Tinjauan Partisipasi Swasta dalam Penyed

In don esia

Kata Pengantar

  Laporan ini merupakan Laporan Akhir kegiatan penelitian “Review for Private Sector Participation In Water and Sanitation in Indonesia With A Particular Emphasis On Review on Drinking Water Supply With and Without Public- Private Partnership Scheme in Indonesia”.

  Secara garis besar, laporan akhir ini mencakup bagian pendahuluan yang menjelaskan latar belakang, maksud dan tujuan dilakukannya penelitian dengan pendekatan dan metoda yang digunakan dipaparkan kemudian pada bagian kedua. Pada bagian ketiga disajikan gambaran umum perusahaan penyedia air minum yang menjadi obyek studi dilanjutkan dengan pemaparan kinerja perusahaan pada bagian keempat. Bagian kelima menyajikan diskusi yang dikembangkan dari berbagai indikator kinerja yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya. Laporan diakhiri dengan penutup yang merangkum kembali temuan-temuan penelitian disertai gagasan-gagasan umum mengenai arah riset selanjutnya di masa yang akan datang.

  Tim Peneliti menyadari bahwa tentu masih terdapat kekurangan-kekurangan di dalamnya, sehingga kritik dan masukan sangat diharapkan untuk perbaikan dan peningkatan di masa yang akan datang.

  Bandung, April 2009

  Ketua Tim

  Daftar Singkatan

  AMDK

  : Air Minum Dalam Kemasan

  ATB

  : Adhya Tirta Batam

  BIDA

  : Batam Industrial Development Authority

  BOT

  : Build Operate Transfer

  BPPSPAM

  : Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air

  Minum

  BUMD

  : Badan Usaha Milik Daerah

  DPRD

  : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

  DPU

  : Departemen Pekerjaan Umum

  FGD

  : Focus Group Discussion

  GCG

  : Good Corporate Governance

  IPA

  : Instalasi Pengolahan Air

  IRR

  : Internal Rate of Return

  Kepmendagri : Keputusan Menteri Dalam Negeri KK

  : Kepala Keluarga

  KPS

  : Kerjasama Pemerintah dan Swasta

  MDG

  : Millennium Development Goal

  NRW

  : Non-revenue water

  NWG

  : National Working Group

  OB

  : Otorita Batam

  PDAM

  : Perusahaan Daerah Air Minum

  Pemko

  : Pemerintah Kota

  Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri PP

  : Peraturan Pemerintah

  PSP

  : Private Sector Participation

  RT

  : Rumah Tangga

  RULI

  : Rumah Liar

  SL

  : Sambungan Langganan

  TAHU

  : Terminal Air dan Hidran Umum

  WHO

  : World Health Organization

  WTP

  : Water Treatment Plant

  ZAMP

  : Zona Air Minum Prima

  Bab I BAB Pendahuluan

  1 ADHYA TIRTA BATAM PENDAHULUAN TIRTA PAKUAN DAN

I.1. Latar Belakang

  Pengelolaan infrastruktur air minum oleh sektor swasta melalui mekanisme private sector participation (PSP) telah menjadi kecenderungan global. Khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pertimbangan- pertimbangan yang umumnya mendasari dilibatkannya swasta adalah untuk mengatasi kesenjangan anggaran publik (Pemerintah) dalam membiayai investasi infrastruktur, serta merupakan upaya untuk meningkatkan dan mengoptimalkan proses produksi hingga distribusi layanan yang sudah ada. Pertimbangan yang pertama berasumsi bahwa PSP memiliki kemampuan memobilisasi modal investasi pihak swasta, sedangkan yang kedua meyakini bahwa dengan keahlianketerampilan teknis dan manajerial yang dibawanya, sektor swasta diharapkan bisa lebih baik atau efisien dibanding sektor publik dalam menyediakan layanan serupa.

  Secara konseptual PSP bisa dilakukan mulai dari skema yang sederhana seperti outsourcing hingga pola-pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) untuk keterlibatan swasta yang lebih luas dan kompleks. Namun praktek di banyak negara mengindikasikan skema konsesi (concession contract) lebih diminati dibandingkan skema KPS yang lain. Hal itu dikarenakan konsesi mampu mengakomodasi semua manfaat yang ditawarkan pola KPS seperti management contract dan lease yang lebih fokus pada perbaikan kinerja dan peningkatan efisiensi tapi tidak melibatkan investasi secara fisik, serta BOT (build-operate-transfer) yang memiliki fitur utama pada investasi fisik untuk peningkatan kapasitas. Dengan memilih skema konsesi, Pemerintah menyerahkan tanggungjawab dan kewenangan kepada swasta untuk mengoperasikan dan memelihara sistem infrastruktur termasuk kewajiban untuk membiayai dan mengelola investasinya. Kecuali adanya pembatasan jangka waktu kerjasama, karakteristik skema konsesi membuatnya hampir tidak bisa (hanya jika mau dipersepsikan seperti itu) dibedakan dengan konsep swastanisasi penuh (full privatization) yang lebih dikenal dengan divesture.

  Namun dominasi skema konsesi di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara berkembang lebih sering memunculkan kontroversi. Hal itu dipicu oleh ketidakberhasilan konsorsium-konsorsium swasta yang menerima konsesi layanan air minum dalam mencapai standar kinerja yang disyaratkan, sehingga menjadi dasar yang beralasan bagi para pihak yang menolak mekanisme PSP secara keseluruhan pada sektor air minum. Kelompok anti PSP ini (di satu pihak) berpandangan bahwa sektor swasta tidak lebih baik dari penyedia publik. Namun di saat yang sama, terhampar fakta yang tidak bisa dihindari bahwa sebagian besar Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, ditinjau dari berbagai aspek seperti teknis, finansial dan manajerial. Kelompok yang pro PSP ini (di lain pihak) melihat PSP sebagai sebuah solusi yang relevan untuk mengatasi ketidak-berdayaan keuangan dan ketidak-efisienan operasional PDAM, dengan harapan pihak swasta bisa lebih baik dari PDAM (sebagai respresentasi penyedia layanan air minum oleh publik).

  Untuk itu National Working Group (NWG) The Water Dialogues Indonesia yang merupakan Kelompok Kerja Nasional di Indonesia dan dibentuk pada tahun 2005 dengan tujuan melakukan kajian atas pelaksanaan KPS di Bidang Air Minum merasa perlu melakukan riset yang lebih seimbang dalam menilai penyelenggaraan air minum dengan atau tanpa implementasi KPS. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman multistakeholder atas berbagai faktor yang dapat mempengaruhi kinerja dalam penyelenggaraan pelayanan air minum dengan atau tanpa KPS. Secara garis besar penelitian yang dilakukan adalah bersifat eksploratif dengan menyusun pertanyaan- pertanyaan penelitian yang relevan untuk mendapatkan jawaban melalui penelitian studi kasus. Diharapkan bahwa hasil penelitian ini bisa menjadi dasar dalam menyusun kegiatan-kegiatan penelitian kedepan yang lebih luas, dalam rangka menemukan jawaban-jawaban yang lebih komprehensif berkenaan dengan peran serta swasta dalam penyelenggaraan pelayanan air minum termasuk sektor sanitasi di Indonesia.

