Program Pengurangan Risiko Bencana
Program Pengurangan Risiko Bencana
PEMERIKSAAN atas program pengurangan risiko bencana TA 2016-semester I TA 2017 dilaksanakan pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan instansi terkait di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan. Pemeriksaan
bertujuan untuk menilai efektivitas pelaksanaan program pengurangan risiko bencana.
BNPB telah melakukan upaya-upaya yang baik dalam mencapai target pengurangan risiko bencana, antara lain dengan telah merumuskan dan menetapkan kebijakan yang terkait dengan risiko bencana di antaranya telah menetapkan pedoman umum pengkajian risiko bencana. Namun demikian, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa regulasi, perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan monitoring serta evaluasi program pengurangan risiko bencana yang telah dilaksanakan oleh BNPB belum
sepenuhnya efektif. Hal tersebut terjadi antara lain karena: ● Pedoman dan pengarahan usaha penanggulangan bencana yang
mencakup kegiatan penyusunan peta risiko dan kajiannya, rencana penanggulangan bencana, dan rencana kontingensi belum sepenuhnya memadai. Pasal 12 UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana mengamanatkan BNPB untuk memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penangulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan merata. BNPB telah menerbitkan
peraturan/ pedoman untuk menyusun kajian risiko bencana (KRB), rencana penanggulangan bencana (RPB) dan rencana kontingensi yaitu Peraturan Kepala (Perka) BNPB Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, Perka BNPB Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan RPB, Buku Risiko Bencana Indonesia yang diterbitkan tahun 2015, dan pedoman penyusunan rencana kontingensi menghadapi ancaman bencana. Namun demikian, pedoman penyusunan KRB dan RPB sudah tidak sesuai dengan kondisi
terkini dan belum dimutakhirkan.
52 IHPS II Tahun 2017
BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat
Akibatnya, timbul risiko kegiatan pengurangan risiko bencana khususnya penyusunan kajian dan peta risiko bencana, dan RPB menjadi tidak terarah dan tidak sinkron antara pusat dan daerah. Hal ini terjadi antara lain karena BNPB dhi. Kedeputian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan belum melakukan pemutakhiran pedoman yang sudah ada dan belum membuat payung hukum untuk pedoman penyusunan rencana kontingensi.
● BNPB belum menyusun aturan terkait dengan mekanisme penghentian status tanggap darurat. Selama ini, berakhirnya status tanggap darurat didasarkan pada Pedoman Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana Tahun 2016. Namun mekanisme tentang prosedur penghentian status keadaan darurat tidak dibahas dalam pedoman tersebut. Kondisi tersebut mengakibatkan tidak adanya keseragaman
dalam proses penghentian status tanggap darurat yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD); menimbulkan
potensi kesalahpahaman antara BPBD dan masyarakat terkait dengan penanganan bencana pada saat berakhirnya status tanggap darurat;
dan penetapan status tanggap darurat oleh pemda tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Hal tersebut terjadi karena aturan mekanisme penghentian status tanggap darurat dan mekanisme penghentian keadaan darurat oleh BNPB belum ada.
● Data kebencanaan nasional dan daerah belum tersedia secara memadai. Hasil pemeriksaan yang dilakukan atas BNPB, 4 BPBD Provinsi dan 8 BPBD kabupaten/ kota yang menjadi sampel pemeriksaan menunjukkan bahwa BPBD Provinsi Sumatera Utara tidak memiliki data kebencanaan daerah yang lengkap, pengelolaan data kebencanaan pada BPBD Kabupaten Karo belum memadai, terdapat perbedaan
format dalam penyajian data kebencanaan, dan adanya perbedaan data kebencanaan nasional dengan daerah. Hal ini mengakibatkan potensi kesalahan dalam pengambilan keputusan penanganan bencana karena data kebencanaan tidak akurat. Hal tersebut terjadi karena Pusat Data Informasi dan Humas (Pusdatinmas) BNPB dan BPBD tidak optimal dalam melaksanakan verifikasi data kebencanaan dan SOP Sistem Pendataan Bencana belum disosialisasikan secara optimal.
