PROSPEK IMPLEMENTASI UU NO. 6/2014
C. PROSPEK IMPLEMENTASI UU NO. 6/2014
1. Dana Desa
Sesuai dengan UU, Desa mendapatkan dana dari APBN dan 10% persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota. Berdasarkan formula ini pada tahun 2015 desa akan menerima dana dari Pusat kurang lebih Rp 800 ribu sampai dengan Rp 1, 2 milyar. Setiap desa akan mene- rima dana desa berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat
keterpencilan/kesulitan geografis, dan angka kemiskinan. Dana desa tersebut cukup besar. Untuk desa-desa di Jawa Tengah
dan Jawa Timur yang mempunyai tanah bengkok dan tanah banda desa/ kas desa, dana tersebut merupakan dana tambahan di luar dana yang berasal dari tanah desa yang jika dikelola dengan baik bisa meningkatkan pelayanan publik dan pem bangunan. Untuk desa-desa di luar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tidak memiliki tanah bengkok dan tanah banda desa juga merupakan dana yang cukup besar di luar dana yang selama ini telah diterima dari pemerintah kabupaten/kota.
Pemerintah Pusat tidak bisa langsung mentransfer dana tersebut kepada Pemerinitah Desa karena status pemerintah desa hanya sebagai lembaga semi formal dan penggurusnya juga bukan official government dan/atau public servant/civil service. Pemerintah akan mentransfer dana ke Kas Kabupaten/Kota. Pemerintah kabupaten/kota lalu mentransfer ke Pemerintah Desa berdasarkan program yang rinci sesuai dengan kebutuhan riil.
130 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI
Model transfer dana tersebut mempunyai kelebihan dan kele mahan. Kelemahanannya adalah dana tersebut bisa disandera oleh Pemkab/kota dengan berbagai alasan. Atau bisa dikompromkan dengan Pemerintah Desa: agar bisa cair maka harus proyek yang didanai harus sesuai dengan kepentingan umum subyektif pejabat yang memegang otoritas. Adapaun kelebihannya adalah Pemkab/kota bisa memberi arahan dan bimbingan agar dana yang sangat banyak tersebut benar-benar dikelola untuk sebesar-besar kemakuran rakyat desa.
2. Pelayanan Publik dan Pembangunan Bisa Dilaksanakan
Model pemerintahan daerah di Indonesia yang mirip dengan model binnenlands bestuur zaman Belanda menempatkan pemerintah desa di luar sistem pemerintahan formal. Di bawah IGO 1906 dan IGOB 1938 Pemerintah Hindia Belanda membiarkan Desa mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan adat. Pada zaman Belanda status Desa adalah persekutuan masyarakat pribumi berdasarkan hukum adat yang diakui oleh Pemerintah sebagai badan hukum, reechperson. Dengan demikian, Pemerintah tidak melakukan fungsi pelayanan publik di desa. Satuan pemerintahan yang memberikan pelayanan publik adalah stadsgemeente (kotapraja) dan regentschap (kabupaten). Stadsgemeente adalah satuan pemerintahan model Eropa yang mengatur dan mengurus urusan masyarakat Belanda dan kulit putih sedangkan regentschap adalah satuan pemerintahan model Mataram Islam yang diteruskan Belanda untuk mengatur dan mengurus urusan masyarakat pribumi. Dalam struktur organisasinya, stadsgemeente tidak mempunyai satuan pemerintahan bawahan: district (kawedanan), onderdistrict (kecamatan), dan volksgemeenschappen (desa, nagari, marga, dsb). Berbeda dengan stadsgemeente, struktur organisasi regentschap mempunyai satuan pemerintahan bawahan: district (kawedanan), onderdistrict (kecamatan), dan volksgemeenschappen (desa, nagari, marga, dsb). Pada stadsgemeente pelayanan publik langsung diberikan oleh dinas- dinas kota. Adapun pada regentschap pelayanan publik dilakukan oleh dinas-dinas kabupaten dan unit pelaksana teknis dinas di onderdistrict: kesehatan, pengairan, dan kadaster pertanahan. Jadi, regentschap tidak memberikan pelayanan publik di desa.