I.2. Tujuan Penelitian

  Tujuan utama penelitian ini adalah menyediakan gambaran mengenai kondisi- kondisi faktual terkait penyelenggaraan pelayanan air minum yang dilakukan oleh PDAM yang merepresentasikan penyedia milik publik, dibandingkan dengan penyedia swasta melalui implementasi KPS. Tujuan-tujuan spesifik yang ingin dicapai dari kegiatan penelitian ini adalah:

  1. Diketahuinya kinerja penyelenggaraan pelayanan air minum yang dilakukan PDAM dan pihak swasta melalui pola KPS;

  2. Diketahuinya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja dalam penyelenggaraan pelayanan air minum yang dilakukan oleh PDAM dan pihak swasta melalui pola KPS; dan

  3. Didapatkannya gambaran kebutuhan penelitian ke depan yang lebih luas terkait implementasi KPS di sektor air minum termasuk sanitasi di Indonesia.

I.3. Batasan dan Lingkup Penelitian

  Dengan membatasi kajian hanya pada concession contract yang merupakan salah satu dari skema-skema KPS yang tersedia, penelitian ini berfokus pada indikator-indikator kinerja yang meliputi: aspek teknis, pelayanan pelanggan, finansial, pengelolaan usaha, sumber daya manusia (SDM), dan akses masyarakat miskin. Aspek-aspek lain yang juga menjadi area kajian di luar indikator-indikator kinerja tersebut adalah mengenai aspek historis, lingkungan bisnis, relasi politik dan pemerintahan, hukum dan regulasi, kondisi-kondisi sosio-ekonomi masyarakat setempat, keterlibatan stakeholder dalam proses- proses pengambilan keputusan seperti pada penetapan tarif, transparansi laporan dan kontrak-kontrak kerja termasuk penilaian kinerja atau standar pelayanan minimum.

  Untuk pelaksanaan kegiatan yang terarah, maka lingkup penelitian ditetapkan meliputi aktivitas-aktivitas sebagai berikut:

  1. Mengidentifikasi indikator-indikator kinerja dalam penyelenggaraan pelayanan air minum dengan acuan pada enam aspek kinerja yang menjadi batasan penelitian;

  2. Mengumpulkan data yang diperlukan terkait indikator-indikator kinerja dari para penyedia layanan air minum yang menjadi obyek kajian, para masyarakat yang menjadi pelanggan penyedia air minum dan yang non-pelanggan di lokasi studi, termasuk para pemangku kepentingan;

  3. Menganalisis secara komparatif temuan-temuan datainformasi kinerja yang diperoleh;

  4. Mengeksplorasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian- pencapaian kinerja para penyedia layanan air minum yang menjadi obyek studi;

  5. Membahas hasil-hasil penelitian dengan NWG untuk mendapatkan perspektif yang berimbang dalam menilai temuan-temuan penelitian.

I.4. Lokasi Studi Kasus

  Penelitian dilakukan di PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor Propinsi Jawa Barat dan di PT. Adhya Tirta Batam (ATB) Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau. Kedua kota dipilih dengan pertimbangan bahwa keduanya memiliki populasi penduduk yang cukup sepadan, yakni di atas 700 ribu jiwa (tahun 2007) dengan jumlah pelanggan aktif saat ini lebih dari 75 ribu unit sambungan langganan (SL). Pertimbangan lainnya adalah kedua kota dianggap telah mewakili penyedia layanan air minum swasta (melalui implementasi KPS – Konsesi yang direpresentasikan oleh ATB di Kota Batam) dan penyedia layanan air minum non KPS (melalui PDAM Tirta Pakuan yang dimiliki oleh Pemerintah Kota Bogor).

  Republik Indonesia

  Kota Batam

  Kota Bogor

  Gambar I.1. Peta lokasi studi kasus

Bab II BAB Pendekatan Studi dan MetodologiPendahuluan

  2 METODOLOGI PENDEKATAN STUDI DAN

II.1. Pengumpulan Data dan Metoda

  Dalam studi ini, data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama, seperti hasil wawancara langsung atau melalui pengisian angket kuisioner. Sedangkan data sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara langsung, tetapi memanfaatkan bahan-bahan atau dokumen dari pihak lain (document review). Dalam rangka pengukuran, data kualitatif dalam studi ini adalah data yang sifatnya menggolongkan, contohnya adalah data berskala ukur nominal dan ordinal yang diberikan untuk mewakili suatu kategori pengukuran (tinggi- sedang-rendah). Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka (numerik), termasuk di dalamnya data yang memiliki skala ukur rasio dan interval. Berikut adalah metoda-metoda pengumpulan data yang digunakan.

  1) Telaah dokumen Telaah dokumen adalah cara pengumpulan data dengan menelaah dokumen atau arsip yang diperoleh dari perusahaan, seperti laporan- laporan tahunan, laporan evaluasi kinerja, dll.

  2) Survey menggunakan angket kuisioner Angket kuisioner digunakan untuk mengumpulkan data tertulis dari sumber data atau responden. Sasaran penggunaan kuisioner adalah masyarakat yang menjadi pelanggan maupun non-pelanggan.

  3) Wawancara Wawancara dimaksudkan untuk memperkaya datainformasi sebagai pengembangan dari data yang ditemukan sebelumnya dari sumber dokumen (data sekunder). Selain itu wawancara juga ditujukan untuk melakukan validasi kepada pihak terkait yang atas data diperoleh dari proses telaah dokumen.

  4) Focus Group Discussion (FGD) FGD merupakan sebuah cara mengumpulkan pandangan maupun pendapat mengenai suatu topik tertentu dengan cara melibatkan sekelompok orang dalam suatu forum diskusi.

  Dalam studi ini FGD ditujukan untuk mengkonfirmasi dan memvalidasi temuan-temuan riset yang masih bersifat pendahuluan kepada para pihak yang terkait dengan data atau informasi diperoleh. FGD ini juga dimanfaatkan untuk mengeksplorasi hal-hal yang baru yang belum sempat diperoleh melalui cara-cara pengumpulan data yang telah disebutkan sebelumnya.

