Penanganan Perkara Pengujian Undang-Undang
Penanganan Perkara Pengujian Undang-Undang
PEMERIKSAAN atas penanganan perkara pengujian Undang-Undang (PUU) tahun 2016-triwulan III 2017 dilakukan pada Mahkamah Konstitusi
(MK) di Jakarta. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai efektivitas penanganan undang-undang pada Mahkamah Konstitusi.
Dalam rangka mewujudkan penanganan perkara PUU yang efektif, MK telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung pelayanan publik yang berkualitas, antara lain telah menetapkan Peraturan Mahkamah
Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, dan telah memiliki kelembagaan yang meliputi struktur organisasi dan tata kerja yang memadai dalam mendukung penanganan perkara PUU.
Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa perencanaan, tata kelola pelayanan dan sumber daya pendukung yang ada telah cukup efektif untuk mendukung penanganan perkara PUU. Selain upaya yang telah dilakukan, masih terdapat permasalahan yang perlu mendapat perhatian, antara lain Undang-Undang Mahkamah Konstitusi belum mengatur jangka waktu penyelesaian penanganan perkara PUU, pelaksanaan pemeriksaan pendahuluan masih belum sepenuhnya efektif, dan pengelolaan sumber
daya manusia untuk mendukung kegiatan tersebut belum optimal. Atas permasalahan tersebut BPK memberikan rekomendasi kepada
Sekretaris Jenderal MK agar: ● Mengusulkan revisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang mengatur jangka waktu penanganan perkara PUU dan perpanjangannya.
● Mengoptimalkan hasil pelaksanaan pemeriksaan pendahuluan atas
perkara PUU. ● Mengevaluasi kembali analisis beban kerja sesuai dengan kebutuhan. Hasil pemeriksaan BPK atas penanganan perkara pengujian undang-
undang pada Mahkamah Konstitusi mengungkapkan 13 temuan yang memuat 14 permasalahan ketidakefektifan.
40 IHPS II Tahun 2017
BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat
Perizinan Kapal Perikanan dan Alat Penangkap Ikan
PEMERIKSAAN atas perizinan kapal perikanan dan alat penangkap ikan TA 2015-semester I 2017 dilaksanakan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan
Maluku. Pemeriksaan bertujuan untuk menilai efektivitas atas perizinan kapal perikanan dan alat penangkap ikan.
Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa perizinan kapal perikanan dan alat penangkap ikan yang berfokus pada penghentian sementara ( moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap dan larangan penggunaan alat penangkapan ikan belum efektif. Hal tersebut karena masih ada permasalahan yang memerlukan perhatian yaitu:
● Kebijakan pelarangan alat penangkap ikan (API) berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela (trawl)
dan Pukat Tarik dan penggantinya Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan (API) di Wilayah Pengelolaan Perikanan belum didukung dengan sumber daya dan kelembagaan yang memadai. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui hal-hal sebagai berikut:
Kebijakan pelarangan API belum didukung tim kelompok kerja (pokja) yang memadai karena dibentuk sebelum peraturan menteri
terkait dengan pelarangan API diterbitkan.
optimal karena kebijakan pelarangan API idealnya didukung dengan pedoman teknis sebagai panduan dan acuan bagi pelaksana kebijakan.
memberikan keyakinan bagi tercapainya efektivitas pencapaian tujuan pelarangan API karena berdasarkan analisis dokumen diketahui bahwa KKP tidak membuat konsep dan menyusun rencana pengendalian intern secara memadai pada saat merencanakan
kebijakan pelarangan API untuk mengatasi risiko dampak yang akan ditimbulkan.
Indikator kinerja yang digunakan yaitu nilai tukar nelayan tidak dapat secara langsung digunakan untuk menilai kesejahteraan masyarakat nelayan karena hanya melihat kemampuan daya beli nelayan yang hanya merupakan salah satu komponen untuk menilai kesejahteraan rakyat.
IHPS II Tahun 2017 BAB I- Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat
Perikanan Tangkap, Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan pada beberapa daerah yang dilakukan pemeriksaan belum memadai.
