Pelayanan Kesehatan Di Era Otonomi Daerah

D. Pelayanan Kesehatan Di Era Otonomi Daerah

Pemberlakuan otonomi daerah mulai diterapkan melalui UU Nomor 22 tahun 1999, dan pelaksaanaannya baru dimulai tahun 2001. Tujuan Desentralisasi tersebut di bidang kesehatan adalah mewujudkan pembangunan nasional di bidang kesehatan yang berlandaskan prakarsa dan aspirasi masyarakat dengan cara memberdayakan, menghimpun, dan mengoptimalkan potensi daerah untuk kepentingan daerah dan prioritas Nasional dalam mencapai kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Untuk mencapai tujuan desentralisasi tersebut ditetapkan berbagai kebijakan salah satunya optimalisasi peran pelayanan kesehatan dasar.

Dampak implementasi pelaksanaan desentralisasi di semua bidang khususnya di bidang kesehatan belum sesuai dengan tujuan desentralisasi yang sebenarnya. Hal ini terlihat dari realita kondisi kesehatan yang kita hadapi saat ini, seperti adanya perbedaan status kesehatan antara daerah yang masih tinggi, rendahnya kualitas kesehatan masyarakat miskin, adanya beban ganda penyakit, masih rendahnya kualitas, kuantitas, pemerataan dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Permasalah kesehatan juga dihadapkan pada permasalahan kesehatan lingkungan, pendanaan sektor kesehatan dan penguasaan teknis pelaksanaan desentralisasi oleh pemerintah.

Adanya otonomi daerah ini menjadikan pemerintah harus bekerja keras dalam mengupayakan segala aspek pembangunan salah satunya aspek pendanaan. Saat ini tak asing lagi dimana sektor kesehatan dijadikan salah satu sumber anggaran pendapatan daerah. Hal ini berarti pasien (orang sakit) merupakan tulang punggung sumber pendapatan, secara tidak langsung hal ini menghendaki peningkatan angka kesakitan setiap tahunnya. Fenomena ini sangat ironis dan bertolak belakang dengan tujuan pembangunan nasional dimana pembangunan nasional bertumpu pada pembangunan masyarakat seutuhnya, sehat jasmani dan rohani sehingga lebih produktif dan dapat mendukung pembangunan negara.

Membahas tentang pelayanan kesehatan dasar di era desentralisasi, merujuk pada realita di daerah-daerah pedesaan, terpencil, kepulauan, rawan bencana dan daerah-daerah Membahas tentang pelayanan kesehatan dasar di era desentralisasi, merujuk pada realita di daerah-daerah pedesaan, terpencil, kepulauan, rawan bencana dan daerah-daerah

Kenyataan saat ini, pelayanan kesehatan yang diberikan jauh dari harapan masyarakat. Berbagai permasalahan yang timbul dalam pelayanan puskesmas yang kesemuanya merujuk pada mutu pelayanan yang kurang memadai. Kualitas pelayanan kesehatan dapat diukur melalui berbagai indikator, yaitu lain indikator input, proses dan output. Indikator input dalam pelayanan kesehatan meliputi unsur ketenagaan, modal, teknologi, fasilitas, pelayanan dan pemasaran. Indikator proses yaitu terkait dengan indikator pelayanan dan indikator output terkait dengan pencapaian program meliputi angka kesakitan, angka kematian, dan ukuran-ukuran derajat kesehatan lainnya. Semua indikator tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu suatu pelayanan kesehatan.

1. Evaluasi Input Saat ini berbagai permasalahan terjadi hampir di semua pelayanan kesehatan tingkat dasar. Mulai dari kakurangan tenaga kesehatan baik medis, paramedis maupun non medis. Pada beberapa puskesmas hanya terdapat satu tenaga dokter yang menjabat sebagai kepala puskesmas dan juga merangkap sebagai tenaga medis. Kondisi ini tidak seharusnya terjadi. Mengingat beban ganda yang harus diemban. Kebanyakan dokter yang juga merangkap sebagai kepala puskesmas tidak dapat melaksanakan tugas medisnya dengan baik dan ironisnya sebagian besar tugas medis tersebut diserahkan kepada perawat atau bidan di puskesmas tersebut. Sehingga akses layanan kesehatan semakin tidak terpenuhi.

