Program Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan

Program Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan

PEMERIKSAAN atas Program Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan pada tahun 2016-semester I 2017 dilakukan pada Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT), dan pemerintah provinsi terkait di Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Utara. Pemeriksaan bertujuan untuk menilai efektivitas program pembangunan desa dan kawasan perdesaan pada

Kemendesa PDTT tahun 2016-semester I 2017 yang mencakup regulasi dan perencanaan, kegiatan sektoral yang mendukung, pemberdayaan masyarakat desa melalui kegiatan pendampingan, serta monitoring dan evaluasi.

Kemendesa PDTT telah melakukan upaya-upaya dalam program pembangunan desa dan kawasan perdesaan, antara lain:

● Pemerintah telah membuat peraturan dan kebijakan sebagai landasan hukum untuk melaksanakan pembangunan desa dan kawasan perdesaan berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan/ keputusan menteri desa PDTT, dan peraturan- peraturan di bawahnya.

● Untuk meningkatkan pembangunan desa dan kawasan perdesaan, pemerintah telah menyalurkan dana desa sejak tahun 2015, yang disalurkan langsung dari APBN ke masing-masing desa di seluruh Indonesia.

● Untuk mengefektifkan penggunaan dana desa tersebut, pemerintah telah menetapkan kebijakan prioritas penggunaan dana desa, menyediakan pendampingan desa dan kawasan perdesaan, serta membentuk Tim Kordinasi Pembangunan Kawasan Perdesaan.

● Untuk memperlancar informasi pembangunan desa, pemerintah telah membangun Sistem Informasi Pembangunan Desa dan database

Indeks Desa Membangun (IDM). Namun demikian, hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa strategi

bidang desa dan kawasan perdesaan dalam rangka mendukung efektivitas program pembangunan desa dan kawasan perdesaan tahun 2016-Semester

20 IHPS II Tahun 2017

BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat

I 2017 belum efektif dalam aspek regulasi, perencanaan, pelaksanaan, pendampingan, monitoring dan evaluasi kegiatan pembangunan desa dan kawasan perdesaan. Permasalahan signifikan yang perlu mendapat

perhatian di antaranya: ● Kemendesa PDTT belum menetapkan pedoman umum pelaksanaan

pembangunan desa. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap program pembentukan peraturan Menteri Desa dan PDTT menunjukkan bahwa belum semua rancangan peraturan menteri selesai disusun dan ditetapkan dan Kemendesa PDTT belum berkoordinasi dengan Kemendagri dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam proses penyusunan pedoman umum pelaksanaan pembangunan desa tersebut. Selain pedoman tersebut di atas, Kemendesa PDTT juga belum memiliki pedoman umum pemberdayaan masyarakat desa dan pendampingan masyarakat desa. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Kemendesa PDTT belum menetapkan pedoman umum pemberdayaan masyarakat desa dan regulasi pendampingan

desa yang ditetapkan Kemendesa PDTT tidak relevan dengan UU Desa dan peraturan pelaksanaannya. Hasil analisis atas Permendesa

Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendampingan Desa diketahui bahwa Permendesa tersebut tidak relevan dengan peraturan pelaksanaan UU

Desa, penunjukkan Konsultan Nasional, dan Konsultan Pendamping Wilayah sebagai pendamping masyarakat desa tidak relevan dengan regulasi pendampingan masyarakat desa serta Kemendesa PDTT belum berkoordinasi dengan Kemendagri dan Bappenas dalam proses

IHPS II Tahun 2017 BAB I- Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat IHPS II Tahun 2017 BAB I- Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat

pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/ kota tidak terarah dan tidak terintegrasi. Selain itu, batasan tanggung jawab dan kewenangan Kemendesa PDTT dan Kemendagri dalam pemberdayaan masyarakat

desa dan pendampingan masyarakat desa tidak jelas. Kondisi tersebut terjadi antara lain karena Menteri Desa PDTT tidak memonitor

penyusunan pedoman umum pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pendampingan masyarakat desa, yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dirjen PPMD). Disamping itu, Kepala Biro Hukum dan Ortala dan Dirjen PPMD tidak berkoordinasi secara optimal dalam menyelesaikan penyusunan pedoman umum pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa, dan pendampingan masyarakat desa.

