TEMUAN DAN PEMBAHASAN

B. TEMUAN DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Desa Kanekes

Masyarakat Kanekes tinggal di wilayah kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes atau Baduy, Kecamatan Leuwidamar, Kabu paten Lebak, Provinsi Banten. Jarak antara Desa Kanekes dengan ibu kota Kabupaten

Lebak (Rangkas Bitung) sekitar 40 Km. Secara geografis, wilayah Kanekes terletak pada koordinat 6°27’27”- 6°30’0” LS dan 108°3’9”- 106°4’55”

BT. Wilayah ini merupakan bagian dari pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300-600 m di atas permukaan laut (DPL). Topo grafinya berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%.

Tanahnya berupa tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Suhu rata-rata daerah tersebut adalah 20°C. Luasnya 5.130 hektar.

Jarak Desa Kanekes dari ibu kota Kecamatan Leudamar ± 17 Km, dari ibu kota Kabupaten Lebak (Rangkasbitung) ± 40 Km, dari ibu kota Kabupaten Serang ± 95 Km, dan dari Jakarta ± 150 Km. Posisinya terletak sebelah barat daya Jakarta. Desa Kanekes berada di tengah pegunungan. Jalan jalan raya tidak masuk ke wilayah ini. Akses masuk ke sana berupa jalan tanah setapak. Untuk mencapai Desa Kanekes-Dalam akses terdekat adalah melalui Desa Ciboleger (Jawa Barat). Dari Desa Ciboleger berjalan kaki pada jalan tanah setapak dan naik turun bukit kurang lebih satu jalan perjalanan. Jalan setapak kecil tersebut pada bagian yang naik dan turun perbukitan diperkeras dengan batu kali yang disusun memanjang. Lebar susunan batu sekitar satu meter. Jika hujan, jalan tanah ini becek dan licin.

Tanahnya sebagian besar ditanami berbagai jenis pohon sebagai hutan lindung milik adat. Sebagian tanah digunakan tempat tinggal. Sebagian lagi dijadikan tegalan untuk menanam padi gogo dan tanaman lainya. Desa Baduy tidak mempunyai tanah desa/kas desa untuk membiayai pemerintahan/pembangunan dan tanah bengkok/jabatan untuk pengurus desanya sebagaimana desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya ada tanah untuk Pu’un yang diberikan secara turun menurun.

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

Desa Kanekes memiliki batas-batas sebagai berikut. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Bojongmenteng Kecamatan Leuwidamar; Desa Cisimeut Kecamatan Leuwidamar, dan Desa Nyagati Kecamatan Leuwidamar. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Karangsombong Kecamatan Muncang dan Desa Cilebang Kecamatan Muncang. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Cikate Kecamatan Cijaku. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Parakanbeusu Kecamatan Bojongmanik, Desa Keboncau Kecamatan Bojongmanik, dan Desa Karangnunggal Bojongmanik. Adapun batas-batas alamnya adalah sebagai berikut. Sebelah Utara dibatasi dengan sungai Ciujung, sebelah Timur dibatasi sungai Cisimeut, sebelah selatan dibatasi sungai Cidikit, dan sebelah Barat dibatasi sungai Cibarani.

2. Gambaran Masyarakat Kanekes

Masyarakat Kanekes atau Baduy adalah bagian dari suku Sunda. Bentuk fisiknya sama dengan orang Sunda pada umumnya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda. Sebagian pakar ber pendapat

bahwa masyarakat Kanekes adalah sisa masyarakat Sunda kuno yang mengasingkan diri dari pengaruh Kesultanan Islam Banten. Mereka tidak mau menerima agama dan tatanan baru yang dibawa oleh Sultan Banten lalu mengasingkan di pedalaman pegunungan Kendeng. Di sini mereka menutup diri dari pengaruh luar dengan mempertahankan adat istiadat yang diwariskan leluhurnya secara ketat sampai sekarang. Jumlah mereka adalah 11.627 orang yang tersebar dalam 72 RT dan 25 RW. Berdasarkan kelompok umur, masyarakat Kanekes terdiri atas masyarakat usia produktif yang jumlahnya sekitar 50%, kelompok masyarakat anak-anak sekitar 30%, dan 20% adalah kelompok orang tua.

Masyarakat Kanekes disebut juga masyarakat Baduy. Sebutan "Baduy" awalnya diberikan oleh peneliti Belanda yang menyamakan mereka dengan suku asli Arab Badwi, yang hidup berpindah-pindah (nomaden) dan mencari penghidupan dengan cara beternak. Selain itu, juga ada peneliti yang menghubungkan dengan sungai Cibaduy dan gunung Baduy yang ada di bagian utara wilayah tersebut. Karena mereka tinggal di sekitar sungai Cibaduy dan gunung Baduy maka disebut masyarakat Baduy. Akan tetapi, mereka sendiri lebih menyukai disebut sebagai “Urang Kanekes "

44 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 44 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Masyarakat Kanekes/ Baduy dilihat dari letak geografis dan pola kehidupannya terbagi menjadi tiga kelompok: tangtu, panamping, dan dangka 11 . Kelompok tangtu adalah kelompok masyarakat inti yang disebut Kanekes-Dalam atau Baduy-Dalam. Kelompok masyarakat ini paling ketat mengikuti adat. Mereka tinggal di tiga dukuh/kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Kelompok masyarakat panamping adalah masyarakat Kanekes Luar (Baduy-Luar). Mereka tinggal di 51 dukuh/kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam: Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan sebagainya. Kelompok dangka adalah masyarakat Kanekes yang tinggal di luar Baduy-Dalam dan Baduy-Luar. Saat ini mereka menghuni di dua dukuh/kampung: 1) Padawaras atau

Cibengkung dan 2) Sirahdayeuh atau Cihandam 12 . Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah bertani dan

berkebun di ladang kering. Jenis tanamannya adalah padi, pisang, mangga, pohon sengon, dan lain-lain. Di samping itu, sebagian juga ada yang membuat kain tenun, mengambil madu di hutan, dan membuat kerajinan khas dari bahan alam yang ada di sekitar. Hasil tanaman lebih digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten). Sebagian kecil saja yang diper jualbelikan di pasar.

Status tanah yang ditempati penduduk untuk mendirikan rumah dan tegalan untuk menanam padi dan tanaman lainnya adalah tanah milik bersama, komunal. Tanah ini dibagikan kepada kepala keluarga berupa petak-petak untuk tempat tinggal dan untuk lahan pertanian secara turun temurun. Model pembagiannya ditentukan dalam musyawarah Pu’un dan para Jaro. Pu’un adalah kepala suku sedangkan Jaro adalah semacam kepala desa. Tanah yang masih berupa hutan dipertahankan sebagai hutan lindung. Tanah ini tidak boleh dibagikan kepada anggota masyarakat. Masyarakat merawat, memelihara, dan mempertahankan hutan lindung sebagaimana nenek moyangnya melakukan. Masyarakat

10 Garna, Y., Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, dalam Koentjaraningrat & Simorangkir, (Editor) Seri Etnografi Indonesia No.4, Jakarta, Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama, 1993

11 Permana, C.E., Kesetaraan Gender Dalam Adat Inti Jagat Baduy, Jakarta, Wedatama Widya Sastra, 2001 12 Ibid

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

diperkenankan memanfaatkan hasil hutannya tapi tidak boleh merusaknya. Akan tetapi, sejak lima tahun terakhir sejalan dengan terus bertambahnya populasi masyaraskat Kanekes, telah dibuka lahan baru untuk diberikan kepada generasi baru yang belum mendapatkan bagian tanah dari orang

Gambar 1 Rumah Warga Kanekes

tuanya.