Atas permasalahan pedoman dan pengarahan usaha penanggulangan bencana yang belum memadai serta belum tersusunnya aturan
terkait mekanisme penghentian status tanggap darurat, Kepala BNPB menyampaikan bahwa kondisi tersebut pada umumnya sesuai dengan kondisi yang ada. Sedangkan atas permasalahan data kebencanaan nasional dan daerah yang belum tersedia secara memadai, Kepala BNPB menyatakan bahwa hingga sekarang Data Informasi Bencana Indonesia
IHPS II Tahun 2017 BAB I- Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat
(DIBI) merupakan satu-satunya rujukan data kebencanaan di Indonesia yang juga dimanfaatkan oleh seluruh dunia. Atas pernyataan tersebut, BPK menyatakan bahwa BNPB sebagai lembaga pemerintah diharapkan menyampaikan informasi kepada masyarakat berdasarkan data yang valid
dan akurat yang diperoleh dari proses yang sistematis dan diverifikasi secara memadai.
Terhadap permasalahan tersebut, BPK telah memberikan rekomendasi kepada Kepala BNPB antara lain agar:
● Memerintahkan Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan bersama-sama dengan Bagian Hukum untuk melakukan pemutakhiran pedoman-pedoman terkait program pengurangan risiko bencana yang sudah ada; membuat payung hukum pedoman penyusunan rencana kontingensi; dan membuat mekanisme sosialisasi produk hukum terkait dengan pengurangan risiko bencana kepada pihak-pihak yang terkait dan melaksanakan monitoring atas pelaksanaannya.
● Menyusun aturan terkait mekanisme penghentian status tanggap darurat dan segera menyosialisasikannya kepada pihak-pihak yang
terkait. ● Memerintahkan Kepala Pusdatinmas untuk melaksanakan verifikasi
dan validasi data kebencanaan dengan BPBD agar data kebencanaan di BNPB sama dengan data di BPBD, menyusun dan melaksanakan sosialisasi SOP dan mekanisme pelaksanaan verifikasi atas data kebencanaan dan melaksanakan monitoring atas pelaksanaan
verifikasi dan validasi data kebencanaan dengan BPBD sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
Hasil pemeriksaan BPK atas program pengurangan risiko bencana pada BNPB mengungkapkan 17 temuan yang memuat 18 permasalahan
ketidakefektifan.
Pemanfaatan Produk Hasil Penelitian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
PEMERIKSAAN atas pemanfaatan produk-produk hasil kegiatan penelitian Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dilaksanakan pada Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (Kementerian ESDM) dan instansi terkait lainnya di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.
Pemeriksaan bertujuan untuk menilai efektivitas capaian kinerja PVMBG
54 IHPS II Tahun 2017
BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sumber daya dan peran PVMBG dalam implementasi mitigasi bencana belum efektif dalam mendukung capaian kinerja PVMBG. Permasalahan yang masih perlu mendapat perhatian yaitu:
● Pos pengamatan gunung api belum didukung sumber daya manusia (SDM) dan peralatan yang memadai. Hal tersebut terlihat dari jumlah
SDM dan peralatan yang dimiliki pada pos pengamatan gunung api yang belum sesuai standar. Hal tersebut dapat mengakibatkan hasil
pengamatan tidak akurat sehingga tidak memadai untuk digunakan sebagai early warning system dalam rangka meminimalkan jumlah
korban jika terjadi bencana. Penyebabnya alokasi anggaran untuk pemenuhan kebutuhan peralatan dan penambahan formasi pegawai dari KemenPAN-RB belum dapat memenuhi jumlah kebutuhan
personel yang standar. ● Skala peta kawasan rawan bencana (KRB) geologi belum dapat
dimanfaatkan secara efektif untuk mitigasi bencana geologi. Skala peta yang dimiliki berkisar 1:100.000-1:250.000, sehingga belum sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 09 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000. Hal tersebut disebabkan keterbatasan SDM dan anggaran, sehingga penyediaan peta pada tingkat ketelitian yang lebih tinggi atau skala yang lebih detil membutuhkan waktu yang sangat lama.
