DESA DINAS UNIT PEMERINTAHAN SEMU DALAM (1)

KATA PENGANTAR

Buku ini bahan dasarnya adalah hasil penelitian Hibah Bersaing Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang status desa dinas dan kesatuan masyarakat hukum adat dalam sistem pemerintahan NKRI. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disusun makalah- makalah yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah maupun yang dipresentasikan dalam seminar dan simposium ilmiah. Temuan penelitian yang disampaikan dalam buku ini adalah bahwa UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun sesudah amandemen tidak mengatur desa dinas. UUD 1945 pasca amanademen hanya memberi mandat kepada Negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat (volksgemeecschappen) atau indigenous peoples (ILO Convention No. 169) sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip NKRI.

Temuan ini memperjelas perdebatan para pakar ilmu pemerintahan, ilmu administrasi negara, hukum tata negara, antropolog, dan sosiolog tentang status volksgemeecschappen yang disebut dalam Penjelasan Pasal 18 angka

II UUD 1945 sejak pengundangan UU No. 5/1979 sampai sekarang. Dalam perdebatan tersebut terdapat dua pihak yang saling bertentangan. Kedua pihak sepakat bahwa UU No. 5/1979 keliru tapi alasannya berbeda. Pihak pertama berpendapat bahwa UU No. 5/1979 keliru karena menyeragamkan desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memilik hak asal-usul dan adat istiadat. Pihak pertama mendesak agar desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya dikembalikan lagi sebagaimana keadaan semula sebagai kesatuan masyarakat (hukum) adat pribumi dengan hak asal-usul dan adat istiadatnya “sesuai” dengan Penjelasan Pasal 18 angka II UUD 1945 (sebelum amandemen). Pada pihak kedua, kekeliruannya bukan penyeragamanan desa, nagari, marga, gampong tapi UU No. 5/1979 membentuk unit pada pemerintahan baru yang tidak diintegrasikan dalam sistem pemerintahan daerah formal. Hal ini berarti melenceng dari

Kata Pengantar

iii iii

Sejak implementasi UU No. 5/1979 opini yang dibangun pihak pertama sangat mendominasi wacana. Akan tetapi, ketika penulis menyusun Tesis di Universitas Indonesia tentang UU No. 5/1979 dan Otonomi Desa, guru/ pembimbing penulis, Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein mengingatkan bahwa founding fathers kita tidak berniat mengkonservasi apalagi mensakralkan desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya sebagai volksgemeenschappen apa adanya tapi mengintegrasikannya ke dalam sistem pemerintahan formal sebagai pemerintahan kaki (Mochammad Yamin) atau sebagai daerah otonom kecil istimewa karena memiliki susunan asli (Soepomo). Sayangnya, beliau tidak mengelaborasi lebih rinci atas pernyataannya tersebut sehingga penulis menjadi kebingunan untuk waktu yang lama.

Di tengah skeptimisme tersebut pada tahun anggaran 2012-2013 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerima proposal penelitian Hibah Bersaing penulis. Masalah yang diteliti adalah ketidakjelasan status desa dinas dalam sistem pemerintahan NKRI. Status desa dinas yang dibentuk oleh regim Soeharto melalui UU No. 5/1979 tidak jelas karena bukan satuan pemerintahan formal dan juga bukan komunitas yang mengurus dirinya sendiri berdasarkan hukum adat (volksgemeecschappen zaman Belanda atau kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat menurut UUD 1945 Pasal 18 B ayat 2). Dengan pendekatan grounded dan kajian dokumen pernyataan guru penulis tersebut akhirnya terjawab. Buku ini memuat jawaban tersebut yang secara ringkas tercermin dalam judul buku.

Temuan baru ini diharapkan dapat membuka wawasan para pembela tradisionalisme dan konservatisme desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya bahwa desa dinas yang lahir melalui UU No. 5/1979 dan diteruskan oleh UU No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004 juncto UU No. 6/2014 khususnya Pasal 1-95 tidak ada hubungannya dengan kesatuan masyarakat hukum

iv

Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Bahwa di beberapa wilayah masih terdapat volksgemeenchappen atau indigenous peoples, fakta ini adalah obyek material yang luput dari pengaturan UU No. 5/1979 juncto UU No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004. Misal, di pulau Jawa sepanjang pengetahuan penulis masih tersisa satu volksgemeenchappen atau indigenous peoples yaitu masyarakat Kanekes yang menghuni Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten. Masyarakat Kanekes masih eksis sebagai kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples karena tidak mau tunduk kepada hukum positif. Ia tetap mengatur sistem kemasyarakatannya berdasarkan hukum adatnya sendiri, bukan berdasarkan hukum positip: UU No. 5/1979 juncto UU No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004. Di pulau Jawa kesatuan masyarakat hukum adat di luar masyarakat Kanekes tidak ditemukan lagi keberadaaanya. Di luar Jawa sesuai dengan laporan AMAN masih terdapat banyak kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) Negara wajib mengakui dan menghormatinya. Oleh karena itu, UU No. 6/2014 seharusnya hanya mengatur kesatuan masyarakat hukum adat ini, tidak mengatur desa dinas.

Di samping membuka wawasan baru bagi pembela tradisionalisme dan konservatisme desa, temuan ini juga diharapkan menggerakkan pemerintah dan DPR untuk menyusun UU baru tentang Desa khususnya dan pemerintahan daerah umumnya sesuai dengan visi founding fathers dan UUD 1945. Muhammad Hatta, Mochammad Yamin, dan Soepomo tidak pernah berpretensi mengawetkan dan mensakralkan desa, nagari, marga, gampong, dan sebagainya, sebagai volksgemeenscappen apa adanya tapi mengintegrasikannya ke dalam sistem pemerintahan daerah. Model pengintegrasian yang ditawarkan Yamin adalah memperbarui dan merasionalkan sesuai dengan semangat zaman lalu dimasukkan ke dalam

Kata Pengantar Kata Pengantar

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudyaaan yang telah membiayai penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Penerbit yang bersedia menerbitkan buku ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada guru penulis, Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein yang berhasil membuat penasaran penulis bertahun-tahun tentang kedudukan bekas volksgemeenschappen dalam struktur pemerintahan modern Indonesia merdeka. Kepada teman yang penuh pengorbanan Ace Sriati Rachman dan Ibnu Sina penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

Penulis,

vi

Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

SEKAPUR SIRIH

Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan / atau hak tradisi onal yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Buku yang disajikan ini merupakan salah satu cara pendekatan untuk membuka wawasan, mengenal sejarah tentang desa dengan segala polemik dan potensi yang ada. Semoga yang disajikan dalam buku ini dapat memberikan pengayaan cakrawala baru dan menggugah kesadaran semua pihak bahwa desa membutuhkan sentuhan kebijakan serta perhatian untuk memunculkan potensi besar desa di Indonesia.