Masyarakat Kanekes tinggal di rumah sederhana. Rumah terbuat dari bahan-bahan yang terdapat di alam sekitarnya. Rangkanya terbuat dari kayu jati atau kayu pohon kelapa atau kayu albasiah. Atapnya terbuat dari ijuk atau daun pohon kelapa. Pengait antarrangka terbuat dari pasak yang

Gambar 2 Orang Baduy-Dalam Berjalan dibuat dari kayu. Dindingnya ter-

di Jalan Desa

buat dari anyaman bambu. Rumah berbentuk panggung di atas tanah dengan ketinggian kira-kira satu meter dari tanah. Lantainya terbuat dari batang-batang bambu ukuran kecil yang dihimpitkan lalu dilapisi gelaran lampit, anyaman bambu yang dijadikan semacam karpet. Tiang-tiang utamanya diletakkan di atas batu kali. Rumah hanya memiliki satu pintu depan, tidak ada pintu belakang. Jarak antar satu rumah dengan rumah di sebelah kanan-kirinya sekitar 3 meter. Rumah dibangun berjejer berdempetan dan saling berhadapan yang dipisahkan oleh jalan sempit kira-kira 2 meter. Ruangan terdiri atas tangga, golodog, sosoro, dan imah; dan tidak boleh dibangun di depan rumah Pu’un dan balai adat. Perabot rumah tangga terdiri atas dangdang, kuali, kukusan, hihid, lumpang, kuluwung, boboko, mangkuk, somong (gelas bambu), dan botol besar tempat air minum. Mereka masak dengan tungku.

Di dukuh/kampung Cibeo terdapat 98 rumah. Menurut Jaro Samin, semua rumah dibangun dengan cara gotong royong. Setiap mendirikan rumah dilakukan upacara adat. Upacara dipimpin Pu’un. Pemilik rumah dan warga membuat sesaji dan melakukan selamatan demi mendapatkan

46 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 46 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Masyarakat Baduy-Dalam tidak memiliki dokumen kepen dudukan. Anggota masyarakat yang sudah dewasa tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Anak-anak mereka tidak mempunyai akte kelahiran. Jika suatu saat ada keperluan mendesak, misalnya harus berhubungan dengan instansi negara seperti dirujuk ke rumah sakit karena sakit, mereka baru mengurus dokumen administrasi kependudukan tersebut melalui jaro pamarentah di Baduy-Luar. Suami-istri tidak memiliki Surat Nikah yang dikeluarkan Kementerian Agama karena lembaga pernikahannya berdasarkan hukum adat, tidak berdasarkan hukum positif. Mereka memiliki model nikah adat yang tidak sama dengan model nikah negara. Model nikah adat tidak memerlukan legalitas dan hadirnya pejabat negara. Mereka mempunyai petugas, tata cara, dan ritual sendiri. Bagi warga yang memerlukan bukti tertulis akan pernikahannya, Kantor Pemerintah Desa Baduy-Luar membuat Surat Keterangan Nikah. Surat ini biasanya diperlukan warga ketika yang bersangkutan mengurus

akte kelahiran di Kantor Catatan Sipil dan pembuatan sertifikat untuk tanah yang dibeli di luar Desa Kanekes. Warga yang tidak mempunyai

kepentingan sepeti ini tidak memerlukan Surat Keterangan Nikah dari Kantor Desa Baduy-Luar.

Masyarakat Baduy-Dalam tidak terlibat dalam kegiatan politik kenegaraan: memilih kepala desa, Pemilu memilih anggota DPR/DPD/ DPRD, dan pemilihan presiden, gubernur, dan bupati. Menurut Jaro Samin partisipasi masyarakat dalam Pemilu diwujudkan dalam bentuk doa bersama. Dalam doa tersebut mereka memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mendapat pemimpin yang baik dan amanah. Untuk doa bersama tersebut, mereka mengutus Jaro Indah ke Pemerintah Provinsi melalui Bupati Lebak. Mereka minta Gubernur dan Bupati mendukung doa bersama dan mohon izin untuk tidak terlibat dalam pemilihan kepala desa/kepala daerah/presiden dan pemilihan umum. Alasannya adalah adat tidak mengajarkan. Di samping itu, kegiatan politik demikian dikhawatirkan merusak harmoni masyarakat. Masyarakat Kanekes sangat mementingkan harmoni.

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

Masyarakat Baduy tidak mengenal jual beli atau sewa menyewa tanah. Kepemilikan lahan hutan untuk dibuka menjadi lahan ladang dapat tumpang tindih antar keluarga. Luasnya lahan yang dimiliki tidak ada ketentuan khusus, tergantung kemampuan tiap-tiap keluarga yang membuka lahan. Masyarakat berpendapat bahwa mereka bukan pemilik lahan, tetapi hanya sebagai pemilik lahan garapan. Yang menentukan sifat kepemilikan dari lahan tersebut adalah tanamannya. Pemilikan tanaman dapat diwariskan

pada keturunannya dengan tanpa membedakan perempuan atau laki-laki 13 . Masyarakat Baduy melakukan pola hidup sederhana ber dasarkan

adat. Mereka tidak mau menggunakan perkakas yang dipakai orang lain hasil produk pabrik. Mereka masak dengan kendil dari tanah, piringnya dari batok, dan tempat minumnya dari bambu. Alat penerangannya dari lampu teplok dengan minyak kelapa buatan sendiri. Mereka menolak diberi aliran listrik sehingga di Desa Baduy-Dalam tidak ada televisi dan lampu listrik. Mereka juga menolak menggunakan alat-alat komunikasi dan transportasi modern seperi telepon seluluer, kendaraan bermotor, dan mobil. Mereka pergi kemana-mana dengan berjalan kaki dengan kaki telanjang. Mereka memenuhi keperluan hidupnya secara mandiri dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di sekitarnya. Makanan dipenuhi dari padi yang ditanam sendiri; pakaiannya dari buatan sendiri; dan rumah dari bahan-bahan alam yang di sekitarnya dan didirikan bersama dengan gotong royong. Masya rakat Kanekes-Dalam tidak diperkenankan menggunakan angkutan umum, sepeda motor, mobil, telepon seluler, televisi, dan bersepatu/sandal. Mereka menggunakan kain berwarna hitam/putih hasil tenunan dan jahitan sendiri.