● Koordinasi dan diseminasi produk-produk PVMBG kepada pihak pengguna belum optimal. Berdasarkan hasil pemeriksaan, PVMBG belum melakukan pemetaan dan pemantauan siapa saja dan berapa banyak produk-produk yang dihasilkan telah dimanfaatkan. Selain itu,
koordinasi yang dilakukan dengan pengguna produk-produk PVMBG, seperti BPBD, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pemda, Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR, dan institusi terkait lainnya dilakukan secara sporadis dan parsial per bidang mitigasi bencana di PVMBG, dan melalui grup whatsapp, sehingga sulit dilakukan pemantauan atau evaluasi. Akibatnya, early warning system tidak dapat berjalan untuk meminimalkan jumlah korban atau kerugian
jika terjadi bencana. Hal ini disebabkan sosialisasi dan diseminasi yang dilakukan Badan Geologi belum efektif dalam menyampaikan informasi
yang dibutuhkan oleh pengguna informasi.
IHPS II Tahun 2017 BAB I- Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat
Atas permasalah tersebut Menteri ESDM pada prinsipnya sepakat atas kondisi yang diungkapkan oleh BPK.
BPK telah memberikan rekomendasi agar Menteri ESDM dalam hal ini Kepala Badan Geologi dan jajarannya agar:
● Segera memenuhi kecukupan SDM dan peralatan pos pengamatan
gunung api berdasarkan standar. ● Melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk percepatan
pemenuhan kebijakan satu peta dengan standarisasi pemetaan 1:50.000 serta pembuatan KRB dengan skala yang operasional untuk kebutuhan mitigasi bencana geologi.
● Melakukan koordinasi dengan pengguna produk PVMBG secara lebih intensif dan terstruktur, serta menyusun rencana aksi diseminasi produk-produk tersebut agar lebih dipahami oleh pengguna dan
pemangku kepentingan terkait. Hasil pemeriksaan BPK atas pemanfaatan produk hasil penelitian
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada Kementerian ESDM mengungkapkan 3 temuan yang memuat 3 permasalahan ketidakefektifan.
Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu
IHPS II Tahun 2017 memuat hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) pada pemerintah pusat atas tema: (1) Perekonomian dan Keuangan
Negara, (2) Pendidikan, (3) Mental dan Karakter, dan (4) Ketersediaan Pangan. Pemeriksaan dilakukan atas 32 objek pemeriksaan pada 18 K/L pada pemerintah pusat.
Hasil pemeriksaan DTT pada pemerintah pusat secara umum menyimpulkan rancangan sistem pengendalian intern belum sepenuhnya memadai untuk mencapai tujuan pengendalian dan belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara lebih terperinci, hasil pemeriksaan mengungkapkan 337 temuan yang memuat 548 permasalahan senilai Rp1,47 triliun. Permasalahan tersebut meliputi 156 kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), 361 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
31 permasalahan ekonomis, efisiensi dan efektivitas (3E). Rekapitulasi hasil pemeriksaan DTT pada pemerintah pusat menurut tema pemeriksaan
disajikan pada Lampiran B.2. Sedangkan rekapitulasi per hasil pemeriksaan DTT pada pemerintah pusat selengkapnya disajikan dalam Lampiran 2.1 pada flash disk.
56 IHPS II Tahun 2017
BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat
Perekonomian dan Keuangan Negara
PADA semester II tahun 2017, BPK telah menyampaikan hasil pemeriksaan atas perekonomian dan keuangan negara, khususnya terkait dengan reformasi keuangan negara terhadap 26 objek pemeriksaan di
16 K/L. Hasil PDTT atas bidang reformasi keuangan negara meliputi hasil pemeriksaan atas: (1) penatausahaan piutang, penagihan pajak dan pengelolaan barang sitaan, (2) pengelolaan pendapatan, (3) pengelolaan belanja, (4) pengelolaan aset, (5) pengelolaan keuangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dan (6) penyelenggaraan katalog elektronik.
Penatausahaan Piutang, Penagihan Pajak dan Pengelolaan Barang Sitaan
PADA semester II tahun 2017, BPK telah menyelesaikan pemeriksaan atas penatausahaan piutang, penagihan pajak dan pengelolaan barang sitaan tahun 2016-semester I tahun 2017 pada Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) dan instansi terkait lainnya. Laporan hasil pemeriksaan selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.1 No. 25 pada flash disk.
