BAB Review Kinerja Dengan Atau Tanpa Implementasi KPS

Bab V BAB Review Kinerja Dengan Atau Tanpa Implementasi KPS

5 TANPA IMPLEMENTASI KPS REVIEW KINERJA DENGAN ATAU

  Dalam tataran konseptual, kerjasama konsesi dipandang mampu merangkum semua manfaat yang ditawarkan oleh skema-skema KPS seperti management contract, lease serta BOT (build-operate-transfer). Telah dibahas pada Bab II, review kinerja penyelenggaraan air minum dengan atau tanpa KPS dalam studi ini menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar dalam merasionalisasi penerapan KPS dalam pengelolaan infrastruktur air minum, dengan memperluas tinjauan pada kemungkinan aspek-aspek negatif sebagai akibat dari dilibatkannya pihak swasta.

V.1. Perluasan Pelayanan

  Klaim Pemerintah bahwa tidak tersedianya cukup anggaran untuk membiayai investasi infrastruktur air minum telah memberi alasan yang kuat bagi dipilihnya konsesi sebagai cara untuk melibatkan sektor swasta. Inisiatif untuk melibatkan investasi swasta melalui konsesi menjadi semakin mendesak mengacu pada tekanan pencapaian Millennium Development Goals (MDGs), terutama target kesepuluh yang menetapkan untuk mengurangi hingga setengah di tahun 2015, proporsi penduduk dunia yang tidak memiliki akses pada layanan air minum yang aman secara berkesinambungan.

  Konsesi mejadi pilihan yang paling menjanjikan mengingat hanya skema inilah yang menawarkan investasi pembangunan tidak hanya pada sistem produksi tapi juga distribusi. Relevansinya bahwa konsesi tidak seperti management contract yang tidak akan pernah melibatkan investasi swasta ataupun lease yang hanya memungkinkan perbaharuan fasilitas tapi tidak untuk memperluas sistem yang ada (Hall dan Lobina, 2002). BOT memiliki karakteristik yang sangat dekat dengan konsesi. Selain jangka waktu yang sama-sama panjang, BOT juga mampu memobilisasi investasi swasta dalam skala yang besar. Namun seperti yang dikemukakan oleh Budds dan McGranahan (2003), implementasi BOT lebih terfokus pada greenfield project seperti fasilitas pengolahan (treatment plant) dan reservoar pengaliran.

  Uraian-uraian tadi mengindikasikan bahwa hanya konsesi saja yang mampu mengkombinasikan dua pendekatan dasar dalam pemilihan KPS yang disebutkan oleh Abdel-Aziz (2007): finance-based approach untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dan service-based approach untuk optimasi proses dan meningkatkan efisiensi dalam deliveri layanan.

KPS memperluas pelayanan?

  Pada tahun 2007, cakupan pelayanan ATB telah mencapai 86. Angka ini setara dengan 619.459 penduduk yang telah terlayani. Catatan: ATB telah mengklarifikasi angka 86 dengan menyatakan bahwa cakupan nyata di lapangan adalah 94 - 95 dengan memasukkan masyarakat yang dilayani oleh Kios Air dan adanya dormitory yang dihuni sekitar 80 ribu jiwa dan hanya dilayani oleh dua buah sambungan di kawasan Industri Batamindo.

  Namun terlepas dari polemik “persentase cakupan” yang sesungguhnya, pencapaian ATB terlihat kontras dengan pencapaian cakupan PDAM Tirta Pakuan pada tahun yang sama yang baru mencapai 46. Angka ini setara dengan jumlah penduduk 406.435 jiwa. Sebagaimana terlihat pada gambar

  V.1, pada tahun 1998 hingga 2001, jumlah pelanggan PDAM Tirta Pakuan

  lebih banyak dari ATB. Tapi sesudah tahun-tahun tersebut, pertumbuhan PDAM Tirta Pakuan cenderung bergerak perlahan, sebaliknya ATB meningkat sangat pesat.

  tif ak 100,000

  pe h 60,000

  PDAM Tirta Pakuan

  PT. ATB

  Gambar V.1. Pertumbuhan pelangganm PDAM Tirta Pakuan vs ATB

  Timpangnya indikator kinerja jumlah penduduk dilayani antara PDAM Tirta Pakuan dengan ATB ini sebenarnya bisa ditelusuri dari histori investasinya, dimulai dari sejarah bahwa Kota Bogor pada dasarnya telah mempunyai sistem pelayanan air minum sejak tahun 1918. Sistem yang dibangun oleh Pemerintah Belanda saat itu, dengan nama Gemente Waterleiding Buitenzorg, memanfaatkan sumber mata air Kota Batu yang berkapasitas 70 Ldet. Pada tahun 1930 – 1950, telah dilakukan penambahan kapasitas sebanyak 30 Ldet, yang berasal dari Mata Air Ciburial milik PAM Jaya. Histori investasi yang selanjutnya tercatat pada tahun 1967, Departemen PUTL (Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik) merencanakan penambahan kapasitas air dari mata air Bantar Kambing melalui Reservoir Cipaku. Namun investasi yang diperlukan untuk pipa transmisi sangat besar, maka Pemerintah Pusat mengusahakan bantuan dari luar negeri.

  Pada tahun 1970 berhasil diperoleh hibah (grant) dari Pemerintah Australia, yang dikenal dengan Proyek Colombo Plan. Selain peralatan perpipaan dan accessories-nya, bantuan juga termasuk feasibility study, perencanaan dan supervisi. Di tahun 1983 PDAM Kota Bogor merintis kerjasama dengan salah satu perusahaan air minum Belanda, NV. PWN – yang memberi bantuan seperangkat peralatan berupa peralatan teknik perpipaan dan bengkel meter yang belakangan berkontribusi besar dalam menurunkan NRW PDAM Tirta Pakuan. Pada tahun 1988 PDAM Tirta Pakuan berhasil menambah kapasitas produksi sebesar 120 Ldet, dengan membangun IPA dengan air baku dari Sungai Cisadane yang nilainya Rp. 12 Milyar (tidak termasuk biaya pembebasan lahan). Biaya tersebut diambil dari tabungan PDAM, yang berhasil disisihkan dari pembayaran rekening air minum pelanggan selama kurun waktu 10 tahun (PKP – DPU, 2008).