II.2. Indikator Kinerja

  Istilah “indikator kinerja” dalam studi ini merujuk pada definisi yang tertulis dalam Kepmendagri No. 471999 tentang Pedoman Penilaian Kinerja PDAM, yaitu tolok ukur tingkat keberhasilan dari suatu aspek. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa studi ini berfokus pada 6 (enam) aspek, dengan indikator- indikator yang digunakan sebagai berikut.

  A. Aspek teknis, terdiri dari 4 (empat) indikator kinerja:

  1) Tingkat kehilangan air Indikator kinerja ini mengukur perbandingan antara selisih jumlah air yang didistribusikan dengan jumlah air yang terjual pada suatu tahun tertentu terhadap jumlah air yang didistribusikan pada tahun tersebut. Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB.

  2) Kualitas air yang disuplai Indikator kinerja ini mengukur sejauh mana kualitas air yang diterima oleh para pelanggan telah sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku. Metoda: Telaah dokumen, interview dan survey angket kuisioner pada pelanggan

  3) Kontinuitas pengaliran Indikator ini mengukur waktu rata-rata (jam) pengaliran air kepada para pelanggan dalam sehari sepanjang tahun Metoda: Telaah dokumen, interview dan survey angket kuisioner pada pelanggan

  4) Tekanan air di pipa pelanggan Indikator kinerja ini diukur dengan cara mencari tahu data atau informasi mengenai tekanan air minimum rata-rata air yang mengalir di pipa pelanggan

  Metoda: Telaah dokumen, interview dan survey angket kuisioner pada pelanggan.

  B. Aspek pelayanan pelanggan, terdiri dari 6 (enam) indikator kinerja:

  1) Jumlah penduduk yang dilayani Indikator kinerja ini diukur dengan cara membandingan antara jumlah penduduk yang dilayani terhadap jumlah penduduk di daerah pelayanan Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  2) Kapasitas belum dimanfaatkan Indikator kinerja ini meninjau produktivitas produksi untuk mengetahui kapasitas yang belum dimanfaatkan (idle capacity) Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  3) Penggantian meter air Indikator ini mengukur prosentase jumlah meter yang diganti dalam setahun diseluruh cabang dan unit pelayanan Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  4) Kecepatan penyambungan baru Indikator ini mengukur waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh calon pelanggan untuk mendapatkan sambungan baru sejak aplikasi diajukan hingga air mengalir Metoda: Telaah dokumen, interview dan survey angket kuisioner pada pelanggan

  5) Kecepatan merespon keluhan pelanggan Indikator ini mengukur waktu rata-rata yang diperlukan untuk merespon keluhan pelanggan, sejak keluhan disampaikan sampai dengan diselesaikan Metoda: Telaah dokumen, interview dan survey angket kuisioner pada pelanggan

  6) Kepuasan pelanggan Indikator kinerja ini mengukur sejauh mana tingkat kepuasan pelanggan atas pelayanan yang mereka terima Metoda: Survey angket kuisioner pada pelanggan

  C. Aspek keuangan, terdiri dari 10 (sepuluh) indikator kinerja:

  1) Rasio biaya operasi Indikator kinerja ini mengukur kemampuan pendapatan operasi untuk menutup biaya operasi (tidak termasuk biaya bunga pinjaman dan penyusutan). Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  2) Rasio biaya pegawai Indikator ini mengukur perbandingan antara alokasi biaya pegawai terhadap biaya operasional setiap tahunnya Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  3) Rasio biaya energi Indikator ini mengukur perbandingan antara alokasi biaya energi terhadap biaya operasional setiap tahunnya Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  4) Rasio kemampuan membayar hutang yang jatuh tempo Indikator kinerja ini mengukur kemampuan membayar hutang yang jatuh tempo, didefinisikan sebagai potensi laba yang dihasilkan perusahaan akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk melakukan pembayaran angsuran pinjaman (pokok dan bunga) yang jatuh tempo. Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  5) Rasio pengembalian hutang jangka pendek Indikator kinerja ini mengukur tingkat kemampuan perusahaan untuk melakukan pengembalian atas hutang jangka pendek, yang dihitung dengan cara membandingkan nilai aktiva lancar dengan kewajiban-kewajiban lancar perusahaan. Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  6) Tingkat pengembalian aktiva tetap bersih Indikator ini mengukur tingkat kemampuan laba operasional dapat mengembalikan nilai aktiva tetap, yang dihitung dengan membagi laba operasional usaha dengan nilai aktiva tetap Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  7) Biaya operasional per M 3 air terjual Indikator ini menunjukkan besarnya biaya yang diperlukan oleh

  perusahaan untuk memproduksi air setiap M3. Nilai ini diperoleh dengan membagi biaya langsung usaha dengan jumlah air (M 3 )

  yang tercatat dalam rekening Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  8) Rata-rata harga air per M 3 Indikator ini mengukur rata-rata harga air per M 3 yang diperoleh dengan membagi total penjualan air (harga air) dengan jumlah air

  (M 3 ) yang tercatat dalam rekening Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen

  PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  9) Pemulihan biaya (cost recovery) Indikator kinerja ini mengukur tingkat kemampuan pendapatan operasional perusahaan dalam menutupi biaya operasi (termasuk biaya bunga pinjaman dan penyusutan). Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  10) Jangka waktu penagihan Indikator kinerja ini mengukur lamanya waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk menagih piutang rekening air. Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  D. Aspek pengelolaan usaha Indikator kinerja ini mengukur secara kualitatif aspek-aspek yang penting dalam pengelolaan suatu perusahaan, terutama yang terkait dengan implementasi tata kelola perusahaan yang baik atau GCG (good corporate governance) Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  E. Aspek sumber daya manusia (SDM): Selain mengukur rasio jumlah karyawan (termasuk outsourcing) per 1000 pelanggan, indikator kinerja aspek SDM juga mengukur tingkat produktifitas setiap karyawan, dengan cara membandingkan jumlah karyawan terhadap volume air yang diproduksi setiap tahunnya. Metoda: Telaah dokumen dan interview dengan manajemen PDAM Tirta Pakuan dan ATB

  F. Aspek akses masyarakat miskin: Indikator kinerja ini mengukur apakah para penyedia layanan air minum juga memberikan pelayanan khusus bagi masyarakat miskin, diantaranya dengan membandingkan jumlah pelanggan yang masuk kategori masyarakat miskin terhadap jumlah semua pelanggan aktif, serta membandingkan jumlah masyarakat miskin yang terlayani terhadap jumlah penduduk di area pelayanan. Indikator kinerja ini juga mencari tahu apakah tarif yang dibebankan para penyedia layanan air minum dapat dijangkau oleh masyarakat miskin.