Kedepannya diharapkan yang menjadi kepala puskesmas di semua daerah adalah yang memiliki latar belakang manajemen dan administrasi kesehatan. Selain itu, permasalahan ketenagaan juga terkait dengan pemerataan distribusi tenaga, terutama di Kedepannya diharapkan yang menjadi kepala puskesmas di semua daerah adalah yang memiliki latar belakang manajemen dan administrasi kesehatan. Selain itu, permasalahan ketenagaan juga terkait dengan pemerataan distribusi tenaga, terutama di

Selain menyangkut ketenagaan, permasalahan lainnya juga berasal dari pendanaan pelayanan kesehatan. Hal yang paling sering dikeluhkan oleh tenaga kesehatan pada umumnya adalah menyangkut insentif program. Walaupun puskesmas sendiri telah membuat rancangan usulan dana ke kabupaten, namun dana yang terealisasi tidak sesuai dengan permintaan yang diusulkan. Disatu sisi puskesmas harus memberikan retribusi ke daerah. Hal ini yang kemudian berimbas pada kualitas pelayanan.

Tenaga medis, paramedis maupun non medis lainnya mengkambinghitamkan imbalan jasa sebagai penyebab rendahnya performance mereka. Dalam hal ini, hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah bagaimana caranya berusaha mencari sumber pembiayaan selain yang bersumber dari unit pelayanan. Dan perlu diingat bahwa sasasaran pelayanan puskesmas adalah masyarakat menengah ke bawah.

2. Evaluasi Proses Sampai dengan saat ini pelayanan kesehatan dasar dirasakan belum begitu nyata dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat. Walaupun telah banyak dilakukan pengangkatan tenaga tetap maupun tenaga tidak tetap, namun pelayanan kesehatan tetap dirasakan belum begitu efektif. Selama ini sebagian besar puskesmas belum begitu memahami dan melaksanakan jenis pelayanan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) secara proporsional. Seyogianya proporsi pelayanan promoven lebih besar dari proporsi pelayanan kuratif dan rehabilitatif. Mengingat bahwa jumlah masyarakat yang sehat masih lebih besar dari jumlah masyrakat yang sakit. Namun pada kenyataannya proporsi ini menjadi terbalik. Itulah sebabnya mengapa mekanisme jaminan kesehatan yang ada selama ini tidak dapat dikelola secara 2. Evaluasi Proses Sampai dengan saat ini pelayanan kesehatan dasar dirasakan belum begitu nyata dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan masyarakat. Walaupun telah banyak dilakukan pengangkatan tenaga tetap maupun tenaga tidak tetap, namun pelayanan kesehatan tetap dirasakan belum begitu efektif. Selama ini sebagian besar puskesmas belum begitu memahami dan melaksanakan jenis pelayanan (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) secara proporsional. Seyogianya proporsi pelayanan promoven lebih besar dari proporsi pelayanan kuratif dan rehabilitatif. Mengingat bahwa jumlah masyarakat yang sehat masih lebih besar dari jumlah masyrakat yang sakit. Namun pada kenyataannya proporsi ini menjadi terbalik. Itulah sebabnya mengapa mekanisme jaminan kesehatan yang ada selama ini tidak dapat dikelola secara

Jaminan kesehatan seharusnya dikelola secara praupaya (kapitasi) sehingga dapat dilakukan kendali mutu dan kendali biaya. Bagaimana agar alokasi pembiayaan lebih banyak dialokasikan untuk pemeliharaan kesehatan sehingga angka kunjungan masyarakat yang sakit dan dapat berobat ke puskesmas menjadi sedikit. Permasalahan pelayanan kesehatan lainnya juga disebabkan karena tidak sesuainya tupoksi dan penempatan yang tidak sesuai dengan job description. Fenomena yang terjadi di berbagai daerah baik daerah terjangkau maupun daerah terpencil saat ini dimana recruitment didasarkan pada kepentingan politis dan memuat unsur profit. Sehingga tenaga yang ada saat ini sebagian besar tidak berkualitas karena tidak sesuai dengan kualifikasi keilmuan dan keahlian profesi.

Jika kita menelusuri lebih dalam dari permasalahan-permasalahan kesehatan selama ini, mungkin tidak terlalu jauh jika kita kaitkan dengan bekal pendidikan yang didapatkan dari setiap profesi. Saat ini, mutu dan kualitas pendidikan pada umumnya, khususnya dibidang kesehatan sudah sangat jauh dari apa yang diharapkan. Banyak dari institusi pendidikan saat ini yang tidak lagi mengedepankan kualitas namun memprioritaskan pada kuantitas yang berujung pada profit institusi. Sehingga tidak jarang lulusan-lulusan sebuah institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas jauh lebih rendah dari lulusan sebelumnya.