  Pada tahun 1994, PDAM Tirta Pakuan membangun tambahan kapasitas produksi 60 Ldet dengan memanfaatkan sumber air dari sungai Cisadane. Investasi diambil dari modal sendiri senilai Rp. 904 Juta. Hasilnya, pada tahun 1996, jumlah pelanggan telah mencapai 7000 sambungan dengan NRW yang mencapai 50 . Sebagai catatan bahwa tingginya kehilangan air ditengarai karena kurang baiknya pipa dinas (sebelum meter air) dan kondisi pipa distribusi yang sudah tua. Dalam kelanjutannya, ternyata butuh waktu yang tidak singkat untuk merealisasikan investasi yang berikutnya. Pada tahun 2007 (PKP – DPU, 2008), PDAM melakukan penambahan jaringan dan sarana penunjang lainnya melalui proyek pengembangan prasarana terpadu

  (P3KT), berupa bangunan penangkap air yang memiliki kapasitas hingga 2000 Ldet, bangunan IPA dengan kapasitas maksimal 600 Ldet, serta reservoar dan jaringan transmisi dan distribusi.

  Kotak 8. Histori PDAM Tirta Pakuan

  1918

  Gemente Waterleiding Buitenzorg [70 Ldet]

  1930 - 1950 Ada tambahan kapasitas 30 Ldet

  1967

  Dep. PUTL merencanakan menambah kapasitas tapi investasi pipa transmisi sangat besar [diupayakan bantuan luar negeri]

  Dapat hibah (grant) dari Pemerintah Australia [Colombo Plan – bantuan

  1970

  peralatan perpipaan dan accessories-nya, termasuk feasibility study, perencanaan dan supervisi]

  Kerjasama dengan perusahaan air minum Belanda, NV. PWN [dapat bantuan

  1983

  seperangkat peralatan berupa peralatan teknik perpipaan dan bengkel meter yang belakangan berkontribusi besar dalam menurunkan NRW]

  PDAM berhasil menambah kapasitas 120 Ldet, Rp. 12 Milyar (tidak termasuk

  1988

  biaya pembebasan lahan), diambil dari tabungan PDAM yang berhasil disisihkan dari pembayaran rekening air minum pelanggan selama kurun waktu 10 tahun.

  1994

  PDAM menambah kapasitas 60 Ldet, investasi diambil dari modal sendiri Rp. 904 Juta

  1996

  Jumlah pelanggan telah mencapai 7000 SL dengan NRW mencapai 50 PDAM menambah jaringan dan sarana penunjang lainnya melalui proyek

  pengembangan prasarana terpadu (P3KT), in-take kapasitas hingga 2000

  2007

  Ldet dan IPA kapasitas max 600 Ldet, serta reservoar dan jaringan transmisi dan distribusi

  Dari ulasan singkat di atas maka corak investasi sistem pelayanan air minum di kedua perusahaan tidaklah bisa dikatakan tipikal. ATB memiliki sejarah yang “lebih singkat” dibanding PDAM Tirta Pakuan yang hampir seabad jika dihitung sejak 1918 (sebagai catatan bahwa berbagai versi cerita tentang PDAM Tirta Pakuan selalu bermula dari kisah tersebut). Jauh sebelum ATB terlibat, pelayanan air minum di Kota Batam telah diselenggarakan oleh Otorita Batam (OB) sejak tahun 1978, dengan cara membangun dan memelihara waduk-waduk tangkapan air. Hal itu harus dilakukan karena Pulau Batam memang tidak memiliki sumber air secara melimpah seperti halnya PDAM Tirta Pakuan di Kota Bogor.

  Adapun ATB baru mulai beroperasi penuh di Kota Batam sejak tahun 1995 (proses penjajakan hingga penandatanganan perjanjian konsesi berjalan antara tahun 1993 – 1995).

  Di masa-masa awal konsesi, ATB memang diisyaratkan agar mampu menyediakan pelayanan air minum yang minimal bisa menyaingi pelayanan air minum di negara tetangga Singapura, untuk mendukung daya tarik Batam sebagai pusat industri. Pengakuan ATB bahwa di fase-fase awal pelaksanaan kerjasama, kelompok pelanggan industri lebih mendominasi kelompok pelanggan domestik dengan komposisi 70:30. Namun beberapa tahun belakangan komposisi tersebut telah berbalik secara drastis sebagai dampak nyata ledakan pertumbuhan penduduk yang tidak biasa di Kota Batam. Jika pada tahun 1995 penduduk Batam baru mencapai 196.080 jiwa, maka per Juli 2008 jumlah tersebut telah meningkat lebih dari 300 atau 791.608 jiwa (OB, 2008). ATB melaporkan bahwa total investasi aktual mereka pada tahun 1996 – 1997 adalah Rp. 26,48 Milyar, dengan alokasi-alokasi terbesar pada refurbishment WTP (water treatment plant), distribution mains dan investasi WTP baru. Investasi-investasi ATB pada tahun-tahun selanjutnya cenderung fluktuatif, namun seperti yang terlihat pada Gambar V.2, ATB melaporkan bahwa investasi mereka dalam rangka konsesi pelayanan air minum di Kota Batam hingga tahun 2006 telah mencapai Rp. 256 Milyar atau Rp. 270 Milyar jika memasukkan tahun 2007.

  h ia 200,000 up r 150,000 an ta Ju 100,000

  Annual investmet

  Cummulative investment

  Gambar V.2. Total investasi ATB tahun 1997 – 2006

  (Sumber: ATB)

  Dari uraian-uraian di atas, terlihat bahwa ATB telah menunjukkan konsesi memang mampu meningkatkan perluasan pelayanan. Sebagai catatan, laporan ATB yang terakhir menyebutkan bahwa jumlah pelanggan mereka pada tahun 2008 sudah mencapai 141.311 SL.