● Program dan kegiatan sektoral Kemendesa PDTT belum mendukung pembangunan desa. Permasalahan yang terjadi yaitu: 1) bantuan program dan kegiatan sektoral pada Sub Direktorat Sumber Daya Air, Pertanahan dan Maritim pada Direktorat Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna (PSDA-TTG) tidak disalurkan sesuai petunjuk teknis bantuan; 2) bantuan peralatan dan pengembangan budidaya ikan air tawar tidak berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan pemberdayaan masyarakat Desa; 3) sebagian mesin bantuan alat pengolahan pertanian tidak dapat dimanfaatkan; 4) bantuan peralatan dan mesin dari program dan kegiatan sektoral yang tidak dimanfaatkan tidak direlokasi ke desa lainnya; 5) realisasi bantuan penguatan dan pengembangan BUMDes belum berdampak pada peningkatan ekonomi BUMDes dan pemberdayaan masyarakat desa; serta 6) realisasi program bantuan belum sepenuhnya sesuai kebutuhan prioritas desa yang

mengacu pada IDM. Akibatnya, intervensi pembangunan desa oleh Ditjen PPMD tidak memberikan manfaat bagi pembangunan desa; kegiatan pembangunan desa pada Direktorat PSDA-TTG, Direktorat Pengembangan Usaha Ekonomi Desa (PUED), Direktorat Pelayanan

Sosial Dasar (PSD) tidak memengaruhi peningkatan perkembangan status desa. Kondisi tersebut terjadi, antara lain karena Ditjen PPMD tidak melakukan koordinasi yang baik dengan pemda dan pemerintah desa dalam merealisasikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa serta skala prioritas kebutuhan desa; dan Direktorat

PSDA-TTG, Direktorat PUED, Direktorat PSD tidak memonitor efektivitas hasil pengadaan yang diserahkan ke desa, kelompok masyarakat,

maupun BUMDes.

22 IHPS II Tahun 2017

BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat

Atas permasalahan tersebut, Kemendesa PDTT melalui Dirjen PPMD menyatakan antara lain bahwa:

● Dirjen PPMD akan segera menyelesaikan Pedoman Umum Pelaksanaan Pembangunan Desa, selain itu pada bulan Juni 2017 telah disusun rancangan Peraturan Menteri Desa PDTT tentang Pedoman Umum PPMD dan telah dilakukan pembahasan dengan Kementerian/ Lembaga Non Kementerian terkait namun belum terselesaikan, dimana salah

satu poin hasil pembahasannya adalah perlu penggabungan antara pengaturan pembangunan kawasan perdesaan dan pendampingan masyarakat desa. Ditjen PPMD selanjutnya akan terus melakukan

pembahasan secara intensif sehingga pedoman yang dimaksud dapat digunakan pada tahun 2018.

● Ditjen PPMD akan mengikuti juknis yang berlaku, sehingga bantuan yang diberikan lebih tepat sasaran, dan akan berkoordinasi dengan

desa serta pemda agar bantuan yang diberikan dapat berpengaruh pada peningkatan ekonomi masyarakat.

BPK merekomendasikan Menteri Kemendesa PDTT antara lain agar: ● Menetapkan pedoman umum pembangunan desa, pemberdayaan

masyarakat desa, dan pendampingan masyarakat desa yang telah dibahas bersama dengan Bappenas, Kemendagri, dan kementerian terkait lainnya.

● Memerintahkan Dirjen PPMD untuk menyusun dan menetapkan mekanisme koordinasi dengan pemda dan pemerintah desa dalam merealisasikan bantuan, sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa serta skala prioritas kebutuhan desa; dan memonitor efektivitas hasil pengadaan yang diserahkan ke desa, kelompok masyarakat, maupun BUMDes.

Secara keseluruhan, hasil pemeriksaan BPK atas Program Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan pada Kemendesa PDTT tahun 2016-semester

I 2017 mengungkapkan 30 temuan yang memuat 34 permasalahan ketidakefektifan.

Pelepasan Hutan untuk Masyarakat dan Pemberian Akses Pengelolaan Hutan kepada Masyarakat

PEMERIKSAAN pengelolaan kegiatan pelepasan kawasan hutan untuk masyarakat dan kegiatan pemberian akses pengelolaan hutan kepada masyarakat TA 2016-triwulan III 2017 dilakukan pada Kementerian

IHPS II Tahun 2017 BAB I- Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK) serta instansi terkait lainnya di Provinsi DKI Jakarta, Riau, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, dan Papua. Pemeriksaan bertujuan untuk menilai efektivitas pelaksanaan kegiatan pelepasan

kawasan hutan untuk masyarakat dan kegiatan pemberian izin akses pengelolaan hutan kepada masyarakat.

