Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut Asap dengan Kombinasi Bumbu

(1)

APLIKASI ASAP CAIR DALAM PEMBUATAN

FILLET

BELUT ASAP DENGAN KOMBINASI BUMBU

Komalasari

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

KOMALASARI. C34052224. Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut Asap dengan Kombinasi Bumbu. Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan PIPIH SUPTIJAH.

Pengasapan ikan merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mengawetkan ikan agar tahan lama, juga dapat menambah rasa lezat dan memberikan aroma yang khas. Jenis pengasapan yang jarang dan kurang dibudidayakan adalah pengasapan cair. Pengasapan cair adalah jenis pengasapan yang dikembangkan melalui perlakuan kondensat asap cair (Wibowo 2002). Pengasapan ini memiliki kelebihan lain dibandingkan dengan pengasapan tradisional, seperti lebih sehat dan higienis. Sama halnya dengan pengasapan cair, filletbelut asap merupakan produk pengolahan perikanan yang jarang sekali ditemukan. Padahal belut ini memiliki rasa yang lezat dan memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, danbentukfillet akan menghasilkan produk asapan dalam waktu yang lebih cepat dan penampakan belut akan terlihat lebih menarik. Penelitian mengenai fillet belut asap ini bertujuan untuk mengetahu konsentrasi garam terpilih dan konsentrasi asap terpilih yang dikombinasikan dengan bumbu.

Metode penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi garam terpilih yang disukai oleh para panelis. Penentuan konsentrasi garam ini merupakan tahap awal yang sangat penting dalam menghasilkan produk akhir. Hasil penelitian pendahuluan dilanjutkan dengan penelitian utama, yaitu mencari jenis konsentrasi terpilih dari asap cair yang dikombinasikan dengan bumbu. Kombinasi bumbu yang diberikan terdiri dari asam dan jahe, cengkeh dan kayu manis. Kombinasi bumbu ini digunakan karena keempatnya merupakan jenis rempah-rempah yang mempunyai kelebihan lebih dibandingkan jenis rempah-rempah lainnya, seperti memiliki aktivitas sporastatik pada jahe. Tahap penentuan konsentrasi asap cair terpilih, dan juga kombinasi bumbu terpilih ditentukan melalui pengujian sensori. Hasil yang terpilih selanjutnya akan dilakukan uji

mikrobiologi (TPC), uji proksimat (kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar air), kadar garam dan kadar abu tak larut asam.

Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan, garam dengan konsentrasi 9 % pada filletbelut asap merupakan perlakuan yang paling banyak diminati oleh panelis, baik itu dari rasa, tekstur, penampakan dan juga warna. Walaupun begitu, tidak semua parameter menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap perlakuan yang dilakukan. Dari lima parameter, hanya penampakan, tekstur dan rasa yang sangat berpengaruh terhadap produk. Selanjutnya perlakuan garam 9 % ini digunakan dalam penelitian utama, yaitu dengan penambahan bumbu dan konsentrasi asap yang berbeda. Bumbu yang ditambahkan terdiri dari kombinasi jahe dan asam, cengkeh dan kayu manis. Sedangkan konsentrasi asap yang digunakan adalah sebesar 0 %, 6 % dan 12 %. Dari uji sensori yang dilakukan, panelis lebih menyukai produk dengan penambahan bumbu kombinasi bumbu dengan asap dibandingkan dengan produk yang hanya diberi penambahan asap cair.

Fillet belut asap dengan bumbu jahe dan asam, serta konsentrasi asap 6 % merupakan produk yang paling banyak disukai panelis. Produk yang paling disukai ini memiliki jumlah bakteri yang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Jumlah bakterinya adalah sebesar 2,6 x 103 . Nilai uji proksimat pada produk terpilih cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Salah satu contohnya adalah kadar air produk terpilih memiliki nilai sebesar 26,68 % dan nilai kadar proteinnya adalah 52,40 %. Bahan pengotor pada produk juga relatif kecil yaitu sebesar 0,28 %.


(3)

APLIKASI ASAP CAIR DALAM PEMBUATAN

FILLET

BELUT ASAP DENGAN KOMBINASI BUMBU

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Petanian Bogor

KOMALASARI

C34052224

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

Nama : Komalasari

NRP : C34052224

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

(Ir. Djoko Poernomo, B. Sc) (Dra. Pipih Suptijah, MBA) NIP 19580419 198303 1 001 NIP 19531020 198503 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

(Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M. Phil) NIP 19580511 198503 1 002


(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut Asap dengan Kombinasi Bumbu” adalah benar karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada daftar pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Maret 2010

Komalasari C34052224


(6)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat meyelesaikan tugas akhir. Tugas akhir ini mengambil judul ”Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan FilletBelut Asap dengan Kombinasi Bumbu” yang merupakan suatu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis megucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, terutama kepada:

1. Bapak Ir. Djoko Poernomo, B. Sc dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan tugas akhir ini.

2. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., M. Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

3. Bapak Ir. Dadi R. Sukarsa sebagai dosen penguji.

4. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan doa dan dorongan penuh untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Staf dosen dan administrasi Teknologi Hasil Perairan.

6. Laboran, teman-teman dan kakak kelas penunggu Laboratorium Pengolahan, terima kasih banyak atas bantuannya

7. Kakak-kakakku (Evi, Eva dan Abdul), serta adik-adikku tercinta (Pai dan Farhan) yang tak henti-hentinya meyokong dan memberikan semangat.

8. Nenek, paman, bibi dan seluruh keluarga besar Bapak Ardi terima kasih atas semua doa dan bantuannya.

9. Teman-teman seperjuangan dalam penelitian produk (Vivit, Uut, Pril, Martca, Mirza dan Binyo) yang telah membantu dan saling mendukung.

10. Seluruh THP 42 yang saling memberi dukungan satu sama lain.

11. Semua penghuni Perwira 100 (khususnya Cikun, Nux-nux, Phite, Dini, Galih, Ian, Duma, Wina, Juon, Sofi), terima kasih untuk selalu menemani dan mewarnai hari-hariku.


(7)

vi

vi

12. Diah, Eka, Nursih, Qori, Yayuk, PPIJ, Qiqi, Indah, Haru, Melda dan Miranti, terima kasih atas dukungan dan keceriaannya.

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang selalu memberikan doa dan perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, 10 Maret 2010


(8)

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 30 September 1987. Penulis merupakan anak keenam dari

sembilan bersaudara yang merupakan anak dari pasangan Bapak Pipin Arifin dan Ibu Hj. Romlah. Penulis telah menyelesaikan pendidikan di SDN Waluya II dan melanjutkan pendidikannya di SLTP Islam Cipasung. Pada tahun 2005, penulis menyelesaikan pendidikannya di SMAN 1 Cikarang Utara, kemudian

melanjutkan pendidikannya di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi dan kepanitiaan. Organisasi yang pernah diikuti penulis antara lain: Pengurus Himpunan Mahasiswa Hasil Perairan (HIMASILKAN) periode 2006-2007, Aquaculture Product Science Club (APSC) yang merupakan klub milik Himpunan Mahasiswa Hasil Perairan (HIMASILKAN) pada periode 2006-2007. Kegiatan kepanitiaan yang pernah diikuti antara lain, panitia Gemar Makan Ikan (GMI) tahun 2007, panitia Bina Desa dan kegiatan kemahasiswaan lain yang berada di lingkungan Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah tercatat sebagai asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Tradisional Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen

Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi

dengan judul “Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut Asap dengan

Kombinasi Bumbu” dibawah bimbingan Ir. Djoko Poernomo, B. Sc dan Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN………...xii

1 PENDAHULUAN………...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Tujuan ... 2

2 TINJAUAN PUSTAKA………..3

2.1 Belut ... 3

2.2 FilletBelut Asap ... 5

2.3 Pengasapan... 6

2.4 Asap Cair... 7

2.5 Penggaraman ... 8

2.6 Bumbu dan Garam ... 9

2.6.1 Garam ... 9

2.6.2 Jahe (Zingiber officinale Roscoe) ... 10

2.6.3 Asam jawa (Tamarindus indica, L) ... 10

2.6.4 Cengkeh (Syzygium aromaticum) ... 10

2.6.5 Kayu manis ... 11

3. METODOLOGI... 12

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ... 12

3.2 Alat dan Bahan... 12

3.3 Metode Penelitian... 12

3.3.1 Penelitian pendahuluan... 12

3.3.2 Penelitian utama... 15

3.4 Metode Analisis ... 16

3.4.1 Uji sensori (Soekarto 1985) ... 16

3.4.2 Uji proksimat ... 18

3.4.3 Uji mikrobiologi (Total Plate Count) (Fardiaz 1989) ... 20

3.4.4 Kadar garam (Apriyantono et. al1989)... 22

3.4.5 Kadar abu tak larut asam (Apriyantono et. al1989) ... 22

4. HASIL DAN PEMBAHASAN... 23


(10)

ix

4.1.1 Penampakan... 23

4.1.2 Warna... 24

4.1.3 Aroma ... 25

4.1.4 Tekstur ... 26

4.1.5 Rasa... 27

4.2 Penelitian Utama ... 28

4.2.1 Uji sensori... 28

4.2.2 Uji proksimat ... 35

4.2.3 Uji mikrobiologi (Total Plate Count) ... 41

4.2.4 Uji kadar garam ... 43

4.2.5 Uji kadar abu tak larut asam ... 44

5. KESIMPULAN DAN SARAN... 45

5.1 Kesimpulan ... 45

5.2 Saran... 45

DAFTAR PUSTAKA... 46


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kandungan gizi belut………...5 2. Formulasi bumbu...……….15 2. Hasil uji Total Plate Count(TPC) filletbelut asap (koloni/gr)..………42


(12)

Nomor Halaman

1. Belut ... 4

2. Diagram alir tahap awal, proses pembuatan filletbelut asap ... 14

3. Diagram alir proses pembuatan filletbelut asap ... 16

4. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan filletbelut asap... 23

5. Diagram batang nilai rata-rata sensori warna filletbelut asap ... 24

6. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma filletbelut asap ... 26

