Isu Etnik Tionghoa adalah Komunis

50 dianggap sebagai binatang ekonomi yang „memakan‟ dan menguasai semua sumber mata pencaharian sampai orang pribumi tidak dapat bagian. Hal ini dimanfaatkan sebagian orang untuk mengambil keuntungan dari etnik Tionghoa, saat mereka ingin mengembangkan usahanya mereka akan disuguhi dengan berbagai persyaratan yang terkesan justru seperti sebuah “pemerasan” atau bahkan seperti suatu usaha “pembatasan” terhadap etnik Tionghoa. Maka etnik Tionghoa dituntut harus pintar melihat situasi dan kondisi agar tetap bertahan dan aman dalam menjalankan usahabisnis. 45

3.4 Isu Etnik Tionghoa adalah Komunis

Sejak terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang gagal menjadi awal bagi penghancuran PKI, tindakan Angkatan Darat di bawah Soeharto yang membantai “pemberontak” PKI telah mengintimidasi kaum keturunan Tionghoa karena identik dengan Tionghoa Komunis. Dalam tindakan menghancurkan PKI dan membantai, membunuh, memenjarakan, dan menyiksa para aktivis dan simpatisannya, warga keturunan Tionghoa juga menjadi sasaran sikap kemarahan yang didasari prasangka bahwa keturunan Tionghoa identik dengan komunis. Etnik Tionghoa yang ada di Sidikalang saat itu juga merasakan dampak dari peristiwa G30S, memang tidak ada terjadi pembunuhan atau bentuk kekerasan yang 45 Wawancara , Jamesli 59 tahun, kecamatan Sidikalang tanggal 05 Agustus 2015, kehidupan ekonomi etnik Tionghoa lebih sejahtera dibanding etnik lainnya di Sidikalang, sehingga tidak jarang muncul tekanan-tekanan dari oknum-oknum tertentu yang berupa sumbangan-sumbangan sukarela, pemerasan dan pemaksaan. 51 terlihat waktu itu.Namun lebih ke tekanan batin karena masyarakat Sidikalang saat itu juga mencurigai mereka sebagai antek-antek PKI.Semua etnik Tionghoa dikatakan komunis dan pengkhianat negara serta tidak memiliki rasa nasionalis. Beredarnya isu komunis terhadap etnik Tionghoa, pemerintah dari dari kedua Negara Indonesia dan Tiongkok tidak tinggal diam. Dengan kerjasama kedua belah pihak, pemerintah menyediakan kapal-kapal besar untuk mengangkut mereka kembali ke negaranya, terutama mereka yang belum menjadi Warga Negara Indonesia. Etnik Tionghoa di Sidikalang saat itu banyak yang memilih pulang ke negaranya, mereka menjual rumah dan usahanya kepada kerabat yang tinggal ataupun masyarakat Sidikalang.Akan tetapi ternyata tidak semua mereka dapat pulang ke negaranya.Sebagian dari mereka ada yang tidak mendapat kapal dan akhirnya harus kembali lagi ke Sidikalang dan menetap disana. 46 Dengan keadaan yang demikian, etnik Tionghoa yang belum menjadi WNI segera mengurus kewarganegaraan ke pengadilan setempat. Selain itu demi keamanan dan kenyamanan etnik Tionghoa yang telah memilih menjadi Warga Negara Indonesia, akan mencantumkan tulisan “WNI” pada pamflet di depan 46 Kondisi politik yang tidak menguntungkan etnik Tionghoa membuat mereka memilih meninggalkan Indonesia.akan tetapi migrasi besar-besaran ini juga membuat pemerintah khawatir, mengingat peran ekonomi yang mereka miliki cukup besar sehingga akan berdampak pada ekonomi masyarakat Indonesia. hasil wawancara dengan narasumber menceritakan saat terjadi pergolakan politik yang besar tahu 1965 mereka memutuskan untuk kembali ke Tiongkok, akan tetapi setelah menunggu lama di pelabuhan ternyata ada pemberithuan bahwa kapal terakhir telah berangkat dan tidak ada lagi kapal yang bisa mengangkut mereka. Akhirnya mereka kembali ke Sidikalang dan ada juga yang pergi ke luar seperti ke Medan, Jakarta dan lain-lain.Wawancara, Lau Li Ying 55 tahun, kecamatan Sidikalang tanggal l1 Agustus 2015. 