KPS memobilisasi investasi swasta?

  Indikator jumlah penduduk yang dilayani menunjukkan bahwa cakupan pelayanan ATB telah meningkat pesat dibanding pada masa-masa awal konsesi. Sejak awal konsesi hingga tahun 2007, ATB telah menginvestasikan sebesar Rp. 270 Milyar. Dari keterangan-ketarangan yang diperoleh, ATB selalu mengkombinasikan sumber-sumber pembiayaan investasi dari modal sendiri (equity) dan hutang (debt). PDAM Tirta Pakuan sendiri sebenarnya juga melakukan investasi dalam perluasan pelayanan, namun jumlahnya tentu tidak sebanding dengan ATB. Dalam hal ini, akses pada pinjaman menjadi sangat penting, karena ATB mungkin terlihat lebih mudah mendapatkan pinjaman Bank sedangkan PDAM Tirta Pakuan baru dalam pengajuan pinjaman kepada Bank Dunia dalam beberapa tahun belakangan ini. Sebagai catatan tambahan bahwa persetujuan kenaikan tarif ATB di bulan Desember 2007 telah berdampak pada meningkatnya pendapatan sekitar 20, sehingga ATB bisa memperlihatkan arus kas positif kepada Bank untuk mendapatkan fasilitas pinjaman (ATB Annual Review Report, 2007). Dengan demikian studi ini mengindikasikan bahwa ATB memang mampu memobilisasi modal swasta

  yang bersumber dari pinjaman 24 , tapi dengan syarat bahwa aspek-aspek yang membuat suatu proyek “bankable” memang bisa dipenuhi 25 .

  Pada dasarnya cara membiayai proyek dengan memobilisasi dana melalui pinjaman bisa dan telah dilakukan juga oleh PDAM Tirta Pakuan 26 . Namun

  seperti halnya ATB, PDAM Tirta Pakuan juga perlu memastikan bahwa proyek yang diusulkannya memang layak dibiayai dengan pinjaman. Dalam konteks ini tingkat pengembalian yang biasanya diukur dengan IRR (internal rate of return) memegang peranan yang penting. Investasi ATB, misalnya, telah dijamin dengan IRR sebesar 26,5 dalam perjanjian konsesi dan itulah yang membuat proyek-proyek ATB, seperti pembangunan IPA Duriangkang menjadi “bankable” dan bisa mengakses pinjaman Bank.

  Studi ini mengindikasikan bahwa argumen Hall dan Lobina (2007) bahwa kontrak dengan pihak swasta gagal menghasilkan investasi untuk membangun infrastruktur baru tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus.

  25 European International Contractor (2003) menyatakan bahwa para penawar (bidders) dan investor harus bisa memastikan bahwa risiko-risiko proyek bisa dimitigasi dengan baik (properly) atau minimal

  ada keseimbangan antara jaminan (guarantees) dengan manfaat-manfaat yang ditawarkan, sebab jika tidak maka proyek tidak bankable karena dianggap tidak viable. Isu ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kepastian persetujuan tarif ATB yang menjadi pertimbangan Bank dalam meyetujui pinjaman bagi ATB.

  26 Pinjaman dari Bank Dunia akan digunakan untuk melakukan perluasan jaringan dan penambahan pelanggan baru, dengan perkiraan kebutuhan dana sebesar Rp 86,975 miliar. Rencana pinjaman

  sudah disetujui DPRD Kota Bogor, tinggal menunggu negosiasi antara pemerintah pusat dengan

  Pemko Bogor (http:newspaper.pikiran-rakyat.com)

Kompetitor alam

  Terkait perluasan pelayanan – isu tersebut memang merupakan persoalan sangat krusial terkait pencapaian MDGs – namun strategi mengubah pilihan- pilihan masyarakat dalam mengakses air untuk kebutuhan konsumsi sehari- hari juga perlu diperhatikan. Studi ini menemukan sebagian besar masyarakat (jumlah sampel 75 KK) yang bukan pelanggan, tidak berminat menjadi pelanggan PDAM Tirta Pakuan. Kondisi yang terjadi di Kota Bogor jelas berbeda dengan di Kota Batam karena air merupakan “harga mati” bagi masyarakat Kota Batam. Pertanyaan-pertanyaan tentang sumber air utama yang diakses selama ini telah dijawab dengan baik oleh para warga yang menjadi sampel. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa untuk keperluan makan dan minum sehari-hari mereka, masyarakat Kota Batam lebih nyaman menggunakan air minum dalam kemasan (AMDK) dibanding mengolah air dari sumber-sumber yang tersedia di alam seperti melalui sumur, dan sebagainya. Sebaliknya, seperti terlihat pada Gambar V.3, lebih dari setengah masyarakat (sampel) Kota Bogor memilih memanfaatkan sumber air dari sumur pompa. Sebagian kecil yang menggunakan AMDK lebih dimotivasi kepraktisan dan penghematan bahan bakar minyak (BBM) dibanding pertimbangan kesehatan. Terlihat juga bahwa 60 sampel non-pelanggan ATB lebih memilih AMDK sebagai sumber air minum. Bahkan dari hasil interview, sebagian besar dari mereka juga menggunakan AMDK untuk keperluan memasak makanan. Dari sisi ekonomi, kecenderungan masyarakat Kota Batam menggunakan AMDK tidak terlalu mengherankan karena AMDK yang dikonsumsi adalah AMDK isi ulang yang harganya relatif terjangkau dengan harga berkisar antara Rp. 3500 hingga Rp. 4000 per galonnya.

  Responden yang menjawab

  Sumur Pompa

  r Sumur Dangkal

  be AMDK

  m

  Su

  Mobil Tangki 0 2

  Lain-lain

  13 PDAM Tirta Pakuan

  PT. ATB

  Gambar V.3. Sumber air yang diakses masyarakat non-pelanggan PDAM Tirta Pakuan dan ATB untuk kebutuhan makan dan minum

  Demikian pula dengan kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para penghuni rumah seperti mandi, cuci dan gelontor toilet, sebagian besar masyarakat (sampel) Kota Bogor juga mengunakan sumber air dari sumur pompa yang kualitasnya relatif baik, berbeda dengan sumur dangkal yang diakses oleh masyarakat Kota Batam yang memiliki tingkat kekeruhan tinggi – lebih banyak digunakan dalam keadaan “terpaksa”.