Akibatnya, pelaksanaan dan langkah penyelesaian dampak kebijakan pelarangan API tidak efektif dan berpotensi tidak tepat sasaran sesuai dengan target yang ditetapkan. Hal ini terjadi karena Dirjen Perikanan Tangkap belum membentuk tim pokja secara memadai dan tidak
cermat dalam menentukan indikator kinerja untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Selain itu, Menteri Kelautan dan Perikanan dan gubernur/ bupati/ walikota terkait belum optimal dalam persiapan anggaran dan pembentukan pedoman teknis pendukung
kebijakan pelarangan API. ● Dampak Permen KP Nomor 2 Tahun 2015 sebagaimana diganti
dengan Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 berpotensi memengaruhi kesejahteraan masyarakat nelayan. Penangkapan ikan dengan menggunakan API pukat hela dan pukat tarik, khususnya cantrang mempunyai mata rantai ekonomi yang panjang. Adanya Permen KP Nomor 2 Tahun 2015 telah memberikan ancaman kredit macet dan terganggunya ekonomi sektor perikanan di daerah dominan
cantrang. Dampak pelarangan API cantrang di Provinsi Jawa Tengah antara lain meliputi dampak ekonomi dan dampak sosial, yaitu
hilangnya pendapatan dari usaha secara keseluruhan dan hilangnya mata pencaharian yang menyokong kebutuhan ekonomi keluarga. Akibatnya, adanya potensi penolakan kembali terhadap pelarangan API cantrang melalui kegiatan demonstrasi baik di daerah maupun di pusat maupun potensi menurunnya pendapatan nelayan akibat hasil tangkapan dengan alat pengganti tidak seproduktif cantrang. Selain
itu, juga adanya potensi kehilangan jaringan kerja dan keuangan antara pemilik dan penyedia kebutuhan kapal. Hal ini terjadi karena Menteri Kelautan dan Perikanan dalam mengeluarkan kebijakan Permen KP
Nomor 2 Tahun 2015 sebagaimana diganti dengan Permen KP Nomor
71 Tahun 2016 tidak didukung perencanaan yang memadai. Atas permasalahan tersebut KKP menyatakan antara lain: ● Sumber daya dan kelembagaan telah memadai dibuktikan dengan
adanya penguatan kelembagaan yang telah dilakukan melalui perubahan struktur organisasi lingkup KKP sebelum tahun 2015. Namun demikian, BPK berpendapat agar suatu kebijakan dapat
dilaksanakan secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh dan terkoordinasi untuk mencapai tujuan dan target kebijakan, maka diperlukan pembentukan tim pokja dan pedoman teknis atas pelaksanaan kebijakan yang memadai.
42 IHPS II Tahun 2017
BAB I - Hasil Pemeriksaan Pemerintah Pusat
● Dampak cantrang dalam aspek biologi dan ekologi menimbulkan degradasi sumber daya ikan (SDI) pengoperasian alat penangkapan ikan berbentuk kantong dengan ukuran mata jaring kecil berpotensi ikan anakan ( juvenile) dari spesies bernilai ekonomis tinggi maupun
ikan yang mempunyai nilai penting bagi lingkungan dan berpotensi merusak lingkungan. Dari aspek ekonomi hasil tangkapan berkualitas
rendah dan biaya operasi tinggi, aspek sosial berpotensi menimbulkan konflik antarnelayan dan antaralat tangkap. Namun demikian, BPK tidak sependapat, karena KKP tidak menilai dampak pelarangan API terhadap kesejahteraan masyarakat nelayan dan sektor perikanan lainnya.
Terhadap permasalahan tersebut, BPK telah memberikan rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan antara lain agar:
● Meningkatkan koordinasi dengan gubernur/ bupati/ walikota dalam hal persiapan anggaran dan pembentukan pedoman teknis
untuk mendukung kebijakan pelarangan API serta penggunaan dan pemanfaatan aplikasi sistem informasi pengembangan usaha
penangkapan ikan (PUPI), serta menginstruksikan kepada Dirjen Perikanan Tangkap membentuk tim pokja dengan melibatkan pihak eksternal dan lebih cermat menentukan indikator kinerja untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan.
● Mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dalam penerbitan kebijakan pelarangan API dan membatasi penggunaan API yang
dilarang di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPP NRI).
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan BPK atas perizinan kapal perikanan dan alat penangkap ikan pada KKP mengungkapkan 10 temuan
yang memuat 10 permasalahan ketidakefektifan.