I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Lautan Indonesia dengan luas 5.8 juta km
2
atau 2.3 kali dari luas daratan merupakan lumbung ikan yang cukup potensial jika dikelola dengan baik. Salah
satu jenis ikan hasil lumbung tersebut yang cukup besar produksinya baik dalam bentuk segar maupun olahan adalah ikan tongkol Euthynnus sp.. Berdasarkan
data statistik Ditjen Perikanan Tangkap 2005 produksi ikan tongkol dan hasil olahannya khususnya ikan asap selama lima tahun terakhir 1999-2003 terus
mengalami peningkatan Tabel 1, dengan total produksi masing-masing untuk ikan tongkol segar mencapai 3.785.356 ton dan ikan tongkol asap 1.405.974 ton.
Data tersebut menunjukkan bahwa dari total produksi ikan tongkol, pengasapan termasuk salah satu jenis perlakuan yang cukup banyak dilakukan
masyarakat yaitu sekitar 37. Hal ini cukup beralasan sebab dari jenis-jenis ikan pelagis, cakalang dan tongkol yang paling banyak dibuat ikan asap, dan dari total
produksi segar sebagian besar digunakan oleh masyarakat secara langsung. Tabel 1. Produksi ikan tongkol segar dan olahan
Tahun Produksi Ikan Tongkol ton
Segar Olahan ikan
asap 1999
2000 2001
2002 2003
236.111 250.522
233.051 266.955
267.339 32.753
34.150 33.690
48.587 50.662
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap, 2005.
Ikan tongkol seperti hasil perikanan lainnya termasuk bahan pangan yang sangat cepat membusuk high perishable food. Sebagai bahan pangan yang cepat
rusak, maka kualitas ikan harus dapat dipertahankan semaksimal mungkin hingga sampai ke tangan konsumen. Untuk itu perlu adanya penanganan yang baik serta
pengawetan dan pengolahan menjadi produk yang siap dimakan tetapi daya awetnya lebih lama. Salah satu cara pengolahan yang sudah lama dikenal
masyarakat adalah pengasapan ikan.
Pengasapan merupakan teknik melekatkan dan memasukkan berbagai senyawa kimia asap ke dalam bahan pangan Winarno, 1993. Pengasapan
awalnya bertujuan untuk memperpanjang umur simpan suatu bahan, namun sejalan dengan peningkatan daya terima masyarakat terhadap produk asap maka
tujuan tersebut mulai beralih ke citarasa, yaitu memberi aroma dan cita rasa yang khas dan mencegah ketengikan daging akibat oksidasi lemak.
Pengasapan dapat dilakukan secara tradisional maupun secara modern. Pengasapan tradisonal dapat dilakukan secara dingin dan panas dengan membakar
kayu atau serbuk kayu, dimana ikan yang diasapi kontak langsung dengan asap. Sedangkan pengasapan modern menggunakan asap cair dispersi uap dalam cairan
sebagai hasil kondensasi asap dari pirolisis kayu sebagai media pengasapan. Umumnya masyarakat luas terutama masyarakat pantai melakukan
pengasapan dengan teknik pengasapan tradisonal. Padahal teknik pengasapan ini mempunyai banyak sekali kekurangan, antara lain memerlukan waktu yang lama,
tidak efisien dalam penggunaan kayu bakar, keseragaman produk untuk menghasilkan warna dan flavor yang diinginkan sulit dikontrol, pencemaran
lingkungan, dan yang paling berbahaya adalah adanya residu tar dan senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik Benzoapiren yang terdeposit dalam makanan
sehingga dapat membahayakan kesehatan. Di daerah-daerah penghasil ikan asap, untuk memenuhi sumber asap kayu bakar masyarakat banyak yang menebang
pohon, bahkan bakau yang menjadi pelindung pantai pun tidak luput dari sasaran penebangan. Keadaan ini membuat alternatif penggunaan kayu bakar sudah harus
dipikirkan serta teknik pengasapan sudah saatnya diganti dengan pengasapan modern.