  Responden yang menjawab

  Sumur Pompa

  r Sumur Dangkal

  ai

  r

  be Air Hujan 0

  Mobil Tangki

  Lainnya

  PDAM Tirta Pakuan

  PT. ATB

  Gambar V.4. Sumber air yang diakses masyarakat non-pelanggan PDAM Tirta Pakuan dan ATB untuk kebutuhan mandi, cuci dan gelontor toilet

  Terkait sumber air untuk memenuhi kebutuhan harian seperti mandi dan mencuci, masyarakat yang belum mendapat air dari ATB juga memanfaatkan air lori yang dijual dengan drum yang diangkut memakai truk. Para warga menyatakan bahwa air lori tidak jelas sumbernya, bisa diperoleh dari waduk- waduk OB, dan ada yang beranggapan air tersebut diambil begitu saja dari parit-parit. Para responden juga diminta untuk memberikan pendapat mereka tentang sumber air yang mereka akses seperti yang tergambarkan pada Gambar V.3. Terlihat hampir 100 mayarakat Kota Bogor yang belum menjadi pelanggan PDAM Tirta Pakuan relatif sudah merasa puas dengan sumber air air yang mereka akses hingga saat ini. Sebaliknya, lebih dari 80 sampel non-pelanggan ATB yang umumnya tinggal di kawasan-kawasan perumahan liar di Kota Batam belum merasa puas dengan dengan sumber air yang baru bisa mereka akses hingga saat ini. Ini telah dibahas sebelumnya bahwa kualitas sumber air mereka sangat buruk – misal, tingkat kekeruhan yang tinggi. Gambar V.5 menyajikan persepsi masyarakat (sampel) yang bukan pelanggan PDAM Tirta Pakuan dan ATB terhadap sumber air minum yang mereka akses hingga saat ini.

  Responden yang menjawab

  Sudah puas dengan sumber air

  saat ini dan relatif mudah

  Sudah cukup puas dengan sumber air saat ini tapi masih

  sulit memperolehnya

  Belum puas dengan sumber air

  saat ini

  PDAM Tirta Pakuan

  PT. ATB

  Gambar V.5. Kepuasan terhadap sumber air yang diakses masyarakat non-pelanggan PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  Studi ini juga memperdalam interview dengan menanyakan kepada para warga terkait keinginan mereka mendapatkan akses air yang disediakan PDAM Tirta Pakuan atau ATB. Hasil yang diperoleh memberikan peringatan yang jelas kepada pihak manajemen PDAM Tirta Pakuan bahwa dari 75 sampel non-pelanggan yang diinterview, lebih dari 70 menyatakan ketidak- inginan mereka untuk menjadi pelanggan PDAM. Sebaliknya, hampir semua masyarakat (sampel) yang belum menjadi pelanggan ATB pada umumnya memang mendambakan air yang kualitasnya lebih baik, dalam hal ini yang disuplai oleh ATB. Gambar V.6 memperlihatkan perbandingan persentasi warga non-pelanggan PDAM Tirta Pakuan vs ATB yang ingin dan tidak ingin menjadi pelanggaan.

  Responden yang menjawab

  Ya, ingin menjadi

  Tidak ingin menjadi

  pelanggan

  PDAM Tirta Pakuan

  PT. ATB

  Gambar V.6. Keinginan masyarakat non-pelanggan PDAM Tirta Pakuan vs ATB yang ingin menjadi pelanggan

  Dengan demikian, studi ini mengindikasikan bahwa tantangan yang dihadapi PDAM Tirta Pakuan dalam memperluas cakupan pelayanannya tidak hanya terletak pada kendala untuk mengakses sumber-sumber pembiayaan untuk investasi, tapi juga perlu meningkatkan inovasi dan strategi pemasaran mereka agar bisa mengubah pola akses air sebagian masyarakat Kota Bogor, yang umumnya telah merasa nyaman dengan sumber air yang mereka dapatkan hingga saat ini.

V.2. Efisiensi Operasional

  Efisiensi merupakan salah satu argumen penting yang melatar-belakangi perlunya keterlibatan pihak swasta dalam pengelolaan layanan air minum. Hal itu pada umumnya berangkat dari asumsi bahwa dengan keahlian teknis dan keterampilan manajerial yang dimiliki, pihak swasta diharapkan bisa lebih baik dan efisien dari sektor publik dalam mendeliveri layanan serupa. Berkaitan dengan isu tersebut, studi ini menemukan bahwa dalam beberapa indikator, ATB mungkin terlihat lebih efisien dibanding PDAM Tirta Pakuan, tapi tentu hal itu masih bisa diperdebatkan.

  Telah dibahas sebelumnya bahwa ATB ternyata mampu menurunkan tingkat kehilangan airnya hingga 26 pada tahun 2006, lebih rendah dari rata-rata nasional yang mencapai 39. Pencapaian tersebut meningkat secara pesat dibanding tahun-tahun awal masa konsesi yang pernah mencapai lebih dari

  30. Keberhasilan ini tidak terlepas dari adanya Program Kios Air yang pada awalnya hanya ditujukan untuk menurunkan NRW, tapi belakangan juga dirasakan manfaatnya karena sangat membantu bagi warga yang tinggal di permukiman ilegal di Kota Batam.