Penerbit

Daftar Isi

vii vii

PENDAHULUAN

Warga negara Indonesia yang tinggal di desa sebagian besar rendah pendidikan, rendah pendapatan, rendah keterampilan, rentan kesehatan bahkan sebagian di antaranya hidup di bawah kemiskinan. Rumah reot terbuat dari gedek dengan atap daun rumbia, perkampungan yang tidak tertata, lingkungan kumuh, jalan yang becek dan/rusak parah, gedung sekolah yang nyaris roboh, gizi buruk keluarga, tingkat kematian tinggi bagi ibu yang melahirkan, anak-anak berpenyakit, sawah dan ladang tanpa irigasi, irigasi yang rusak dan tidak berfungsi, tambak dan pantai yang rusak, air bersih/ minum yang sulit, kantor desa yang kosong pada jam pelayanan, dan kepala desa yang bergaya hidup borjuis di tengah-tengah kemiskinan rakyatnya adalah pemandangan umum di perdesaan. Desa yang agak makmur adalah desa-desa yang dekat dengan kota besar karena penduduknya mencari nafkah di kota. Makin jauh dari kota besar makin miskin penduduknya. Lembaga pemerintah desanya juga terbatas hanya memberikan surat pengantar surat-surat publik yang diperlukan penduduk ke kantor kabupaten. Adminstrasi pertanahannya tidak tertib karena buku tanah Letter C peninggalan Belanda tidak dipakai tapi tidak ada buku pengganti selengkap dan serinci Letter C. Pengurus desanya tidak mempunyai komptensi memberikan pelayanan publik karena mereka bukan government official dan/atau public servant profesional.

Salah satu faktor utama atas keadaan tersebut adalah belum direfor- masinya lembaga desa. Lembaga desa sejak zaman penjajah Belanda dan Jepang sampai dengan sekarang belum berubah. Lembaga desa tak beranjak dari lembaga masyarakat yang dikooptasi Negara dengan fungsi mediator, mobilisator, dan pengawas, watchdog penduduk, tidak dijadikan lembaga publik dengan tugas utama public service. Struktur organisasinya sederhana yaitu terdiri atas kepala desa, sekretaris desa dibantu oleh 6-9 staf. Semuanya bukan aparatur sipil negara tapi pengurus lembaga semi formal: antara komunitas dan lembaga negara. Lembaga desa sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1979 jo UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 jo UU No. 6/2014 (Pasal 1-95)

Pendahuluan Pendahuluan

Dalam sejarah panjangnya, pada zaman kerajaan, desa menjadi obyek eksploitasi Raja. Dalam struktur feodal, Raja adalah penguasa mutlak atas orang desa dan tanah tempat penghidupannya. Oleh karena itu, orang desa harus memberi upeti kepada Raja melalui bekel/lurahnya. Bekel/lurah lalu menyerahkkan kepada patuh (kaki tangan punggawa). Patuh kemudian menyerahkan kepada punggawa (pejabat tinggi kerajaan). Setelah menerima upeti Raja tidak mempunyai kewajiban mengembalikan upeti yang diterima kepada rakyat desa dalam bentuk pemberian pelayanan publik untuk memakmurkan rakyat desa. Penduduk desa disuruh mengatur dan mengurus urusannnya sendiri sesuai dengan adat istiadat masing-masing. “Silakan memakmurkan diri sendiri. Aku tidak ikut ikut campur tangan”, titah sang Raja. Bagi Raja, apakah penduduk desa makmur atau sengsara bukan suatu masalah, yang penting penduduk desa memberi upeti karena menggarap

tanah “milik” Raja 1 . Ketika kompeni/VOC menguasai desa karena diserahkan Raja yang hutang

budi, nasib penduduk desa tidak berubah karena kompeni/VOC melanjutkan model fedoal tersebut. Penduduk desa tetap memberi upeti kepada kekuasan lebih tinggi. Bedanya kalau sebelumnya penerima akhir adalah Raja kali ini berubah menjadi Kompeni/VOC. Kompeni/VOC juga tidak mengembalikan upeti yang diterima kepada penduduk desa dalam bentuk pelayanan publik untuk menciptakan kemakmuran masyarakat desa. Bahkan kompeni/VOC memberi beban tambahan kepada penduduk desa berupa kerja rodi, heerendiesnten

untuk mengerjakan perkebunan dan proyek-proyeknya 2 . Ketika Raffles berkuasa (1811-1816) bekel/lurah dijadikan perantara/

mediator oleh pemerintah pusat dengan penduduk desa. Jika pada zaman VOC dan Daendels bekel/lurah tetap di bawah penguasa pribumi (bupati dan

wedana), di bawah Pemerintahan Raffles diangkat sebagai pejabat penarik pajak bumi, land rente. Untuk menyukseskan kebijakan land rente , Raffles

mereplikasi model land rente di Benggala India. Raffles memerlukan lurah baru karena lurah lama hanya mengerti sistem upeti, yang berbeda dengan sistem land rente. Di samping itu, lurah lama sangat loyal kepada patuh,

1 A.M. Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Yogyakarta, Yayasan untuk Indonesia, 2000 2 Ibid

2 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 2 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

masing kandidat yang berkompetisi tersebut 3 . Dengan cara ini, pemerintah dapat menemukan orang desa yang paling berpengaruh di desa tersebut. Orang yang pengikutnya paling banyak diangkat menjadi lurah. Tugas utamanya adalah mengumpulkan pajak bumi sebesar-besarnya sesuai target pemerintah. Pemilihan lurah dilakukan tiap tahun pajak untuk menjamin bahwa orang yang dijadikan mediator adalah orang yang tetap paling kuat dan besar pengaruhnya di desa tersebut.

Pada 1816 Raffles meninggalkan Indonesia dan Belanda berkuasa kembali. Rekrutmen lurah model Raffles diteruskan, hanya tidak dilakukan tiap tahun pajak tapi sekali saja yaitu untuk pertama kalinya sampai yang bersangkutan meninggal dunia, mengundurkan diri, atau dipecat. Kebijakan land rente juga tidak diteruskan tapi diganti dengan cultuurstelsel atau tanam paksa (1830). Dalam sistem tanam paksa, pemerintah membuat aturan, 1) penduduk desa harus menyediakan 20% tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor dan 2) menyediakan tenaganya untuk kerja rodi selama 70 hari (20%) dalam setahun kepada pemerintah. Dalam rangka menyukseskan kebijakan ini, pemerintah menjadikan lurah tidak hanya sebagai mediator/perantara antara pemerintah dengan penduduk desa dalam penarikan pajak bumi tapi juga sebagai pengawas, watchdog penduduk agar penduduk patuh kepada

pemerintah 4 .

