penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010. Hal ini diduga karena adanya keterbatasan untuk membeli bahan pangan, faktor sosial budaya, dan
preferensi masyarakat terhadap pangan Wahidah 2005. Tabel 7 Tingkat kecukupan protein perkotaan + pedesaan tahun 2008, 2009, dan
2010
No Kelompok Pangan
2008 2009
2010 kkalkaphr
AKP kkalkaphr
AKP kkalkaphr
AKP
1 Padi-padian
702 35.1
701 35.0
682 34.1
2 Umbi-umbian
526 26.3
532 26.6
598 29.9
3 Pangan hewani
190 9.5
182 9.1
182 9.1
4 Minyaklemak
197 9.9
214 10.7
221 11.1
5 Buahbiji berminyak
27 1.3
26 1.3
21 1.0
6 Kacang-kacangan
71 3.5
95 4.7
78 3.9
7 Gula
76 3.8
83 4.2
82 4.1
8 Sayur dan buah
101 5.0
102 5.1
112 5.6
9 Lain-lain
17 0.9
15 0.7
17 0.9
Total 1906
95.3 1950
97.5 1992
99.6
Angka Kecukupan Energi AKE: 2000 kkalkapitahari
Tabel 8 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan Papua mengalami flutuatif dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1910
kkalkaphr, 1807 kkalkaphr, dan 1879 kkalkaphr. Pertumbuhan konsumsi energi di wilayah perkotaan mengalami penurunan 15.5 kkalkaphr 0.68. Hal
ini disebabkan karena terjadi penurunan konsumsi energi di Provinsi Papua maupun nasional pada tahun 2009 DKP 2012.
Tabel 8 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010
Wilayah Konsumsi
Tingkat Kecukupan Pertumbuhan
2008 2009
2010 2008
2009 2010
kkalkaphr AKE
kkalkaphr AKE
Perkotaan 1910
1807 1879
95.5 90.4
94.0 -15.5
-0.75 -0.68
Pedesaan 1905
1993 2026
95.2 99.6
101.3 60.5
3.05 3.16
Perkotaan+Pedesaan 1906
1950 1993
95.3 97.5
99.6 43.5
2.15 2.23
Angka Kecukupan Energi AKE: 2000 kkalkapitahari
Secara kuantitas tingkat kecukupan energi di perkotaan dari tahun 2008 sampai tahun 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.5 AKE, 90.4
AKE, dan 94.0 AKE. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan Papua dan perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi
di perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan Papua. Hal ini dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah perkotaan
Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 1976 kkalkaphr 98.8 AKE, 1891 kkalkaphr 94.6 AKE, dan 1884 kkalkaphr 94.2 AKE DKP 2012.
Konsumsi energi di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami peningkatan dengan pertumbuhan 60.5 kkalkaphr 3.16. Peningkatan
konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 1905 kkalkaphr, 1993 kkalkaphr, dan 2026 kkalkaphr. Konsumsi energi di wilayah
pedesaaan tahun 2010 melebihi rekomendasi WNPG 2004. Hal ini diduga karena aktivitas penduduk di pedesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar
sehingga seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupun prestise. Di wilayah pedesaan tingkat kecukupan energi dari tahun 2008
sampai 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.2 AKE, 99.6 AKE, dan 101.3 AKE.
Apabila dibedakan berdasarkan wilayah pedesaan Papua dan pedesaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di pedesaan Indonesia
cenderung menurun dibandingkan dengan pedesaan Papua. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kecukupan energi di wilayah pedesaan mengalami peningkatan
dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1905 kkalkaphr, 1993 kkalkaphr, dan 2026 kkalkaphr. sedangkan tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah
pedesaan mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2095 kkalkaphr 104.8 AKE, 1961 kkalkaphr 98.1 AKE, dan 1966 kkalkaphr
98.3 AKE DKP 2012. Tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Papua
mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1906 kkalkaphr, 1950 kkalkaphr, dan 1993 kkalkaphr. Namun tidak demikian dengan tingkat
kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2038 kkalkaphr 101.9 AKE,
1927 kkalkaphr 96.4 AKE, dan 1926 kkalkaphr 96.3 AKE DKP 2012. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan+ pedesaan Papua dan
Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan+ pedesaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan+ pedesaan
Papua. Menurut Regmi dan Dyck 2001 terdapatnya perbedaan kebutuhan
energi antara pedesaan dan perkotan adalah perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan. Masyarakat
perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit sedangkan aktivitas penduduk di pedesaan umumya
membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi.