Kementerian LHK telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan efektivitas kegiatan tersebut, antara lain dengan menetapkan peta indikatif alokasi kawasan hutan untuk tanah objek reforma agraria (TORA) dan perhutanan sosial, menyederhanakan peraturan untuk menunjang percepatan perhutanan sosial, dan membentuk kelompok kerja percepatan perhutanan sosial (Pokja PPS) sebagai perpanjangan

tangan Kementerian LHK pada tiap provinsi. Namun demikian, hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa

pengelolaan kegiatan pelepasan kawasan hutan untuk masyarakat dan kegiatan pemberian akses pengelolaan hutan kepada masyarakat belum

sepenuhnya efektif , karena masih terdapat permasalahan antara lain: ● Regulasi terkait kegiatan pelepasan kawasan hutan belum lengkap.

Dalam pelaksanaan kegiatan pelepasan kawasan hutan, belum terdapat regulasi yang mengatur: (i) monitoring pelepasan kawasan hutan yang telah direalisasikan dari skema perkebunan telah terdistribusi kepada masyarakat marjinal; (ii) pelepasan kawasan hutan yang terlantar

atas perusahaan yang tidak memproses Hak Guna Usaha (HGU); (iii) pengenaan sanksi atas pemindahtanganan kawasan hutan yang dilakukan pelepasan kepada pihak lain; dan (iv) tata cara pelepasan kawasan hutan untuk perseorangan dalam peraturan direktorat jenderal. Hal tersebut mengakibatkan potensi tidak efektifnya pencapaian tujuan pelepasan kawasan hutan kepada masyarakat

marjinal. Hal tersebut terjadi karena belum adanya pedoman teknis pelaksanaan tugas tim inventarisasi dan verifikasi untuk mengkaji aturan pelepasan kawasan hutan yang ada.

● Pengembangan usaha terhadap kelompok yang telah memperoleh akses pengelolaan hutan belum dapat dilaksanakan secara optimal.

Salah satu tujuan perhutanan sosial adalah mewujudkan pemerataan ekonomi masyarakat melalui pengembangan potensi sumber daya hutan dengan tetap menjaga kelestarian hutan. Namun, Kementerian

LHK belum sepenuhnya dapat melakukan fasilitasi pengembangan usaha kepada kelompok perhutanan sosial (KPS)/ kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Hal ini antara lain ditemukan pada KPS

24 IHPS II Tahun 2017

BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat

kerja, serta KPS yang sudah difasilitasi menjadi KUPS namun belum memiliki kegiatan usaha. Selain itu, Pokja PPS belum optimal dalam melakukan pendampingan dalam penguatan kelembagaan dan kewirausahaan KUPS, antara lain karena belum adanya penganggaran

untuk operasional dan kegiatan pokja masih berfokus pada pemberian izin akses pengelolaan hutan.

Akibatnya, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui pemberian akses kelola lahan kawasan hutan belum tercapai. Hal tersebut terjadi antara lain karena Direktur Jenderal

Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan belum mengajukan alokasi anggaran, Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hukum Adat belum memberikan sosialisasi istilah KUPS agar berlaku umum dan Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan belum memberikan pendampingan dalam penyusunan rencana kerja usaha (RKU)/ rencana kerja tahunan (RKT).

Atas permasalahan-permasalahan tersebut, Kementerian LHK menyatakan bahwa:

● Saat ini sedang disusun draft Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang pedoman pelaksanaan tugas tim inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan (Tim Inver PTKH) yang diinisiasi oleh Kementerian LHK.

● Belum semua KPS melakukan pemanfaatan lahan yang telah diberikan hak kelola karena belum memperoleh fasilitas secara maksimal dan belum adanya pendamping lapangan.

Atas permasalahan-permasalahan tersebut, BPK merekomendasikan kepada Menteri LHK untuk segera menindaklanjuti rekomendasi, antara lain sebagai berikut:

● Berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk segera menerbitkan pedoman pelaksanaan tugas tim inver PTKH.

● Dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha, agar: (1) mengalokasikan anggaran yang cukup untuk kegiatan pengembangan usaha dan operasional Pokja PPS, (2) melakukan sosialisasi mengenai KUPS kepada pihak-pihak terkait, serta (3) melakukan pendampingan dalam penyusunan RKU/ RKT secara optimal terhadap kelompok perhutanan sosial.

IHPS II Tahun 2017 BAB I- Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat

Secara keseluruhan, hasil pemeriksaan BPK atas pelepasan hutan untuk masyarakat dan pemberian akses pengelolaan hutan kepada masyarakat

pada Kementerian LHK mengungkapkan 23 temuan yang memuat 25 permasalahan ketidakefektifan.