7. Diagram batang nilai rata-rata sensori tekstur filletbelut asap ... 26

8. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa filletbelut asap ... 27

9. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan filletbelut asap... 29

10. Diagram batang nilai rata-rata sensori warna filletbelut asap ... 30

11. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma filletbelut asap... 32

12. Diagram batang nilai rata-rata sensori tekstur filletbelut asap ... 33

13. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa filletbelut asap ... 34

14. Diagram batang nilai kadar air filletbelut asap ... 36

15. Diagram batang nilai kadar protein filletbelut asap ... 37

16. Diagram batang nilai kadar lemak filletbelut asap ... 39

17. Diagram batang nilai kadar abu filletbelut asap ... 40

18. Diagram batang nilai kadar karbohidrat filletbelut asap ... 41

19. Diagram batang nilai kadar garam filletbelut asap... 43


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Standar Mutu ikan asap (SNI 1992)... 51

2. Lembar penilaian uji sensori filletbelut asap... 52

3. Rekapitulasi data uji sensori pada penelitian pendahuluan... 53

4. Uji Kruskall-Wallisterhadap penampakan, tekstur, aroma dan rasa filletbelut asap dengan perlakuan perbedaan konsentrasi garam ... 56

5a. Analisis ragam penampakan, tekstur dan rasa filletbelut asap dengan perlakuan perbedaan konsentrasi garam ... 57

5b. Hasil uji lanjut Tukey sensori filletbelut asap ... 57

6. Lembar penilaian uji sensori filletbelut asap... 60

7. Rekapitulasi data uji sensori pada penelitian utama ... 61

8. Uji Kruskall-Wallisterhadap penampakan, tekstur, aroma dan rasa filletbelut asap dengan perlakuan perbedaan konsentrasi asap cair dengan kombinasi bumbu... 67

9a. Analisis ragam tekstur, penampakan, dan rasa filletbelut asap dengan perlakuan perbedaan konsentrasi asap cair dengan kombinasi bumbu ... 69

9b. Hasil uji lanjut Tukey sensori filletbelut asap ... 69

10. Data kadar air ... 75

11. Data kadar protein ... 75

12. Data kadar lemak... 75

13. Data kadar abu... 75

14. Data kadar karbohidrat... 75

15. Data uji TPC... 76

16. Data kadar garam ... 76


(14)

1.1 Latar Belakang

Pengawetan merupakan salah satu usaha yang dilakukan manusia untuk tetap mempertahankan persediaan bahan makanan. Tujuan awal dari pengawetan adalah mengawetkan makanan sebanyak-banyaknya untuk persediaan makanan. Seiring dengan perkembangan teknologi, tujuan dari pengawetan tidak hanya sekedar memperhatikan persediaan makanan tetapi juga memperhatikan mutu, cita rasa, kebersihan, keaslian, penampakan dan gizi (Moeljanto 1992). Salah satu jenis pengawetan yang telah banyak dilakukan adalah pengasapan ikan.

Pengasapan ikan merupakan salah satu bentuk pengolahan hasil perikanan yang telah lama dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Pengasapan ikan ini dilakukan untuk mendapatkan ikan dengan rasa, aroma, dan warna yang khas. Proses pengasapan dapat dilakukan melalui kontak dengan aerosol dalam ruang pengasapan (cara tradisional), pengasapan elektrostatik, dan melalui perlakuan kondensat asap cair (Wibowo 2002).

Proses pengasapan yang banyak dilakukan di Indonesia adalah pengasapan secara tradisional. Pengasapan ini menggunakan peralatan sederhana serta kurang memperhatikan aspek sanitasi dan higienitas, sehingga berdampak pada kesehatan lingkungan. Kelemahan lain pengasapan secara tradisional adalah penampakan ikan yang kurang menarik, sulit mengontrol suhu dan juga dapat menghasilkan senyawa karsinogenik. Senyawa karsinogenik ini bersifat racun dan dapat mengganggu kesehatan tubuh. Untuk mengurangi kelemahan dari pengasapan secara tradisional tersebut dikembangkan pengasapan melalui perlakuan kondensat asap cair (Fronthea 2008 dalamArdhi 2009).

Asap cair memiliki kelebihan antara lain mudah diaplikasikan, produk yang dihasilkan mempunyai penampakan seragam, ramah lingkungan, dan konsentrasi asap yang mempunyai pengaruh pada rasa ikan yang dihasilkan. Pemanfaatan teknologi dengan metode ini merupakan salah satu peluang menjanjikan pada proses pengolahan ikan asap, mengingat ekspor produksi ikan asap terus mengalami peningkatan. Peningkatan ini dapat dilihat dari


(15)

2

2000 menjadi 88.690 ton pada 2005. Pengakuan dunia terhadap produk ikan asap telah dibuktikan dengan diselenggarakannya Forum Codex Committee on Fish and Fishery Products di Beijing, China, pada 18-22 September 2006. Forum tersebut membahas standar mutu produk secara internasional (Fronthea 2008 dalamArdhi 2009).

Penggunaan asap cair sebagai flavor sudah mulai dirintis di Indonesia dengan melakukan penelitian-penelitian yang diadakan oleh berbagai perguruan tinggi maupun balai penelitian. Salah satu contoh penelitian yang telah dilakukan adalah aplikasi asap cair dalam pembuatan belut asap. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa panelis menyukai belut asap dan juga kadar benzopirene pada produk lebih rendah dibandingkan dengan produk asap tradisional (Febriani 2006). Pembuatan belut asap yang telah dilakukan memerlukan waktu yang lama yaitu 8 jam dan konsentrasi asap cair yang lebih dari 10 %. Selain itu penampakan yang dihasilkan juga kurang menarik. Untuk menutupi kekurangan dari belut asap, maka aplikasi asap cair dalam pembuatan fillet belut asap pantas dilakukan. Selain dapat memperbaiki penampakan, fillet belut asap juga dapat diproduksi lebih cepat dibandingkan dengan belut asap.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk memanfaatkan asap cair dalam pembuatan fillet belut asap dan menentukan konsentrasi garam terbaik dalam pembuatan fillet belut asap, serta konsentrasi asap terpilih yang dikombinasikan dengan bumbu.


(16)

2.1 Belut

Belut adalah sekelompok ikan berbentuk mirip ular yang termasuk dalam suku Synbranchidae. Suku ini terdiri dari empat genera dengan total 20 jenis. Jenis-jenisnya banyak yang belum diberikan dengan lengkap sehingga angka-angka itu dapat berubah. Anggotanya bersifat pantropis (ditemukan di semua daerah tropika) (Anonim 2009).

Klasifikasi belut adalah sebagai berikut (Suwignyo 1989):

Filum : Chordata

Kelas : Actinopterygii Ordo : Synbranchiformes Subordo : Synbranchoidei Family : Synbranchidae

Genus :Monopterus

Species : Monopterus albus

Belut berbeda dengan sidat. Sidat memiliki sirip dada, punggung, dan sirip dubur yang sempurna. Sidat memliki sisik-sisik kecil yang berkumpul dalam kumpulan kecil yang masing-masing kumpulan terletak miring pada sudut siku terhadap kumpulan-kumpulan di sampingnya. Perbedaan belut dengan sidat adalah belut tidak memiliki sirip, kecuali sirip ekor yang juga tereduksi. Ciri khas belut yang lain adalah tidak bersisik (atau hanya sedikit), dapat bernafas dari udara, bukaan insang sempit, tidak memiliki kantung renang dan tulang rusuk. Belut praktis merupakan hewan air darat, sementara kebanyakan sidat hidup di laut meski ada pula yang di air tawar (Sarwono 2005). Morfologi dari belut dapat dilihat pada Gambar 1.


(17)

4

Gambar 1. Belut

(Sumber: http://hobiikan.blogspot.com/2009/budidaya-belut.html)

Siklus hidup belut yang berada di lumpur menyebabkan bau lumpur, sehingga akan mempengaruhi produk olahan ikan ini. Untuk menghilangkan bau lumpur, maka perut belut harus dikosongkan dengan membiarkannya berada

dalam air bersih yang mengalir selama satu hari (Peranginangin dan Yunizal 1992).

Penanganan belut yang dimatikan dengan cara dipukul bagian kepalanya akan memiliki keadaan daging yang kenyal daripada dimatikan dengan penambahan konsentrasi garam 3 %. Belut dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir dan mengangkat lendir yang masih terikat pada kulit. Untuk membersihkan lendir pada belut membutuhkan tiga kali pemberian abu gosok (Rusiana 1988). Cara lain dalam menghilang lendir pada belut adalah dengan menetesinya dengan air jeruk yang selanjutnya belut tersebut dicuci bersih (Sarwono 2003).

Produk dapat diolah menjadi berbagai macam masakan seperti belut goreng dan belut asap karena memiliki rasa yang lezat dan memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Kandungan gizi belut dapat dilihat pada Tabel 1.


(18)

Tabel 1. Kandungan gizi belut

Zat gizi Kandungan gizi per 100 g daging

Kalori 303 kal

Protein 14,0 g

Lemak 27,0 g

Karbohidrat 0 g

Fosfor 200 mg

Kalsium 20 mg

Zat besi 1,0 mg

Vitamin A 1.600 S.I.

Vitamin B1 0,10 mg

Vitamin C 2 mg

Air 58,0 g

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1989)

2.2 FilletBelut Asap

Fillet adalah bagian daging ikan yang diperoleh dengan penyayatan ikan utuh sepanjang tulang belakang dimulai dari belakang kepala hingga mendekati bagian ekor. Pengolahan fillet ini pada umumnya dilakukan untuk menambah harga jual. Pengolahan fillet harus dilakukan dengan cepat dan cermat untuk menghindari pembusukan, pencemaran dan cacat akibat kecerobohan yang dapat berpengaruh buruk terhadap produk. Suhu dan kebersihan dari fillet juga harus diperhatikan karena fillet ikan sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri penyebab pembusukan maupun bakteri patogenik yang sukar dihilangkan dengan cara-cara biasa karena kontaminan dapat mudah menyusup ke dalam jaringan otot daging yang telah terbuka dari pada ikan utuh.