  Dari sisi ekonomi, program Kios Air telah mengurangi jumlah sambungan ilegal yang diketahui berkontribusi sangat besar bagi NRW ATB. Meskipun ATB mengklaim program Kios Air tersebut juga dalam rangka pemerataan pelayanan, termasuk harga yang diberikan juga masuk dalam kategori low cost, sebetulnya ATB juga mendapat keuntungan yang besar dari strategi tarif progresif pada program ini, karena dalam kenyataannya para pengguna kios air harus membayar penggunaan air pada blok tarif tertinggi, yakni untuk

  3 pemakaian di atas 40 M 3 dengan harga Rp. 3000M . Hal itu bisa terjadi karena pengelolaan kios air dengan cara menggandeng kontraktoroperator

  setempat dengan sistem 1 (satu) meteran pelanggan untuk melayani ratusan bahkan ribuan KK.

  Berbeda dengan ATB, tingkat kehilangan air PDAM Tirta Pakuan lebih banyak dikontribusikan oleh kehilangan teknis, seperti kebocoran pipa, yang diketahui banyak yang telah berusia tua. Namun manajemen PDAM Tirta Pakuan ternyata memilih untuk tidak menurunkan tingkat kehilangan air mereka secara radikal untuk menjaga tingkat pelayanan di sisi pelanggan tetap berjalan dengan baik. Dengan kebijakan tersebut PDAM Tirta Pakuan bisa menjaga kontinuitas pengalirannya bisa 24 jam penuh dengan tekanan pengaliran di pipa pelanggan yang cukup. Tanpa mengesampingkan usaha- usaha teknis PDAM untuk menurunkan kehilangan airnya, kebijakan tersebut mengindikasikan PDAM Tirta Pakuan lebih memprioritaskan kebutuhan yang ada di sisi pelanggan. Semua kapasitas terpasang ATB telah beroperasi penuh atau tidak ada idle capacity. Sebaliknya per tahun 2007, PDAM Tirta Pakuan masih memiliki idle capacity 72,99 Ldet. Namun itu tidak bisa disebut “tidak efisien” karena persentasinya sangat kecil (6) mengacu pada kapasitas terpasang 1270 Ldet.

  Rasio biaya energi ATB memang lebih tinggi dari PDAM Tirta Pakuan, namun itu tidak bisa dihindari karena secara alamiah PDAM sangat diuntungkan dengan kondisi topografi Kota Bogor. Dalam kaitan ini pihak PDAM Tirta Pakuan bisa memanfaatkan secara maksimal gaya gravitasi untuk sistem distribusinya. Sebaliknya bagi ATB, biaya-biaya listrik telah menyita hampir setengah biaya langsung usaha dan hal itu tidak bisa dihindari perusahaan karena sistem distribusi mereka memang didominasi oleh penggunaan pompa yang memerlukan energi listrik. Tingginya biaya energi juga membuat biaya operasi ATB menjadi lebih besar yang pada akhirnya membuat indikator

  kinerja biaya operasional per M 3 air terjual milik ATB terlihat lebih tinggi dari PDAM Tirta Pakuan.

  Dengan cakupan pelayanan 86 pada tahun 2007 yang melayani 124.140 sambungan langganan, ATB hanya memerlukan 364 karyawan. Sebaliknya pada tahun yang sama, dengan cakupan pelayanan yang berselisih hampir setengahnya, yaitu 46 atau setara dengan 74.988 sambungan langganan, PDAM Tirta Pakuan memerlukan 494 karyawan. Angka tersebut lebih banyak sekitar 35 dari yang dimiliki ATB. PDAM Tirta Pakuan mengklarifikasi bahwa jumlah karyawan mereka termasuk para tenaga outsourcing yang jumlahnya lebih dari 70 orang pada tahun 2007, sesuatu yang tidak digunakan menurut klaim ATB. Dengan melihat rasio karyawan per 1000 pelanggan maka harus diakui bahwa ATB lebih “efisien” dari PDAM Tirta Pakuan.

V.3. Kualitas Pelayanan

  Indikator-indikator kualitas pelayanan menunjukkan bahwa tidak ada dasar yang kuat untuk mengaitkan alasan-alasan yang menjadi dasar pemilihan KPS dalam pengelolaan infrastruktur. Studi ini mengindikasikan bahwa isu kualitas pelayanan lebih berkaitan dengan “siapa yang peduli?”. Persepsi masyarakat pelanggan sangat penting karena mereka akan mengevaluasi setiap item layanan yang diterima. Kenyataannya, lebih banyak pelanggan PDAM Tirta Pakuan yang merasa puas dengan layanan yang mereka terima dibanding ATB. PDAM Tirta Pakuan memperlihatkan bahwa “mungkin” keputusan mereka untuk “mempertahankan” NRW telah memberi dampak positif di sisi yang lain, lebih banyak pelanggan mereka yang menyatakan “puas” pada indikator kontinuitas pengaliran dan tekanan air di pipa-pipa rumah mereka. Tapi apakah kualitas pelayanan yang baik cuma tentang itu saja – tentu jawabannya tidak.