Bab V Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2014 Tentang Desa
Model pemerintahan regentschap, district (kawedanan), onderdistrict (kecamatan), dan volksgemeenschappen (desa, nagari, marga, dsb) yang sudah dihapus oleh UU No. 22/1948 dan UU No. 19/1965 dihidupkan kembali oleh regim Orde Baru melalui UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979. Model ini diteruskan oleh regim Reformasi dengan menghilangkan district (kawedanan) dan tetap mempertahankan onderdistrict (kecamatan), dan volksgemeenschappen (desa, nagari, marga, dsb) melalui UU No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004 juncto UU No. 6/2014. Dengan model yang sama maka model pelayanan publiknya pun sama dengan zaman Belanda: kabupaten tidak memberikan pelayanan publik di desa. Pelayanan publik oleh pemerintah kabupaten berhenti di kacamatan yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis: Puskesmas dan UPT Dinas Pendidikan. Bahkan jumlahnya lebih sedikit daripada zaman Belanda karena pada zaman Belanda pada onderdistrict terdapat pelayanan kadaster tanah, sekarang ditarik ke atas: Kantor Badan Pertanahan Kabupaten. Sama dengan zaman Belanda, Desa dibiarkan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Kabupaten hanya membantu pembangunan infrastukur dan memberi
tugas: menarik pajak, pendataan penduduk, membuat laporan geografis, dan melaksanakan proyek-proyek pemerintahan atasan.
Pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat desa tidak dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten. Pelayanan publik yang tidak diterima oleh masyarakat desa adalah:
1. Kependudukan (KTP dan KK harus ke Dinas Kabupaten);
2. Pertanahan desa dan administrasinya;
3. Kesehatan penduduk desa;
4. Irigasi pertanian perdesaan;
5. Pertanian, perkebunan, dan perikanan desa (Budi daya, pengo lahan, dan pemasarannya);
6. Ketahanan pangan desa;
7. Tenaga kerja desa;
8. Air bersih desa;
9. Infrastruktur perdesaan;
10. Transportasi perdesaan;
11. Ekonomi rakyat desa; dan
12. Tata ruang dan perumahan rakyat desa.
132 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI
Dengan dana desa yang sangat besar diharapkan bisa digunakan untuk memberikan pelayanan publik tersebut. Jangan sampai dana yang besar tersebut hanya berhenti pada pembangunan infrastruktur sebagaimana terjadi selama ini. Untuk itu, fungsi-fungsi pelayanan publik
desa harus segera didefinisikan secara ketat. Tanpa adaya fungsi-fungsi pelayanan publik yang jelas di desa, maka money akan menguap karena
tidak mengikuti fungsi. Money must follows function.
3. Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia
Selama ini pembangunan desa hanya terbatas pada pembangunan infrastrutkur. Melalui dana desa pemerintah desa harus merubah paradigmanya: dari pembangunan infrastruktur ke pembangunan manusia. Pembangunan manusia adalah suatu konsep pembangunan berbabasis pada peningkatan kualitas hidup manusia itu sendiri yang diukur dari tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan tingkat kesejahteraannya. Tingkat pendidikan masyarakat desa sampai sekarang masih rendah: rata-rata lulus SMP/MTs. Penduduk yang butu huruf masih pada angka 7% atau
sekitar 16,8 juta dan 60% adalah penduduk desa 8 . Tingkat kematian ibu hamil masih tinggi. Begitu juga tingkat kematian bayi lahir dari 1000 anak lahir. Di desa masih terdapat 18.087.000 orang miskin 9 .