Filletbelut asap merupakan bagian daging belut yang telah dibuang bagian kepala, ekor dan tulangnya. Daging filletbelut tersebut diolah lebih lanjut dengan pengasapan. Pengasapan ini merupakan kombinasi perlakuan penggaraman, pengeringan, dan pelekatan komponen asap pada ikan. Proses pengasapan terdiri dari beberapa langkah yaitu preparasi, penggaraman, pengasapan serta penyimpanan (Hilderbrand 2003).


(19)

6

Filletbelut asap akan memiliki kelebihan dibandingkan dengan belut asap yang disajikan secara utuh. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, belut asap utuh membutuhkan waktu pengasapan lebih lama yaitu 8 jam dan juga membutuhkan konsentrasi asap cair yang lebih banyak. Selain itu, penampakan dari belut asap tersebut kurang menarik karena bentuk belut yang pada dasarnya mirip seperti ular. Warna yang dihasilkan dari belut asap utuh terlihat lebih hitam karena waktu pengasapannya membutuhkan waktu yang lama (Febriani 2006).

2.3 Pengasapan

Pengasapan adalah suatu proses penarikan air dan pengendapan berbagai senyawa kimia pengawet yang berasal dari asap. Tujuan pengasapan yang utama adalah melakukan penetrasi dan deposit asap yang sesuai dalam waktu yang lama, sehingga proses pembusukan makanan akibat aktivitas bakteri dan enzim dapat dihambat (Ojeda et al. 2002). Tujuan lain dari pengasapan adalah untuk mengawetkan dan memberikan warna, serta rasa yang khas pada ikan (Moeljanto 1982).

Pengasapan ini merupakan kombinasi perlakuan penggaraman, pengeringan, dan pelekatan komponen asap pada ikan. Proses pengasapan terdiri dari beberapa langkah yaitu preparasi, penggaraman, pengasapan serta penyimpanan. Pengasapan tidak akan meningkatkan kualitas ikan, namun hanya akan menutupi kondisi tertentu yang akan muncul yang dapat menimbulkan masalah keamanan pangan (Hilderbrand 2003). Teknik pengasapan ini telah digunakan sebagai metode pengawetan ikan dan daging. Pengasapan memberikan makanan berprotein tinggi dengan komponen aromatiknya yang dapat memberikan flavor dan warna, berperan sebagai bakteriostatik dan antioksidan (Horner 1992 dalamHattula et al.2001).

Pada dasarnya ada dua jenis pengasapan, yaitu pengasapan panas dan pengasapan dingin, tergantung dari jumlah panas yang digunakan. Selain itu berkembang pula cara pengasapan yang tergolong baru, yaitu pengasapan elektrik

dan pengasapan likuid, yaitu metode pengasapan dengan asap cair (Wibowo 2002).


(20)

2.4 Asap Cair

Asap cair merupakan cairan dispersi uap asap dalam air, atau cairan hasil kondensasi dari pirolisa kayu, tempurung kelapa, atau bahan sejenis. Pirolisis adalah proses pemanasan atau destilasi kering suatu bahan, sehingga menghasilkan asap yang jika dikondensasi akan menghasilkan asap cair yang memiliki sifat spesifik asap. Singkatnya, asap cair merupakan asam cuka (vinegar) kayu yang diperoleh dari destilasi kering kayu (Girard 1992 dalam

Prananta 2008). Aplikasi asap cair dapat dilakukan dengan penyemprotan (air spray), penguapan (vaporing), pengolesan, dan pencelupan atau pencampuran

ke dalam bahan pangan yang diproses (Girard 1991dalamOjeda et al.2002). Asap cair memiliki sifat antioksidatif dan bisa digolongkan sebagai antioksidan alami. Komponen antioksidatif dalam asap cair umumnya merupakan senyawa fenol 2,10 % sampai 5,13 %. Fenol yang terdapat pada asap memiliki sifat bakteriostatis yang tinggi sehingga menyebabkan bakteri tidak berkembang biak. Senyawa fenol juga dapat bertindak sebagai termination radikal bebas pada reaksi oksidasi. Fenol dengan titik didih lebih menunjukkan sifat antioksidatif yang lebih baik jika dibandingkan dengan senyawa fenol bertitik didih rendah. Selain fenol, asap juga memiliki kandungan formaldehid yang bersifat fungisidal. Komponen-komponen asap lain, seperti alkohol dan asam-asam organik juga memiliki sifat bekterisidal meskipun sangat kecil. Ketiga komponen asap ini, ditambah dengan asap lain dan proses pemanasan, berperan sebagai pengawet (Wibowo 2002).

Asap cair memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan pangan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Asap cair yang dihasilkan di Indonesia biasanya berasal dari tempurung kelapa. Pirolisis tempurung kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13 %, karbonil 11,3 % dan asam 10,2 % (Darmadji et al. 1992 dalam Prananta 2008). Adapun komponen–komponen penyusun asap cair meliputi:

1) Senyawa–senyawa fenol (Pearson et al.1996 dalamCoronado et al.2002) Senyawa fenol diduga berperan sebagai antioksidan sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk asap. Kandungan senyawa fenol dalam asap tergantung pada temperatur pirolisis kayu. Kuantitas fenol pada kayu sangat


(21)

8

bervariasi yaitu antara (10-200) mg/kg. Beberapa jenis fenol yang biasanya terdapat pada produk asap adalah guaiakol dan siringol.

2) Senyawa–senyawa karbonil

Senyawa–senyawa karbonil dalam asap memiliki peranan pada pewarnaan dan cita rasa produk asap. Golongan senyawa ini mempunyai aroma seperti karamel yang unik. Jenis senyawa karbonil yang terdapat dalam asap cair antara lain vanilin dan siringaldehid.

3) Senyawa–senyawa asam (Pearson et al.1996 dalamCoronado et al.2002) Senyawa–senyawa asam mempunyai peranan sebagai antimikroba dan membentuk cita rasa produk asap. Senyawa asam ini antara lain adalah asam asetat, propionat, butirat dan valerat.

4) Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (Hattula et al.2001)

Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis dapat terbentuk pada pirolisis kayu. Pembentukan berbagai senyawa ini tergantung dari beberapa hal, yaitu temperatur pirolisis, waktu dan kelembaban udara pada proses pembuatan asap serta kandungan udara dalam kayu. Kadar HPA ini dapat dikurangi dengan proses pengendapan dan penyaringan.

5) Senyawa benzo(a)pirena (Darmadji et al.1992 dalamPrananta 2008)

Senyawa benzo(a)pirena mempunyai titik didih 310 oC dan dapat menyebabkan kanker kulit jika dioleskan secara langsung pada permukaan kulit. Akan tetapi proses terjadinya memerlukan waktu yang lama.

2.5 Penggaraman

Penggaraman dilakukan untuk mengurangi kadar air dalam badan ikan sampai titik tertentu sehingga bakteri tidak dapat hidup dan berkembang lagi. Selama proses penggaraman terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan karena adanya perbedaan konsentrasi. Cairan ini dengan cepat akan melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel garam memasuki tubuh ikan. Lama kelamaan kecepatan proses pertukaran garam dan cairan tersebut semakin lambat, dengan menurunnya konsentrasi garam di luar tubuh ikan dan meningkatnya konsentrasi garam di dalam tubuh ikan. Selanjutnya pertukaran garam dan cairan tersebut terhenti sama sekali setelah terjadi


(22)

keseimbangan konsentrasi garam di dalam tubuh ikan dengan lingkungannya. Pada saat itulah terjadi pengentalan cairan tubuh yang tersisa dan penggumpalan protein serta pengerutan sel-sel tubuh ikan sehingga sifat daging ikan berubah (Afrianto dan Liviawaty 1989).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan penetrasi garam ke dalam tubuh ikan, yaitu kemurnian garam, kadar lemak ikan, ketebalan daging ikan, kesegaran ikan, suhu dan konsentrasi larutan garam (Afrianto dan Liviawaty 1989). Konsentarsi garam yang tinggi dan perendaman yang terlalu lama dapat menyebabkan kerusakan pada kandungan zat nitrogen. Penggaraman yang baik dapat dilakukan dengan perendaman yang singkat serta melakukan pencucian untuk menghilangkan sisa garam, mencegah kristalisasi di lapisan permukaan dan kerusakan penampakan produk (Zaitsev et al.1969).

2.6 Bumbu dan Garam

Rempah–rempah atau bumbu adalah sejenis tanaman atau sayuran maupun gabungan keduanya dalam bentuk pohon secara keseluruhan atau dalam bentuk bagian–bagian pohon. Rempah–rempah biasa digunakan sebagai pemberi rasa, aroma, rasa pedas dan sebagai pengawet pada masakan–masakan berbumbu. Selain itu rempah–rempah biasa digunakan sebagai obat–obatan, wangi–wangian, kosmetik dan jenis industri lainnya. Pada industri pengolahan pangan, penambahan bumbu terutama bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dari produk yang dihasilkan dan dapat bertindak sebagai pengawet alami (Zaitsev et al.1969). 2.6.1 Garam

Komposisi natrium klorida terdiri atas 39,39 % Na dan 60,61 % Cl. Warnanya putih, tidak berbau, kristal berbentuk kubus. Pada kondisi yang normal garam tidak mengandung air, tetapi pada suhu -12 oC kristalnya berbentuk prisma dengan rumus NaCl.2H2O (Zaitsev et al.1969).