Menurut Martianto, Ariani, dan Hardinsyah 2003, pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa
ataupun prestise, sehingga alokasi pangan lebih pada pangan yang murah dan memberi rasa kenyang.
Konsumsi Protein
Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Sebagai zat pembangun atau pertumbuhan karena merupakan bahan
pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama bagi bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang baru sembuh dari sakit Hardinsyah Matianto 1992.
Protein yang dimakan sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino, setelah dicerna dan diserap oleh tubuh digunakan untuk sintesis protein sel,
protein fungsional seperti hormon dan enzim, dan protein pengangkut seperti transferin.
Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan
diserap oleh tubuh. Protein yang memenuhi syarat tersebut adalah protein yang berkualitas tinggi seperti protein hewani Pudjiadi 2001. Fungsi protein lainnya
menurut Almatsier 2002 protein berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat
gizi dan sebagai sumber energi. Kecukupan protein menurut WNPG 2004 adalah 52 gramkapitahari. Konsumsi protein menurut kelompok pangan dari tahun
2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan.
Tabel 9 Tingkat konsumsi protein perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010
No Kelompok Pangan
2008 2009
2010 gkaphr
AKP gkaphr
AKP gkaphr
AKP
1 Padi-padian
24.5 47.0
23.1 44.4
23.3 44.9
2 Umbi-umbian
0.6 1.1
0.6 1.1
0.6 1.1
3 Pangan hewani
20.2 38.8
19.4 37.4
22.7 43.7
4 Minyaklemak
0.2 0.3
0.1 0.2
0.1 0.1
5 Buahbiji berminyak
0.4 0.8
0.4 0.7
0.4 0.7
6 Kacang-kacangan
5.0 9.6
5.9 11.3
5.6 10.8
7 Gula
0.0 0.0
0.0 0.0
0.0 0.0
8 Sayur dan buah
3.6 6.9
3.3 6.3
3.6 7.0
9 Lain-lain
1.6 3.1
1.2 2.3
1.2 2.4
Total 56.0
107.6 53.9
103.7 57.6
110.7
Angka Kecukupan Protein AKP: 52 gramkapitahari
Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi protein penduduk di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai 2010 berada di atas standar nasional sebesar
52 gramkapitahari yaitu pada tahun 2008 adalah 56.0 gramkapitahari 107.6, 53.9 gramkapitahari 103.7 pada tahun 2009, dan 57.6 gramkapitahari
110.7 pada tahun 2010. Dari tabel tersebut terlihat bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan masih didominasi oleh padi-padian dan pangan hewani dari
tahun 2008 sampai tahun 2010. Walaupun konsumsi protein telah melebihi dari kecukupan, tetapi perlu ditinjau kembali komposisi sumber pangan.
Menurut Pudjiadi 2001, protein hewani lebih baik kualitasnya
dibandingkan dengan protein nabati. Konsumsi pangan hewani akan memberikan asupan zat gizi esensial seperti protein dengan bioavailabilitas yang
baik, vitamin, dan mineral mikro B6, B12, zat besi, iodium, dan seng. Kekurangan zat gizi mikro akan berakibat resiko tinggi terhadap pertumbuhan
janin, bayi, dan anak-anak, penyakit infeksi dan penurunan produktivitas Martianto dan Ariani 2005.