Masyarakat Kanekes khususnya di Baduy-Dalam, tidak mengenal lembaga sosial bentukan negara seperti RT, RW, PKK, Dasa Wisma, dan lain-lain. Tata kelola pemerintahannya dijalankan berdasarkan norma hukum adat. Setiap Desa dipimpin oleh jaro dan para jaro tunduk kepada Pu’un. Dalam masyarakat Kanekes, terdapat pelapisan masyarakat: tangtu, panamping dan dangka. Tangtu tinggal di Baduy-Dalam, panamping tinggal di Baduy-Luar, sedangkan dangka tinggal di luar desa Kanekes. Pelapisan tersebut didasarkan pada tingkat kesucian dan ketaatan kepada adat. Tangtu dianggap lebih tinggi dibanding penamping, dan

13 Ibid

48 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 48 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

mereka telah kehilangan status sebagai warga masyarakat Baduy 14 . Penduduk Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka

mengaku beragama Selam, bukan Islam. Menurut mereka agama Selam adalah agama yang dibawa langsung oleh Nabi Adam, jauh sebelum Nabi Muhammad lahir. Jadi, menurut mereka agama masyarakat Kanekes lebih tua daripada agama orang Islam di luar Baduy. Dalam agama Sunda Wiwitan atau Selam, mereka meyakini adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta yang menurunkan ajaran Nabi Adam, leluhur masyarakat Kanekes. Ajaran ini menekankan kepada pemeluknya agar menjalani kehidupan selalu mengandung nilai ibadah: berperilaku baik dan hidup sederhana seperti tidak menggunakan fasilitas atau peralatan elektronik, telekomunikasi, transportasi, dan lain-lain.

Masyarakat Kanekes memilih menjadi masyarakat tradisional yang menutup diri dari perubahan masyarakat modern. Pilihan kehidupan tersebut dianggap sesuai dengan keyakinan yang mereka anut, yaitu Sunda Wiwitan yang lebih dekat dengan ajaran agama Hindu. Meskipun

14 Ibida, hal. 19-21

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

memilih menjadi masyarakat tradi sional mereka tetap menghormati dan berhubungan dengan masyarakat modern yang ada di sekitar mereka. Untuk men jembatani antara kehidupan tradisional dan lingkungan di sekitar mereka yang modern, mereka membuat struktur kelembagaan yang menggabungkan antara struktur adat dengan struktur peme rintahan nasional. Menurut Jaro Samin, masyarakat Kanekes tidak mau menerima modernisasi karena menyalahi adat leluhur (pamali). Oleh karenanya, mereka tidak mau menerima fasilitas dan peralatan modern seperti listrik, kendaraan bermotor, televisi, telepon, dan peralatan rumah tangga seperti piring, sendok, mangkok, dan lain-lain. Masyarakat Kanekes memilih keseder hanaan hidup: menggunakan penerangan lilin atau lampu teplok dengan minyak kepala; kemana-mana mereka berjalan kaki tanpa alas kaki; tidak menonton televisi; tidak bersekolah; dan tidak meng gunakan telepon. Mereka mengkonsumsi makanan dan menggunakan peralatan apa adanya. Semua kebutuhan makan, pakaian, dan rumah diperolah dari alam sekitarnya, tidak ada yang diperoleh dari produk pabrikan dari luar Desa.

Masyarakat Kanekes sangat mematuhi aturan adat. Anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran mendapatkan hukuman adat. Hukuman adat sesuai dengan kesalahan mulai dari sumpah tidak mengulang sampai pengusiran dari komunitas. Bentuk hukuman ditekankan pada segi kebatinan. Dengan cara ini, biasanya setelah pelanggar mengetahui kesalahannya akan segera memperbaiki diri dengan ikhlas.

Dilihat dari penampilan fisiknya, masyarakat Kanekes-Dalam dan Kanekes-Luar mempunyai pola hidup dan penampilan berbeda. Kelompok tangtu atau inti sangat ketat memegang teguh adat-istiadat nenek moyang. Mereka adalah masyarakat yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Kanekes-Dalam adalah berpakaian warna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan warga negara asing (non WNA). Kelompok masyarakat kedua disebut panamping yaitu masyarakat Kanekes-Luar. Mereka tinggal di wilayah Kanekes berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes-Dalam: Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain-lain. Masyarakat

50 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Kanekes-Luar berciri khas: mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Kanekes-Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes-Dalam karena beberapa sebab: melanggar adat, memang mereka ingin keluar dari Kanekes-Dalam, dan menikah dengan anggota Kanekes Luar. Wanita berkebaya dan selendang sedangkan laki-laki bersarung yang dilipat. Perempuan tidak boleh meng gunakan emas murni, hanya boleh memakai manik-manik terbuat dari biji-bijian. Dalam berkesenian mereka hanya boleh menggunakan angklung, kecapi, karinding, kumbang, tarawelet, dan talintu.

Masyarakat Kanekes Luar sudah sedikit meninggalkan norma adat, di antaranya adalah:

– Sebagian besar dari anggota masyarakat telah mengenal tekno - logi, seperti peralatan elektronik. Walaupun dilarang untuk meng- gunakannya, mereka secara sembunyi-sembunyi meng gunakan peralatan tersebut agar tidak ketahuan penga was dari Kanekes Dalam.

– Proses pembangunan rumah mereka telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dan lain-lain yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.

– Mengenakan pakaian adat warna hitam atau biru tua (untuk laki- laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci, bahkan sudah ada yang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.

– Telah mengenal teknologi atau peralatan elektronik. –

Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.

Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Kanekes adalah bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Namun saat ini, banyak anggota masyarakat yang mahir berbahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan penduduk luar, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Menurut Jaro Samin, penduduk Kanekes-Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja, demikian juga dengan aturan atau keputusan hasil musyawarah yang diputuskan untuk mengatur kehidupan mereka hanya diingat.

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

Menurut Jaro Samin, masyarakat Kanekes mempunyai beberapa kegiatan yang didasarkan pada kepercayaannya:

1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci di mana pada bulan kawalu masyarakat Kanekes melaksanakan ibadah puasa selama 1 hari masing-masing di bulan Kasa, Karo, dan Katiga.

2. Upacara Ngalaksa, yaitu upacara yang dilakukan sebagai rasa syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melewati puasa. Ngalaksa ini dikenal juga dengan lebaran oleh Masyarakat Kanekes.

3. Seba, yaitu berkunjung atau melakukan silaturakhmi dengan para pemimpin di Pemerintahan Daerah. Kegiatan ini meru pakan bentuk penghargaan dan kepatuhan masyarakat Kanekes terhadap penguasa.

4. Upacara Menanam padi, yang dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran.

5. Upacara Kelahiran, yang merupakan upacara-upacara dengan urutan- urutan sebagai berikut:

1) Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.

2) Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untuk dijampi-jampi.

3) Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.

4) Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.

5) Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pem berian nama oleh dukun (kokolot) yang didapat dari ber mimpi dengan mengorbankan ayam.

6. Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan di lakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.

Orang Baduy mempunyai sistem penanggalan sendiri. Satu tahun dihitung 360 hari, tidak 365 hari karena ada lima hari yang digunakan sebagai waktu luang/ngawagekeun. Penanggalan berdasarkan peredaran bulan dan bintang (Guru Desa). Kapan awal tahun dimulai dan kegiatan

52 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 52 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

2) Bulan Karo; 3) Bulan Katilu; 4) Bulan Sapar; 5) Bulan Kalima; 6) Bulan Kanem; 7) Bulan Kapitu; 8) Bulan Kadalapan; 9) Bulan Kasalapan; 10) Bulan kasapuluh; 11) Bulan Hapid Lemah; 11) Bulan Hapid Kayu.