  PDAM Tirta Pakuan sebagai perusahaan yang ditasbihkan sebagai perusahaan publik yang mengemban “dua fungsi” sekaligus, ternyata mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi untuk mempertahankan usahanya dan kewajiban sosialnya. Kelompok Kerja AMPL (2008) menulis bahwa tak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan PDAM Tirta Pakuan lantaran memiliki hubungan yang sangat baik dengan masyarakat Kota Bogor. PDAM Tirta Pakuan mampu mengkomunikasikan seluruh kegiatan ataupun kebijakan yang dilakukan kepada masyarakat dengan baik, dan sebagai timbal baliknya, masukan baik berupa kritikan maupun saran dari masyarakat dapat membantu suksesnya pengelolaan PDAM Tirta Pakuan. Strategi komunikasi ini dilahirkan dari inisiatif Tim Hubungan Masyarakat (Humas) dari PDAM Tirta Pakuan sendiri, tidak terdapat bantuan dari pihak lain. Terdapat banyak contoh keberhasilan PDAM Tirta Pakuan dalam strategi komunikasinya, salah satunya terkait dengan masalah tarif. PDAM Tirta Pakuan menerapkan kenaikan tarif yang terus bertahap. Tiap tahun maksimal tarif PDAM Tirta Pakuan mengalami kenaikan sebesar 25 (ini dapat berlaku dengan syarat dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPRD). Tidak adanya protes dari para pelanggan mengenai kenaikan tarif ini, selain karena PDAM tetap mempertahankan pelayanannya, seperti debit air yang tetap tinggi dan air yang jernih, meskipun tarif dinaikkan, PDAM juga melakukan sosialisasi yang dilakukan secara berkala pada para pelanggan terkait dengan berbagai kebijakan yang ditempuh maupun peraturan-peraturan yang dibuat. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan meliputi berbagai macam cara antara lain melalui PDAM Tirta Pakuan sebagai perusahaan yang ditasbihkan sebagai perusahaan publik yang mengemban “dua fungsi” sekaligus, ternyata mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi untuk mempertahankan usahanya dan kewajiban sosialnya. Kelompok Kerja AMPL (2008) menulis bahwa tak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan PDAM Tirta Pakuan lantaran memiliki hubungan yang sangat baik dengan masyarakat Kota Bogor. PDAM Tirta Pakuan mampu mengkomunikasikan seluruh kegiatan ataupun kebijakan yang dilakukan kepada masyarakat dengan baik, dan sebagai timbal baliknya, masukan baik berupa kritikan maupun saran dari masyarakat dapat membantu suksesnya pengelolaan PDAM Tirta Pakuan. Strategi komunikasi ini dilahirkan dari inisiatif Tim Hubungan Masyarakat (Humas) dari PDAM Tirta Pakuan sendiri, tidak terdapat bantuan dari pihak lain. Terdapat banyak contoh keberhasilan PDAM Tirta Pakuan dalam strategi komunikasinya, salah satunya terkait dengan masalah tarif. PDAM Tirta Pakuan menerapkan kenaikan tarif yang terus bertahap. Tiap tahun maksimal tarif PDAM Tirta Pakuan mengalami kenaikan sebesar 25 (ini dapat berlaku dengan syarat dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPRD). Tidak adanya protes dari para pelanggan mengenai kenaikan tarif ini, selain karena PDAM tetap mempertahankan pelayanannya, seperti debit air yang tetap tinggi dan air yang jernih, meskipun tarif dinaikkan, PDAM juga melakukan sosialisasi yang dilakukan secara berkala pada para pelanggan terkait dengan berbagai kebijakan yang ditempuh maupun peraturan-peraturan yang dibuat. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan meliputi berbagai macam cara antara lain melalui

  Selain itu, tingkat keluhan pelanggan PDAM Tirta Pakuan juga rendah. Hal ini dikarenakan PDAM Tirta Pakuan selalu berusaha memberikan tanggapan secara cepat pada saat pelanggan mengajukan keluhan atas pelayanan yang tidak memuaskan. PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor tidak pernah berhenti berusaha untuk terus dapat memuaskan pelanggan. Untuk pelayanan pelanggan yang lebih optimal, PDAM Kota Bogor telah menyiapkan call center

  24 jam, penambahan loket pembayaran, penyediaan ruang keluhan pelanggan, dan pembuatan situs website PDAM Tirta Pakuan. Terkait dengan website, tidak hanya informasi seputar PDAM Tirta Pakuan yang bisa diperoleh, namun masyarakat pelanggan juga bisa menghitung seberapa besar tagihan air bulanan mereka.

  Pelayanan PDAM Tirta Pakuan juga tidak berhenti hanya sampai pada tahap menyediakan air bersih bagi masyarakat. Saat ini, PDAM Kota Bogor telah memiliki program Zona Air Minum Prima (ZAMP) yang diberlakukan sejak Agustus 2004. ZAMP merupakan program air siap minum. Program ZAMP dilakukan melalui kerjasama pendanaan antara PDAM Tirta Pakuan, USAID (United State Agency for International Development), dan PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia). Dana tersebut selanjutnya digunakan untuk pembuatan jaringan dan PCA (Post-Chlorination Analysis), yaitu alat untuk memeriksa sisa-sisa klor pada akhir jaringan. Pemberian asistensi teknis dalam pengoperasian ZAMP dilakukan oleh PERPAMSI. ZAMP telah diujicobakan di wilayah Pakuan dengan 600 orang pelanggan. Sambungan perpipaan yang terdapat di wilayah Pakuan yang menjadi tempat dijalankannya program ZAMP dipasangi alat pengukur klor yang memudahkan petugas memeriksa apakah tingkat klor yang ada di air yang dialirkan ke daerah tersebut masih berada di dalam batas yang telah ditetapkan sebagai standar air yang layak untuk langsung diminum.

  KPS: Memfasilitasi inovasi?

  Terdapat juga argumen bahwa dengan KPS, sektor publik dalam hal ini Pemerintah bisa mengalihkan beberapa tanggungjawab dan risiko untuk memfasilitasi dilakukannya inovasi. Namun sebagai konsorsium yang salah satu induknya adalah trans-national company (TNC) yang berpengalaman luas di bisnis air secara global, ATB seharusnya bisa lebih pro-aktif dalam berkomunikasi dengan para pelanggannya. Studi ini telah mengungkap bahwa hingga saat ini tahun 2009, setelah lebih dari 13 tahun mengelola konsesi pegelolaan air minum di Kota Batam, pihak manajemen ATB menyatakan bahwa mereka baru memulai rencana untuk mengembangkan komunikasinya dengan para pelanggan. Minimnya loket-loket pembayaran (payment point) seharusnya telah menjadi perhatian serius ATB sejak dulu. Hal ini perlu dikritisi karena jangka waktu penagihan ATB relatif lebih lama dibandingkan PDAM Tirta Pakuan yang hanya memerlukan waktu 48,85 hari. ATB memerlukan 61,54 hari atau menurun drastis dibanding pencapaian tahun 2003 yang pernah mencapai 45,8 hari.