Garam bukan antiseptik, bahkan hampir semua mikroorganisme memerlukannya dalam konsentrasi yang rendah. Garam yang mempunyai kadar NaCl tinggi mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme serta menurunkan daya larut O2 dari udara, sehingga dalam jaringan daging ikan

jumlah O2 menurun dan menghambat perkembangan mikroorganisme aerob


(23)

10

Garam digunakan sebagai bumbu dan juga bertindak sebagai daya pengawet. Garam memiliki sifat yang dapat menarik air dari dalam bahan

sekaligus cairan sel mikroba sehingga terjadi plasmolisis pada mikroba, serta mencegah terjadinya reaksi autolisis dan membunuh bakteri yang terdapat dalam daging (Afrianto dan Liviawaty 1989). Mikroorganisme patogen, termasuk Clostridium botulinumdapat dihambat oleh konsentrasi garam 10 % sampai 12 % (Buckle et al. 1985). Pertumbuhan kapang dan bakteri dapat dihambat dengan konsentrasi garam pada produk sekitar 8 % sampai 10 %. Perendaman di dalam larutan garam akan memberi garam yang lebih rata dibandingkan penggaraman kering (Hilderbrand 2003). Penambahan garam sebaiknya diberikan dalam jumlah kecil sehingga tidak berakibat negatif pada kesehatan (Opstvedt 1988).

2.6.2 Jahe (Zingiber officinale Roscoe)

Tanaman jahe termasuk kedalam famili zingiberaceae (Farell 1990). Rimpang jahe pada umumnya mengandung minyak atsiri atau ginger oil sebanyak 0,25 % sampai 3,3 %. Minyak atsiri jahe terdiri dari komponen bioaktif zingiberen, kurkumin dan felandren. Oleoresin jahe mengandung gingerol, shogaol, resin dan zingerol yang dapat menghasilkan rasa pedas pada jahe. Senyawa zingerol dan gingerol pada jahe, telah dibuktikan mempunyai aktivitas sporostatik terhadap Bacillus subtilis pada konsentrasi 0,6, 0,9, dan 1,0 (%) (Al-Khayat dan Blank 1985).

2.6.3 Asam jawa (Tamarindus indica, L. )

Asam Jawa (Tamarindus indica, L. ) dapat menghambat pertumbuhan bakteri proteolitik dan pembusuk, dapat menambah cita rasa, mengurangi rasa manis, serta menaikkan rasa asin. Asam mengandung asam sitrat, asam tartrat, asam askorbat dan asam-asam organik. Adanya asam-asam organik ini maka dapat mengurangi lemak berlebihan (Winarno et al. 1980).

2.6.4 Cengkeh (Syzygium aromaticum)

Tanaman cengkeh tergolong kedalam famili Myrtaceae. Cengkeh yang digunakan sebagai rempah-rempah merupakan kuncup bunga tertutup pohon Syzygium aromaticum, yang dipetik dari pohon pada saat dasar kuncup berubah warna menjadi merah (Farell 1990).


(24)

Minyak essensial cengkeh berjumlah sekitar 17 % dan 83 % adalah euganol. Euganol berwarna kuning pucat dan bening, berbau aromatik dan pedas.

Komposisi organik lainnya adalah eiganol asetat, carryophilen, metil-n-amil karbinol, metil-n-heptil karbinol, metil-n-heptil keton, metil benzoat,

benzil alkohol, furfuril alkohol dan vanilin (Parry 1969). 2.6.5 Kayu manis

Kayu manis atau Cinnamomun burmanni banyak dimanfaatkan ibu-ibu rumah tangga sebagai bumbu dapur dan bahan pembuatan jamu. Aromanya yang harum menyengat, serta rasanya manis sangat cocok sekali buat campuran kue dan cake. Kayu berkulit kasar ini tersusun dari senyawa sinamaldehid. Sinamaldehid merupakan turunan dari senyawa fenol. Di dunia kedokteran, senyawa sinamaldehid diketahui memiliki sifat anti-agregasi platelet dan sebagai vasodilator secara in vitro. Platelet adalah kolesterol yang menempel pada pembuluh darah. Agregasi (pengumpulan) platelet menyebabkan terjadinya asterosklerosis atau lemak mengeras di pembuluh arteri pada makhluk hidup (Fauzan 2008).


(25)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

Penelitian mengenai ”Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut Asap dengan Kombinasi Bumbu” dilakukan pada bulan Agustus 2009– Januari 2010 yang bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Sensori, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven, pisau, talenan, baskom, timbangan. Alat untuk analisis antara lain cawan porselen, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, timbangan analitik, pipet, buret, desikator, soxhlet, kjeldahl sistem, penjepit dan mortar.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain belut yang berasal dari pasar Cikarang. Belut yang didapatkan tersebut masih dalam keadaan hidup. Sebelum belut diolah, belut tersebut dimasukkan dalam bak besar dan airnya diganti setiap 2 jam agar tetap bersih. Bahan yang digunakan selanjutnya adalah asap cair komersil “Deogreen” yang didapatkan dari agen asap cair Jakarta. Bahan lainnya yaitu jahe, asam, cengkeh, kayu manis dan es didapatkan dari Agrilestari, kawasan kampus IPB. Bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis antara lain K2SO4, HgO, NaOH, H3BO3, H2SO4pekat, akuades, HCl, NaCl.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian tahap pertama atau penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi garam yang paling disukai oleh panelis. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut: belut yang masih hidup dimatikan terlebih dahulu dengan menggunakan garam. Garam dimasukkan ke dalam bak yang berisi belut. Penaburan garam tersebut berlangsung selama (15-30) menit.


(26)

Konsentrasi garam yang digunakan adalah sebesar 3 %, berdasarkan b/b (Rusiana 1988). Belut yang telah mati dipreparasi dengan membuang isi perutnya dan menggosokkan abu gosok untuk menghilangkan lendir. Setelah isi perut dan lendir dihilangkan, belut dicuci sampai bersih. Daging belut dipisahkan dari tulangnya, dan dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan garam (wet salting). Penggaraman ini dilakukan berdasarkan b/v dengan berat fillet yang digunakan yaitu 300 gram dan konsentrasi garam yang berbeda-beda yaitu 0 %, 3 %, 6 % dan 9 %. Penggunaan konsentrasi garam ini ditentukan berdasarkan bentuk fillet yang digunakan, karena pada penelitian tentang belut asap utuh yang memiliki

ukuran lebih besar membutuhkan konsentrasi garam sebesar 10 % (Febriani 2006). Rentang konsentrasi garam sebesar 0 % sampai 9 % digunakan

sebagai uji coba (trial and error) untuk dapat menghasilkan rasa ikan asap yang dapat disukai oleh panelis. Selain itu, batas konsentrasi garam yang tidak terlalu tinggi ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan (Opstvedt 1988). Penggaraman dilakukan selama 15 menit. Setelah dilakukan penggaraman, daging belut tersebut ditiriskan selama 10 menit. Selanjutnya daging tersebut direndam dalam asap cair selama 30 menit dan ditiriskan selama 10 menit. Proses selanjutnya, daging belut tersebut dioven dengan suhu 100 oC selama 40 menit. Penggunaan suhu dan waktu pengovenan berdasarkan trial and error yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan waktu 30 menit, 40 menit dan 60 menit. Pengovenan dengan suhu 100 oC selama 40 menit menghasilkan produk asap dengan tekstur yang lebih baik, yaitu teksturnya tidak terlalu keras dan juga tidak terlalu lembek. Setelah warna dari filletbelut berubah

menjadi cokelat keemasan, fillet belut asap tersebut diuji secara sensori. Uji sensori ini dilakukan untuk menentukan rasa dari konsentrasi garam yang

paling disukai oleh panelis. Pengujian sensori yang dilakukan menggunakan uji skala hedonik dengan menggunakan skala 1 sampai 9 dan panelis semi terlatih yang berjumlah 30 orang. Proses penelitian pendahuluan yang merupakan modifikasi dari penelitian Febriani (2006) dapat dilihat pada Gambar 2.


(27)

14

Gambar 2. Diagram alir tahap awal, proses pembuatan filletbelut asap Penaburan garam 3 % (b/b)

untuk mematikan belut

Pengovenan 100 oC selama 40 menit

Filletbelut asap

Penirisan selama 10 menit

Perendaman dalam asap cair 5 %, v/v selama 30 menit

Belut

Perendaman dalam larutan garam (0 %, 3 %, 6 %, 9 %; b/v) selama 15 menit

Penirisan selama 10 menit

Pengujian sensori Pemotongan fillet

Pencucian

Penghilangan isi perut dan lendir Pencucian


(28)

3.3.2 Penelitian utama

Penelitian utama dilakukan dengan menggunakan produk dengan kpnsentrasi garam terpilih berdasarkan pilihan panelis pada penelitian pendahuluan. Produk terpilih tersebut selanjutnya diberi perlakuan bumbu yang dicampur dengan perlakuan asap cair. Konsentrasi asap cair yang digunakan

adalah sebesar 0 %, 6 % dan 12 % (v/v), rentang konsentrasi ini berdasarkan penelitian Febriani (2006) yang menghasilkan belut asap utuh dengan konsentrasi

di atas 10 %. Kombinasi bumbu yang ditambahkan terdiri dari kombinasi asam dan jahe, cengkeh dan kayu manis (b/v). Kombinasi bumbu tersebut dipilih karena kedua kombinasi bumbu dapat mengurangi kandungan histamin pada ikan kembung asap (Mahendrata dan Tawali 2006), akan tetapi belum diketahui bagaimana pengaruhnya terhadap kandungan nutrisi ikan asap. Selain itu, dengan penambahan bumbu pada bahan pangan dapat mengurangi laju pertumbuhan mikroba (Rahayu 1999). Konsentrasi bumbu yang digunakan berdasarkan pada

trial and error (kombinasi asam jawa dan jahe, kombinasi cengkeh dan kayu manis). Dari trial and error didapatkan kombinasi bumbu dengan

konsentrasi terpilih yaitu konsentrasi cengkeh 4 % dan kayu manis 3,2 %, asam jawa 5 % dan jahe 4 %. Produk tersebut merupakan produk belut asap dengan rasa asin yang gurih dan tidak pahit. Formulasi bumbu yang digunakan pada trial and errordapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Formulasi bumbu

No Kombinasi bumbu 1 Kombinasi bumbu 2

Cengkeh Kayu manis Jahe Asam jawa

1 2% 1,60% 2% 2,50%

2 4% 3,20% 4% 5%

3 6% 4,80% 6% 7,50%

Dari penelitian utama ini akan menghasilkan fillet belut asap sebagai produk yang paling disukai oleh panelis. Selanjutnya produk tersebut diuji secara kimia dan dibandingkan dengan kontrol (tidak diberi perlakuan asap dan bumbu). Diagram alir pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3.