Masyarakat Baduy melakukan upacara perkawinan, kelahiran, sunatan, dan kematian secara khas. Perkawinan dimulai dari lamaran pihak laki-laki. Jika sudah terjadi kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak dilanjutkan dengan tunangan, nyeurehan. Selanjutnya adalah acara seserahan yaitu pihak laki-laki menyerahkan perlengkapan rumah tangga kepada pihak perempuan. Dalam acara seserahan ini puun mengesahkan perkawinan ini dengan membacakan sahadat adat untuk kedua belah pihak. Sahadat yang dibaca antara lain sahadat wiwitan, sahadat tunggal, sahadat samping, sahadat batin, dan sahadat kanjeng Nabi Muhammad Saw sebagai penutup. Di bawah sahadat ini kedua mempelai wajib menjalankan kehidupan suami isteri secara monogam. Prosesi kelahiran anak terdiri atas empat tahap: 1) pertolongan; 2) pengurusan dan laporan (netepkeun ngaran); 3) membersihkan ibu (mulangkeur angir); dan 4) cukuran (ngalaan sawan). Sunatan anak laki-laki harus dilakukan pada bulan Kalima atau Kapitu. Anak yang disunat berumur 5-10 tahun. Sunat dilakukan oleh petugas khusus, Bengkong. Sunatan dilaksanakan di tempat khusus yang disebut Saung Pasajen. Upacara kematin hampir sama

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

dengan tata cara kematian dalam agama Islam. Hal yang membedakan adalah posisis mayat dalam kubur: kepala di barat, kaki di timur, dan menghadap ke Selatan.

Masyarakat Baduy mempunyai sistem pembagian waris yang khas pula. Harta benda diwariskan kepada anak laki-laki dan perempuan secara sama. Pembagian warisan dilakukan ketika orang tua masih hidup dan diatur oleh sabah-sabah disaksikan para kokolotan lembur, sanak famili, dan tokoh adat. Prinsip yang digunakan dalam pembagian warisan adalah adil dan merata. Harta yang diwariskan adalah rumah, leuit (lumbung padi), barang atau alat rumah tangga, pakaian, uang, emas (untuk Baduy Luar), tanah garapan, tanah milik, gadaian, dan pohon.

Dalam hal menyelesaikan konflik yang terjadi, mereka memiliki pranata peradilan yang khas. Masyarakat Baduy terikat dengan sumpah.

Berdasarkan sumpah inilah pranata hukum ditegakkan (rule of law). Orang Baduy wajib patuh kepada adat dan barang siapa melanggar sumpah adat maka ia akan terkena kutukan Sang Pencipta dan guriang leluhur, kuwalat. Meskipun demikan, jika terjadi perselisihan dan persengketaan maka akan diselesaikan dengan cara sebagai berikut. Pertama, diselesaikan secara kekeluargaan. Kedua, dimusyawarahkan bersama mencari jalan damai dengan melibatkan kedua belah pihak dan sabah-sabah/kerabat kedua belah pihak. Ketiga, dimusyawarahkan di bawah kokolotan lembur dihadiri olah sabah-sabah dan tokoh-tokoh masyarakat. Keempat, diselesaikan oleh Jaro (Kepala Desa) dan disaksikan oleh Jaro yang lebih tinggi. Kelima, dilakukan sumpah adat disaksikan oleh para tokoh adat.

Konsepsi, pola pikir, dan perilaku masyarakat Baduy demikian berkaitan dengan pemahaman kosmologi yang diajarkan nenek moyangnya. Semuanya berbasiskan alam. Melalui pengalaman, peng hayatan, dan perenungan mendalam masyarakat Baduy menemukan cara hidup yang selaras dengan alam yang didiami. Mereka memahami bahwa dirinya adalah bagian alam itu sendiri sehingga wajib hidup sesuai dengan kodrat alam. Masyarakat wajib menjaga dan memelihara alam agar tetap memberikan kehidupan yang damai, tenteram, dan sejahtera lahir batin. Perilaku ini kemudian menjadi adat istiadat yang mengarahkan dan mengatur peri kehidupannya. Berdasarkan adat istiadat yang dipegang teguh mereka menjalani kehidupan sesuai dengan konsepsi kosmologis yang mereka

54 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 54 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

4) menghormati guriang dan melaksanakan muja; 5) melakukan seba setahun sekali; 6) menyelenggarakan dan menghormati upacara adat ngalaksa; 7) mempertahankan dan menjaga adat bulan kawalu.

Potret masyarakat Baduy adalah masyarakat dengan dua wajah. Dilihat dari pandangan diri mereka sendiri, mereka sengaja memilih hidup damai, tenteram, tenang, dan sejahtera dengan ukuran demikian. Mereka hidup di bawah hukum adat yang mereka junjung tinggi dan mengembangkan kearifan lokal mengharmoniskan perilakunya dengan alam semesta. Mereka tidak mengekploitasi dan memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan di luar kelayakan secara tamak dan serakah. Akan tetapi, dilihat dari masyarakat luar dalam perspektif modernisme dan urbanisme Baduy adalah gambaran masyarakat statis, terbelakang, bersahaja, dan miskin. Komunitas dengan tingkat pendidikan rendah, infrastrukur yang tidak layak, sistem ekonomi subsisten, dan budaya tribalisme yang masih kental dilihat dari ukuran modernisme dan urbanisme adalah suatu komunitas terbelakang dengan tingkat peradaban sedikit di atas primitif. Norma adat yang antara lain melarang, 1) anak-anaknya ber sekolah formal; 2) mengaspal jalan masuk ke desanya; 3) membangun jembatan permanen; 4) mengubah tegalan menjadi sawah terasiring; 5) mengubah sistem tanam dari model huma ke model irigasi; 6) mengubah model pencaharian dari model tunggal pertanian ke model majemuk, dan

7) mengadopsi budaya modern dan urban merupakan justifikasi absurd bagi masyarakat modern dan urban. Bagi masyarakat Baduy, modernisme

dan urbanisme yang harus dipenuhi dengan eksploitasi alam tanpa batas untuk tujuan konsumerisme yang terus meningkat tanpa batas pula karena dipicu gaya hedonisme adalah tindakan menentang kodrat alam yang bisa mendatangkan kutukan, kuwalat.

3. Pemerintahan

Pemerintahan masyarakat Kanekes terdiri atas pemerintahan adat dan pemerintahan campuran: antara adat dan negara. Masyarakat Baduy- Dalam menyelenggarakan pemerintahan adat sedangkan masyarakat Baduy-Luar menyelenggarakan pemerintahan campuran. Masyarakat

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

Baduy-Dalam dipimpin oleh tiga jaro tangtu, semacam kepala desa adat. Masyarakat Baduy-Luar dipimpin oleh jaro pamarentah, semacam kepala desa. Semua jaro tunduk kepada Pu’un. Pu’un adalah pemimpin tertinggi masyarakat Kanekes. Pu’un adalah kepala suku Kanekes.