3 R.M.T. Tjokro Adi Koesoemo, Regent Temanggung, dalam Tijchrift Voor Het Binnenlandsh Bestuur, Twee-En-Dertigste Deel , Batavia: G. Kolff & Co., 1907, hlm. 99-10

4 AM Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Yogyakarta, Yayasan untuk Indonesia, 2000

Pendahuluan

Dengan diangkatnya lurah sebagai pengawas, watchdog, lurah menjadi penguasa yang sangat otoriter. Berdasarkan kewenangan ini lurah memaksa penduduk menyerahkan seperlima tanahnya dan tenaganya selama 70 hari (20%) kepada pemerintah. Lurah menjadi pengawas dan/atau penjaga atas implementasi kerja rodi penduduk desa yang terdiri atas heerendiesnten (kerja rodi umum), pancendiensten (keja rodi khusus melayani rumah tangga penguasa desa), keija atau cultuurdiensten (kerja rodi di perkebunan), dan dessadiensten (kerja rodi desa yang meliputi pekerjaan umum desa, pekerjaan melayani rumah tangga penguasa desa, dan ronda desa). Sejak saat ini lurah bersama dengan perangkatnya yaitu carik, kamituwa, bayan, modin, ulu-ulu, kepetengan/jogogoyo, menjadi watchdog yang sangat represif kepada warga

desa 5 . Pada 1942 Belanda menyerah kepada Jepang. Penjajah baru ini merombak

struktur organisasi pemerintah desa. Lembaga desa tradisional berdasar adat dihapus lalu dibentuk lembaga ku yang dipimpin oleh kuchoo. Kuchoo mempunyai delapan pembantu: juru tulis, lima mandor, amir, dan polisi desa. Di bawah ku dibentuk aza (sekarang RW) yang dipimpin oleh azachoo dan di

bawah aza dibentuk tonarigumi (sekarang RT) yang diketuai oleh gumichoo 6 . Masa jabatan kepala desa dibatasi hanya empat tahun yang sebelumnya seumur hidup. Akan tetapi, lembaga ini tidak dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan formal. Ia tetap ditempatkan di luar sistem pemerintahan formal sebagaimana statusnya dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda.

Sama dengan Pemerintah Hindia Belanda, ku juga tidak difungsikan sebagai instrument negara memberikan pelayanan publik. Lembaga ku dijadikan alat negara untuk moblilisasi dan kontrol penduduk 7 . Tugas pengurus ku adalah mencari penduduk desa yang kuat untuk diserahkan kepada pemerintah menjadi tenaga romusha, mencari padi penduduk untuk disetorkan kepada pemerintah, dan menjadi mediator pemerintah membagi catu beras kepada penduduk. Aiko Kurasawa melaporkan betapa represif dan kejamnya perilaku kepala desa dan perangkatnya dalam menjalankan tugasnya tersebut sehingga menyebabkan pelawanan penduduk desa. Dalam peristiwa pemberontakan petani Indramayu, kuchoo menjadi sasaran kemarahan penduduk, dua di

antaranya terbunuh 8 .

5 Ibid 6 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945,

Jakarta, Grasindo, 1993 7 Ibid. 8 Ibid, hlm. 444

4 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Deskripsi tersebut menunjukkan bahwa hubungan desa dengan pemerintah atasan sejak zaman kerajaan, VOC, penjajajah Inggris, pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan pemerintah pendudukan Jepang adalah sebagai alat penguasa untuk kepentingannya, bukan untuk kepentingan rakyat desa melalui pemberian pelayanan publik. Pada zaman kerajaan dan VOC penguasa desa memerankan diri sebagai kawula /pelayan Raja, pada zaman Raffles sebagai mediator (perantara) penarik pajak bumi, land rente, dan pada zaman Hindia Belanda dan pendudukan Jepang sebagai pengawas, watchdog dan mediator Negara. Pemerintah desa tidak didesain sebagai cabang pemerintah level terbawah dengan fungsi pelayanan publik, pubic service untuk kepentingan rakyat desa. Sebagaimana diatur dalam IGO 1906 dan IGOB 1938 fungsi pelayanan publik diserahkan kepada masing-masing desa berdasarkan ikatan/ hukum adatnya. Praktiknya, penduduk desa tidak mendapatkan pelayanan publik baik dari pemerintahnya sendiri maupun dari Negara.

Melihat fakta tersebut, Moch. Yamin dan Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI 1945 mengusulkan semua kesatuan masyarakat hukum adat seperti desa, nagari, gampong, kuria, dan sebagainya diperbaharui dan dirasionalkan sesuai dengan perubahan zaman lalu dijadikan daerah otonom kecil berbasis adat sebagai pemerintahan kaki dan berifat istimewa. Menurut Soepomo pengertian istimewa di sini bukan karena desa, nagari, marga, kuria dan sebagainya mempunyai keunikan atau keluarbiasaan tapi semata-mata karena mempunyai susunan asli berdasarkan asal-usul dan adatnya. Gagasan Yamin dan Soepomo dikristalkan dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Perubahan) kemudian dituangkan dalam UU No. 22/1948. Ketika UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950 pengaturan desa sebagai daerah otonom kecil berbasis adat hilang tapi diatur kembali melalui UU No. 19/1965 setelah dasar Negara kembali ke UUD 1945.

Akan tetapi, regim Orde Baru melalui UU No. 5/1979 meng anulir nya. Regim Soeharto membubarkan desa tradisional (volksgemeenschappen) dan Desa- praja (UU 19/1965) lalu mem bentuk lembaga baru dengan nomenklatur peme- rintah desa. Pemerintah desa yang dibentuk melalui UU No. 5/1979 tersebut bukan revitalisasi volksgemeenschappen zaman Belanda tapi lem baga baru hasil replikasi ku zaman Jepang. Ku adalah lembaga semi formal yang dibentuk pemerintah pendudukan Jepang yang diberi tugas melaksanakan program pemerintah atasan. Ku tidak dimasukkan dalam sistem birokrasi pemerintah.

Pendahuluan

Pengurusnya tidak digaji Negara tapi digaji dengan tanah komunal bekas tanah lungguh/apanage.