  Secara ringkas, prinsip keterjangkauan tarif yang digunakan dalam studi ini adalah sesuai dengan PerMendagri No. 23 Tahun 2006, yaitu tidak melampaui 4 (empat) persen dari total pendapatan masyarakat pelanggan.

  Metoda: Telaah dokumen, interview dan survey angket kuisioner kepada pelanggan dan non-pelanggan

II.3. Pendekatan dalam Review Kinerja

  Pada bagian pendahuluan telah dinyatakan bahwa penelitian ini bermaksud menyediakan gambaran yang seimbang mengenai kondisi-kondisi faktual penyelenggaraan pelayanan air minum yang dilakukan penyedia publik yang direpresentasikan oleh PDAM, dibandingkan dengan penyedia swasta melalui implementasi KPS. Penelitian ini dilakukan untuk menjembatani perbedaan pendapat yang tajam terkait dengan kebijakan Pemerintah untuk melakukan “privatisasi” pengelolaan layanan air minum dengan pola-pola KPS. Kelompok yang menolak KPS (di satu pihak) beranggapan bahwa pihak swasta tidak lebih baik dari penyedia publik. Sedangkan kelompok yang pro (di lain pihak) melihat KPS sebagai sebuah solusi relevan dengan harapan bahwa pihak swasta akan bisa lebih baik dari PDAM.

  Argumen para pihak yang menentang “privatisasi” adalah bahwa sifat pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya tidak cocok

  dilakukan oleh swasta. Argumen 1 yang lainnya adalah:

   Kontrak-kontrak yang dilakukan dengan swasta dapat menimbulkan

  hidden-cost karena kurangnya informasi, pengawasan serta lelang yang sering bersifat terbatas.

  Buku Putih National Working Group The Water Dialogues Indonesia, 2009

   Terdapat kondisi yang tidak memungkinkan untuk menciptakan

  kompetisi bagi pelaksanaan oleh pihak ketiga, sehingga privatisasi menjadi lebih rumit dari yang dibayangkan.

   Tidak ada indikasi bahwa perusahaan swasta lebih akuntabel, karena

  yang lebih sering terjadi adalah sebaliknya.  Privatisasi tidak memiliki track record keberhasilan, karena yang

  dimiliki privatisasi hanya risikobahaya dan kegagalan.  Perusahaan swasta seringkali tidak memenuhi standar operasi,

  namun mengeksploitasi harga layanan tanpa banyak menanggung konsekuensi dari kenaikan tersebut.

   Penyediaan kepentingan publik yang diberikan kepada swasta tetapi

  cenderung bersifat monopoli alamiah akan mengarah pada penerapan tarif tinggi dan pelayanan terfokus hanya pada penduduk yang dapat membayar.

   Air minum adalah hak asasi, sehingga tidak tepat jika pihak swasta

  dibiarkan mendapat keuntungan dari penyediaan air minum bagi penduduk miskin.

  Pandangan-pandangan lain yang juga menjadi kekhawatiran pihak-pihak yang menentang keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan infrastruktur (secara umum) adalah persepsi bahwa kebijakan privatisasi akan membahayakan penduduk miskin, dan dipromosikan untuk kepentingan pihak asing.

  Di lain pihak, para pihak yang mendukung kebijakan privatisasi menyatakan bahwa perusahaan swasta memiliki kecenderungan lebih efisien dibandingkan Pemerintah, dalam hal skala ekonomis dan produktivitas pegawai. Pendapat- pendapat 2 lain yang terkait adalah:

   Pihak swasta dapat menyediakan modal.  Meningkatnya keterlibatan swasta akan menguntungkan penduduk

  yang belum terjangkau khususnya penduduk miskin.  Sektor publik dipandang tidak efisien, kelebihan pegawai, korupsi,

  terbuka bagi intervensi politik, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan konsumen.

   Tarif rendah tidak menjamin keterjangkauan bagi penduduk miskin,

  yang ada malah mengabaikan penduduk miskin.  Regulasi yang independen dan pemberian konsesi melalui proses

  yang kompetitif akan menghalangi penyalahgunaan kewenangan.

  Buku Putih National Working Group The Water Dialogues Indonesia, 2009

  Hal lain yang dilihat sebagai alasan untuk mendorong privatisasi penyediaan layanan air minum, yaitu (i) kondisi infrastruktur yang sudah tua sehingga membutuhkan dana investasi yang besar, baik untuk pemeliharaan maupun penggantian baru; (ii) perubahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang tidak disertai dengan dana yang memadai; serta (iii) kurangnya keinginan politik yang disebabkan investasi air minum tidak terlihat langsung (invisible infrastructure), sementara peningkatan tarif merupakan langkah yang tidak populer.

  Kedua kutub argumen di atas tentunya perlu dijembatani dengan pendekatan yang tidak memihak. Meskipun lingkup riset telah menyebutkan 6 (enam) aspek kinerja, hal itu tidak bisa langsung digunakan untuk mereview dan memproduk pernyataan mengenai “keberhasilan” atau “kegagalan” salah satu perusahaan dibanding dengan yang lain. Itu dikarenakan secara obyektif di lapangan, keberadaan sistem pelayanan air minum yang diselenggarakan oleh penyedia publik (PDAM) maupun oleh penyedia swasta (melalui KPS) memang tidak bisa diperbandingkan secara langsung.

  PDAM umumnya berbentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang dimiliki Pemerintah Propinsi dan Kabupaten, diserahi tanggungjawab dengan tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun penyedia swasta (melalui mekanisme KPS – konsesi), umumnya berbentuk konsorsium atau perusahaan patungan yang memang secara khusus didirikan untuk menerima konsesi dari Pemerintah, selain tunduk pada peraturan perundangan- undangan yang berlaku di Indonesia, terdapat kondisi-kondisi khusus seperti kontrak kerjasama yang mengikat dan memiliki kekuatan hukum bagi para pihak yang menandatanganinya.

  Oleh karena itu studi ini cenderung bertitik tolak dari acuan-acuan normatif mengenai perlunya KPS, dengan memperluas analisis pada argumen- argumen yang menentang kebijakan Pemerintah untuk melakukan privatisasi. Seperti yang telah diuraikan juga pada bagian pendahuluan bahwa skema konsesi yang menjadi obyek studi ini mampu merangkum semua “manfaat” yang ditawarkan oleh pedekatan-pendekatan KPS lain. Dengan demikian maka berikut ini disampaikan beberapa pertimbangan yang digunakan untuk mereview kinerja penyelenggaraan pelayanan air minum dengan atau tanpa implementasi KPS:

  1. Perluasan pelayanan Infrastruktur air minum merupakan kesatuan sistem fisik dan non-fisik. Ini berarti bahwa perluasan pelayanan memerlukan investasi fisik dan non-fisik, namun tidak hanya di sistem produksi tapi juga distribusi. Rendahnya cakupan pelayanan yang sering dikaitkan dengan ketidak- berdayaan keuangan PDAM dan keterbatasan anggaran Pemerintah telah menjadi salah satu pertimbangan yang sangat penting untuk mengundang keterlibatan sektor swasta. Pertanyaannya, apakah KPS memang bisa memobilisasi modal investasi swasta untuk memperluas pelayanan air minum di area konsesi? Sebaliknya, tanpa keterlibatan swasta melalui skema-skema KPS, apakah PDAM bisa memperluas pelayanannya?