Tabel 10 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Pada
tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 13.9 gkaphr 26.7 AKP, umbi-umbian adalah 4.9 gkaphr 9.5 AKP, pangan hewani adalah 14.4
gkaphr 27.7 AKP, minyaklemak adalah 0.1 gkaphr 0.1 AKP, buah biji berminyak adalah 0.3 gkaphr 0.6 AKP, kacang-kacangan adalah 5.3
gkaphr 10.2 AKP, gula adalah 0.0 gkaphr 0.0AKP, sayur dan buah adalah 4.4 gkaphr 8.5 AKP, dan pangan lainnya adalah 0.9 gkaphr 1.7
AKP. Tabel 10 Tingkat konsumsi protein pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010
No Kelompok Pangan
2008 2009
2010 gkaphr
AKP gkaphr
AKP gkaphr
AKP
1 Padi-padian
13.9 26.7
14.2 27.4
13.7 26.3
2 Umbi-umbian
4.9 9.5
5.3 10.2
5.9 11.3
3 Pangan hewani
14.4 27.7
15.2 29.3
13.6 26.1
4 Minyaklemak
0.1 0.1
0.1 0.1
0.1 0.1
5 Buahbiji berminyak
0.3 0.6
0.3 0.6
0.2 0.5
6 Kacang-kacangan
5.3 10.2
7.3 14.0
5.5 10.6
7 Gula
0.0 0.0
0.0 0.0
0.0 0.0
8 Sayur dan buah
4.4 8.5
5.3 10.1
5.3 10.2
9 Lain-lain
0.9 1.7
0.9 1.6
0.9 1.8
Total 44.2
85.0 48.5
93.3 45.3
87.0
Angka Kecukupan Protein AKP: 52 gramkapitahari
Tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan yaitu pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak lemak,
buah biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut
kelompok pangan. Rendahnya konsumsi protein hewani di pedesaan diduga karena pangan hewani relatif lebih mahal daripada pangan nabati. Oleh karena
pendapatan terbatas, masyarakat di wilayah pedesaan Papua lebih mengutamakan jenis pangan lain yang lebih murah harganya daripada untuk
membeli pangan hewani. Disamping itu masyarakat telah merasa cukup atau
kebutuhan pangan hewani sudah terpenuhi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh preferensi pangan dan pendapatan masyarakat terutama di wilayah pedesaan
Wahidah 2005. Tabel 11 Tingkat konsumsi protein perkotaan+ pedesaan tahun 2008, 2009, dan
2010
No Kelompok Pangan
2008 2009
2010 gkaphr
AKP gkaphr
AKP gkaphr
AKP
1 Padi-padian
16.3 31.3
16.3 31.3
15.9 30.5
2 Umbi-umbian
3.9 7.6
4.2 8.1
4.7 9.0
3 Pangan hewani
15.7 30.3
16.2 31.1
15.6 30.0
4 Minyaklemak
0.1 0.2
0.1 0.1
0.1 0.1
5 Buahbiji berminyak
0.3 0.7
0.3 0.6
0.3 0.5
6 Kacang-kacangan
5.2 10.1
6.9 13.4
5.5 10.7
7 Gula
0.0 0.0
0.0 0.0
0.0 0.0
8 Sayur dan buah
4.2 8.1
4.8 9.2
4.9 9.5
9 Lain-lain
1.0 2.0
0.9 1.8
1.0 2.0
Total 46.9
90.2 49.7
95.7 48.0
92.3
Angka Kecukupan Protein AKP: 52 gramkapitahari
Tabel 11 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun
2008 sampai
2010 menurut
kelompok pangan
di wilayah
perkotaan+pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 16.3 gkaphr 31.3 AKP, umbi-umbian adalah 3.9 gkaphr 7.6 AKP,
pangan hewani adalah 15.7 gkaphr 30.3 AKP, minyaklemak adalah 0.1 gkaphr 0.2 AKP, buah biji berminyak adalah 0.3 gkaphr 0.7 AKP,
kacang-kacangan adalah 5.2 gkaphr 10.1 AKP, gula adalah 0.0 gkaphr 0.0AKP, sayur dan buah adalah 4.2 gkaphr 8.1 AKP, dan pangan lainnya
adalah 1.0 gkaphr 2.0 AKP. Kemudian tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan pangan padi-padian, umbi-
umbian, pangan hewani, minyak lemak, buah biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein
mengalami penurunan menurut kelompok pangan. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah, pada umumnya konsumsi
protein di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan Tabel 12. Selanjutnya jika dikaitkan dengan tingkat pendapatan, di perkotaan lebih tinggi daripada
pedesaan. Pendapatan yang lebih tinggi akan semakin tinggi pula daya beli. Dengan demkian penduduk akan mampu membeli makanan dalam jumlah yang
lebih banyak dan kualitas yang lebih baik, dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam.
Tabel 12 menunjukkan bahwa konsumsi protein di perkotaan+pedesaan dari tahun 2008 sampai dengan 2010 cenderung fluktuatif namun konsumsi
protein masih kurang dari 52 gramkapitahari. Pada tahun 2008 konsumsi
protein adalah 46.9 gramkaphari atau mencapai 90.2 AKP. Kemudian meningkat pada tahun 2009 yaitu 49.7 gramkaphari atau mencapai 95.7 AKP
dan konsumsi protein menurun pada tahun 2010 yaitu 48.1 gramkaphari atau mencapai 92.7 AKP dengan pertumbuhan 0.60 gkaphr 1.48.