Lembaga baru bentukan Orde Baru tersebut juga didesain mirip dengan ku baik struktur organisasi, fungsi, maupun tugasnya. Struktur organisasinya mirip: lurah, carik, lima mandor, dan dua staf pelaskana teknis. Fungsinya mirip: sebagai alat untuk melaksanakan tugas Negara. Tugas pokoknya juga mirip yaitu memobilisasi dan mengawasi penduduk: meng-Golkar-kan rakyat desa; menyukseskan program pemerintah pusat seperti Bimas/Inmas, keluarga berencana; pemberantasan buta huruf; indoktrinasi P4; mendata penduduk dari keterlibatan G 30 S/PKI dan keanggotaan partai politik; dan mobilisasi penduduk berdasarkan perintah dari pemerintah atasan seperti penanaman massal padi jenis PB dan IR, penyemprotan hama wereng, kampanye Golkar, sambutan pejabat, kerja bakti, dan lain-lain. Pemerintah desa tidak didesain sebagai lembaga pemerintah formal dengan alat-alat kelengkapan organisasi yang cukup untuk memberikan pelayanan publik kepada rakyat desa. Hal ini berbeda dengan Desa di bawah UU No. 22/1948 dan Desapraja di bawah UU No. 19/1965. Menurut kedua UU ini, lembaga desa didesain sebagai lembaga pemerintah formal dengan alat-alat kelengkapan organisasi yang cukup untuk memberikan pelayanan publik kepada penduduk desa.

Lembaga desa bentukan regim Soeharto yang mirip dengan Ku tersebut dipertahankan sampai sekarang melalui UU 22/1999 jo UU 32/2004 jo UU 6/2014. Sebagaimana ku, status, fungsi, dan tugas Pemerintah Desa di bawah UU 6/2014 hampir sama: 1) tidak dimasukkan dalam struktur pemerintahan formal; 2) sebagai lembaga semi formal; 3) fungsi dan tugasnya adalah mobilisasi dan kontrol. Mobilisasi penduduk menjadi andalannya dalam menjalankan urusan dan tugas pemerintahan karena Pemerintah Desa tidak mempunyai government official dan/atau public servant profesional yang mencukupi. Cara kerjanya, Pemerintah membentuk lembaga semi formal yang diisi oleh penduduk sipil desa lalu memobilisasi. Lembaga semi formal yang dibentuk antara lain RT (copy Tonarigumi zaman Jepang), RW (copy Aza zaman Jepang) yang dimobilisasi untuk membantu melaksanakan urusan pemerintahan; Posyandu yang dimobilisasi untuk memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak; LKMD yang dimobilisasi untuk membuat perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa; PKK (copy Bujingkai zaman Jepang) yang dimobilisasi untuk meningkatkan peran perempuan desa; P3A yang dimobilisasi untuk mengurus pengairan petani; dan HANRA dan KAMRA (copy

6 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 6 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Lembaga desa sebagaimana diatur dalam UU No. 5/1979 diterus kan sampai sekarang dengan UU penggantinya: UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 jo UU No. 6/2014. Semua UU tersebut mempunyai konstruksi yang sama: fungsi dan tugasnya sebagaii mediator, mobili sator, dan watchdog penduduk. Tugas pokok pemerintah desa sejak Orde Baru sampai sekarang adalah:

1. Mediator:

a. Menjadi perantara antara penduduk yang memerlukan doku men publik seperti KTP, SIM, SKCK, Surat Keterangan Miskin, dan lain- lain dengan kantor-kantor yang relevan di kabu paten;

b. Menjadi perantara antara penduduk yang memerlukan serti fikat tanah, girik, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain dengan kantor-kantor yang relevan di kabupaten;

c. Menjadi perantara antara penduduk yang jual-beli tanah dengan Camat/PPAT atau notaris;

d. Menjadi perantara antara masyarakat desa dengan peme rintah atasan yang memberi proyek.

2. Mobilisator:

a. Pengerahan penduduk untuk kerja rodi/bakti atas proyek infra struktur dari Desa dan/atau pemerintah atasan;

b. Pengerahan penduduk untuk mengerjakan proyek dari peme rintah atasan;

c. Pengerahan penduduk untuk mengikuti program KB;

d. Pengerahan penduduk untuk mengikuti program pemberan tasan buta huruf;

e. Pengerahan perempuan untuk mengikuti Posyandu;

f. Pengerahan perempuan untuk mengikuti progam PKK;

g. Pengerahan penduduk untuk memberantas hama dan/atau penyakit di sawah;

h. Pengerahan penduduk untuk menyambut pejabat yang berkunjung ke desa; dan lain-lain.

Pendahuluan

3. Pengawas/watchdog:

a. Mendata penduduk terlibat atau tidak terhadap G 30 S/PKI;

b. Mendata penduduk atas keanggotaan parpol dan Golkar;

c. Memberi perintah kepada penduduk untuk membayar pajak bumi dan bangunan;

d. Mengawasi penduduk yang terlibat atau dicurigai mengikuti orga- nisasi dan/atau partai terlarang atau teroris;

e. Mengawasi gerak gerik orang asing yang datang di desa;

f. Mengawasi orang baru; Karena hanya menjalankan fungsi mediator, mobilisator, dan watchdog

maka pemerintah desa tidak mengeksekusi urusan pelayanan publik pada tingkat desa. Semua urusan pelayanan publik dieksekusi di kabupaten melalui hirarki yang sangat panjang: RT, RW, kantor desa, kantor kecamatan, dan SKPD kabupaten/kota. Begitu juga dalam melaksanakan proyek pemerintah atasan. Eksekusinya di kantor pemilik proyek (kabupaten, provisi, pusat) lalu diteruskan ke bawah secara hirarki. Pemerintah desa hanya sebagai pelaksana dan pengawas saja. Pemerintah desa tidak memberikan pelayanan dasar: pendidikan anak usia dini dan dasar, kesehatan ibu dan anak, pemberdayaan ekonomi rakyat, irigasi desa, pertanian dan perikanan, air bersih/minum desa, infra struktur desa, dan lain-lain. Semua pelayanan tersebut normatifnya menjadi tanggung jawab kabupaten. Akan tetapi, dinas-dinas kabupaten tidak menjangkau desa karena keterbatasan anggaran dan jauhnya tempat. Oleh karena itu, di desa terjadi kevakuman pelayanan publik (dasar). Hal inilah penyebab utama kemiskinan di desa karena kevakuman pelayanan dasar di desa sudah berlangsung sejak zaman penjajahan sampai sekarang.