  2. Efisiensi operasional Ini terkait dengan argumen bahwa penyediaan layanan air minum oleh sektor publik tidak efisien. Pertanyaannya, apakah penyedia swasta melalui KPS memang cenderung lebih efisien dan sebaliknya PDAM yang merepresentasikan penyedia publik tidak bisa efisien dalam penyelenggaraan usahanya?

  3. Kualitas pelayanan Kualitas pelayanan mungkin suatu penyataan yang bisa memiliki makna sangat luas. Namun salah satu argumen penting yang menjadi pertimbangan untuk melibatkan swasta dalam penyediaan layanan air minum adalah bahwa penyedia swasta dipandang lebih tanggap terhadap kebutuhan pengguna. KPS juga diyakini bisa memfasilitasi adanya inovasi. Pertanyaannya, apakah penyedia swasta cenderung lebih inovatif dan kualitas pelayanannya lebih baik, jika dibandingkan dengan penyelenggaraan pelayanan air minum yang dilakukan sendiri oleh PDAM tanpa KPS?

  Agar berimbang maka review juga diarahkan pada argumen-argumen yang menentang kebijakan Pemerintah untuk melakukan privatisasi pelayanan air

  minum, sebagai berikut:

  1. Tarif pelayanan Ini terkait dengan pandangan bahwa penyediaan kepentingan publik yang diberikan pada pihak swasta yang cenderung bersifat monopoli alamiah akan mengarah pada penerapan tarif tinggi dan pelayanan terfokus hanya pada penduduk yang dapat membayar.

  2. Program khusus untuk melayani masyarakat miskin Ini terkait dengan pernyataan bahwa pihak swasta lebih berorientasi pada profit yang berdampak pada “cherry-picking”, dalam hal ini hanya melayani pelanggan yang dinilai akan mendatangkan profit dan mengabaikan layanan kepada masyarakat miskin yang potensi profitnya kecil. Namun isu ini mungkin masih berkaitan dengan “tarif pelayanan” sebelumnya. Untuk itu review pada isu ini semakin spesifik dan hanya fokus pada layanan bagi masyarakat miskin.

  3. Konservasi lingkungan Ini berkaitan dengan kekhawatiran terjadinya degradasi lingkungan karena eksplotasi yang berlebihan terhadap sumber air oleh penyedia layanan air minum, namun mengabaikan kewajiban untuk melakukan konservasi.

  Isu-isu di atas mungkin belum mengakomodasi semua argumen yang telah diuraikan sebelumnya, namun tetap dilibatkan dalam analisis, dengan catatan argumen-argumen tersebut dianalisis secara komprehensif mengingat banyak indikator kinerja yang menjadi fokus studi tidak bisa dilihat berdiri sendiri, dalam hal ini saling berkaitan.

Bab III BAB Gambaran Umum PDAM Tirta Pakuan dan Adhya Tirta Batam

  3 PAKUAN DAN ADHYA TIRTA BATAM GAMBARAN UMUM PDAM TIRTA

III.1. PDAM Tirta Pakuan

  Kota Bogor yang dahulunya dikenal dengan nama Buitenzorg telah memiliki sistem pelayanan air minum sejak tahun 1918. Saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda melalui lembaga bernama Gemeente Waterleiding Buitenzorg telah membangun sebuah sistem pelayanan air minum yang memanfaatkan sumber mata air Kota Batu yang berkapasitas 70 Ldet dan berlokasi di daerah Kabupaten Bogor sekitar ±7 Km dari Kota Bogor. Sistem pelayanan air minum itulah yang kemudian menjadi cikal bakal keberadaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Pakuan Kota Bogor.

  PDAM Tirta Pakuan sendiri baru didirikan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 5 Tahun 1977, tanggal 31 Maret 1977, yang kemudian disahkan dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 300HK.011SK1977 tanggal 5 Juli 1977. Sejak diberlakukannya Perda No. 5 Tahun 1977, status perusahaan berbentuk badan hukum, dimana sebelum dialihkan menjadi Perusahaan Daerah, status Perusahaan Air Minum semula adalah sebagai Dinas Daerah. Oleh sebab itu maka saham PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor dimiliki oleh Pemerintah Daerah (Pemda).

  Dengan sejarah yang sangat panjang, saat ini PDAM Tirta Pakuan relatif telah memiliki sarana dan prasarana pelayanan air minum yang lebih berkembang dari saat pertama berdirinya, mulai dari bangunan penangkap air, instalasi pengolahan hingga jaringan transmisi dan distribusi. Sumber air PDAM Tirta Pakuan berasal dari 2 (dua) sumber utama, yaitu mata air dan air permukaan (sungai). Sumber mata air yang dimanfaatkan berada di 3 (tiga) lokasi, yaitu mata air Kota Batu, mata air Bantar Kambing dan mata air Tangkil. Sumber air permukaan berasal dari Sungai Cisadane, meliputi instalasi pengolahan air (IPA) Cipaku dan IPA Dekeng. PDAM Tirta Pakuan juga masih memiliki instalasi pengolahan cadangan, yakni IPA Tegal Gundil dengan kapasitas 20 Ldet. Seperti yang terlihat dalam Tabel III.1. total kapasitas produksi PDAM Tirta Pakuan saat ini adalah sebesar 1270 Ldet.

  Tabel III.1. Kapasitas produksi (disain dan operasional) PDAM Tirta Pakuan

  No

  Sumber airInstalasi

  Kapasitas disain

  1 Mata air Kota Batu

  2 Mata air Bantar Kambing

  3 Mata air Tangkil

  4 IPA Cipaku

  5 IPA Dekeng

  6 IPA Tegal Gundil

  Sumber: PDAM Tirta Pakuan (Data Tahun 2007)

  Dari sumber-sumber air seperti tersebut di atas, PDAM Tirta Pakuan melayani para pelanggannya dengan sistem zona sebagaimana terlihat pada Gambar

  III.1. berikut ini.