Penggunaan asap cair lebih luas aplikasinya untuk menggantikan pengasapan cara tradisional. Dengan asap cair pemberian aroma asap pada ikan
akan lebih praktis karena hanya dengan menyemprotkan atau mencelupkan ikan tersebut dalam larutan asap cair diikuti dengan pemanasan. Perkembangan asap
cair semakin pesat dalam pengawetan bahan pangan, karena biaya yang dibutuhkan untuk kayu dan peralatan pembuatan asap lebih hemat, komponen
yang berbahaya dapat dipisahkan atau direduksi sebelum digunakan pada
makanan serta komposisi asap cair lebih konsisten untuk pemakaian berulang- ulang Maga, 1988.
Dalam asap kayu terkandung zat antibakteri dan antioksidan yang dapat mengawetkan makanan. Komposisi zat tersebut berbeda-beda tergantung jenis
kayu yang digunakan. Kayu lunak biasanya akan menghasilkan asap dengan kandungan bahan pengawet yang lebih rendah dibanding kayu keras. Penggunaan
kayu keras lebih banyak digunakan oleh masyarakat dalam melakukan pengasapan. Konsekwensinya akan semakin banyak perusakan lingkungan
penebangan liar terutama untuk memenuhi kebutuhan bahan pengasap maupun untuk kebutuhan pengolahan lainnya. Untuk mengatasi masalah ini maka
alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan memanfaatkan limbah pertanian seperti batang ubi kayu dan tempurung kelapa sebagai bahan baku asap cair.
Menurut data statistik Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2004, jumlah produksi ubi kayu 5 tahun terakhir 2000-2004 mengalami peningkatan
Tabel 2 dengan total produksi mencapai 87.727.683 ton. Dengan melihat kecenderungan kenaikan produksi dari tahun ketahun, maka diduga akan semakin
banyak limbah batang ubi kayu yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pengasap cair di tahun-tahun mendatang.
Tabel 2. Produksi ubi kayu di Indonesia selama lima tahun terakhir Tahun Produksi ton
2000 16.089.020 2001 17.054.648
2002 16.913.104 2003 18.473.961
2004 19.196.950
Sumber : Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2004. angka semestara
angka ramalan I.
Beberapa penelitian tentang produksi dan penggunaan asap cair telah dilakukan antara lain penentuan suhu dan waktu pirolisis dari kayu karet untuk
menghasilkan asap cair yang berkualitas Darmaji et al., 2000, penentuan sifat antibakteri asap cair yang diproduksi dari beberapa jenis kayu lunak Darmaji,
1996, pengawetan lidah asap dengan asap cair yang diproduksi dari kayu jati Sari, 2004. Penelitian-penelitian tersebut semuanya memanfaatkan kayu keras
dan kayu lunak secara terpisah. Padahal kayu lunak dengan kandungan lignin yang rendah akan sangat efektif memperpanjang daya awet ikan dan
menghasilkan flavor yang tidak khas Rojum, 1999 jika dikombinasikan dengan kayu lainnya kayu keras.
Dengan melihat potensi dan manfaat dari jenis kayu lunak khususnya batang ubi kayu dan tempurung kelapa yang banyak tersedia sebagai limbah pertanian,
maka perlu dilakukan penelitian peningkatan efektifitas kayu lunak yang dikombinasikan dengan kayu keras sebagai bahan pengasap untuk meningkatkan
kualitas asap cair serta penggunaannya dalam pengawetan ikan tongkol.
1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas asap cair yang dihasilkan dari campuran batang ubi kayu dan tempurung kelapa terhadap
mutu dan daya awet ikan tongkol asap selama penyimpanan pada suhu kamar. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk
1. Mendapatkan suhu pirolisis terbaik dalam produksi asap cair dari campuran batang ubi kayu dan tempurung kelapa.
2. Mempelajari pengaruh konsentrasi asap cair dan waktu perendaman terhadap mutu ikan asap.
3. Mempelajari pengaruh pengemasan terhadap daya awet ikan asap selama penyimpanan pada suhu kamar.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif baru dalam pemanfaatan batang ubi kayu dan tempurung kelapa sebagai bahan baku asap cair
terutama di daerah yang banyak menghasilkan kedua tanaman ini. Dengan demikian diharapkan akan ada usaha baru dalam pemanfaatan batang ubi kayu
dan tempurung kelapa sehingga mengurangi buangan hasil panen dan dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi masyarakat.
II. TINJAUAN PUSTAKA