Tabel 12 Tingkat kecukupan protein di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010
Wilayah Konsumsi
Tingkat Kecukupan Pertumbuhan
2008 2009
2010 2008
2009 2010
gramkapitahari AKP
gkaphr AKP
Perkotaan 56.0
53.9 57.6
107.6 103.7
110.7 0.80
1.55 1.56
Pedesaan 44.2
48.5 45.3
85.0 93.3
87.0 0.55
1.00 1.51
Perkotaan+Pedesaan 46.9
49.7 48.1
90.2 95.7
92.7 0.60
1.25 1.48
Angka Kecukupan Protein AKP: 52 gramkapitahari
Konsumsi protein di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 melebihi angka kecukupan protein yang direkomendasikan WNPG
2004. Pada tahun 2009 konsumsi protein di wilayah perkotaan adalah 56.0 gramkapitahari atau 107.6 AKP. Pada tahun 2008 tingkat kecukupan protein
menurun dari tahun 2009. Meskipun demikian tingkat kecukupan protein di wilayah perkotaan masih melebihi dari tingkat kecukupan protein yang ideal yaitu
sebesar 59,2 gramkapitahari atau 103.7 persen dari angka kecukupan protein, dimana tingkat kecukupan protein idealnya yaitu 52 gramkapitahari. Konsumsi
protein di wilayah perkotaan meningkat kembali pada tahun 2010 sebesar 57.6 gramkapitahari atau 110.7 persen dari angka kecukupan protein. Hal ini
dibuktikan dengan pertumbuhan konsumsi protein di wilayah perkotaan setiap tahun adalah 0.80 gkaphr 1.56.
Konsumsi protein di wilayah pedesaan belum mencukupi angka kecukupan protein sebesar 52 gramkapitahari dari tahun 2008 sampai tahun
2010. Pada tahun 2009 konsumsi protein di wilayah pedesaan adalah 44.2 gramkapitahari atau 85.0 persen dari angka kecukupan protein. Tingkat
kecukupan protein pada tahun 2009 meningkat dari tahun 2008. Meskipun demikian masih belum mencukupi dari tingkat kecukupan protein yang ideal yaitu
sebesar 48.5 gramkapitahari atau 93.3 persen dari angka kecukupan protein, dimana tingkat kecukupan protein idealnya yaitu 52 gramkapitahari. Konsumsi
protein di wilayah pedesaan menurun kembali pada tahun 2010 sebesar 45.3 gramkapitahari atau 87.0 persen dari angka kecukupan protein. Hal ini
dibuktikan dengan laju pertumbuhan konsumsi protein di wilayah pedesaan setiap tahun adalah 0.55 1.51.
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan Papua lebih tinggi dari pada konsumsi protein di wilayah pedesaan
Indonesia. Hal ini juga didukung dengan konsumsi protein di wilayah perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan perkotaan DKP 2012. Hal ini dapat
dipengaruhi oleh kemampuan daya beli penduduk dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam dan lebih banyak dibandingkan
di desa. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari
kecenderungan masyarakat mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Menurut Hardinsyah, Madanijah, dan Baliwati 2002 Secara umum di tingkat wilayah
faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi pendapatan dan harga, faktor sosiobudaya dan religi.
Kualitas Konsumsi Pangan
Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan, semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan
semakin baik kualitas gizinya. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan PPH. Kualitas konsumsi pangan penduduk
melalui pendekatan PPH dapat dilihat dari nilai skor pangan skor PPH. Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan yang didasarkan atas
proporsi sumbangan energi, baik secara absolut maupun relatif terhadap total energi penyediaan atau konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan
pangan dan gizi penduduk, baik dalam jumlah kualitas maupun keragamannya. FAO-RAPA mendefinisikan PPH sebagai komposisi kelompok pangan
utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya Baliwati 2007. Melalui pendekatan PPH mutu atau kualitas konsumsi
pangan penduduk dapat dilihat dari nilai skor pangan skor PPH. Semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan
berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Menurut Anwar 1996, disebutkan kelebihan pemakaian pendekatan PPH salah satunya adalah
derajat kesehatan penduduk lebih terjamin karena titik tolak pendekatan adalah kecukupan gizi.