  Gambar III.1. Sumber air dengan zona-zona pengaliran PDAM Tirta Pakuan

  (Sumber: PDAM Tirta Pakuan)

  Laporan Evaluasi Kinerja PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor Tahun 2007. Terlihat bahwa operasional IPA Cipaku dan IPA Dekeng melampaui kapasitas disainnya. Sebagai catatan, terkecuali angka-angka pada kolom “kapasitas disain”, angka-angka yang ditampilkan pada kolom “operasional” telah

  dikalkulasi ulang dari sumbernya yang menggunakan satuan M 3 , dalam hal ini dikonversi ke satuan

  Ldet untuk kepentingan studi ini.

  Keenam zona pengaliran tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut:

   Mata air Kota Batu melayani zona 6 yang meliputi Kelurahan Loji,

  Gunung Batu dan sekitarnya, namun sewaktu-waktu juga membantu pengaliran di zona 3.

   Mata air Tangkil, 53 melayani zona 1 yang mencakup pelanggan di

  Kelurahan Katulampa, Tajur dan sekitarnya, sedangkan 47 lainnya untuk melayani zona 4 melalui reservoir Padjajaran.

   Mata air Bantar Kambing, 14 melayani zona 2 (Cipaku) dan 86

  yang lain untuk membantu melayani pelanggan zona 3 melalui reservoir Cipaku.

   IPA Dekeng melayani zona 4 yang meliputi pelanggan di Kelurahan

  Babakan, Sempur dan sekitarnya.  IPA Cipaku melayani zona 3 meliputi para pelanggan yang berada di

  Kelurahan Empang, Batu Tulis dan sekitarnya.

  Terkait sistem pendistribusian, dengan memanfaatkan kondisi topografi yang memang mendukung, pendistribusian air di PDAM Tirta Pakuan sebagian besar menggunakan sistem gravitasi dari reservoir yang selain berfungsi sebagai bak penampung juga sebagai pusat distribusi. Hingga saat ini terdapat tiga buah reservoir yang merupakan komponen utama jaringan

  distribusi. Reservoir Cipaku dengan kapasitas 9.000 M 3 untuk menampung produksi dari mata air Bantar Kambing dan IPA Cipaku. Reservoir Pajajaran

  dengan kapasitas 12.000 M 3 untuk menampung produksi dari mata air Tangkil dan IPA Dekeng, sedangkan reservoir Rancamaya yang memiliki kapasitas

  sebesar 3.000 M 3 digunakan untuk menampung produksi dari mata air Tangkil. Secara umum, kondisi pipa distribusi yang terpasang tahun 1918

  sampai dengan saat ini terutama jenis ACP sudah banyak yang mengalami kerusakan pada sambungan (coupling).

  Dengan sarana dan prasarana yang dimiliki, hingga tahun 2007, PDAM Tirta Pakuan telah melayani 74.988 pelanggan. PDAM Tirta Pakuan membagi para pelanggan tersebut ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: 1) Kelompok Sosial yang terdiri dari sosial umum dan sosial khusus; (2) Kelompok Non Niaga yang terdiri dari Rumah Tangga A, Rumah Tangga B, Rumah Tangga C dan Instansi Pemerintah; dan (3) Kelompok NiagaIndustri yang terdiri dari niaga industri kecil dan niagaindustri besar. Selengkapnya mengenai komposisi pelanggan PDAM Tirta Pakuan hingga tahun 2007 bisa dilihat pada Gambar

  III.2. berikut.

  Sosial Umum

  Sosial Khusus

  Rumah Tangga A

  Rumah Tangga B Rumah Tangga C

  Instansi Pemerintah

  Niaga Kecil Industri Kecil

  Niaga Besar Industri Besar

  Jumlah pelanggan [∑ = 74.988]

  Gambar III.2. Komposisi pelanggan PDAM Tirta Pakuan Tahun 2007

  (Sumber: PDAM Tirta Pakuan)

  Kelompok-kelompok pelanggan tadi dibedakan sesuai dengan tarif air minum yang dibebankankan kepada mereka. Tarif termurah diberikan kepada para pelanggan di kelompok sosial sedangkan yang tertinggi dibebankan kepada pelanggan yang masuk dalam kelompok niaga besar. Tabel III.2. menyajikan struktur tarif PDAM Tirta Pakuan berdasarkan Peraturan Walikota Bogor No. 9 Tahun 2008, yang merupakan penyesuaian dari tarif sebelumnya sesuai Peraturan Walikota Bogor No. 6 Tahun 2006.

  Tabel III.2. Struktur tarif PDAM Tirta Pakuan Tahun 2008

  Pemakaian Air

  Kelompok

  Golongan Pelanggan

  0 – 10 m 3 (Rpm 3 )

  > 10 m 3 (Rpm 3 )

  I Sosial Umum (SU)

  II Sosial Khusus (SK)

  Rumah Tangga A (RA)

  Rumah Tangga B (RB)

  Instansi Pemerintah (IP)

  Rumah Tangga C (RC)

  Niaga Kecil (NK)

  Niaga Besar (NB)

  Sumber: PDAM Tirta Pakuan

  Kotak 1. Gambaran Umum Kota Bogor

  Geografi dan Kependudukan Kota Bogor adalah salah satu kota yang berada didalam wilayah administratif Propinsi Jawa Barat dan hanya berjarak lebih kurang 50 Km dari pusat pemerintahan Indonesia, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Secara keseluruhan Kota Bogor yang dibatasi oleh Kabupaten Bogor memiliki luas sekitar 11.850 Ha, dan secara administratif dibagi menjadi 6 (enam) wilayah kecamatan dengan 68 kelurahan. Pada tahun 2007 jumlah penduduk Kota Bogor telah mencapai 879.138 jiwa. Jumlah ini mengalami

  dibandingkan tahun 1998 yang berjumlah 506.381 jiwa. Dengan luas kota yang mencapai 118,50 Km2, maka kepadatan penduduk di Kota Bogor adalah 7,42 jiwaKm2. Secara garis besar tren pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Bogor bisa dilihat pada Gambar III.2. di halaman berikut.