3. Evaluasi output Pada umumnya suatu pelayanan kesehatan ataupun beberapa bidang pelayanan diantaranya menitikberatkan penilaiaan keberhasilan program pada evaluasi output. Berbagai ukuran kesehatan yang digunakan seperti angka kesakitan, angka kematian, cakupan program, dsb. Namun angka-angka statistik ini kemudian tidak begitu berarti bagi para decission maker. Pengambilan kebijakan dan penyusunan perencanaan selama ini lebih diutamakan pada kepentingan perorangan dan sarat akan tujuan politis yang hanya akan menguntungkan beberapa pihak. Angka cakupan 3. Evaluasi output Pada umumnya suatu pelayanan kesehatan ataupun beberapa bidang pelayanan diantaranya menitikberatkan penilaiaan keberhasilan program pada evaluasi output. Berbagai ukuran kesehatan yang digunakan seperti angka kesakitan, angka kematian, cakupan program, dsb. Namun angka-angka statistik ini kemudian tidak begitu berarti bagi para decission maker. Pengambilan kebijakan dan penyusunan perencanaan selama ini lebih diutamakan pada kepentingan perorangan dan sarat akan tujuan politis yang hanya akan menguntungkan beberapa pihak. Angka cakupan

Inilah wajah sektor kesehatan kita saat ini, dengan berbagai permasalahan yang tak kunjung selesai. Sektor kesehatan memang memiliki keunikan ciri dibandingkan dengan sektor yang lainnya. Yang pertama adalah sifat ketidakpastian (uncertainty) dari resiko sakit itu sendiri. Datangnya suatu penyakit bisa tiba-tiba dan diluar dugaan. Keadaan ini akan menyebabkan kebutuhan pembiayaan kesehatan yang mendadak dan seringkali dalam jumlah besar yang memberatkan. Meskipun banyak dokter selaku provider juga peduli akan biaya pelayanan kesehatan ini, tapi sifat ketidak-pastian ini dapat pula dimanfaatkan secara sepihak untuk kepentingan yang menguntungkan pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter) itu sendiri.

Karakteristik yang kedua dalam transaksi pelayanan kesehatan adalah kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang amat tidak elastis (inelastic). Ketika seseorang sakit, apalagi pada kasus kasus yang sifatnya penyelamatan nyawa (life saving), tuntutan in- elastisitas dari kebutuhan pelayanan kesehatan itu akan mendorong orang untuk mengorbankan apa saja untuk kesembuhan dirinya, meski pelayanan kesehatan yang canggih kerap kali akan membutuhkan biaya yang amat besar. Sifat in-elastisitas, yakni sesuatu yang tidak dapat ditunda pada pihak klien yakni pengguna jasa pelayanan kesehatan dapat pula dimanfaatkan oleh pemberi pelayanan kesehatan (dokter) secara salah untuk kepentingannya.

Karakteristik yang ketiga dari transaksi pelayanan kesehatan adalah adanya ketidak-seimbangan informasi dari pihak pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter) terhadap pengguna jasa pelayanan kesehatan/klien/pasien (information asymmetry). Informasi tentang bagaimana pelayanan pengobatan untuk penyembuhan suatu penyakit hanya dikuasai dan dipahami oleh pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter). Dengan demikian karena ketidak pahamannya pasien pasrah menyerahkan sepenuhnya upaya Karakteristik yang ketiga dari transaksi pelayanan kesehatan adalah adanya ketidak-seimbangan informasi dari pihak pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter) terhadap pengguna jasa pelayanan kesehatan/klien/pasien (information asymmetry). Informasi tentang bagaimana pelayanan pengobatan untuk penyembuhan suatu penyakit hanya dikuasai dan dipahami oleh pemberi jasa pelayanan kesehatan (dokter). Dengan demikian karena ketidak pahamannya pasien pasrah menyerahkan sepenuhnya upaya

Artinya pemberi jasa pelayanan (dokter) dapat melakukan dorongan penggunaan pelayanan yang berlebihan, tidak sesuai standar dan nduksi-induksi lainya, dan pasien dalam keterbatasan pemahamannya menyerah pada induksi-induksi penggunaan pelayanan kesehatan yang tak perlu dan berlebihan karena menguntungkan dokter dari sisi ekonomis.