Politik desa demikian tampaknya dipengaruhi oleh para pengagum “kehebatan” desa masa lalu. Para romantis masa lalu selalu menyuguhkan gambaran bahwa desa zaman penjajahan yang diatur hukum adat adalah desa yang gemah ripah, loh jinawi, murah sandang murah pangan, karta tenterem karta raharja (makmur, subur, murah pakaian dan murah bahan makanan, tenteram, aman, dan aman). Oleh karena itu, desa harus dikonservasi dengan hak asal-usul dan adat istiadat termasuk desa yang sudah ber kembang jauh menjadi desa semi urban dan urban. Mereka terus beropini bahwa menjadikan desa sebagai daerah otonom istimewa (asimetris) sebagaimana gagasan Soepomo adalah keliru. Oleh karena itu, desa harus dikembalikan

8 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 8 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Akan tetapi, karena para pengagum dan romantis masa lalu ter sebut menguasai opini publik berkat dukungan dana internasional dan jaringan NGO, politik desa demikian dilanjutkan dengan peng undangan UU No. 6/2014. UU ini diklaim sebagai UU organik yang diturunkan dari Pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi,

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pembuat UU tampaknya terkecoh oleh opini publik yang dibentuk mereka. Perlu diketahui bahwa Pasal ini bukan norma untuk melegitimasi desa dinas bentukan Orde Baru tapi norma tentang kewajiban Negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup sebagaimana dimaksud Van Vollehhoven, Ter Haar, dan ILO Covention on Indigenous and Tribal Peoples 1989 (No. 169). Pasal 1 ILO Convention Nomor 169 menjelaskan,

Pendahuluan Pendahuluan

b. peoples in independent countries who are regarded as indigenous on account of their descent from the populations which inhabited the country, or a geographical region to which the country belongs, at the time of conquest or colonisation or the establishment of present state boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions

Selanjutnya ILO (2003) menjelaskan unsur-unsur tribal peoples adalah sebagai berikut. a. traditional life styles;

b. culture and way of life different of other segments of the natio nal population, e. g. in their ways of making of living, language, customs, etc.;

c. Own social organization and traditional custom and laws.

Sedangkan unsur-unsur indigenous peoples adalah sebagai berikut.

a. traditional life styles; b. culture and way of life different of other segments of the nati onal

population, e. g. in their ways of making of living, language, customs, etc.; c. Own social organization and political institutions.

ILO (2003) kemudian menjelaskan, Indigenous and tribal customs and traditions are central many of their life.

The form an integral part of indigenous and tribal peoples’ culture and identity, and differ from those of the national society. They may ancestor worship, religious and spiritual ceremonies, oral tradition, and rituals, wich have been passed down from generation to generation. Many ceremonies involve offering to nature spirits, and take place in order to maintain a balance with nature.

Many indigenous and tribal peoples have their own customs and practices wich form their customary law. This has evolved trough the years, helping to maintain a harmonious society.

Often, in order to apply these customs and practices, indigenous and tribal peoples have their own institutional structures such as judicial and administrative bodies or councils. These bodies have rules and regulations to make sure customary laws are followed. Failure to do so is often punished and each lapse often has its own specific punishment.

The Convention recognized the right of indigenous and tribal peoples to their own customs and customary laws should be taken into account.

10 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Kongres pertama Masyarakat Adat Nusantara (KMAN I) di Jakarta, pada 15-22 Maret 1999 mendefinsikan masyarakat adat sebagai berikut 9 .

Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayahnya geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,

ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah sendiri Definisi tersebut kemudian diperbaiki menjadi 10 , Komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara

turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaultan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diaitur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masayarakatnya.

Jadi, norma Pasal 18 B ayat (2) sebenarnya hanya ditujukan kepada obyek material yang disebut volksgemeenschappen atau Indigenous Peoples atau kesatuan masyarakat hukum adat. Akan tetapi, UU ini justeru lebih banyak mengatur desa dinas bentukan regim Orde Baru (Pasal 1-95). Desa dinas bentukan regim Soeharto bukan volksgemeenschappen atau Indigenous Peoples tapi lembaga baru yang merupakan replika/tiruan ku zaman penjajahan Jepang. Desa dinas bukan lembaga masyarakat berdasarkan pengaturan norma hukum adat tapi lembaga semi formal yang dibentuk dan diselenggarakan berdasarkan pengaturan hukum positif (UU No. 5/1979 jo UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 jo UU No. 6/2014).

Kesalahan fatal UU ini adalah memuat aturan desa dinas yang dibentuk Negara berdasarkan hukum positif bisa dikembalikan menjadi desa adat yang artinya diatur dengan hukum adat. Begitu juga kelurahan. Berdasarkan logika akademik lembaga bentukan Negara berdasarkan hukum positif tidak bisa dirubah menjadi indigenous peoples berdasarkan hukum adat yang tidak tertulis. Demikian pula kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples yang sudah diatur dengan hukum positif sudah tidak bisa lagi disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat atau indigenous peoples. Puluhan ribu desa dinas yang sudah 34 tahun diatur berdasarkan hukum positif tidak bisa dimundurkan kembali menjadi volksgemeenschappen sebagaimana desa zaman IGO 1906 dan IGOB 1938. Begitu juga Kelurahan yang sudah urban,

9 Dalam Greg Acciaioli, Dari Pengakuan Menuju Pelaksanaan Kedaulatan Adat: Konseptualisasi-Ulang Ruang Lingkup dan Signifikansi Masyarakat Adat dalam Indonesia Kontemporer, Jamie S. Davidson, dkk). Adat dalam Politik Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonsdia, 2010, hlm. 328

10 Ibid

Pendahuluan Pendahuluan

Pemerintah dan DPR mestinya memfasilitasi perubahan masyarakat desa yang makin rasional dan modern bukan menghentikan dan memutar balik ke zaman penjajahan dan tradisionalisme. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010 pen duduk desa tinggal 50%. Diperkirakan pada 2045 sudah tidak ada penduduk tinggal di perdesaan, semuanya tinggal di perkotaan. Mereka hidup dengan budaya dan cara berpikir urban dan metropolis. Contoh nyata trend tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum adat Baduy di Lebak Banten. Saat ini sudah terbentuk komunitas Baduy-Luar yang pelan tapi pasti meninggalkan nilai dan norma hukum adat masyarakat Baduy-Dalam. Mereka sudah sedikit urban dan terus mengarah ke masyarakat semi urban. Tokoh-tokoh Baduy- Dalam menyadari perubahan tersebut karena tahu bahwa perubahan tidak bisa dihentikan.