  Kondisi Perekonomian Indikator makro perekonomian bisa dilihat dari

  Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tahun 2001, PDRB Kota Bogor pada harga konstan sebesar Rp. 1.209.642 dan harga berlaku Rp. 2.954.164. Tahun 2002, harga konstan Rp. 1.279.881 dan harga berlaku Rp. 3.282.218,41. Tahun 2003 meningkat 6,07 menjadi Rp. 1.357.633 (harga konstan), sedangkan berdasarkan harga berlaku sebesar Rp. 3.645.650 atau meningkat 11,07. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor tahun 2003 sebesar 6,07 atau meningkat 0,29 dari tahun 2002 yaitu 5,78 . Adapun laju inflasi Kota Bogor pada tahun 2003 sebesar 2,80 atau lebih rendah 0,10 dibandingkan laju inflasi pada tahun 2002. Laju inflasi yang menurun disebabkan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi yang berkorelasi terhadap laju inflasi pada kelompok pengeluaran seperti bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan umum. Kenaikan PDRB tersebut juga bisa diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi yang secara positif dapat menggerakkan sektor riil di Kota Bogor. Meningkatnya PDRB juga berimplikasi terhadap meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat Kota Bogor. Dari data yang tersedia diketahui bahwa pendapatan per kapita masyarakat Kota Bogor pada tahun 2002 berdasarkan harga berlaku sebesar Rp. 4.227.462 dan menjadi Rp. 4.605.734 pada tahun 2003 atau meningkat 8,94 . Adapun berdasarkan harga konstan, Rp. 1.648.474,19 pada tahun 2002 menjadi Rp. 1.715.166,99 atau meningkat 4,04 .

  Kotak 1. Gambaran Umum Kota Bogor

  Iklim dan Topografi Jumlah curah hujan rata-rata di wilayah Kota Bogor berkisar antara 3.000 sampai 4.000

  mmtahun. Curah hujan bulanan berkisar antara 250 – 335 mm dengan waktu curah hujan minimum terjadi pada Bulan September sekitar 128 mm, sedangkan curah hujan maksimum terjadi di Bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur rata-rata wilayah Kota

  Bogor berada pada suhu 260 0 C, sedangkan temperatur tertinggi sekitar 30,40 0 C

  dengan kelembaban udara rata-rata kurang lebih 70. Wilayah Kota Bogor dialiri oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane, dengan tujuh anak sungai. Secara keseluruhan anak-anak sungai yang ada tersebut membentuk pola aliran paralel-subparalel sehingga mempercepat waktu mencapai debit puncak (time to peak) pada Sungai Ciliwung dan Cisadane sebagai sungai utama. Aliran-aliran sungai tersebut pada umumnya dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Kota Bogor sebagai sumber air baku. Selain beberapa aliran sungai, di wilayah Kota Bogor juga terdapat beberapa mata air yang pada umumnya dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari.

  Sumber: Rencana Strategis Kota Bogor 2005-2009

III.2. Adhya Tirta Batam

  Kota Batam relatif memiliki sejarah sistem pelayanan air minum yang masih baru dibandingkan Kota Bogor. Pada mulanya Badan Otorita Batam (OB) telah secara aktif mengelola air bersih dan memelihara bendunganwaduk termasuk catchment area sejak tahun 1978. Pada saat itu OB juga telah mengelola sistem pelayanan air bersih yang mencakup instalasi pengolahan hingga jaringan distribusi. Baru pada tahun 1995, OB menyepakati perjanjian konsesi dengan konsorsium PT. Adhya Tirta Batam (ATB) untuk mengelola pelayanan air bersih di Kota Batam.

  Konsorsium ATB pada mulanya terdiri dari Biwater International Ltd., PT. Bangun Cipta Kontraktor dan PT. Syabata Cemerlang dengan komposisi kepemilikan saham masing-masing 45, 45 dan 10. Namun di tahun 2001, PT. Syabata Cemerlang melepaskan sahamnya dan Biwater diakuisisi oleh Cascal BV dari Inggris yang merupakan anak perusahaan Biwater International, Ltd. Komposisi kepemilikan saham kemudian mengalami perubahan menjadi 50 dimiliki oleh PT Bangun Cipta Kontraktor dan 50 oleh Cascal BV.

  Kotak 2. Concession Agreement

  Principles:  Infrastructure to be expanded to:

  - Provide > 90 coverage - Meet water demand for duration of concession

   Concessionnaire to arrange all finance:  Tariffs to be reviewed as part of annual review of the business  Cross Subsidy principle to be applied to Tariffs  ATB has “Exclusive License” to abstract treat and distribute water throughout the

  island

  Responsibilities (ATB):  Continually develop infrastructure throughout concession period  Raise capacity, quality and service levels to international standard  Use appropriate technology  Make payments to government for assets rental, raw water and royalties  Reduce and maintain leakage levels at economic sustainable level

  Responsibilities (BIDA):  Manage catchments areas and raw water resources  Acquire land and obtain necessary licences  Agreeing some key input parameters for annual review:

  - Growth - New Development trends - Performance standards

   Agree annual Business plans and Tariff adjustment  Monitoring Performance

  Sumber: ATB

  ATB menerima untuk mengelola pelayanan air minum di Kota Batam selama

  25 tahun, mulai tahun 1995 sampai dengan 2020. Dengan konsesi, ATB bertanggung jawab sepenuhnya untuk mengelola dan memasok air bersih di seluruh Pulau Batam. Selain menjadi pihak yang melakukan kerjasama, OB juga bertindak selaku regulator yang mengawasi setiap aktivitas ATB, baik secara teknis maupun komersial, termasuk dalam hal penentuan tarif dan menjamin ketersediaan serta kualitas air baku sesuai dengan kemampuan efektif dari waduk-waduk yang berada di Pulau Batam. Tujuan kerja sama antara OB dengan ATB adalah untuk meningkatkan dan mengembangkan pelayanan air bersih di Batam dalam rangka memenuhi kebutuhan air bersih saat ini dan yang akan datang selama masa konsesi.

  Secara umum konsesi yang diberikan meliputi: pengelolaan, pengoperasian dan perawatan fasilitas lama (sebelum konsesi); pembangunan fasilitas baru beserta kelengkapannya yang dibutuhkan untuk tambahan pasokan air bersih; pengelolaan, pengoperasian dan perawatan fasilitas baru. Kewajiban- kewajiban keuangan yang harus dibayarkan oleh perusahaan pemegang konsensi adalah sewa tetap, pembayaran air baku, royalti kepada OB, dan kepada pemerintah berupa pajak. Setelah konsesi berakhir, seluruh asset yang ada diserahkan kembali kepada OB.

  Sistem Pelayanan Air Minum

  Pengaruh resapan air laut yang sangat tinggi dan kedalaman muka air tanah tergolong dangkal membuat pH air yang terdapat di kawasan Pulau Batam berkisar antara 5 – 6,8. Oleh karena itu air tanah yang berada di wilayah- wilayah Pulau Batam baru dapat dimanfaatkan sebagai air minum dengan terlebih dahulu harus dinetralisir keasamannya. Keadaan ini membuat alternatif sumber air baku bagi masyarakat menjadi terbatas karena masyarakat kebanyakan tidak tidak dapat langsung memanfaatkan air tanah untuk air minum.