V.4. Tarif Pelayanan

  Beberapa indikator kinerja aspek keuangan menunjukkan bahwa layanan ATB terlihat lebih tinggi dibanding PDAM Tirta Pakuan. Pada tahun 2007, biaya operasional ATB per M 3 air terjual adalah Rp. 1.672, lebih tinggi dari yang

  dimiliki PDAM Tirta Pakuan, yaitu Rp. 1.314. Tapi angka yang cuma berselisih Rp. 358 tersebut perlu dicermati secara lebih mendalam karena kekhasan setiap perusahaan dalam mengembangkan biaya-biaya operasinya. Pada ATB misalnya, biaya energi pada tahun yang sama lebih tinggi 10 kali lipat dari biaya energi yang dikeluarkan oleh PDAM Tirta Pakuan. Namun biaya pegawai ATB ternyata lebih besar dari PDAM Tirta Pakuan, sedang di saat yang sama ATB memiliki jumlah pegawai yang sedikit seperti ditunjukkan oleh angka rasio karyawan per 1000 pelanggan. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa produktivitas karyawan ATB juga lebih tinggi disebabkan luasnya skala bisnis mereka yang mencakup lebih dari 120 ribu pelanggan, dibanding PDAM Tirta Pakuan yang memiliki jumlah pelanggan sekitar 60 jumlah pelanggan ATB. Pos-pos biaya operasi ATB juga terlihat lebih beragam dibanding PDAM Tirta Pakuan. Berdasarkan data tahun 2006 misalnya, biaya-biaya operasi ATB bisa mencakup biaya-biaya umum dan administrasi seperti management fees (22), legal and professional fees (6) serta directors and comissioners fees (7).

  Motif pelayanan atau keuntungan?

  Terlepas dari biaya operasi yang cukup memiliki kompleksitas, sebenarnya motif setiap perusahaan bisa ditelusuri melalui tarif yang dibebankan kepada

  para penggunanya. Pada tahun 2007, misalnya, rata-rata harga air per M 3 ATB adalah Rp. 4.431 sedangkan PDAM Tirta Pakuan adalah Rp. 2.767.

  Dengan menggunakan data biaya operasional per M 3 air terjual yang telah disebutkan sebelumnya, maka dapat dilihat seberapa besar laba yang dipetik

  setiap perusahaan untuk setiap M 3 air yang terjual. Seperti diilustrasikan pada Gambar V.7, terlihat bahwa motif proft lebih besar berada pada ATB dengan

  proporsi laba sebesar 62 dari harga air rata-rata per M3, sedangkan PDAM Tirta Pakuan 53.

  Tarif Rp. 4.431

  Tarif Rp. 2.767

  Laba Kotor

  Laba Kotor 1453

  PDAM Tirta Pakuan

  ATB

  Gambar V.7. Perbandingan tarif rata-rata PDAM Tirta Pakuan vs ATB Namun perlu dicermati bahwa tarif rata-rata di atas didasarkan pada konsumsi

  semua kelompok pelanggan mulai dari kelompok sosial, domestik, niaga hingga industri dan khusus. Dengan demikian rata-rata harga air per M 3 yang

  ditunjukkan tidak mencerminkan tarif yang sesungguhnya di lapangan. PDAM Tirta Pakuan membagi pelanggannya ke dalam 4 (empat) golongan tarif, yaitu golongan I (sosial umum), golongan II (sosial khusus), golongan III (rumah tangga A, rumah tangga B, rumah tangga C, dan instansi pemerintah), dan golongan IV (niaga kecil dan besar). Dengan struktur seperti itu, tarif termurah

  diberikan pada pelanggan sosial umum (Rp. 300M 3 ) dan yang tertinggi pelanggan niaga besar (Rp. 6.700M 3 ).

  Dengan sistem tarif progresif, pelanggan sosial umum harus membayar Rp. 650 atau lebih dari dua kali lipat dari sebelumnya untuk pemakaian di atas 10

  3 M 3 . Sedangkan untuk pelanggan niaga besar akan membayar Rp. 9.000 M untuk pemakaian lebih dari 10 M 3 . Studi ini mengindikasikan bahwa hampir

  bisa dipastikan sebagian besar konsumsi air para pelanggan PDAM Tirta Pakuan, khususnya mereka yang masuk dalam kelompok pelanggan domestik

  akan terkena tarif pada blok yang tertinggi (> 10 M 3 ), karena sesuai hasil survey 150 pelanggan (sampel) diketahui rata-rata pelanggan PDAM Tirta

  Pakuan memakai air 29 M3 setiap bulannya. Oleh karena itu sebanyak 19 M 3 dari jumlah air yang digunakan akan terkena tarif progresif. Seperti terlihat

  dalam tabel V.1., rata-rata harga air per M 3 yang harus dibayar pelanggan RB PDAM Tirta Pakuan untuk penggunaan 29 M 3 adalah Rp. 2.314. Kondisi itu

  berbeda dengan ATB yang membagi pelanggannya ke dalam 5 (lima) golongan tarif. Dengan asumsi penggunaan air rata-rata pelanggan (sampel)

  3 ATB sesuai hasil survey adalah 24 M 3 , maka rata-rata harga per M yang dibayar pelanggan domestik ATB adalah Rp. 1.792.

  Tabel V.1. Perbandingan tarif pelanggan domestik PDAM Tirta Pakuan vs ATB

  Pemakaian

  29 M 3 24 M 3 Harga

  Harga (Rp.)

  Total harga

  Harga rata-rataM 3 2,314

  Adapun untuk kelompok pelanggan RA (PDAM Tirta Pakuan), tarifnya adalah Rp. 950, lebih tinggi dari tarif low cost (ATB), Rp. 650. ATB baru mengenakan

  3 tarif progresif pada pemakaian > 30 M 3 , sedangkan PDAM > 20 M . Dengan demikian, jika menggunakan asumsi penggunaan per bulan yang sama

  dengan sebelumnya (29 M 3 ), maka pelanggan “RA” PDAM setiap bulannya akan dikenakan tarif Rp. 1.605M 3 , dibanding pelanggan low cost ATB (asumsi

  3 24 M 3 bulan) yang dikenai tarif Rp. 702M .