Sejak implementasi UU No. 5/1979 lembaga desa sudah diatur dengan hukum positip, bukan hukum adat. Selama 34 tahun diselenggarakan dengan hukum positif sebagian besar masyarakat desa sudah benar-benar meninggalkan norma hukum adat dan sudah berpikir dan berperilaku rasional sebagaimana orang kota umumnya: berekonomi pasar (bukan subsisten lagi), menyekolahkan anaknya ke pendidikan formal, berpakaian sebagiamana pakaian orang kota, berobat secara medis (bukan lagi secara magis), naik sepeda motor dan/atau mobil, menggunakan teknologi modern untuk mengolah sawah/kebun, memanfaatkan lembaga bank untuk kegiatan ekonominya, dan terus bergerak mencari peluang ekonomi dan penghidupan yang lebih baik dan menjanjikan di berbagai tempat.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan masyarakat desa bukan peme liharaan dan pengawetan tradisionalisme dan konservatisme ber dasarkan hukum adat tapi pelayanan publik yang rasional sebagaimana pelayanan publik yang dibutuhkan orang modern perkotaan tapi berbasis desa: 1) penyediaan air bersih/minum;

2) pendidikan anak usia dini dan dasar; 3) irigasi pertanian desa modern; 4) pelayanan kesehatan ibu dan anak; 5) budi daya dan pemasaran hasil bumi/ air; 6) pelatihan pemuda desa agar menjadi tenaga terampil; 7) infrastruktur perdesaan: 8) transportasi perdesaan; 9) pengembangan ekonomi rakyat;

10) penataan tata ruang dan perumahan; dan 11) administrasi pertanahan yang tertib dan modern yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah yang

12 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 12 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Menjelang dan awal kemerdekaan, Hatta, Yamin, dan Soepomo sudah mengantisipasi perubahan itu dan memikirkan bentuk kelembagaan yang cocok untuk memfasilitasi perubahan tersebut yaitu dengan memperbaharui dan merasionalkan lembaga tradisional desa. Sebelum merdeka Hatta menulis bahwa sistem pemerintahan desa yang demokratis hendaknya dijadikan dasar model demokrasi Indonesia merdeka. “Desa harus diperbaharui dan dirasionalkan untuk dijadikan pemerintahan kaki”, kata Yamin dalam Sidang BPUPKI 1945 (Sekretariat Negara, 1995). “Desa dijadkan daerah otonom istimewa karena memiliki susunan asli”, kata Soepomo dalam sidang BPUPKI 1945 juga. UUD 1945 (asli) pasal 18 dan Penjelasannya angka II memberi arahan agar volksgemeenschappen dijadikan daerah otonom kecil yang bersifat istimewa karena memiliki susunan asli. Kemudian TAP MPR No. IV/2000 mengamanatkan kepada pembuat undang-undang untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap undang-undang pemerintahan daerah sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya.

Berdasarkan gagasan founding fathes, UUD 1945, dan TAP MPR No. IV/2000 perlu dilakukan penelitian yang mendalam terhadap semua desa.

Setelah diteliti, Desa kemudian diklasifikasi menjadi tiga kelompok 11 : 1) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memang masih hidup; 2) sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah tidak hidup dalam praktik tapi belum benar-benar mati sehingga masih dapat dihidupkan kembali; 3) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang sudah benar-benar mati. Bagi Desa yang masuk kelompok pertama Pemerintah mengakui, rekognisi dan menghormati, respect, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) dan ILO Convention 1989 (No. 169). Bagi Desa yang masuk kelompok kedua Pemerintah melakukan revitalisasi sehingga adat istiadat yang sudah mati bisa dihidupkan kembali dan akhirnya mengakui, rekognisi dan menghormati. Adapun kepada desa yang masuk kelompok ketiga Pemerintah membuat dua kebijakan: 1) desa yang sudah urban dan menyatu dengan pemerintah kota

11 Jimly Asshidiqqi, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hlm. 77-78

Pendahuluan Pendahuluan

Menjadikan Desa yang sudah urban (desa dinas) sebagai daerah otonom sebagaimana rekomendasi MPR tersebut merupakan langkah yang benar dalam penataan Desa ke depan karena memberikan kepastian status Desa dan merupakan penemuan kembali mutiara yang hilang: gagasan founding fathers, UUD 1945 (Pasal 18 dan Penjelasannya angka II), UU No. 22/1948, UU No. 19/1965, dan TAP MPR No. IV/2000. Politik Desa yang melenceng dan a historis yang dimulai sejak pemberlakukan UU No. 5/1979 diteruskan dengan UU No. 22/1999, UU No. 32/2004, UU No. 6/2014 (Pasal 1-95) tidak

bisa dipertanggungjawabkan secara filosofis, historis, hukum tata negara, ilmu adminstrasi negara, dan ilmu pemerintahan karena lembaga yang dapat diberi

tugas negara untuk memberikan pelayanan sipil dan publik adalah lembaga resmi negara, bukan lembaga semi formal yang tidak jelas statusnya.

14 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

BAB I PEMERINTAHAN DESA: “UNIT PEMERINTAHAN PALSU” DALAM SISTEM ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

(KASUS DESA JABON MEKAR, PARUNG, KABUPATEN BOGOR)*

A. Pendahuluan

UUD 1945 mengatur pemerintahan daerah di Indonesia terdiri atas provinsi, kabupaten/kota, daerah khusus, daerah istimewa, dan kesatuan masyarakat hukum adat. Di luar lima jenis pemerintahan daerah tersebut di bawah kabupaten/kota juga terdapat pemerintahan desa. Pemerintahan desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khusunya Bab XI (UU No. 32/2004) kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 khususnya Pasal 1- 95 (UU No. 6/2014).

Akan tetapi, pemerintahan desa yang diatur dalam dua UU ter sebut statusnya tidak jelas dilihat dari disiplin ilmu administrasi negara. Pemerintahan Desa yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, Bab XI jo. UU No. 6 Tahun 2014 khususnya Pasal 1-95 adalah kelanjutan pemerintahan desa bentukan Pemerintahan Soeharto di bawah UU No. 5/1979. Perlu diketahui bahwa sebelum implementasi UU No. 5/1979 desa yang disebut dalam bahasa Belanda sebagai volksgemeenschappen diatur di bawah Inlandsche Gemeente Ordonnantie 1906 (IGO 1906) dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten 1938 (IGOB 1938). Dalam pengaturan IGO 1906 dan IGOB 1938 desa atau volksgemeenschappen lembaga dan tata kelolanya diserahkan kepada hukum adat masing-masing. IGO 1906 dan IGOB 1938 kemudian

* Makalah ini dimuat dalam Jurnal Politica P3DI Setjen DPR Vol. 5 No. 1, Mei 2014 dan dalam

versi Inggrisnya dengan judul “Village Administration in Indonesia: A “Pseudo Government Unit” dipresentasikan dalam International Conference of Korea Association of Public Administration, 24-27 Juni 2014 di Daegu, Korea Selatan.