  Persedian air di Pulau Batam juga berhubungan dengan ketersediaan air dari aliran sungai. Terdapat banyak sungai-sungai kecil dengan aliran pelan atau debit yang kecil melalui kawasan yang berkelerengan rata-rata kurang dari

  16 dengan hutan-hutan serta semak belukar yang lebat. Aliran-aliran sungai dapat berasal dari mata air yang terdapat di setiap rekahan tanah, dan aliran sungai musiman yang hanya sebagai penyalur curah hujan di suatu kawasan. Area cekungan di wilayah Batam dimanfaatkan sebagai waduk cadangan sumber air tawar. Dengan tipe topografi perbukitan berlereng 16 sampai

  75 yang diselingi oleh dataran rendah sangat menguntungkan dalam pembuatan waduk sebagai cadangan air tawar. Namun sifat kemiringan lahan yang curam dan jenis tanah yang mudah longsor akibat terbebani muatan air, menjadikan beberapa kawasan di Pulau Batam menjadi kurang ideal untuk kawasan tangkapan air. Kawasan-kawasan tangkapan air di wilayah Batam cenderung diupayakan di kawasan dengan tingkat kelerengan kurang dari

  16 dengan curah hujan sekitar 3,48 mmhari.

  Seperti terlihat pada Gambar III.3, kawasan-kawasan tangkapan air yang utama di wilayah Batam terdapat di Waduk Duriangkang, Muka Kuning, Sei Nongsa, Sei Harapan, Sei Ladi dan Sei Baloi.

  Gambar III.3. Peta lokasi waduk-waduk di Pulau Batam

  (Sumber: OB)

  ATB telah meningkatkan kapasitas produksinya sejalan dengan pertumbuhan Kota Batam yang sangat pesat. Pada tahun 2009 4 , kapasitas produksi

  maksimum ATB adalah sebesar 2.335 Ldet, atau meningkat hampir empat kali lipat sejak konsesi dimulai tahun 1995 yang sebesar 588 Ldet. Secara keseluruhan, ATB mengelola dan memiliki tujuh Instalasi Pengelolaan Air (IPA) yang berada di waduk-waduk tadah hujan yang telah disebutkan tadi. Kontribusi terbesar dalam produksi air dihasilkan oleh IPA Duriangkang, yakni 1.000 Ldet. Sisanya berasal dari IPA Tanjung Piayu 375 Ldet, IPA Sei Ladi 270 Ldet, IPA Muka Kuning 310 Ldet, IPA Sei Harapan 210 Ldet, dan IPA Sei Nongsa 110 Ldet. IPA Baloi yang berkapasitas 60 Ldet tetap beroperasi selama tahun 2007 namun dengan kualitas air yang buruk, sehingga menelan biaya produksi tertinggi karena tingginya kebutuhan klorin untuk disinfeksi

  sebelum dialirkan ke jaringan distribusi 5 .

  5 ATB Presentation dalam rangka kunjungan Badan Regulator Air Minum DKI Jakarta, 29 Januari 2009 ATB Annual Review Report 2007

  Tabel III.3. Kapasitas waduk dan produksi (disain dan operasional) ATB

  No

  WadukInstalasi

  Kapasitas waduk

  Kapasitas disain

  4 Muka Kuning

  Sumber: ATB (Data Tahun 2009)

  Sistem distribusi ATB dilakukan dengan memadukan penggunaan sistem pemompaan dan gravitasi disesuaikan kondisi topografi daerah pelayanan. Sistem distribusi terbagi atas sistem perpipaan dan reservoir distribusi yang berupa suatu tangki untuk menanggulangi kebutuhan air saat kegiatan puncak dan menampung air pada saat pemakaian air minimum. Umumnya, pengaliran air dari reservoir ke daerah pelayanan menggunakan sistem pemompaan, dengan pertimbangan topografi daerah pelayanan yang relatif datar, sehingga bila menggunakan sistem gravitasi tidak akan efektif. Dengan sistem yang dimilikinya, diketahui bahwa per September 2008, jumlah pelanggan ATB telah mencapai 136.065 Sambungan Langganan (SL), dengan komposisi seperti terlihat pada Gambar III.4.

  Jumlah pelanggan [∑ = 136.065]

  Gambar III.4. Komposisi pelanggan ATB per September 2008

  (Sumber: ATB, diolah kembali)

  Kelompok-kelompok pelanggan tadi dibedakan sesuai dengan tarif air minum yang dibebankankan kepada mereka. Tabel III.4. menyajikan struktur tarif ATB berdasarkan SK Ketua Otorita Batam No. 106KPTSKAXII2007 tanggal 17 Desember 2007, yang berlaku per Januari 2008.

  Tabel III.4. Struktur tarif ATB per Januari 2008

  Tarif per M 3 (Rp.) sesuai pemakaian bulanan (M 3 )

  No

  Golongan Pelanggan

  0 – 10 M 3 11 – 20 M 3 21 – 30 M 3 31 – 40 M 3 > 40 M 3

  Sosial Umum

  Sosial Khusus

  Low Cost Housing

  Housing Type A

  Government House

  Niaga Kecil

  Niaga Besar

  Industri Kecil

  IV

  Industri Besar

  V Khusus

  Sumber: ATB

  Kotak 3. Gambaran Umum Kota Batam

  Geografi dan Kependudukan Kota Batam mempunyai posisi yang sangat strategis karena berada pada jalur pelayaran internasional dan hanya berjarak 12,5 mil laut dari Singapura. Hal itu menempatkan Kota Batam sebagai pintu gerbang lokomotif pembangunan ekonomi baik di Propinsi Kepulauan Riau maupun nasional. Berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999, maka luas wilayah Kota Batam secara keseluruhan mencapai 1.570,35 Km2, dan berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2005, dinyatakan bahwa Kota Batam terdiri dari 12 wilayah Kecamatan dan 64 Kelurahan.

  Secara umum, sejak Pulau Batam dikembangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi daerah industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata serta terbentuknya Kotamadya Batam tanggal 24 Desember 1983, laju pertumbuhan penduduk terus mengalami peningkatan. Hasil sensus penduduk menunjukkan bahwa selama periode 1990-2000 laju pertumbuhan penduduk Batam rata-rata sebesar 12,87.

  Kotak 3. Gambaran Umum Kota Batam

  Namun sejak pelaksanaan Perda Kota Batam No. 2 Tahun 2001, laju pertumbuhan penduduk Kota Batam dari tahun 2001-2006 telah ditekan hingga rata-rata sebesar 6,36. Dari data yang ada diketahui bahwa penduduk Kota Batam sampai dengan bulan Oktober 2008 telah berjumlah 853.408 jiwa. Dari jumlah tersebut penyebarannya tidak merata sehingga mengakibatkan kepadatan