Menurut Hardinsyah et al 2001 bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit
kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. komposisi susunan komposisi ideal yang dianjurkan
untuk tingkat konsumsi adalah padi-padian 275 gram, umbi-umbian 100 gram, pangan hewani 150 gram, kacang-kacangan 35 gram, sayur dan buah 250 gram
Dewan Ketahanan Pangan 2006. Susunan pangan sesuai kaidah PPH
sebagaimana dikemukakan oleh Hardinsyah, tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh daya
cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi
pangan. Kualitas konsumsi pangan di Provinsi Papua dibedakan berdasarkan
wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan pada tahun 2008, 2009, dan 2010. Tabel 13 menunjukkan bahwa skor PPH di wilayah perkotaan+
pedesaan mengalami peningkatan setiap tahunnya adalah 78.7 pada tahun 2008, tahun 2009 adalah 80.8, dan tahun 2010 adalah 81.0 dengan
pertumbuhan setiap tahun adalah 1.46. Skor Pola Pangan Harapan di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010
masing-masing adalah 83.2, 80.8, dan 88.2 dengan pertumbuhan skor PPH setiap tahun adalah 3.14.
Tabel 13 Skor pola pangan harapan Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010
Wilayah Skor PPH
Pertumbuhan 2008
2009 2010
Perkotaan 83.2
80.8 88.2
3.14 Pedesaan
76.5 80.2
78.6 1.42
Perkotaan+ Pedesaan 78.7
80.8 81.0
1.46
Skor Pola Pangan Harapan
di wilayah pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan di wilayah perkotaan pada tahun 2008, 2009, dan 2010
masing-masing adalah 76.5, 80.2, dan 78.6 dengan laju pertumbuhan skor PPH setiap tahun adalah 1.42. Hal ini menunjukkan bahwa skor PPH di wilayah
perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan belum ideal disebabkan oleh kurang beragamnya pangan yang dikonsumsi kualitas konsumsi pangan
penduduk di Provinsi Papua. Apabila dibandingkan dengan skor PPH Papua dengan Indonesia, dapat
diketahui bahwa skor PPH Papua lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia Hal ini ditunjukkan dengan skor PPH Indonesia mengalami penurunan dari tahun
2008 sampai 2010 adalah 81.9, 75.7, dan 77.5 DKP 2012. Menurut Baliwati 2007 semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan
penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Secara rinci skor PPH menurut jenis pangan terdapat pada Lampiran
2. Dari hasil analisis dengan pendekatan PPH yang perlu digarisbawahi
adalah kelompok pangan umbi-umbian telah mencapai skor maksimal baik di
wilayah perkotaan maupun di pedesaan Papua. Konsumsi ideal dari kelompok pangan ini adalah 6.0 dari angka kecukupan dan skornya 2.5. Atas dasar
alasan tersebut maka dikatakan bahwa konsumsi pangan di Provinsi Papua belum mencapai jumlah yang ideal.
Menurut Martianto dan Ariani 2004, konsumsi yang masih di bawah konsumsi harapan memerlukan upaya-upaya serius untuk meningkatkan
kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan guna mencapai pola pangan ideal. Upaya ini diantaranya peningkatan pendapatan dan daya beli yang diikuti dengan
perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih
jenis pangan bermutu dengan harga terjangkau. Tabel 14 Kontribusi energi menurut kelompok pangan pangan Provinsi Papua
tahun 2008-2010
No Kelompok pangan
AKE ideal
AKE Pertumbuhan
2008 2009
2010
1 Padi-padian
50.0 35.1
35.0 34.1
-1.43 2
Umbi-umbian 6.0
26.3 26.6
29.9 6.77
3 Pangan hewani
12.0 9.5
9.1 9.1
-2.11 4
Minyaklemak 10.0
9.9 10.7
11.1 5.91
5 Buahbiji berminyak
3.0 1.3
1.3 1.0
-11.54 6
Kacang-kacangan 5.0
3.5 4.7
3.9 8.63
7 Gula
5.0 3.8
4.2 4.1
4.07 8
Sayur dan buah 6.0
5.0 5.1
5.6 5.90
9 Lain-lain
3.0 0.9
0.7 0.9
3.17
Total 100.0
95.3 97.4