52 rumahnya bersama‟an dengan nama toko. Ini dilakukan untuk mempertegas bahwa mereka sudah sah dan sama dengan penduduk Indonesia lainnya, sehingga keberadaan mereka tidak lagi dianggap “asing” ataupun dicurigai oleh masyarakat Sidikalang. Untuk memastikan Sidikalang bebas dari komunis, Kapolda Sidikalang membuat panggilan bagi seluruh etnik Tionghoa untuk menjalani pemeriksaan mengenai keterlibatan mereka dengan Komunis. Setelah menjalani beberapa pemeriksaan tidak terbukti bahwa mereka ikut dan terlibat maka mereka diperbolehkan pulang dengan syarat: sekali sebulan etnik Tionghoa harus melapor ke Polda untuk melapor dan menyatakan diri tidak terlibat. Sebagian kecil etnik Tionghoa menjalankan peraturan ini, namun sebagian lagi memilih tidak menaati.Mereka merasa tidak nyaman dengan peraturan itu, yang terkesan justru sangat memojokkan.Dari sekitar 60 kk etnik Tionghoa yang ada di Sidikalang, hanya 5 kk yang datang ke Polda. Untuk mengatasi hal tersebut Polda membuat panggilan resmi berupa surat undanganpanggilan kepada tiap KK untuk menghadiri panggilan tersebut, jika mereka tidak bersedia maka kepolisian akan menindak-lanjuti dengan cara yang lebih tegas baca keras. 47 47 Wawancara , Jamesli 59 tahun, kecamatan Sidikalang tanggal 05 Agustus 2015, sebagai seorang tokoh yang cukup berengaruh beliau menghimbau kepada semua etnik Tionghoa yang ada di Sidikalang agar menuruti peraturan dari pemerintah karena dianggap merupakan jalan terbaik baik bagi mereka. 53 Kejadian tersebut telah membawa trauma kepada etnik Tionghoa.Tuduhan mereka adalah komunis telah menyudutkan mereka dan membuat ketidak nyamanan dalam hidup bermasyarakat.Ada perasaan kecewa, sedih, dan minder melihat kejadian tersebut.Menurut mereka tuduhan yang dilemparkan kepada mereka tidak adil.Tanpa bukti yang mendasar hanya karena faktor rasa curiga mereka mendapat perlakuan seperti itu.Hal ini menimbulkan keadaan yang semakin renggang antara etnik Tionghoa dengan masyarakat Sidikalang. Dari kedua belah pihak seolah-olah membuat jarak, etnik Tionghoa mulai membentengi diri, perasaan was-was dan sikap hati-hati menjadi karakter mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dari masyarakat Sidikalang sendiri, pernyataan “PKI adalah pengkhianat Negara dan Tionghoa adalah Komunis” telah memasuki pikiran mereka.Rasa curiga bahkan benci mulai tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Sehingga jika bertemu dengan etnik Tionghoa merekaakan menjaga jarak. Di samping itu, etnik Tionghoamasih tetap dicurigai memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan.Masyarakat merasa was-was dan menjaga sikap jika bertemu dengan etnik Tionghoa. Dampak dari fenomena yang demikian akan memunculkan streotip pada masyarakat, Menurut Gerungan sosiologstereotip merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip mengenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan 54 orang –orang lain yang dikenai prasangka itu.Stereotip itu terus berkembang di tengah masyarakat sehingga istilah- istilah seperti “Orang Tionghoa komunis, Tionghoa eksklusif, Tionghoa mata duitan..” terus berkumandang dari generasi ke generasi. Bahkan tanpa ada komunikasi atau pergaulan dengan etnik Tionghoa, suatu generasi akan menerima stereotip tersebut sebagai suatu kebenaran yang turun-temurun. Begitu juga sebaliknya stereotip etnik Tionghoa terhadap etnik lain pribumi, mereka juga mempunyai beberapa jargon untuk orang pribumi, seperti “pribumi malas, pribumi bod oh, pribumi miskin..”. 