Sesuai dengan UU No. 23/2014 juncto Perpu No. 2/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan praktik selama ini urusan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengan menjadi kompetensi pemerintah kabupaten. Untuk pendidikan anak usia dini termasuk TK ditangani oleh UPT Dinas Pendidikan yang beridiri di kecamatan sedangkan SMP dan SMA/SMK langsung ditangani dinas pendidikan pada tingkat kabupaten. Bagi anak-anak putus sekolah atau anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA atau perguruan tinggi sebagian ditangani oleh pemerintah kabupaten melalui dinas ketenagakerjaan dan balai latihan kerja.Artinya pemerintah desa tidak menangani urusan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Pada bidang kesehatan, pemerintah desa juga tidak menangani urusan kesehatan. Urusan kesehatan di desa ditangani oleh UPT Dinas
8 BPS, Susenas, 2003-2013 9 BPS, 2012
Bab V Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2014 Tentang Desa
Kesehatan di kecamatan: Puskesmas dengan Puskesmas Pembantu di desa-desa tertentu. Di samping itu, juga ada Bidan Desa yang ditempatkan di desa-desa. Semuanya bukan di bawah pemerintah desa tapi di bawah pemerintah kabupaten.
Pada bidang yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan rakyat desa juga tidak menjadi kompetensi pemerintah desa. Sistem irigasi pertanian: bendungan, dam-dam, pintu-pintu air, saluran-saluran, dan petugasnya tidak melibatkan pemerintah desa. Pemerintah desa hanya menerima kebijakan kabupaten. Kebijakan ketahanan pangan juga tidak melibatkan pemerintah desa. Koperasi Unit Desa (KUD) dan lembaga keuangan mikro untuk membantu perkrediatan rakyat desa tidak mempunyai hubungan fungsional dan struktural dengan pemerintah desa. Pelayanan publik bidang budi daya pertanian mulai dari persiapan, pembuatan atau pengadaan bibit, pengolahan lahan, penanaman, perawatan, panen, manajemen pasca panen, distribusi, dan pemasaran tidak ditangani oleh pemerintah desa. Sebagian darinya ditangani oleh pemerintah kabupaten di bawah dinas pertanian dan ketahanan pangan.
Dengan dana desa maka pemerintah desa dapat menyusun kebijakan pembangunan manusia yang mencakup tiga bidang tersebut: pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, masalahnya adalah pada kewenangan yang dimiliki desa. Sesuai dengan Pasal 18 UU No. 6/2014 Kewenangan desa meliputi:
a. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul;
b. Kewenangan lokal berskala desa;
c. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daearh Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Peme rintah
Daearh Provinsi, atau Pmerintah Daerah Kabupaten/Kota Berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 18
tersebut maka pemerintah desa tidak mempunyai kewenangan mengatur dan mengurus urusan pelayanan publik dan pembangunan yang berkaitan dengan pembangunan manusia, human development. Kewenangan bidang ini masih menjadi kompetensi pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, pembangunan manusia di desa masih sangat tergantung kepada kemauan politik pemerintah
134 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI 134 Desa Dinas: Unit Pemerintahan Semu dalam Sistem Pemerintahan NKRI
Untuk itu, penugasan dan penugasan lain (huruf c dan d) materinya perlu dipertegas disertai dengan tata kelolan dan sumber daya pendukungnya. Tanpa kejelasan materi, tata kelola, dan sumber daya pendukung pemerintah desa sulit mengurus urusan pelayanan publik dan pembangunan di bidang pembangunan mansusia. Untuk itu, diperlukan payung hukum berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk memperjelas hal-hal tersebut.
PENUTUP
Satu-satunya ekspektasi yang tinggi terhadap UU No. 6/2014 adalah adanya pengaturan dana desa yang mencakup alokasi anggaran APBN dan minimal 10% dari pajak dan retribusi daeah dan dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota setelah dikurangi DAK. Berdasarkan kebijakan ini maka Desa akan menerima dana yang cukup besar. Sebagaimana pengalaman Kabupaten Kutai Kartanegara yang sudah menggelontorkan dana lebih 1 milyar sejak tiga tahu lalu pemberian dana yang besar tidak selalu meningkatkan kemakmuran rakyat desa. Satu hal yang paling perlu mendapatkan perhatian adalah kapasitas pemerintah desa. Kapasitas pemerintah desa sampai sejauh ini masih perlu peningkatan. Untuk itu, mengingat tahun anggaran 2015 tinggal satu bulan lagi maka masalah peningkatan kapasitas pemerintah desa ini perlu dilakukan segera agar dana yang besar tersebut tidak mengguap begitu saja.
Bab V Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2014 Tentang Desa
135