Pu’un dibantu wakil yang terdiri atas wakil bidang keamanan dan wakil bidang pemerintahan. Wakil Pu’un bidang keamanan adalah Kokolot sedangkan wakil bidang pemerintahan adalah Geurang Seurat. Pu’un juga mempunyai wakil di tiap kampung/desa yang disebut jaro. Para jaro adalah pelaksana pemerintahan adat sehari-hari di bawah pengawasan Geurang Seurat. Jaro terdiri atas empat jenis: 1) jaro tangtu; 2) jaro dangka; 3) jaro tanggungan, dan 4) jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab melaksanakan hukum adat pada warga asli atau tangtu. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.

Salah satu jaro adalah Jaro Samin. Ia adalah wakil Pu’un yang menjabat sebagai jaro tangtu atau kepala desa di wilayah Kanekes inti di Desa Cibeo. Jaro dibantu oleh beberapa orang yang mengurus urusan masyarakat: warga yang meninggal dunia, pernikahan, sunatan, menghias untuk upacara adat, kelahiran anak, dan baris kolot (spiritual). Para pembantu jaro antara lain adalah nangka, kompol, kamancin, ciadam, dungka, cilonggor, nungkulan, pancawen, dan cipit. Mereka ditunjuk berdasarkan aturan adat dan tidak menerima gaji.

Pada tiga tangtu yaitu tiga desa utama yang ditempati masyarakat Kanekes-Dalam (Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo) Pu’un mempunyai kekuasaan mutlak. Tiga tangtu tersebut terletak di pedalaman wilayah Kanekes yang disebut Baduy-Dalam. Di tiga tangtu ini berlaku aturan adat yang sangat ketat. Di sini peraturan negara (hukum positif) tidak berlaku sehingga semua aturan masyarakat termasuk tata kelola pemerintahan mengiktui norma hukum adat di bawah otoritas Pu’un. Di sini Pu’un tidak di bawah subordinasi pejabat manapun karena otoritasnya tidak berasal dari otoritas Negara tapi dari kekuatan alam, kekuatan magis, dan dukungan masyarakat. Pu’un memegang otoritas tertinggi bidang kerohanian dan kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, pada masyarakat Baduy-Luar otoritas

56 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Pu’un dibagi dengan otoritas Negara. Secara adat, kepala desa atau jaro Baduy-Luar tetap di bawah Pu’un tapi secara dinas di bawah pejabat negara: camat, bupati, gubernur, dan presiden.

Pu’un bertugas mengawasi jalannya pemerintahan adat. Dia tetap tinggal di desanya dan tidak pernah pergi kemana-mana. Sehari-hari hanya ia di rumah atau bekerja di ladang. Dia tidak terlibat secara langsung kegiatan pemerintahan sehari-hari. Pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh jaro dan pembantunya. Dia baru terlibat dalam pemerintahan jika diadakan musyawarah untuk membicarakan masalah yang penting. Musyawarah desa yang dihadiri Pu’un paling tidak dilakukan dua bulan sekali. Musyawarah diselenggarakan berdasarkan undangan lisan jaro atau berdasarkan usulan masyarakat.

Masyarakat Baduy-Dalam mempunyai lembaga musyawarah semacam majelis atau sidang kepu’unan yang disebut Baresan. Majelis ini beranggotakan 25 orang: 11 orang dari desa Cikeusik, 9 orang dari desa Cibeo, dan 5 orang dari desa Cikartawana. Mereka adalah para pejabat desa adat. Majelis ini secara rutin melakukan musyawarah untuk memecahkan segala aspek yang berkaitan dengan semua permasalahan desa. Materi yang dimusyawarahkan adalah pelaksanaan urusan adat dan urusan kemasyarakatan seperti sengketa warga, pelanggaran adat oleh anggota masyarakat, perbaikan jalan, gotong royong membantu membangun atau mempebaiki rumah anggota masyarakat, dan informasi dari pemerintah atasan.

Menurut Jaro Samin, jabatan Pu’un sudah ada sejak adanya masyarakat Kanekes dan diteruskan sampai sekarang. Pu’un diangkat oleh masyarakat Kanekes melalui musyawarah para jaro dan tetua masyarakat. Jika Pu’un meninggal dunia, penggantinya tidak otomatis digantikan anaknya. Jika pemuka masyarakat menilai anaknya mempunyai kemampuan maka anaknya diangkat menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia. Akan tetapi, jika pemuka masyarakat menilai anaknya tidak mempunyai kemampuan maka bisa mengangkat dari kerabatnya. Pu’un harus laki-laki, tidak boleh perempuan. Masa jabatan Pu'un tidak mempunyai batas waktu. Sepanjang ia mempunyai kemampuan ia bisa terus menjabat. Ada Pu’un yang pernah menjabat selama 25 tahun dan

18 tahun. Pu’un yang sekarang sudah menjabat baru 5 tahun.

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

B. Van Tricht 15 menggambarkan bentuk pemerintahan desa adat Baduy yang terlihat pada Gambar 3.

Tugas pokok dan fungsi masing-masing aparat adalah sebagai berikut:

1. Pu’un adalah pemimpin formal. Ia dianggap keramat, wakil dewa dan memahami masalah-masalah religius.

2. Geurang Seurat adalah wakil Pu’un yang memiliki tugas dan fungsi

melaksanakan tata pemerintahan atau sejenis perdana menteri.

3. Kokolot juga wakil Pu’un yang memiliki fungsi khusus yaitu memberikan pengamanan kepada Pu’un dan kerabatnya.

4. Baresan atau Dewan Rakyat merupakan sarana dan wahana dalam proses perumusan kebijakan Pu’un demi ketenangan, ketenteraman, dan keadilan desa.

5. Jaro berfungsi mengelola, membina, dan menjaga kese lamatan warga kampung.

6. Dukun mempunyai fungsi:

a. Menyembuhkan warga yang sakit.

b. Memberi nasihat dan masukan kepada Puun.

c. Menyaksikan pelantikan dan peletakan jabatan Puun.

d. Memberikan rekomendasi supernatural kepada Puun.

e. Menyampaikan wangsit kepada Puun dan masyarakat yang diperoleh melalui mimpi.

f. Menjadi penghubung antara pimpinan dengan warga. Di luar Baduy-Dalam terdapat masyarakat Kenekes yang tinggal

di luar wilayah inti. Masyarakat yang tinggal di sini disebut masyarakat Baduy-Luar. Masyarakat Baduy-Luar tetap di bawah otoritas Pu’un tapi model pemerintahannya tidak sama dengan pemerintahan Baduy-Dalam. Pemerinthan di Baduy-Dalam menggunakan model pemerintahan adat murni sedangkan pemerintahan Baduy-Luar menggunakan model campuran: pemerinthaan adat dan pemerintahan negara. Pemerintah Baduy-Luar dipimpin oleh jaro pamarentah. Meskipun demikian, rekrutmen jaro pamarentah/kepala desanya tidak mengikuti aturan perundang- undangan. Kades Baduy-Luar dipilih secara adat melalui musyawarah

15 Tim STPDN, Sistem Pemerintahan Desa Adat di Indonesia, Bandung, Depdagri STPDN, 1999, hal. 77-79

58 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Gambar 3 Struktur Organisasi Kelembagaan Masyarakat Kanekes

esatuan Masy

ar akat Huku Adat dalam Sistem P

Geurang Kokolot Seurat

emerintahan Di Indonesia ....

