. Sistem sewa diterapkan di daerah Surakarta, sehingga kondisi seperti itu membuat kedudukan rakyat semakin kecil dalam penguasaan tanah pada masa sistem sewa tanah. Penguasaan tanah lebih didominasi oleh para bangsa asing. Sistem agraria mengenai peraturan-peraturan tentang pertanahan sebelum masa reorganisasi sangat tidak efektif, sehingga perlu diadakan perubahan mengenai peraturan-peraturan tentang tanah. Oleh karena itulah, maka pemerintah kolonial melakukan reorganisasi agraria.

Keputusan pengadaan reorganisasi baru terlaksana pada tahun 1909 setelah melalui persiapan bertahun-tahun. Latar belakang reorganisasi agraria di Keresidenan Surakarta dipengaruhi oleh dorongan pemerintah dan faktor yang bersifat ideologis.

15 Christina Vivit Virtawati, “Sistem Persewaan Tanah di Karesidenan Surakarta Akhir Abad XIX sampai XX ”. Skripsi, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni

Rupa. UNS, 2008, hlm.31.

orang harus bebas dari keterikatan tanah dan harus ada pemisah antara orang yang menikmati hasil tanah dan kekuasan orang-orang yang hidup dalam tanah tersebut. Hal inilah yang mendorong pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kepastian tentang hukum terhadap hak-hak petani dan kewajiban petani dalam pengusaan tanah. Cara seperti itu mengoptimalkan eksploitasi terhadap tanah apanage di Surakarta.

Pada masa reorganisasi agraria, penguasaan tanah di Surakarta mengalami perubahan. Sistem feodal dihilangakan. Tanah apanage mulai dihapuskan, sehingga ada kepastian dalam bagi hasil modal asing. Reorganisasi agraria merupakan usaha menempatkan sistem administrasi langsung di bawah perintah residen dan memperluas kekuasaan serta kewibawaan kolonial Belanda. Adanya reorganisasi berakibat pada turunnya kewibawaan Sunan. Selain mengurangi kewibawaan Sunan, pengangkatan kepala-kepala desa berarti memperkuat pangreh praja guna mengawasi desa-desa. Untuk itu diperlukan perubahan administrasi dan keuangan yang memisahkan antara kas

kerajaan dengan kas pribadi raja. 16

Tahun 1912 mulai diadakan perubahan agraria di Surakarta yang juga mengubah dasar-dasar yuridis yang menyebabkan adanya “Domein Verklaring “(pernyataan sebagai hak milik) dari hukum agraria pada tanah-tanah yang langsung di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dengan dukungan peraturan yang berlaku bagi seluruh Hindia Belanda tersebut, para raja –raja berdasarkan peraturan pemerintah

16 Suhartono., op.cit., Hlm. 95.

pemiliknya berdasarkan hak-hak lain menurut pengertian Eropa. Keberadaan peraturan tersebut setidaknya memberikan keuntungan kepada raja, sebab semua tanah yang tidak digarap/ditanami menjadi milik raja.

Di Surakarta pada umumnya dan di Pajang pada khususnya, tanah merupakan kuasa raja atau penguasa pribumi. Ternyata status demikian tidak mempunyai kepastian hukum, dalam arti tidak ada peraturan umum mengenai status tanah itu misalnya tentang status hukum sewa-menyewa tanah. Kepastian hukum atas tanah itu dilakukan dengan dihapuskannya sistem feodal atas tanah, yaitu dihapuskannya tanah jabatan atau tanah lungguh , sehingga penguasaan tanah oleh patuh hanya berstatus hak anggaduh (pinjam sementara) telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak

andarbe (milik) secara individual. 17 Dengan demikian, status penguasaan individu sudah mulai jelas, sehingga rakyat bisa merasakan kepastian dalam penguasaan tanah walaupun di bawah pengawasan dan aturan-aturan dari pemerintah Kolonial Belanda.

Kondisi seperti ini mulai memperjelas penguasaan tanah pada masa reorganisasi. Sistem feodal sudah mulai dihapuskan dan milik perorangan mulai ada dalam sistem pengusaan tanah di daerah Surakarta pada umumnya dan di Pajang pada khususnya. Reorganisasi tanah di daerah Surakarta mengubah tatanan tentang tanah-tanah yang diserahkan pada perkebunan asing (onderneming) maupun untuk tanah-tanah perorangan dan untuk desa. Sejak adanya perubahan dalam bidang pertanahan, pemerintah kolonial

17 Suhartono., op.cit., Hlm. 97.

karena itu, adanya reorganisasi menghasilkan tanda bukti tertulis yang dinamakan akte hak pakai tersebut.

Sistem persewaan tanah di Surakarta saat reorganisasi juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut mensyaratkan adanya 3 (tiga) hal, yaitu:

a. Subjek hukum dari perjanjian sewa tanah.

b. Objek hukum dari perjanjian.

c. Bentuk dan formalitas dari perjanjian. 18

Setelah penghapusan tanah apanage, maka sistem penggajian untuk para pegawai kerajaan juga mengalami perubahan dari tanah apanage diganti dengan gaji tunai. Perubahan ini juga berakibat pada hilangnya peranan bekel, sehingga banyak bekel yang dibebastugaskan, namun ada juga yang dijadikan sebagai kepala desa. Adanya reorganisasi mengubah bentuk administrasi yaitu dibentuknya kepala desa dan bupati yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda dan kerajaan.

Sistem administrasi yang baru dalam pengorganisasian desa terhadap tanah bekas dari bekel digunakan rakyat untuk ditanami tanaman pangan dan sebagai digunakan untuk perkebunan. Jika seorang bekel meninggal dunia, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada pejabat administrasi desa yang baru dan digabungkan dengan tanah kas desa. Pamong kelurahan diberi raja berupa tanah dengan status tanah sebagai hak

18 Pri Eny, R

A, “Perubahan Status Pemilikan Tanah Milik Mangkunegaran sampai dengan Pelaksanaan UUPA 1960”. Skripsi, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS, Hlm.90.

tanah domein bebas dari raja yang tidak diserahkan kepada kelurahan-kelurahan dengan hak milik (komunal). Tanah-tanah kosong dapat dibuka oleh rakyat untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian atau tempat tinggal. Hak tanah kosong ini masih dipertahankan hingga sesudah reorganisasi yang kemudian disebut sebagai hak membuka tanah.

Sistem sewa tanah saat reorganisasi menimbulkan persewaan tanah yang dilaksanakan oleh pihak perkebunan asing, dalam hal ini petani sebagai penggarap tanah yang berkewajiban mengelola tanah dari tuan tanah. Jika para tuan tanah milik pribumi menyewakan tanahnya kepada perkebunan asing sehingga petani yang menggarap tanah dari tuan tanahnya tersebut juga ikut bekerja untuk perkebunan asing sebagai penyewa tanah tersebut, kondisi ini mengakibatkan petani sangat dirugikan dan diperas tenaganya.

Reorganisasi memberikan dampak yang menyebabkan hubungan antara petani dan kerajaan mengalami suatu perubahan. Penghapusan tanah apanage dan sistem bekel membuat berakhirnya suatu hubungan timbal balik antara pemegang tanah lungguh dengan bekel dan penggarap. Pada masa kerajaan hingga masa kolonial Belanda, rakyat atau petani menjadi kaum yang tertindas dan berada pada posisi terendah dalam status sosial penguasaan tanah di Surakarta. Namun reorganisasi tanah ini juga memperjelas dalam hak penguasaan tanah bagi rakyat atau petani