NOTARISPPAT SEBAGAI PROFESI YANG MEMPUNYAI KEDUDUKAN MANDIRI

menghadap NotarisPPAT untuk membuat dan menandatangani akta perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Jika menurut perhitungan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku perolehan hak tersebut ternyata wajib membayar pajak BPHTB, maka dengan berbekal akta peralihan hak tersebut, orangbadan hukum yang bersangkutan datang ke kantor pajak atau bank yang ditunjuk untuk membayar pajak yang bersangkutan.

C. NOTARISPPAT SEBAGAI PROFESI YANG MEMPUNYAI KEDUDUKAN MANDIRI

Bahwa secara kelembagaan, baik Notaris maupun PPAT mempunyai kedudukan yang mandiri, tidak tergantung depend on kepada institusi yang mengangkatnya ataupun menjadi subordinasi institusi yang mengangkatnya. Bahwa Notaris dan PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah c.q. Menteri Kehakiman dan Menteri yang bertanggungjawab di bidang agrariapertanahan selaku pembantu Presiden Pasal 17 UUD 1945 Berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai tindaklanjutnya, baik secara eksplisit maupun implisit tidak ada ketentuan bahwa Notaris maupun PPAT menjadi institusi departemenbadan yang tergantung kepada atas yang mengangkatnya atau menjadi bawahan yang mengangkatnya. Tapi yang ada yaitu dalam bentuk pembinaan dan pengawasan dari institusi yang mengangkatnya Untuk pengawasan Notaris berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomorr 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, sedangkan untuk PPAT berdasarkan Pasal 35 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT. Oleh karena itu suatu hal yang aneh jika ada institusi lain yang tidak pernah dan tidak mungkin mengangkatnya, tiba-tiba berkewajiban meminta dan menyuruh serta dapat menjatuhkan denda jika permintaan dan suruhannya tidak diikuti. Hal ini terbukti dan Pasal 26 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, bahwa Pejabat Pembuat Akta TanahNotaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat 1 dan ayat 2, dikenakan sanksi 80 administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 tujuh juta lima ratus ribu rupiah untuk setiap pelanggaran. Secara substansi isi pasal tersebut juga tidak jelas, yaitu berkaitan dengan sanksi administrasi dan denda. Dalam hal ini siapa yang memiliki legitimasi untuk menerapkan sanksi administrasi dan denda tersebut? Penerapan sanksi administrasi dan denda akan berkaitan dengan legitimasi yaitu persoalan kewenangan, yaitu wewenang pengawasan Jan wewenang menerapkan sanksi. Wewenang pengawasan Jan wewenang untuk menerapkan sanksi adalah mutlak. Wewenang harus ditetapkan, balk melalui atribusi maupun delegasi. Pada atribusi pemberian wewenang bare terjadi karena ketentuan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan delegasi merupakan pelimpahan wewenang yang telah ada pads suatu badan instansi yang sebelumnya telah memperoleh wewenang atributif. Pada rumusan Pasal 26 ayat 1 tersebut di atas tidak menyebutkan secara jelas balk secara atribusi maupun delegasi pejabat mana yang diberi kewenangan untuk menjatuhkan denda dan sanksi administrasi, dan sanksi administrasi jenis apa yang akan dijatuhkan kepada NotarisPPAT yang melanggar pasal-pasal tersebut ? tidak jelas bukan? Sehingga suatu hal yang tidak logis dari segi hukum, jika tiba-tiba Departemen Keuangan dan instansi bawahannya berwenang untuk melaksanakan isi Pasal 26 ayat I tersebut dengan mengeluarkan peraturan pelaksanaannya. Padahal secara atribusi ataupun delegasi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tidak menyebutkan kewenangan untuk melaksanakan Pasal 26 ayat 1 ada berada pada Departemen Keuangan dan instansi bawahannya. Oleh karena itu pengenaan sanksi tanpa dasar kewenangan merupakan tindakan onbevoegdheid. Dengan demikian Pasal 26 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Tanah dan Bangunan ridak Japat ditinJaklanjuti karena telah salah secara suhstansi hukum bahkan terlalu Jipaksakan.

D. PENUTUP