59 Nangka Bengkung

Pancawen Cipit Pancawen Cipit

Jaro pamarentah mempunyai dua fungsi: 1) kepanjangan tangan negara dan 2) penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional. Jaro pamarentah adalah penanggung jawab dan pelaksna urusan pemerintahan. Peme rintah atasan hanya bisa berhubungan dengan jaro pamarentah. Semua tugas kenegaraan dan pemerintahan berhenti pada jaro pamarentah. Pemerintah atasan tidak bisa berhubungan langsung dengan Pu’un dan masyarakat. Untuk berhubungan dengan Pu’un dan masyarakat, Pemerintah harus melalui jaro pamarentah. Hal ini berlaku untuk masyarakat Kanekes baik yang tinggal di Baduy-Dalam maupun di Baduy-Luar. Bahkan di Baduy-Dalam Pu’un dan para jaro tidak mau berhubungan dengan pejabat pemerintah: camat, bupati, gubernur. Hanya jaro pamarentah yang bisa berhubungan dengan pejabat atasan.

Jaro pamarentah menyelenggarakan administrasi peme rintahan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping itu, ia juga mengurus urusan adat sesuai dengan hukum adat yang berlaku pada masyarakat Kanekes. Jaro pamarentah atau kepala desa (Kades) membawahi sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) sedangkan perangkat desa lainnya bukan PNS dari Kecamatan Leuwidamar. Sekdes setiap hari harus datang di Kantor Desa. Ia harus melaporkan kehadirannya ke kecamatan. Tugas utama Sekdes adalah menjalankan tugas pemerintahan negara sekaligus menjalankan urusan adat. Sekdes yang sekarang sudah bertugas selama 21 tahun di Desa Kanekes, namun baru tahun 2009 diangkat menjadi PNS. Perangkat desa di luar Sekdes adalah pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung.

Meskipun Sekretaris Desa adalah PNS tapi untuk bertugas di Baduy-Luar harus mendapat persetujuan warga dan tokoh masyarakat Baduy-Dalam dan Baduy-Luar karena harus mem punyai kemampuan

60 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 60 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Sekdes menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya sering menghadapi ketika terdapat kepentingan adat dan kepen tingan pemerintahan yang dua-duanya harus dijalankan. Misalnya aturan tentang kepemilikan tanah. Dalam aturan negara kepemilikan tanah harus

dibuktikan dengan sertfikat tanah tapi karena di Baduy-Luar kepemilikan tanah tidak boleh dikuasai pribadi dan tanah adalah milik adat sehingga

hanya dapat dibuktikan secara adat dan tidak boleh diperjualbelikan maka tanah tidak boleh disertifikatkan.

Masa jabatan Kades Baduy-Luar tidak dibatasi tahun sebagaimana masa jabatan Kades di desa dinas/birokrasi yaitu enam tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali untuk masa satu periode berikutnya. Kades Baduy-Luar dapat menjabat seumur hidup sepanjang mampu yang diukur dengan mempunyai kepintaran, bisa menjaga keamanan, dan menjaga adat. Kades sekarang sudah menjabat tiga periode selama

18 tahun: periode pertama delapan tahun, periode kedua enam tahun, dan periode ketiga mulai 2011/2012 sampai dengan 2016/2017 sudah tiga tahun.

Kepala Desa tinggal di Baduy-Luar. Rumahnya sederhana sebagai- mana rumah orang Kanekes lainnya. Kantor dan balai desa tidak jauh dari rumah tinggalnya. Kantor dan balai desa terbuat dari tembok, tidak dari kayu, bambu, dan beratapkan ijuk sebaimana rumah penduduk. Setiap hari Kades dan Sekdes datang ke Kantor Desa. Perangkat desa lainnya tidak datang setiap hari. Mereka hanya datang ke Kantor Desa jika ada kepentingan dan permasalahan mendesak atau jika ada pertemuan atau musya warah bulanan. Begitu juga mereka datang jika ada pejabat atasan datang, misalnya camat. Selebihnya mereka meng habiskan waktunya untuk bertani. Jaro Samin menjelaskan bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan adat harus melibatkan masyarakat Baduy-Dalam dan Baduy-Luar. Semua kebijkaan penting harus dimusyawarahkan bersama. Musyawarah diselenggarakan satu bulan sekali di balai desa.

Pemerintah Baduy-Luar juga mempunyai badan permusyaratan desa (BPD) sebagaimana desa dinas di luar Baduy. Anggota BPD direkrut dari

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

ketua-ketua RT dan RW ditambah dengan tokoh-tokoh masyarakat. BPD merupakan bagain administrasi peme rintahan Desa Baduy-Luar dengan fungsi dan tugas membuat Peraturan Desa dan menampung aspirasi masyarakat. (Gambar 4).

Gambar 4 Struktur Organisasi Desa Kanekes-Luar (Baduy-Luar)

Penasehat Adat Lembaga Adat Kepala Desa Tangkesan

Ketua BPD (Djaro Dainan) Sekretaris Desa H.

Sapin

Kaur Pembangunan

Staf Humas

Panggiwa Panggiwa

Rasudin

Sajum

Sarnan Sadip

Sumber: Kantor Desa Baduy-Luar

Kegiatan pemerintahan di desa Kanekes berjalan sangat sederhana dengan dinamika yang sangat lambat. Pemerintah Desa Baduy-Dalam tidak mempunyai program pembangunan jalan, jembatan, kantor dan balai desa, dan sarana dan prasarana lainnya. Jalan tetap dipertahankan dari tanah dengan jalur setapak. Jembatan tetap dari bambu dan kayu. Pemerintah Desa tidak memiliki kantor desa tidak memiliki kecuali di Badyu- Luar. Balai desa tetap dipertahankan dari rumah sederhana sebagaimana rumah penduduk. Pemerintah Desa tidak memiliki dan membangun sarana dan prasarana publik seperti sekolah, tempat ibadah, lapangan, dan pos penjagaan. Terhadap jalan dan jembatan masyarakat sendiri yang merawat dan memelihara dengan cara gotong royong. Masyarakat menolak program pem banguan dari pemerintah karena pimpinan adat menilai hal tersebut menyalahi aturan dan amanah nenak moyang. Mereka berpendapat bahwa alam Kanekes harus dijaga kelestariannya apa adanya. Alam

62 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 62 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Desa Kanekes baik di Baduy-Dalam maupun di Baduy-Luar tidak mempunyai fasilitas pendidikan anak usia dini dan dasar: PAUD, TK, SD/ MI. Anak-anak mereka tidak bersekolah. Anak-anak hanya menerima pelajaran adat istiadat, doa-doa, ketrampilan, dan budi pekerti dari orang tua masing-masing secara lisan. Jadi pembelajaran kepada anak usia dini dan usia sekolah dasar dalam bentuk formal atau nonformal dengan cara tulis menulis belum ada. Hanya pada anak-anak di Baduy-Luar terdapat beberapa anak yang mengikuti Kejar Paket A dan B.