Untuk melaksanakan pemeriksaan atas penatausahaan piutang, penagihan pajak dan pengelolaan barang sitaan tahun 2016-semester
I tahun 2017, BPK mengirimkan surat permintaan data, informasi dan dokumen pemeriksaan. Menteri Keuangan menerbitkan surat Nomor
SR-493/MK.03/2017 tanggal 2 Oktober 2017 perihal izin memberikan keterangan dan/ atau bukti tertulis. Namun, hingga berakhirnya pemeriksaan lapangan, masih terdapat dokumen pemeriksaan yang belum disampaikan DJP.
Pemeriksaan atas penatausahaan piutang, penagihan pajak, dan pengelolaan barang sitaan bertujuan untuk meyakini bahwa sistem pengendalian intern atas kegiatan penatausahaan piutang, penagihan pajak, dan pengelolaan barang sitaan telah dirancang dan dilaksanakan secara memadai, serta telah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.
Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan DJP dalam melaksanakan penatausahaan piutang pajak, penagihan pajak, dan pengelolaan barang sitaan belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Simpulan tersebut didasarkan atas kelemahan pengendalian intern maupun kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kelemahan tersebut dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
IHPS II Tahun 2017 BAB I- Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat
Sistem Pengendalian Intern
Permasalahan pengendalian intern dalam penatausahaan piutang pajak, penagihan pajak, dan pengelolaan barang sitaan yaitu pelaksanaan kebijakan mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan, SOP belum
disusun/ tidak lengkap, dan lain-lain kelemahan SPI.
Tabel 1.1 Permasalahan Utama Pengendalian Intern atas Penatausahaan Piutang Pajak, Penagihan Pajak, dan Pengelolaan Barang Sitaan
Permasalahan Utama dan Contohnya
Jumlah Permasalahan
Pelaksanaan kebijakan mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan 8 • Piutang pajak 8 wajib pajak (WP) Badan Usaha Tetap sebesar Rp5,24 triliun tidak dapat
tertagih, antara lain karena WP masih berstatus aktif namun sudah tidak melakukan kegiatan di Indonesia, tidak memiliki aset sita, penanggung pajak sudah meninggalkan Indonesia, serta piutang pajak telah daluwarsa.
• DJP belum memaksimalkan tindakan penagihan kepada wajib pajak hingga piutang pajak daluwarsa penagihan sebesar Rp1,93 triliun dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tidak segera melaksanakan tindakan penagihan atas piutang pajak yang telah jatuh tempo dan menjadi prioritas penagihan.
• Surat Ketetapan Pajak (SKP) senilai Rp915,84 miliar kurang memerhatikan potensi WP dan jangka waktu tahun pajak. Akibatnya, piutang pajak berpotensi tidak tertagih.
SOP belum disusun/ tidak lengkap 5 • Piutang pajak kepada Bendaharawan Pemerintah belum dapat ditagih sebesar Rp16,95
miliar, karena belum terdapat ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tindakan penagihan kepada Bendaharawan Pemerintah dengan mempertimbangkan ketentuan mengenai penyelesaian kewajiban bendahara melalui Tuntutan Perbendaharaan.
Lain-lain kelemahan SPI 6 • Sistem Informasi pada Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) masih belum mendukung proses
bisnis kegiatan penagihan pajak, antara lain proses penerbitan surat teguran belum dilakukan secara otomatis, kegiatan pemblokiran belum diakomodasi serta notifikasi dan peringatan terkait dengan jangka waktu penerbitan kegiatan penagihan dan daluwarsa penagihan tidak ada.
• Perencanaan target penerimaan yang berasal dari kegiatan penagihan tidak menggambarkan kondisi sebenarnya, seperti perbedaan nilai target pencairan piutang pajak menurut data distribusi rencana penerimaan yang ditetapkan Dirjen Pajak dengan laporan evaluasi kinerja penagihan. Selain itu, penetapan target tindakan penagihan secara top down dari DJP tidak sesuai dengan kemampuan KPP dalam merealisasikan.