(29)

16

Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan filletbelut asap pada penelitian utama 3.4 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari uji sensori, proksimat, mikrobiologi, kadar garam dan kadar abu tak larut asam.

3.4.1 Uji sensori (Soekarto 1985)

Penentuan bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizinya disamping faktor lain secara mikrobiologis. Uji sensori yang dilakukan adalah uji sensori skala hedonik yang mencakup aspek kesukaan terhadap penampakan, tekstur,

aroma dan rasa. Pengujian sensori menggunakan uji skala hedonik dengan menggunakan skala 1 sampai 9 dan panelis semi terlatih yang berjumlah 30 orang.

Analisis data sensori menggunakan statistik non parametrik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison. Langkah-langkah metodeKruskal Wallis adalah sebagai berikut:

a. Meranking data dari yang terkecil hingga terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter.

b. Menghitung total ranking untuk setiap perlakuan dan rata-ratanya dengan menggunakan rumus:

Filletbelut asap

Perendaman dalam asap cair (0 %, 6 %, 12 %; v/v) selama 30 menit

Pengovenan 100 oC selama 40 menit

Filletbelut dengan konsentrasi garam terpilih + kombinasi bumbu (asam jawa 5 % dan jahe 4 %,

cengkeh 4 % dan kayu manis 3,2 %)

Pengujian sensori, Proksimat, TPC, Kadar garam, Kadar abu tak Penirisan selama 10 menit


(30)

H=    

 

2

i n Ri 1) n(n

12

- 3 (n+1)

H’ =

Pembagi H

Pembagi = 1

-1)n (n 1) -(n

T 

dengan T = (t - 1) (t + 1)

Keterangan : n = jumlah data

ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i

Ri2= jumlah ranking dalam perlakuan ke-0

T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’ = H terkoreksi

H = simpangan baku

t = banyaknya pengamatan yang seri

Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji Multiple Comparisondengan rumus sebagai berikut:

Ri - Rj >< Zα/2p

6 1) (n k 

Keterangan :

Ri= rata-rata ranking perlakuan ke-i

Rj= rata-rata ranking perlakuan ke-j

k = banyaknya ulangan n = jumlah total data


(31)

18

3.4.2 Uji proksimat

Uji proksimat yang dilakukan meliputi penentuan kadar protein, air, lemak, abu dan kadar karbohidrat (by difference).

3.4.2.1 Kadar air (AOAC 2007)

Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu dalam oven selama 15 menit atau sampai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama (3–4) jam pada suhu 105 oC sampai 110 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

B = Berat sampel (gram)

B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan 3.4.2.2 Kadar protein (AOAC 2007)

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl mikro. Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan K2SO4 (1.9 gram), HgO (40 mg), H2SO4 (2.5 ml) serta beberapa

tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai berwarna jernih; didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air sebanyak (5–6) kali dengan akuades (20 ml) dan air bilasan tersebut juga dimasukkan dibawah kondensor dengan ujung kondensor terendam didalamnya. Ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator

(campuran metil merah 0.2 % dalam alkohol dan metilen blue 0.2 % dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang ada dibawah kondensor. Destilasi

dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur % Kadar air = 100%

2 1

X B


(32)

dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan

menggunakan HCl 0.1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

3.4.2.3 Kadar lemak (AOAC 2007)

Sampel sebanyak 0.5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang diatas kondensor serta labu lemak dibawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus:

Kadar N (%) =

sampel mg

100 x 14,007 x HCl N x blanko) ml

-HCl (ml

Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (6,25)

% Lemak = berat lemak x 100% berat sampel


(33)

20

3.4.2.4 Kadar abu (AOAC 2007)

Kadar abu ditentukan dengan prosedur yaitu, sebanyak 4 gram sampel basah ditempatkan dalam wadah porselin dimasukkan dalam oven dengan suhu 60 oC sampai 105 oC selama 8 jam. Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600oC selama 3 jam lalu ditimbang.

Rumus Kadar Abu :

Kadar Abu Total = berat abu x 100% berat sampel kering

3.4.2.5 Kadar karbohidrat (AOAC 2007)

Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100 % dengan kadar air,kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini dikarenakan karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

3.4.3 Uji mikrobiologi (Total Plate Count) (Fardiaz 1989)

Pada metode hitungan cawan, bahan pangan yang diperkirakan mengandung 300 sel jasad renik per ml atau per cm (jika pengambilan sampel dilakukan di permukaan), memerlukan perlakuan pengenceran sebelum ditambahkan pada medium agar di dalam cawan petri. Pengenceran biasanya dilakukan secara desimal yaitu 1:10, 1:100, 1:1000 dan seterusnya, atau 1:100, 1:10000, 1:1000000 dan seterusnya. Larutan yang digunakan untuk pengenceran dapat berupa larutan buffer fosfat 0.85 % NaCl atau larutan Ringer.

Pemupukan dilakukan dengan metode tuang. Jenis media yang digunakan adalah Plate Count Agar(PCA). Sebelum melakukan uji, dilakukan persiapan alat -alat dan bahan yang digunakan untuk analisis. Semua alat dan bahan yang digunakan disterilisasi terlebih dahulu. Sejumlah contoh (1 ml) dari pengenceran yang dikehendaki dimasukkan kedalam cawan petri, kemudian ditambah

% Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)


(34)

agar cair steril yang telah didinginkan (47–50) oC sebanyak (15–20) ml dan digoyangkan supaya contoh menyebar rata. Setelah padat, cawan petri disimpan dengan posisi terbalik di dalam incubator bersuhu (37 oC) selama (24–48) jam. Jumlah koloni dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

fp = Faktor pengenceran

Data yang dilaporkan sebagai Standard Plate Count (SPC) harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut:

a) Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan kedua. Jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua.

b) Jika semua pengenceran yang dubuat untuk pemupukan menghasilkan kurang dari 30 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran terendah yang dihitung, hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan faktor pengencer, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan.

c) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni, hanya jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan faktor pengencer. d) Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30-300, dimana perbandingan antara junlah koloni tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih dari satu atau sama dengan dua,maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara nilai tertinggi dan nilai terendah lebih besardari dua,maka yang dilaporkan hanya hasil nilai terkecil.

e) Jika digunakan dua cawan petri (duplo) pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut.

Koloni per ml atau per gram = fp 1


(35)

22

3.4.4 Kadar garam (Apriyantono et. al1989)

Pengukuran kandungan garam menggunakan analisis cepat metode Modifikasi Mohr dengan cara kerja sebagai berikut :

1. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan diabukan seperti pada cara penetapan abu.

2. Abu yang diperoleh dicuci dengan akuades sedikit mungkin dan dipindahkan ke dalam erlenmeyer 250 ml.

3. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan potasium kromat 5 % dan dititrasi dengan larutan perak nitrat 0.1 M dan titik akhir titrasi tercapai apabila timbul warna oranye/jingga yang pertama.

Perhitungan :

% Garam (NaCl) : T x M x 5.84 W Keterangan : T = titer

M = Molaritas perak nitrat W = Berat sampel

3.4.5 Kadar abu tak larut asam (Apriyantono et. al1989)

Pengukuran kadar abu tak larut asam dilakukan dengan cara menetapkan kadar abu total yang dilarutkan dalam 25 ml HCl 10 % dan dididihkan selama 5 menit. Larutan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman bebas abu dan dicuci dengan air suling sampai bebas dari klorida dengan menggunakan indikator AgNO3. Selanjutnya kertas saring dikeringkan dalam

oven. Abu yang telah didapatkan dari pengeringan, diabukan kembali dalam tanur dengan menggunakan cawan porselen. Setelah itu, cawan porselen tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya.

Rumus Kadar Abu Tak Larut Asam:

Kadar Abu Total = berat abu x 100% berat sampel awal


(36)

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi garam terpilih yang ditentukan melalui uji sensori. Konsentrasi garam yang diberikan terdiri dari empat taraf, yaitu 0 %, 3 %, 6 %, dan 9 %. Uji ini dilakukan untuk mengetahui penilaian yang lebih spesifik dari para panelis. Uji sensori yang dilakukan adalah uji sensori skala hedonik yang mencakup aspek kesukaan terhadap penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. Pengujian sensori menggunakan uji skoring menggunakan skala 1 sampai 9 dan panelis yang berjumlah 30 orang.

4.1.1 Penampakan

Penampakan adalah parameter pertama yang dinilai panelis dalam mengonsumsi suatu produk pangan. Bila kesan penampakan baik maka panelis baru melihat karakteristik lainnya seperti aroma, rasa dan tekstur. Penilaian yang diberikan panelis bersifat subjektif secara visual (Soekarto 1985). Hasil dari uji sensori yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.