Karena tidak ada lembaga pendidikan maka alokasi dana pen didikan dari Pemerintah dialihkan untuk dana kesehatan masya rakat. Masyarakat yang sakit sudah mau mengikuti saran dokter dan mengadakan kegiatan pos pelayanan terpadu (Posyandu). Ada beberapa Ibu yang sudah mengikuti program KB dan ada Bidan yang bertugas di Baduy-Luar.

Dengan adanya pandangan demikian, maka pemerintah atasan tidak melaksakaan pembangunan di Desa Baduy khusus nya di Baduy-Dalam. Di Baduy-Luar pemerintah atasan melak sanakan program pembangunan terbatas yaitu membangun kantor dan balai desa, membangun gapura, membangun jalan masuk kurang lebih 500 meter, membantu pengobatan warga, dan menyelenggarakan program pemberantasan huruf latin Kejar Paket A. Di samping itu, Pemerintah Provinsi juga memberikan bantuan rutin berupa beras yang diberikan setiap satu bulan sekali dan diterima

3 bulan sekali. Dalam hal hubungan antara pemerintah nasional dengan masya-

rakat Kanekes, Pemerintah Baduy-Luar merupakan peng hubung antara pemerintah nasional dengan masyakat Kanekes baik yang tinggal di Baduy-Luar maupun di Baduy-Dalam. Kebijakan dan program pemerintah hanya bisa masuk ke masya rakat Kanekes melalui Pemerintah Badyu-Luar. Pemerintah nasional tidak bisa berhubungan langsung dengan Pu’un dan Jaro Baduy-Dalam.

Masyarakat Kanekes mengembangkan model hubungan dengan penguasa formal secara unik. Mereka mengakui bahwa masyarakat

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

Kanekes adalah bagian dari masyarakat Indonesia di bawah pemerintah pusat yang sah. Sebagai bentuk pengakuan, mereka setiap tahun melakukan upacara seba. Seba adalah ritual yang ditujukan untuk membuktikan bahwa masyarakat Kanekes loyal dan patuh kepada pemerintah yang sah. Seba berupa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menghadap Bupati Lebak dan Gubernur Banten dengan berjalan kaki pergi-pulang dengan berpakaian pakaian adat, dan menyerahkan hasil bumi dari tanah Kanekes sebagai persembahan. Hasil bumi yang diper sembahkan adalah padi, palawija, buah-buahan.

Menurut Jaro Samin, perangkat desa Kanekes tidak mem punyai dana khusus yang dikelola untuk menunjang pelaksanaan roda pemerintahan yang berdasarkan hukum adat tersebut. Semua dikelola secara swadana oleh anggota masyarakat. Hanya pu’un yang diberi sebidang tanah desa yang boleh digarap dan ditanami, sepanjang mereka masih menjabat sebagai pu’un, sedangkan perangkat desa berdasarkan struktur adat lain tidak mendapat tanah garapan. Jika ada upacara adat, warga masya rakat mengirim hasil bumi atau masakan kepada Pu’un.

Pada Baduy-Luar terdapat Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Program pemerintah desa tertuang dalam APBDesa. APBDes sudah memasukkan kepentingan adat. APBDes Tahun Anggaran 2012 sebesar Rp. 300.000.000/tahun. Pada tahun 2013 sebesar Rp. 240.000.000/tahun. Fokusnya di arahkan pada pembangunan (jalan, jembatan, bangunan), banuan sosial, dan program kesehatan masyarakat. Selain itu juga ada bantuan dana untuk honor/insentif perangkat desa besarnya kurang lebih Rp. 500.000/per tahun. Sementara itu Kades mendapat honor setiap bulan sebesar Rp. 1.400.000,. Peng hasilan lain untuk Kades yaitu pada saat panen dari penduduk tetapi sifatnya seikhlasnya (wawancara dengan Jaro Dainan).

Karakteristik masyarakat Kanekes tidak jauh berbeda dengan deskripsi masyarakat adat yang dijelaskan pakar hukum adat. Masyarakat Kenekes adalah representasi kesatuan masyarakat adat. Soepomo menyebut komunitas tersebut dengan istilah dorfgemeinschaften atau

volksgemeenchappen 16 sedangkan PBB menyebut dengan istilah

16 RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum, 2009, hal. 363 dan Penjelasan Pasal 18 UUD 1945

64 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 64 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Indigenous communities, peoples and nations are those which, having

a historical continuity with pre-invasion and pre-colonial societies that developed on their territories, consider themselves distinct from other sectors of the societies now prevailing on those territories, or parts of them. They form at present non-dominant sectors of society and are determined to preserve, develop and transmit to future generations their ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their continued existence as peoples, in accordance with their own cultural patterns, social institutions and legal system

Pasal 1 ILO Convention No. 169 memuat, a. tribal peoples in independent countries whose social, cultural

and economic conditions distinguish them from other sections of the national community, and whose status is regulated wholly or partially by their own customarys or traditions or by special laws or regulations;

b. peoples in independent countries who are regarded as indigenous on account of their descent from the populations which inhabited the country, or a geographical region to which the country belongs, at the time of conquest or colonisation or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions.

Unsur-unsur tribal peoples adalah sebagai berikut. a. traditional life styles;

b. culture and way of life different of other segments of the national population, e. g. in their ways of making of living, language, customs, etc.; c. Own social organization and and traditional custom and laws.

Adapun unsur-unsur indigenous peoples adalah sebagai berikut. a. traditional life styles;

b. culture and way of life different of other segments of the national population, e. g. in their ways of making of living, language, customs, etc.; c. Own social organization and political institutions.

17 The United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples dan ILO, 2003, ILO Convention on Indigenous and Tribal Peoples, 1989 (No. 169) A Manual . Geneva: International Labor Office 18 United Nations, The United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples, A Manual for National Human Rights Instiitutions, Sydney , Asia Pacific Forum, 2013, hal. 14

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

Masyarakat Kanekes memenuhi ciri-ciri masyarakat adat yang dijelaskan oleh Van Vollenhoven, Ter Haar, dan Hazairin. Masyarakat Kanekes yang mendiami suatu wilayah pegunungan Kendeng dengan batas-batas wilayah yang jelas merupakan masyarakat yang saling mengenal, masing-masing anggota masyarakat merasa satu jiwa dan perasaan, merasa satu kesatuan di bawah sistem sosial budaya yang homogen, patuh kepada adat istiadat yang dikembangkan sendiri,

mematuhi otoritas di bawah ketua adatnya, memiliki benda-benda fisik seperti tanah, sungai, dan hutan, memiliki benda immaterial seperti

kolenjer, dan menyusun pemerintahan untuk melaksankana sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang dikembangkan sendiri. Sistem pemerintahannya juga sama dengan penjelasan Jimly Asshiddiqy yaitu sebagai instrumen pemerintahan adat, bukan instrumen pemerintahan negara sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1979 jo UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 jo UU No. 6/2014.