Bab I Pemerintahan Desa: “Unit Pemerintahan Palsu” dalam Sistem Adminitrasi ....

dihapus oleh UU No. 19/1965. Kemudian Pemerintahan Soeharto melalui UU No. 5/1979 bukan menghidupkan kembali volksgemeenschappen yang telah dihapus tersebut tapi membentuk lembaga baru dengan struktur organisasi, fungsi dan tugas, dan tata kelola baru dengan nomenklatur Pemerintah Desa. Pembentukan lembaga baru tersebut mencakup struktur organisasi, fungsi, kedudukan dan tugas, pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan, perubahan menjadi kelurahan atau sebaliknya, tata cara pemilihan kepala desa, masa jabatan, urusan pemerintahan, penugasan, lembaga desa, keuangan, dan kerja sama. Kebijakan tersebut sampai sekarang tidak berubah meskipun UU No. 5/1979 telah diganti dengan tiga UU: 1) UU No. 22/1999; 2) UU No. 32/2004; dan 3) UU No. 6/2014. Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa Negara bukan mengatur kembali volksgemeenschappen tapi membentuk lembaga baru.

Melalui kebijakan tersebut terjadi perubahan yang sangat men dasar pada lembaga rakyat desa. Lembaga rakyat desa sejak 1980 sampai sekarang bukan lagi sebagai tata kelola pemerintahan adat tapi berubah menjadi penyelenggara urusan pemerintahan formal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaganya bukan lembaga adat yang dibentuk komunitas berdasarkan hukum adat tapi lembaga bentukan Negara melalui peraturan perundang-undangan.

Dengan diaturnya lembaga desa oleh Negara dan diberi tugas menyeleng- garakan urusan pemerintahan mestinya pemerintah desa berubah menjadi lembaga pemerintahan formal. Akan tetapi, faktanya tidak demikian. Pemerintah desa tidak diselenggarakan oleh pejabat birokrasi negara atau pejabat pemerintah dengan status aparatur sipil negara. Kepala desa bukan pejabat negara dan perangkat desa bukan aparatur sipil negara sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tapi pegawai pemerintah desa dengan status

yang tidak bisa diidentifikasi: bukan pegawai ASN, bukan pegawai honorer pemerintah, dan bukan pegawai kontrak. Bahkan sekretaris desa yang di bawah

UU No. 32/2004 diisi oleh aparatur sipil negara, di bawah UU No. 6/2014 tidak boleh lagi diisi oleh aparatur sipil negara.

B. Metode Penelitian

Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan. Apa status peme rintahan desa yang diatur dalam UU No. 32/2004 juncto UU No. 6/2014 dalam sistem administrasi publik Negara Kesatuan Republik Indonesia: sebagai local state

16 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 16 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

C. Kerangka Teori

Teori yang digunakan untuk menganalisis status Desa adalah teori desentralisasi Chema dan Rondinelli 1 dan local government Gerry Stoker 2 . Menurut G. Shabbir Chema dan Denis A. Rondinelli pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada lima organisasi: 1) instansi vertikal; 2) wilayah administrasi; 3) organisasi semi otonom; 4) daerah otonom; dan 5) organisasi non pemerintah. Desentralisasi terdiri atas empat bentuk: 1) dekonsentrasi; 2) devoluisi; 3) delegasi; dan 4) penyerahan fungsi pemerintahan kepada lembaga swasta atau privatisasi. Materi desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan, atau kewenangan adminstasi dari pemerintah pusat kepada unit pemerintahan cabangnya, unit administrasi lokal, organisasi semi otonom dan parastatal, pemerintah daerah, dan organisasi non pemerintah. Stoker menjelasksan bahwa pemerintahan daerah terdiri atas lembaga pemerintah yang berada di luar kantor pusat yang

1 Chema, G. Shabbir, dan Rondinelli, Dennis A., ed., Decentralization and Development, Policy Implementation in Developing Countries. London: Sage, 1983, hlm. 18-19 2 Gerry Stoker, , The Politics of Local Government, London, MacMillan, 1991

Bab I Pemerintahan Desa: “Unit Pemerintahan Palsu” dalam Sistem Adminitrasi ....

pengisian pejabatnya dipilih atau tidak dipilih. Pemerintah daerah dibentuk oleh pemerintah pusat dengan Undang-Undang. Pemerintah daerah baik yang pejabatnya dipilih maupun ditunjuk sepenunya dibiayai oleh pemerintah pusat: infrastruktur, anggaran, status kepegawaian dan gaji pegawai, kegiatan operasional, peralatan, dan teknologinya.

D. Hasil Penelitian

1. Lokasi dan Struktur Organisasi Desa Jabon Mekar

Desa Jabon Mekar merupakan salah desa di wilayah keca matan Parung Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas wilayahnya adalah 217.095 ha yang terbagi atas dua dusun. Jumlah penduduknya sampai akhir tahun 2012 adalah sebanyak 8.602 jiwa. Letaknya kurang lebih 50 Km barat daya Provinsi DKI Jakarta.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 9 Tahun 2006 tentang Desa juncto Peraturan Desa Jabon Mekar Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Pemerintahan Desa Jabon Mekar struktur orga nisasinya adalah sebagai berikut. Kepala Desa sebagai unsur pimpinan. Sekretaris Desa sebagai unsur staf yang dibantu oleh enam kepala urusan: 1) Kepala Urusan Pemerintahan; 2) Kepala Urusan Pembangunan; 3) Kepala Urusan Keuangan; 4) Kepala Urusan Kemasyarakatan; 5) Kepala Urusan Administrasi; 6) Kepala Urusan Umum. Di samping itu, kepala desa juga dibantu pejabat pelaksana wilayah dan pejabat pelaksana teknis. Unsur pelaksana wilayah terdiri atas dua orang Kepala Dusun dan dua orang pelaksana teknis: Pegawai Pembantu Pencatat Nikah (P3N) dan Petugas Perlindungan Masyarakat (Linmas).

Dilihat dari pendidikannya, kepala desa adalah lulusan SMA dan sekarang sedang menempuh S1. Sekretaris Desa lulusan SMA dan sedang menempuh S1. Semua perangkat desa lulusan SMP kecuali seorang yang masih lulusan SD. Selain Sekretaris Desa, semua perangkat desa belum pernah mendapatkan pelatihan teknis dari Kecamatan Parung dan/atau dari Kabupaten Bogor.