4,40a

4,90ab

5,33a b 5,70 a

0 1 2 3 4 5 6

0% 3% 6% 9%

K on se n tra si g a ra m

N

il

a

i

ra

ta

-r

a

ta

s

e

n

s

o

ri

p

e

n

a

m

p

a

k

a

n

Gambar 4. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan filletbelut asap Dari Gambar 4 tersebut dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi garam dengan kisaran 0 % sampai 9 % memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata nilai sensori penampakan fillet belut asap (Lampiran 4). Nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap dari konsentrasi pemberian garam yang paling kecil sampai besar adalah 4,40; 4,90; 5,33 dan 5,70. Fillet belut asap


(37)

24

dengan konsentrasi garam 9 % memiliki nilai rata-rata sensori tertinggi yaitu sebesar 5,70 yang berarti produk dianggap mempunyai penampakan yang lebih

baik dibandingkan fillet belut asap dengan konsentrasi garam lainnya (Lampiran 5b). Nilai rata-rata sensori terendah dimiliki oleh fillet belut asap

kontrol, yaitu tanpa pemberian garam. Fillet belut asap yang tidak diberi perlakuan garam akan lebih terlihat berbeda. Pada dasarnya dengan pemberian garam tersebut maka akan terjadi pengeluaran cairan dari dalam tubuh ikan sehingga terjadi perubahan sifat daging ikan (Afrianto dan Liviawaty 1989). Konsentrasi garam yang lebih tinggi menyebabkan tingkat penetrasi garam ke dalam tubuh ikan menjadi lebih cepat. Dengan begitu, air yang ditarik keluar dari dalam tubuh juga akan semakin besar dan daging ikan akan lebih mengkerut. Pada fillet belut asap kontrol, tidak terjadi penarikan air dari dalam produk yang dihasilkan sehingga daging fillet belut asap terlihat tidak padat dan kompak. Penampakan tersebut sangat berbeda dengan produk yang telah direndam dari larutan garam. Produk filletbelut asap yang mendapat perlakuan garam memiliki penampakan yang terlihat lebih padat.

4.1.2 Warna

Warna merupakan salah satu penentu mutu bahan makanan. Biasanya warna yang lebih cerah dan menarik akan lebih disukai oleh konsumen dibandingkan dengan warna yang kusam. Hasil pengujian sensori terhadap warna filletbelut asap dapat dilihat pada Gambar 5.

5,43a 5,2a

5,6a

4,9a

4,4 4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8

0% 3% 6% 9%

K o n se n tra si g a ra m

N

il

a

i

ra

ta

-r

a

ta

s

e

n

s

o

ri

w

a

rn

a


(38)

Gambar 5 menunjukkan nilai rata-rata sensori fillet belut asap dengan menggunakan konsentrasi garam yang berbeda-beda. Fillet belut asap tanpa perlakuan konsentrasi garam memiliki rata-rata nilai sensori terkecil, yaitu sebesar 4,93. Dengan nilai rata-ratanya yang paling kecil dibandingkan dengan produk yang lain, maka fillet belut asap kontrol ini tidak terlalu disukai oleh panelis. Sedangkan nilai rata-rata sensori terbesar dimiliki oleh fillet belut asap dengan

pemberian garam 3 % sebesar 5,60 yang berarti produk lebih diminati oleh panelis.

Uji Kruskal-Wallis yang dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi garam yang diberikan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata, dengan nilai P > 0,05 terhadap parameter warna (Lampiran 4). Rentang konsentrasi sebanyak 3 % tidak menimbulkan perbedaan yang nyata terhadap produk. Penggunaan rentang konsentrasi yang lebih besar diperlukan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi terhadap kesukaan panelis terhadap produk. Selain itu, warna dari produk juga lebih dipengaruhi oleh kemurnian garam yang digunakan. Warna dari keseluruhan produk yang dihasilkan adalah cokelat yang berasal dari pengovenan yang dilakukan.

4.1.3 Aroma

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi garam memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap nilai rata-rata sensori penampakan filletbelut asap (Lampiran 4). Dengan hasil tersebut dapat dilihat bahwa garam sama sekali tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap fillet belut asap. Perbedaan konsentrasi garam yang diberikan tidak menghasilkan aroma yang beragam karena garam pada dasarnya lebih berperan sebagai penambah rasa dan daya pengawet (Afrianto dan Liviawaty 1989). Nilai rata-rata sensori terhadap aroma dari tiap pemberian konsentrasi garam yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6.


(39)

26 5,87a 5,77a 5,5a 5,07a 4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 6

0% 3% 6% 9%

K onse n tra si g a ra m

N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri a ro m a

Gambar 6. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma filletbelut asap Berdasarkan dari diagram batang tersebut, dapat dilihat bahwa produk dengan perlakuan asap lebih disukai karena dengan pemberian asap akan menghasilkan produk dengan aroma yang lebih khas (Moeljanto 1982). Karena konsentrasi asap yang digunakan pada penelitian pendahuluan ini adalah sama, maka aroma yang dihasilkan juga sama.

4.1.4 Tekstur

Pada umumnya tekstur bahan pangan yang disukai oleh panelis adalah bahan pangan dengan tekstur yang empuk dan tidak terlalu keras. Hasil dari uji sensorifilletbelut asap menunjukkan bahwa pemberian garam dengan konsentrasi

yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap produk (P < 0,05) (Lampiran 4). Nilai rata-rata dari uji sensori yang dilakukan dapat

dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 7.

7,07b 6,5bc 6,2b 4,63a 0 1 2 3 4 5 6 7 8

0% 3% 6% 9%

K onse ntra si g a ra m

N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri t e k s tu r


(40)

Nilai rata-rata uji sensori fillet belut asap dengan pemberian konsentrasi garam yang berbeda-beda secara berturut-turut adalah sebesar 4,63; 6,20; 6,50 dan 7,07. Penggaraman menyebabkan daging ikan menjadi lebih kompak, karena garam menarik air dan menggumpalkan protein dalam daging ikan (Afrianto dan Liviawaty 1989). Oleh karena itulah, pemberian garam dengan konsentrasi 9 % lebih disukai oleh panelis. Pada filletbelut asap kontrol, tidak terjadi penarikan air dari dalam produk sehingga menghasilkan produk dengan tekstur yang rapuh. Tekstur tersebut sangat berbeda dengan produk yang telah direndam dari larutan garam. Produk fillet belut asap yang mendapat perlakuan garam memiliki tekstur yang lebih kompak dan padat.

4.1.5 Rasa

Rasa termasuk dalam parameter yang sangat menentukan bagi panelis dalam menilai suatu produk. Rasa ini diukur dengan menggunakan indera pengecap (Soekarto 1985). Berdasarkan dari uji sensori yang dilakukan oleh 30 panelis, maka dapat dilihat perbedaan permberian konsentrasi garam pada fillet belut asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa (P < 0,05) (Lampiran 4). Uji lanjut Tukey dilakukan untuk mengetahui perbedaan yang diberikan terhadap rasa, dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 8.

5,97c 5,90c

5,33ab 4,57a

0 1 2 3 4 5 6 7

0% 3% 6% 9%

K onse ntra si g a ra m

N

il

a

i

ra

ta

-r

a

ta

s

e

n

s

o

ri

r

a

s

a

Gambar 8. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa filletbelut asap

Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwafillet belut asap dengan konsentrasi yang lebih tinggi (kisaran 0 % sampai 9 %) akan lebih disukai oleh panelis. Nilai yang didapat dari pemberian konsentrasi garam 3 % adalah sebesar 5,33.


(41)

28

Nilai tersebut berbeda nyata (P < 0,05) dengan fillet belut asap konsentrasi garam 0 % yang memiliki nilai sebesar 4,57 (Lampiran 5b). Dari hasil

tersebut bisa dilihat bahwa garam sangat berperan dalam cita rasa (Afrianto dan Liviawaty 1989).

Fillet belut asap tanpa perlakuan garam kurang disukai oleh panelis, karena tanpa pemberian garam maka fillet belut asap yang dihasilkan rasanya hambar. Hal tersebut sangat berbeda dengan fillet belut asap dengan perlakuan garam. Fillet belut asap dengan konsentrasi garam 3 % dan 6 % masih kurang disukai oleh panelis, karena rasa asinnya dirasakan kurang oleh panelis. Sedangkan filletbelut asap dengan konsentrasi garam 9 % dianggap memiliki rasa asin yang sesuai dengan tingkat keasinan yang sesuai lidah, sehingga lebih disukai oleh panelis.

4.2 Penelitian Utama

Penelitian utama merupakan lanjutan dari penelitian pendahuluan. Penelitian utama terdiri dari uji sensori, uji proksimat,uji kadar garam dan uji kadar abu tak larut asam. Pada penelitian utama ini menggunakan konsentrasi garam terpilih pada penelitian pendahuluan yaitu sebesar 9 % dan bumbu yang

dihasilkan pada trial and error yaitu konsentrasi cengkeh 4 % dan kayu manis 3,2 %, asam jawa 5 % dan jahe 4 %.

4.2.1 Uji sensori

Uji sensori yang dilakukan pada penelitian utama ini bertujuan untuk mendapatkan produk kombinasi asap dan bumbu terpilih berdasarkan panelis. Pengujian ini dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih. Parameter yang dinilai terdiri dari penampakan, warna, aroma, tekstur dan rasa.

4.2.1.1 Penampakan

Nilai yang dihasilkan dari pengujian sensori parameter penampakan adalah berkisar antara 5,10-5,77. Nilai penampakan yang tertinggi dihasilkan oleh fillet belut asap dengan kombinasi bumbu (jahe dan asam) dan konsentrasi asap sebesar 6 %, sedangkan nilai rata-rata terendah yaitu pada perlakuan bumbu (cengkeh dan kayu manis) tanpa perlakuan asap. Untuk lebih jelasnya, nilai rata-rata dari uji sensori terhadap penampakan dapat dilihat pada Gambar 9.


(42)

5,27a 5,13a

5,40a 5,43a 5,77a

5,63a

5,1a

5,73a

5,23a

4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 6

K A 6 A 12 K B 1 A 6B 1 A 12B 1 K B 2 A 6B 2 A 12B 2 P e rla kua n

N

il

a

i

ra

ta

-r

a

ta

s

e

n

s

o

ri

p

e

n

a

m

p

a

k

a

n

Gambar 9. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan filletbelut asap

Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap A6 = konsentrasi asap 6 %

A12 = konsentrasi asap 12 %

KB1 = konsentrasi asap 0 %, jahe 4 % dan asam 5 % A6B1 = konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 % A12B1 = konsentrasi asap 12 %, jahe 4 % dan asam 5 %

KB2 = konsentrasi asap 0 %, cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A6B2 = konsentrasi asap 6 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A12B2 = konsentrasi asap 12 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 %

Dari nilai rata-rata uji sensori tersebut dapat dilihat bahwa masing-masing nilai uji sensori yang didapat tidak memiliki rentang nilai yang jauh berbeda. Hal ini juga diperkuat dengan hasil uji Kruskal Wallis yang menunjukan bahwa kombinasi bumbu dengan asap cair memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap penampakan fillet belut asap (Lampiran 8). Dengan begitu dapat juga dipastikan bahwa panelis memiliki tingkat penerimaan terhadap penampakan cenderung sama. Tidak terlalu besarnya rentang konsentrasi asap yang digunakan, serta lama pengovenan yang sama di semua perlakuan diasumsikan dapat menyebabkan seluruh penampakan dari fillet belut asap memiliki penampakan yang hampir sama. Hasil ini juga diperkuat dengan penelitian tentang belut asap bahwa perbedaan konsentrasi (5 % dan 10 %) dan waktu pengovenan yang sama menghasilkan rentang nilai uji sensori yang tidak jauh berbeda (Febriani 2006).