  Tabel V.2. Perbandingan tarif pelanggan MBR PDAM Tirta Pakuan vs ATB

  Pemakaian

  29 M 3 24 M 3 3 PDAM ATB Harga

  (M )

  Bulan

  Harga (Rp.)

  Total harga

  Harga rata-rataM 3 1,605

V.5. Program Khusus untuk Melayani Masyarakat Miskin

  PDAM Tirta Pakuan memiliki sejumlah program yang “pro” pada masyarakat miskin, mulai dari pengelompokkan pelanggan RA hingga micro credit untuk

  cicilan sambungan baru, serta adanya Terminal Air dan Hidran Umum (TAHU). Studi ini telah secara khusus melakukan crosscheck, namun tidak menyeluruh, terhadap para pelanggan yang masuk kategori “RA” – kelompok pelanggan yang membayar tarif lebih murah dalam struktur tarif PDAM Tirta Pakuan. Secara umum studi ini mengindikasikan bahwa PDAM Tirta Pakuan perlu melakukan pemeriksanaan dan evaluasi terhadap pelanggan-pelanggan “RA” secara berkala untuk memastikan bahwa program untuk melayani “masyarakat miskin” tidak sampai salah sasaran. Pemeriksaan dan evaluasi berkala ini juga bisa memberi nilai positif karena dengan mengklasifikan kembali pelanggan sesuai kelompok tarifnya yang sesuai akan memperluas basis pendapatan PDAM.

  Adapun manajemen ATB menyatakan bahwa hingga saat ini mereka belum memiliki program khusus untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Mekipun para shareholder bersama manajemen ATB memiliki komitmen untuk memberi kebijakan subsidi pada pelanggan low cost, namun implementasi di lapangan menunjukkan program ini tidak sepenuhnya sejalan dengan tujuan awalnya, yaitu untuk melayani perumahan yang dihuni oleh mereka yang berpenghasilan kurang mampu, dengan kriteria rumah tipe 21 dan belum di plester. Secara umum studi ini mengindikasikan bahwa indikator-indikator low cost yang digunakan ATB terlalu kaku karena dari interview langsung ke Adapun manajemen ATB menyatakan bahwa hingga saat ini mereka belum memiliki program khusus untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah. Mekipun para shareholder bersama manajemen ATB memiliki komitmen untuk memberi kebijakan subsidi pada pelanggan low cost, namun implementasi di lapangan menunjukkan program ini tidak sepenuhnya sejalan dengan tujuan awalnya, yaitu untuk melayani perumahan yang dihuni oleh mereka yang berpenghasilan kurang mampu, dengan kriteria rumah tipe 21 dan belum di plester. Secara umum studi ini mengindikasikan bahwa indikator-indikator low cost yang digunakan ATB terlalu kaku karena dari interview langsung ke

V.6. Konservasi Lingkungan

  Secara umum sumber air ATB tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan PDAM Tirta Pakuan. Telah dibahas pada Bab II dan III bahwa PDAM Tirta Pakuan juga menggunakan sumber air permukaan dari Sungai Cisadane, tapi keberadaannya yang di hulu sungai membuat kualitas airnya relatif masih baik sehingga tidak membebani proses pengolahan. PDAM Tirta Pakuan juga memiliki sumber air dari mata air yang memberi keuntungan bagi rendahnya biaya pengolahan. Tapi meskipun memiliki sumber air yang relatif berlimpah tersebut, PDAM Tirta Pakuan juga telah turut mengalokasikan anggaran yang secara khusus bagi kegiatan-kegiatan penghijauan guna melindungi kawasan

  konservasi di daerah resapan air 27 .

  Sebaliknya, ATB sangat bergantung pada waduk-waduk tadah hujan yang dimiliki Otorita Batam. Namun terkait usaha-usaha konservasi sumber air, ATB menyatakan bahwa dengan telah dibayarnya royalti dan pajak air baku, maka konservasi menjadi tanggungjawab OB. Sebagai catatan tambahan, dari data yang ada diketahui bahwa secara kumulatif, sejak tahun 1996 sampai dengan 2007, ATB telah merealisasikan kewajibannya hingga mencapai Rp. 453 Milyar. Kewajiban-kewajiban tersebut mencakup pajak, royalti, investasi, pajak air baku kepada Ototita Batam dan Pemko Batam. Jika dibandingkan terhadap total kewajiban yang telah dibayarkan, yaitu Rp. 453 Milyar, diketahui bahwa pajak air baku yang telah dibayarkan ATB kepada OB adalah

  7 atau sekitar Rp. 29,6 Milyar. Adapun pajak air baku yang merupakan bagian Pemko (1) mulai dibayarkan sejak tahun 2000, dan secara kumulatif hingga tahun 2007 telah berjumlah sekitar Rp. 4,4 Milyar.

  Suara Karya Online, 9 April 2006, merilis berita dengan judul ““PDAM Kota Bogor Lindungi Kawasan Konservasi”, dengan intisari berita: guna melindungi kawasan konservasi daerah resapan air, PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor gencar melakukan gerakan penghijauan dengan menanam 400 pohon, sekaligus untuk mendukung gerakan penghijauan nasional. Pada tahun 2006 PDAM Tirta Pakuan telah menganggarkan dana Rp 40 juta. Selain untuk sosialisasi perawatan lahan resapan air yang ada di kalangan masyarakat, PDAM juga secara teratur akan menanam pohon-pohonan yang bisa melindungi kawasan konservasi.

Bab VI BAB Penutup

6 PDAM TIRTA PENUTUP DAN PEMBELAJARAN

  Studi ini mengkaji berbagai aspek kinerja PDAM Tirta Pakuan dan ATB untuk menyediakan gambaran yang seimbang mengenai penyelenggaraan pelayanan air minum dengan atau tanpa implementasi KPS. Secara umum, dari enam aspek kinerja yang dikaji, bisa dikatakan para penyedia air minum yang menjadi obyek studi memiliki kekhasan masing-masing yang saling membedakan satu dengan yang lainnya dan beberapa diantaranya berada di luar konteks peyedia milik publik atau swasta.