48 Sejak peristiwa G30S etnik Tionghoa di Sidikalang sebagian memutuskan pindah ke luar kota ataupun ke luar negeri. Mereka merasa tidak nyaman tinggal di Sidikalang dengan segala macam tuduhan dan tekanan yang mereka terima.Namun sebagian memilih tetap tinggal dengan alasan Sidikalang sudah mereka anggap kampung halaman sendiri dan tentunya juga karena Sidikalang menjadi sumber peghasilan bagi mereka. Etnik Tionghoa ini sadar akan keberadaan mereka yang penuh dengan lika-liku, sehingga anak-anak mereka setelah tamat SMA kebanyakan di kirim ke luar negeri Singapura, Cina dan lain-lain untuk kuliah ataupun belajar 48 Bahkan sampai sekarang streotip tersebut masih tetap berkembang, terbukti saat penulis menanyakan pendapat beberapa masyarakat Sidikalang non-Tionghoa terhadap etnik Tionghoa, mereka langsung mengatakan Tionghoa Cina adalah komunis dan pemberontak dan masih segar dalam ingatan penulis bagaimana orang tua dulu mengatakan bahwa peristiwa G30S adalah perbuatan PKI dan semua orang yang terlibat ataupu dianggap komunis disini termasuk etnik Tionghoa harus dijauhi. Memang sejak peristiwa G30S rasa anti terhadap etnik Tionghoa terus meningkat, pemerintah dibawah pimpinan Soeharto membuat suatu cara untuk meredam anti-Tionghoa yang sudah menyebar di tengah rakyar Indonesia, maka pada tanggal 28 Oktober 1977 dibentuklah Badan Semi Pemerintah yaitu Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa disingkat Bakom PKB. Para pemimpin Bakom adalah Sindhunatha dan Harry Tjan Silalahi. Lihat Leo Suryadinata, op. cit., hal. 52. 55 bisnis. Setelah tamat atau sudah menikah mereka lebih memilih tinggal di luar negeri ataupun kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Medan dan Kalimantan yang mereka anggap lebih nyaman daripada kembali ke Sidikalang. Hal inilah yang mempengaruhi etnik Tionghoa kurang berkembang dari segi jumlah. 49 Peristiwa G30S menjadi suatu peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia yang membawa luka tersendiri bagi beberapa pihak termasuk etnik Tionghoa.Satu peristiwa sejarah yang menyakitkan yang menciptakan keadaan yang semakin sulit antara etnik Tionghoa dengan non- Tionghoa pribumi.Peristiwa tersebut memberi sebuah cacat bagi mereka dimata bangsa Indonesia, bahkan menjadi sebuah pupuk yang menumbuhkan rasa anti-Tionghoa di hati masyarakat Indonesia.Untungnya sentimen pada etnik Tionghoa dapat sedikit dibendung dengan adaptasi mereka melalui pernikahan campuran, pemakaian marga dan agama. 50 49 Wawancara , Jamesli 59 tahun, kecamatan Sidikalang tanggal 05 Agustus 2015 dan Lau Li Ying 55 tahun, kecamatan Sidikalang tanggal 11 Agustus 2015. Di daerah lain etnik Tionghoa mengalami nasib lebih buruk, tahun 1966 demonstrasi besar di Indonesia di kedutaan besar dan consult jenderal RRC, serta media massa RRC ditambah dengan meningkatnya kekerasan anti- Tionghoa semakin memperburuk krisis diplomasi internasional. Pers berbahasa Mandarin sudah ditutup sejak awal Oktober 1965, demikian pula sekolah-sekolah Tionghoa pada Mei 1966.Pada bulan Mei 1966 diperkirakan 10.000 WNA Tionghoa diusir dari Lhokseumawe, Aceh. Laporan-laporan media menyatakan bahwa mereka dipaksa untuk berdiri di bawah sinar matahari selama berjam-jam dan tubuh mereka dicoret-coret dengan slogan anti-Tionghoa Coppel, 1983:69, lihat Jemma Purdey, op.cit ., hal. 22-23. 50 Tidak hanya etnik Tionghoa yang mendapat sebutan „penjajah‟, etnik Toba sebagai pendatang juga dianggap sebagai „penjajah‟ oleh etnik asli Pakpak karena dianggap telah „merebut‟ tanah Dairi. Perkembangan etnik Toba yang melampaui etnik Pakpak baik di bidang ekonomi, sosial maupun budaya telah membuat mereka mendapat julukan „penjajah‟ . 56

BAB IV EKSISTENSI ETNIK TONGHOA DI KECAMATAN SIDIKALANG TAHUN