(43)

30

Penampakan produk yang dihasilkan terlihat bersih sampai berwarna cokelat dan kusam.

4.2.1.2 Warna

Warna ikan yang telah mengalami pengasapan berwarna kekuningan (keemasan) atau agak cokelat. Warna tersebut berasal dari komponen asap yang melekat pada produk dan membentuk lapisan damar tiruan yang menghasilkan warna cokelat dan menarik. Semakin besar konsentrasi asap cair yang digunakan maka warna pada ikan asap akan semakin cokelat (Sari 2004).

Pada penelitian yang dilakukan ini, perlakuan kombinasi bumbu dan

konsentrasi asap tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0.05) (Lampiran 8). Hal ini membuktikan bahwa panelis memberikan penilaian pada filletbelut asap dengan tingkat penerimaan terhadap warna yang cenderung sama.

Nilai rata-rata dari uji sensori fillet belut asap terhadap warna dapat dilihat pada Gambar 10.

5,63a 5,37a 5,7a 5,57a 5,43a 4,30a

5,00a

5,53a 5,57

a

4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8

K A 6 A 12 K B 1 A 6B 1 A 12B 1 K B 2 A 6B 2 A 12B 2 P e rla kua n

N

il

a

i

ra

ta

-r

a

ta

s

e

n

s

o

ri

w

a

rn

a

Gambar 10. Diagram batang nilai rata-rata sensori warna filletbelut asap

Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap A6 = konsentrasi asap 6 %

A12 = konsentrasi asap 12 %

KB1 = konsentrasi asap 0 %, jahe 4 % dan asam 5 % A6B1 = konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 % A12B1 = konsentrasi asap 12 %, jahe 4 % dan asam 5 %

KB2 = konsentrasi asap 0 %, cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A6B2 = konsentrasi asap 6 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A12B2 = konsentrasi asap 12 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 %


(44)

Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai sensori terendah dihasilkan oleh fillet belut asap dengan konsentrasi asap 6 % tanpa pemberian bumbu, sedangkan nilai sensori tertinggi dihasilkan oleh produk dengan pemberian bumbu tanpa pemberian asap. Sama halnya dengan penampakan, perbedaan perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna fillet belut asap (P > 0,05). Hal ini dapat disebabkan besarnya rentang konsentrasi asap yang digunakan, serta lama pengovenan yang sama di semua perlakuan dapat menyebabkan fillet belut asap memiliki warna kecokelatan sampai cokelat yang hampir sama, sehingga panelis juga memberikan nilai yang cenderung sama. 4.2.1.3 Aroma

Aroma lebih banyak dipengaruhi oleh indera penciuman. Aroma ini dikenal juga dengan pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh (Soekarto 1985). Pengasapan memberikan makanan berprotein tinggi dengan komponen aromatiknya yang dapat memberikan flavor dan warna, berperan sebagai bakteriostatik dan antioksidan (Horner 1992 dalam Hattula et al. 2001). Aroma yang terdapat pada ikan asap berasal dari komponen-komponen asap cair seperti syringol yang akan memberikan aroma khas ikan asap.

Aroma yang dihasilkan dari kombinasi bumbu dengan konsentrasi asap menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata (Horner 1992 dalam Hattula et al. 2001). Hal tersebut dibuktikan dengan uji Kruskal Wallisyang menghasilkan nilai P < 0,05 (Lampiran 8). Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan A6B1 (kombinasi konsentrasi asap 6 % dengan bumbu) memberikan nilai aroma tertinggi (6,0) (Lampiran 9b). Nilai rata-rata dari uji sensori terhadap aroma dapat dilihat dari Gambar 11.


(45)

32

5,97c 5,83bc 4,83a bc 5,67a bc 6,00c 5,40abc 5,53a bc 4,57a 4,73a b

0 1 2 3 4 5 6 7

K A 6 A 12 K B 1 A 6B 1 A 12B 1 K B 2 A 6B 2 A 12B 2

P e rla ku a n

N

il

a

i

ra

ta

-r

a

ta

s

e

n

s

o

ri

a

ro

m

a

Gambar 11. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma filletbelut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap

A6 = konsentrasi asap 6 % A12 = konsentrasi asap 12 %

KB1 = konsentrasi asap 0 %, jahe 4 % dan asam 5 % A6B1 = konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 % A12B1 = konsentrasi asap 12 %, jahe 4 % dan asam 5 %

KB2 = konsentrasi asap 0 %, cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A6B2 = konsentrasi asap 6 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A12B2 = konsentrasi asap 12 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa terdapat penilaian yang berbeda antara kontrol (tanpa pemberian asap) dengan perlakuan lainnya yang diberikan konsentrasi asap. Hal ini dapat disimpulkan bahwa panelis lebih menyukai produk dengan aroma asap, baik itu dengan konsentrasi asap 6 % ataupun 12 %. Selain itu, panelis memberikan nila sensori yang lebih tinggi pada produk dengan penambahan bumbu dibandingkan dengan produk yang tidak diberikan perlakuan bumbu. Dengan pemberian bumbu tersebut dapat meningkatkan aroma pada produk (Rahayu 1999).

4.2.1.4 Tekstur

Penginderaan tentang tekstur biasanya berasal dari sentuhan yang dapat ditangkap oleh seluruh permukaan kulit (ujung jari tangan). Rangsangan sentuhan dapat berasal dari bermacam-macam rangsangan mekanik, fisik, dan kimiawi. Dari rangsangan-rangsangan itu dihasilkan kesan ”rasa” rabaan (sensation). Kesan itulah yang dapat menggambarkan tekstur suatu produk (Soekarto 1985). Nilai rata-rata dari uji sensori yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 12.


(46)

5,43a 5,53a 5,33a 5,53a 5,87a 5,60a 5,57a

5,23a 5,17a

4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 6

K A 6 A 12 K B 1 A 6B 1 A 12B 1 K B 2 A 6B 2 A 12B 2

P e rla kua n

N

il

a

i

ra

ta

-r

a

ta

s

e

n

s

o

ri

t

e

k

s

tu

r

Gambar 12. Diagram batang nilai rata-rata sensori tekstur filletbelut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap

A6 = konsentrasi asap 6 % A12 = konsentrasi asap 12 %

KB1 = konsentrasi asap 0 %, jahe 4 % dan asam 5 % A6B1 = konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 % A12B1 = konsentrasi asap 12 %, jahe 4 % dan asam 5 %

KB2 = konsentrasi asap 0 %, cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A6B2 = konsentrasi asap 6 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A12B2 = konsentrasi asap 12 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 %

Dari Gambar 12 tersebut dapat dilihat bahwa panelis memberikan nilai sensori yang hampir sama untuk semua perlakuan terhadap produk. Hal ini diasumsikan bahwa perbedaan pemberian konsentrasi asap dengan pemberian bumbu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur (P > 0,05) (Lampiran 8). Jumlah kandungan fenol dan karbonil pada asap cair dapat menentukan tekstur dari ikan asap yang dihasilkan (Martinez et al 2005). Asap cair yang digunakan berasal dari asap cair komersil yang sama sehingga tekstur yang dihasilkan cenderung sama.

4.2.1.5 Rasa

Rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Rasa berbeda dengan bau dan lebih melibatkan indera pengecap (lidah). Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan


(47)

34

komponen rasa yang lain (Fachruddin 1997). Nilai rata-rata uji sensori dapat dilihat lebih lengkap pada Gambar 13.

5,83a b 5,60a b

5,23a b 5,90a b

6,23a b 5,07a b 4,93a 5,40

a b 5,60ab

0 1 2 3 4 5 6 7

K A 6 A 12 K B 1 A 6B 1 A 12B 1 K B 2 A 6B 2 A 12B 2

P e rla kua n

N

il

a

i

ra

ta

-r

a

ta

s

e

n

s

o

ri

r

a

s

a

Gambar 13. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa filletbelut asap

Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap A6 = konsentrasi asap 6 %

A12 = konsentrasi asap 12 %

KB1 = konsentrasi asap 0 %, jahe 4 % dan asam 5 % A6B1 = konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 % A12B1 = konsentrasi asap 12 %, jahe 4 % dan asam 5 %

KB2 = konsentrasi asap 0 %, cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A6B2 = konsentrasi asap 6 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A12B2 = konsentrasi asap 12 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % Hasil uji sensori terhadap rasa fillet belut asap diperoleh nilai rata-rata kesukaan berkisar antara 4,93 (agak tidak suka) sampai 5,83 (agak suka), yang masing-masing dihasilkan dari kombinasi perlakuan A6 (pemberian asap konsentrasi 6 % tanpa bumbu) dan A6B1 (kombinasi asap konsentrasi 6 % dengan penambahan jahe dan asam).

Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa fillet belut asap menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap rasa (Lampiran 8). Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan A6B1 (konsentrasi asap 6 % dengan jahe dan asam) menghasilkan nilai rasa tertinggi, dan tertinggi kedua dihasilkan oleh kombinasi perlakuan A12B1 (konsentrasi asap 12 % dengan jahe dan asam) (Lampiran 9b). Perbedaan rasa dari produk yang dihasilkan dapat disebabkan oleh pemberian asap dengan konsentrasi


(1)

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2007. Official Method of Analysis. 18thed. USA: Marylan.