Penjelasan Van Vollenhoven, Ter Haar, dan Hazairin tentang masya- rakat adat ditemukan secara utuh di Desa Kanekes-Dalam. Penjelasan tiga pakar hukum tersebut tidak ditemukan pada masyarakat Desa di luar Kanekes-Dalam karena ketika Van Vollenhoven merujuk masyarakat hukum adat kepada masyarakat desa di Jawa, faktanya masyarakat desa di luar Kanekes-Dalam sejak abad ke-19 sudah mendapat intervensi dari Pemerintah. Intervensi Pemerintah terhadap masyarakat Desa di Jawa adalah dirubahnya sistem pemilihan kepala desa pada zaman Raffles, 1814 melalui kebijakan land rente yang diteruskan oleh Pemerintah

Hindia Belanda melalui peraturan perundang-undangan 19 . Sebelumnya pengangkatan kepala desa ada yang dipilih, ada yang diangkat berdasarkan musyawarah para tetua desa, dan ada yang ditunjuk oleh Raja. Akan tetapi,

sejak masa Raffles pengangkatannya berdasarkan pemilihan secara langsung setiap tahun untuk kepentingan lelang pajak tanah. Meskipun Inlanshche Gemeente Ordonnantide 1906 (IGO 1906) memberi kebebasan

kepada volksgemeenschappen mengatur lembaganya sesuai dengan adatnya tapi kepala desa harus disahkan pejabat pemerintah. Tanpa pengesahan residen, kepala desa tidak boleh menjabat. Ha ini berarti bahwa kesatuan masyarakat hukum adat di luar Desa Kanekes sudah tidak murni lagi sejak Abad ke-19.

19 Revenue Instruction 1814, Stbl. 1818 No. 5, Stbl. 1819 No. 5, 6, 10, 14 dan dalam Antlov dan Cederroth, Kepemimpinan Jawa Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, Yayasan Obor, Jakarta, 2001 hlm 165

66 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Dalam kasus masyarakat Kenekes, ia masih memiliki lembaga yang utuh dan asli khususnya pada Kanekes Dalam. Masyarakat Baduy-Dalam masih mengatur dirinya berdasarkan hukum adat yang mencakup hukum keluarga, hukum waris, hukum kepemilikan tanah, hukum pidana, hukum perdata, dan hukum tata kelola kemasyarakatan (governance). Hukum adat tersebut membentuk sistem sosial budaya yang khas dan unik yang tidak ditemukan dalam kominitas di luar Baduy-Dalam. Adapun masyarakat Baduy-Luar mengatur dirinya berdasarkan campuran antara hukum adat dan hukum positif (peraturan perundang-undangan negara). Hukum adat masih tetap menjadi pedoman perilaku masyarakat tapi terdapat bagian- bagian tertentu yang sudah disesuaikan dengan norma yang diacu oleh masyarakat luar Baduy-Dalam dan hukum positif. Misal, masyarakat Baduy-Luar boleh memiliki televisi, memiliki sepeda motor dan menaikinya, naik angkutan mobil dan/atau angkutan umum, memakai sepatu, memakai pakaian yang bukan pakaian adat, dan menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum positif yang disesuaikan dengan hukum adat.

Dalam menanggapi kebijakan Pemerintah RI masyarakat Kanekes menempuh jalan bijak. Masyarakat inti (Baduy-Dalam) tetap menolak semua intervensi Negara. Berpegang teguh pada adat peninggalan leluhur/nenek moyang adalah alasan yang tidak bisa ditawar. Akan tetapi, mereka memberi ruang kepada Pemerintah untuk mengatur masyarakat yang tinggal di Baduy-Luar. Masyarakat Baduy-Luara adalah bagian masyarakat Kanekes di bawah kepemimpinan Pu’un. Meskipun Pemerintah tidak sepenuhnya dapat mengatur masyarakat Baduy-Luar tapi sebagian besar kebijakan Pemerintah dapat diterima oleh masyarakat Baduy-Luar. Masyarakat Baduy-Luar dapat menerima pembangunan infrastruktur meskipun sebatas jalan masuk kampung dan kantor pemerintah; menerima program kesehatan; menerima program Paket A; menerima kepemilikan KTP; dan menerima penyuluhan tentang pelestarian lingkungan.

Sehubungan dengan norma Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, masyarakat Kanekes adalah salah satu kesatuan masyarakat hukum adat yang bisa dimasukkan dalam pengaturan pasal ini. Pasal ini mengatur bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan sesuai denga prinsip-prinsip NKRI. Penelitian ini menunjukkan bahwa

Bab II Kesatuan Masyarakat Huku Adat dalam Sistem Pemerintahan Di Indonesia ....

masyarakat Kanekes sebagai kesatuan masyarakat hukum adat masih hidup. Jimly Asshiddiqi 20 , menjelaskan bahwa kesatuan masyarakat hukum ada yang masih hidup dan ada yang sudah mati. Kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup adalah pertama, masyarakatnya masih asli, tradisinya masih dipraktekkan, dan tersedia catatan mengenai tradisi tersebut. Kedua, masyarakatnya masih asli dan tradisinya masih dipraktekkan tapi catatan mengenai tradisi tersebut tidak ada. Masyarakat Kanekes masih asli, tradisinya masih dipraktikkan, dan catatan mengenai tradisi masih ada meskipun dilakukan oleh orang luar: peneliti, penulis, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.

Menurut Konvensi ILO No. 169, Tahun 1989 kesatuan masya rakat hukum adat disebut indigenous and tribal peoples 21 . ILO menjelaskan,

Indigenous and tribal customs and traditions are central many of their life. The form an integral part of indigenous and tribal peoples’ culture and identity, and differ from those of the national society. They may ancestor worship, religious and spiritual ceremonies, oral tradition, and rituals, which have been passed down from generation to generation. Many ceremonies involve offering to nature spirits, and take place in order to maintain a balance with nature.

Many indigenous and tribal peoples have their own customs and practices which form their customary law. This has evolved through the years, helping to maintain a harmonious society.

Often, in order to apply these customs and practices, indigenous and tribal peoples have their own institutional structures such as judicial and administrative bodies or councils. These bodies have rules and regulations to make sure customary laws are followed. Failure to do so is often punished and each lapse often has its own specific punishment.

The Convention recognized the right of indigenous and tribal peoples to their own customs and customary laws should be taken into account.

Berdasarkan Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 tersebut masyarakat Kanekes adalah bentuk indigenous and tribal peoples dimaksud. Ia mempunyai organisasi dan lembaga politik sendiri berdasarkan hukum adat, mempunyai bahasa sendiri, mempunyai budaya dan sistem ekonomi sendiri, mempunyai gaya hidup sendiri, mempunyai agama dan sistem

20 Jimly Asshidiqqi, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hlm. 77- 78 21 ILO, ILO Convention on Indigenous and Tribal Peoples, 1989 (No. 169) A Manual, Geneva, International Labor Office, 2003

68 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 68 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

budaya, gaya hidup, sistem ekonomi, dan penampilan fisik yang berbeda dengan kelompok suku bangsa yang lain. Sistem kemasyarakat tersebut

dipertahankan oleh masyarakat Kanekes dan diturunkan dari satu generasi ke geneasi berikutnya. Selama beberapa abad sistem tersebut masih bertahan sampai sekarang.