18 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Adapun struktur organisasi Pemerintah Desa Jabon Mekar adalah sebagai berikut:

Gambar 1

Struktur Organisasi Pemerintah Desa Jabon Mekar

KEPALA DESA BPD

SEKDES Kaur Pemer

P3N

Kadus I

Kaur Pemb. Linmas

Kadus II

Kaur Keu Kaur Kemasy Kaur Adm

Kaur Um Fungsi dan tugas Pemerintahan Desa Jabon Mekar adalah, (1)

Sumber: Papan Monografi Desa Jabon Mekar

penyelenggaraan urusan rumah tangga desa; (2) pelaksanaan tugas di bidang pembangunan; (3) pembinaan kemasyarakatan pem binaan perekonomian desa; (4) pembinaan peningkatan partisipasi dan gotong royong masyarakat; (5) pembinaan keten traman dan ketertiban masyarakat; (6) pelaksanaan musyawarah penyelesaian perselisihan masyarakat desa; (7) penyusunan dan pengajuan rancangan peraturan desa; (8) pelaksanaan tugas yang dilimpahkan kepada pemerintah desa.

Pengisian kepala desa dilakukan melalui pemilihan secara langsung. Kandidat yang mendapat suara terbanyak ditetapkan sebagai kepala desa dan dilantik oleh Bupati. Adapun pengisian perangkat desa diajukan oleh kepala desa dan diangkat oleh Bupati. Tata cara pemilihan kepala desa dan pengisian perangkat desa menggunakan aturan yang dibuat pemerintah atasan, bukan ber dasarkan hukum adat.

Bab I Pemerintahan Desa: “Unit Pemerintahan Palsu” dalam Sistem Adminitrasi ....

Di samping kepala desa juga dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai mitra Kepala Desa dalam penyelenggaraan Peme rintahan Desa. BPD mempunyai tugas membuat peraturan desa bersama dengan kepala desa, menyusun anggaran, dan menyalurkan aspirasi rakyat. Anggota BPD berasal dari ketua-ketua RT dan RW dan tokoh-tokoh masyarakat. Tata cara pemilihan anggota BPD, fungsi dan tugas, dan mekanisme kerjanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah atasan, bukan berdasarkan hukum adat.

Berdasarkan struktur organisasi pada gambar 1 pemerintahan desa diselenggarakan oleh 12 orang aparatur: seorang kepala desa, seorang sekretaris desa, dan 10 orang staf. Satu-satunya perangkat desa yang berstatus sebagai aparatur sipil negara adalah sekretatis desa. Lainnya adalah pegawai pemerintah desa dengan honor dari Kabupaten Bogor sebesar Rp 150.000,00 per bulan dan diterimakan setiap tiga bulan sekali. Mereka bukan aparatur sipil negara tapi semacam pegawai honorer lepas karena sewaktu-waktu bisa diganti tanpa mendapatkan hak-hak kepegawaian. Perangkat desa yang menjabat sekarang semuanya baru karena perangkat desa lama diganti oleh kepala desa baru. Di Kabupaten Bogor terdapat kebiasaan “bedol desa” yaitu perangkat desa lama diganti oleh kepala desa baru jika kepala desa incumbent tidak menjabat lagi. Perangkat desa yang sedang menjabat diganti dengan perangkat desa baru oleh kepala desa baru yang direkrut dari para pendukungnya/tim suksesnya saat yang bersangkutan mengikuti pemilihan kepala desa.

Dalam hal pelatihan yang terkait dengan tugasnya, sekretaris desa pernah mengikuti pelatihan tentang tata kelola pemerintahan desa hanya dua kali selama menjabat. Adapun perangkat desa di luar sekretaris desa tidak pernah mengikuti pelatihan sama sekali. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sebagai perangkat desa berasal dari kebiasaan, pengamalan, dan pengalaman saja. Oleh karena itu, semua pekerjaan desa bertumpu pada sekretaris desa.

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Jabon Mekar

Pendapatan pemerintah desa berasal dari pendapatan asli desa, hasil swadaya dan partisipasi masyarakat, hasil gotong royong, bagi hasil pajak dan restribusi daerah, bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintahan

20 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI

Tabel 1

APBDesa Tahun Anggaran 2012 No.

Uraian

Rupiah

I. Pendapatan

1 Pendapatan Asli Desa 236.733.000

2 Hasil swadaya dan partisipasi masyarakat 200.000.000

3 Hasil Gotong Royong 58.000.000

4 Dana Perimbangan

5 Bagi hasil pajak dan restribusi daerah 132.152.814

6 Alokasi Dana Desa 90.687.557

7 Dana PNPM (Program Nasional Pemberdayaan 100.000.000 Masyarakat)

8 Bantuan Pemerintah, Propinsi, dan Kabupaten 15.000.000

9 Hibah (dari Pemerintah/Organisasi Swasta/ 30.000.000 Kelompok Masyarakat/Perorangan)

10 Bantuan Kabupaten Bogor 50.000.000

11 Sumbangan Donatur 70.000.000

Jumlah 982.573.371

I. Belanja

1 Belanja Tidak Langsung (Pegawai dan Penghasilan 130.800.000 Tetap)

2 Tambahan Penghasilan Aparatur Desa 24.600.000

3 Tunjangan Kehormatan anggota BPD 10.040.000

4 Belanja Operasional Kepala Desa, Perangkat 17.000.000 Desa, dan BPD

5 Belanja Subsidi 15.480.000

6 Santunan Yatim 83.650.000

7 Biaya Peringatan Hari-hari Besar Islam dan 37.460.000 Nasional

8 Belanja Tidak terduga 15.000.000

II. Belanja Langsung

II.1 Belanja Barang dan Jasa 527.912.437

II.2 Belanja Modal 18.500.000

II.3 Belanja Tidak Terduga 30.000.000

Jumlah 947.942.437

Sumber: Buku Administrasi Desa Jabon Mekar

Bab I Pemerintahan Desa: “Unit Pemerintahan Palsu” dalam Sistem Adminitrasi ....

propinsi, dan pemerintahan kabu paten/kota (kinerja), dan dana bantuan dari pemerintah kabupaten (imbal swadaya). Pendapatan asli berasal dari pungutan kepada penduduk yang minta pelayanan surat keterangan. Misal,

penduduk yang minta surat pengantar mendapatkan KTP, SIM, sertifikat tanah, surat keterangan Tinjauan kepolisian, surat izin bangunan, dan