Afrianto E. dan Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.

Apriyantono A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Y. Sedarnawati dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2009. Bududaya Belut (Monopterus albus). [artikel] http://hobiikan.blogspot.com/2009/budidaya-belut.html. [20 Februari 2009]. Al Khayat M. A. dan G. Blank. 1985. Phenolic Spices Component Sporostatic to

Bacillus subtilis. J. Food Sci. 50(4): 971-974.

Ardhi D. 2009. Teliti Pemanfaatan Limbah sebagai Bahan Baku Asap Cair Ikan. [artikel]. www. jawapos.com. [20 Februari 2009].

Buckle K. A., R. A. Edward, G. H. Fleet, M. Woorton. 1985. Ilmu Pangan. Hari Purnomo dan Adino, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science.

Coronado S. A., Trout G. R., Dunshea F. R., Shah N. P. 2002. Effect of Dietary

Vitamin E, Fishmeal and Word and Liquid Smoke on The Oxidative Stability of Bacon During 16 Weeks Frozen Storage.

J. Meat Science.62: 51–60.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara.

Fardiaz S. 1989. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Pangan. Bogor: Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Direktorat Perguruan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Farell K. T. 1990. Spices, Condiment and Seasonings. The AVI Publishing Company Incf. Connecticut: Westport.

Fachruddin L. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Yogyakarta: Kanisius.

Fauzan A. 2008. Kayu Manis. [artikel]. www.jamitra.com/index. [20 Oktober 2009].


(2)

47

Febriani R. A. 2006. Pengaruh Konsentrasi Larutan Asap Cair terhadap Mutu Belut Asap yang Disimpan pada Suhu Kamar. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Hilderbrand KS Jr. 2003. Smoking Fish at Home Safely. A Pacific Northwest

Extension Publication. Electr J Techno [online].

http://eesc.oregonstate.edu/agcomwebfile/PNW238.pdf. [30 Agustus 2009]. Hattula K. Elving, Mrouch, U. M., Luoma T. 2001. Use of Liquid Smoke

Flavouring as an Alternative to Traditional Flue Gas Smoking of Rainbow Trout Fillets (Oncorhynchus mykiss). J. Academic Press. 34: 521–525. Martinez O., Salmeron, Guillen M. D., Casas C. 2005. Textural and

Physicochemical Changes in Salmon (Salmo salar) Treated with Commercial Liquid Smoke Flavourings.J. Food Chemistry. 100: 498–503.

Moeljanto R. 1982. Pengasapan dan Fermentasi Ikan. Jakarta: PT Penebar Swadaya.

Moeljanto R. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: PT Penebar Swadaya.

Mahendrata M dan Tawali. 2006. Kombinasi Bumbu dan Asap Cair dalam Meminimalkan Pembentukan Histamin pada Ikan Kembung Perempuan (Rastrelliger neglectus) Asap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan2006: Vol XVII No. 2.

Ojeda M., Barcenas P., Perez-Elortondo F. J., Albisu M., Guillen M. D. 2002. Chemical References in Sensory Analysis of Smoke Flavourings. J. Food Chemistry 78: 433-442.

Opstvedt J. 1988. Effects of Drying on Protein Quality dalam Fish Smoking and Drying. Edited by J. R. Burt. London: Elsevier Applied Science.

Parry J. W. 1969. Spices, Morphology, Histology, Chemistry. Vol. II. New York: Chemical Publ. Co., Inc.

Prananta J. 2008. Pemmanfaatan Sabut dan Tempurung Kelapa serta Cangkang Sawit untuk Pembuatan Asap Cair sebagai Pengawet Makanan Alami. http://word-to-pdf.abdio.com. [30 September 2008].

Peranginangin dan Yunizal. 1992. Pengolahan Belut dalam F. Cholik (Ed.). Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Perikanan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.


(3)

Rahayu W.P. 1999. Aktivitas Antimikroba Lengkuas. Prosiding Seminar Aspek Sosial Ekonomi-Budaya, Teknologi, Khasiat dan Keamanan Pangan Tradisional PKMT-UGM. 16 Maret 1999. [prosiding]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Rusiana. 1988. Pembuatan Dendeng Gepuk Belut dan Daya Terima Konsumen. [skripsi]. Tidak dipublikasikan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Stoilova I., Krastanov A., Stoyanova A., Denev P., Gargova S. 2007.

Antioxidant activity of a ginger extract (Zingiber officinale). J. Food Chemistry.102: 764 – 770.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. SIN 01-2725-1992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Stansby M. E. 1963. Industrial Fish Technology. New York: Reinhold Publishing Corporotion.

Soekarto S.T. 1985. Penilaian Sensori. Jakarta: Bharatara Karya Aksara.

Sari DK. 2004. Pemanfaatan Asap Cair dengan Bahan Pengasap Kayu Jati pada Produk Lidah Asap. [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sarwono B. 2005. Budidaya Belut dan Sidat. Ed ke- 24. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suwignyo S. 1989. Avertebrata Air. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Lembaga Budaya Informasi.

Wibowo S. 2002. Industri Pengasapan Ikan.Yogyakarta: Penebar Swadaya. Wahyuni S. 1999. Pengaruh Pengolahan Tradisional terhadap Mutu dan Nilai

Gizi Ikan Teri (Stolephonus Sp.) Asap. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Winarno F. G. 1981. The Nutritional Potential of Fermented Foods in Indonesia. Proceedings of a Technical Seminar Traditional Resources in ASCA Countries.Medan, 9 – 11 Februari.

Winarno F.G. , S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yowell K. dan W. H. Flurkey. 1986. Effect of Freezing and Microwave Heating on Proteins from Cod Fish Fillets: Analysis by SDS Polyacrilamide Gel Electrophoresis. J. Food Sci. 52 ( 2): 508-509


(4)

49

Zakaria I. J. 1996. Mempelajari Mutu Ikan Bilih Asap Tradisional serta Pengaruh Bumbu dan Lama Pengasapan terhadap Perbaikan Mutu. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Zaitsev V., L. Laguno, T. Makarova, D. Minder, V. Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: Mir Published.


(5)

Komalasari

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(6)

RINGKASAN

KOMALASARI. C34052224. Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan

Fillet Belut Asap dengan Kombinasi Bumbu. Dibimbing oleh DJOKO POERNOMO dan PIPIH SUPTIJAH.

Pengasapan ikan merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mengawetkan ikan agar tahan lama, juga dapat menambah rasa lezat dan memberikan aroma yang khas. Jenis pengasapan yang jarang dan kurang dibudidayakan adalah pengasapan cair. Pengasapan cair adalah jenis pengasapan yang dikembangkan melalui perlakuan kondensat asap cair (Wibowo 2002). Pengasapan ini memiliki kelebihan lain dibandingkan dengan pengasapan tradisional, seperti lebih sehat dan higienis. Sama halnya dengan pengasapan cair, filletbelut asap merupakan produk pengolahan perikanan yang jarang sekali ditemukan. Padahal belut ini memiliki rasa yang lezat dan memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, danbentukfillet akan menghasilkan produk asapan dalam waktu yang lebih cepat dan penampakan belut akan terlihat lebih menarik. Penelitian mengenai fillet belut asap ini bertujuan untuk mengetahu konsentrasi garam terpilih dan konsentrasi asap terpilih yang dikombinasikan dengan bumbu.

Metode penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi garam terpilih yang disukai oleh para panelis. Penentuan konsentrasi garam ini merupakan tahap awal yang sangat penting dalam menghasilkan produk akhir. Hasil penelitian pendahuluan dilanjutkan dengan penelitian utama, yaitu mencari jenis konsentrasi terpilih dari asap cair yang dikombinasikan dengan bumbu. Kombinasi bumbu yang diberikan terdiri dari asam dan jahe, cengkeh dan kayu manis. Kombinasi bumbu ini digunakan karena keempatnya merupakan jenis rempah-rempah yang mempunyai kelebihan lebih dibandingkan jenis rempah-rempah lainnya, seperti memiliki aktivitas sporastatik pada jahe. Tahap penentuan konsentrasi asap cair terpilih, dan juga kombinasi bumbu terpilih ditentukan melalui pengujian sensori. Hasil yang terpilih selanjutnya akan dilakukan uji

mikrobiologi (TPC), uji proksimat (kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar air), kadar garam dan kadar abu tak larut asam.

Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan, garam dengan konsentrasi 9 % pada filletbelut asap merupakan perlakuan yang paling banyak diminati oleh panelis, baik itu dari rasa, tekstur, penampakan dan juga warna. Walaupun begitu, tidak semua parameter menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap perlakuan yang dilakukan. Dari lima parameter, hanya penampakan, tekstur dan rasa yang sangat berpengaruh terhadap produk. Selanjutnya perlakuan garam 9 % ini digunakan dalam penelitian utama, yaitu dengan penambahan bumbu dan konsentrasi asap yang berbeda. Bumbu yang ditambahkan terdiri dari kombinasi jahe dan asam, cengkeh dan kayu manis. Sedangkan konsentrasi asap yang digunakan adalah sebesar 0 %, 6 % dan 12 %. Dari uji sensori yang dilakukan, panelis lebih menyukai produk dengan penambahan bumbu kombinasi bumbu dengan asap dibandingkan dengan produk yang hanya diberi penambahan asap cair.

Fillet belut asap dengan bumbu jahe dan asam, serta konsentrasi asap 6 % merupakan produk yang paling banyak disukai panelis. Produk yang paling disukai ini memiliki jumlah bakteri yang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Jumlah bakterinya adalah sebesar 2,6 x 103 . Nilai uji proksimat pada produk terpilih cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Salah satu contohnya adalah kadar air produk terpilih memiliki nilai sebesar 26,68 % dan nilai kadar proteinnya adalah 52,40 %. Bahan pengotor pada produk juga relatif kecil yaitu sebesar 0,28 %.