35 biasanya secara adat agar mereka boleh di perbolehkan atau diberikan tanah untuk
tempat tinggal mereka.
29
Di desa Bintang inilah dulunya mereka bermukim dan mengembangkan berbagai mata pencaharian seperti berjualan eceran, tukang, pedagang dan toke.
Penempatan etnik Tionghoa di Pasar lama dipengaruhi faktor saat itu pasar onan masih terdapat di Bintang sebelum akhirnya dipindahkan ke Sidikalang kota. Etnik
Tionghoa dengan jiwa berdagangnya lebih tentu tertarik untuk mengunjungi daerah pasar onan
sebagai pusat aktivitas jual beli. Selain itu, di daerah Sidikalang tanahlahan lebih susah didapatkan karena sudah terlebih dahulu didiami etnik
pendatang lain seperti Toba. Namun seiring dengan perkembangan sosial-ekonomi mereka banyak yang pindah ke daerah kota, bahkan sekarang hampir semua sudah
berada di Sidikalang.
30
3.2 Interaksi Sosial Etnik Tionghoa dengan Etnik Lain
Dalam menjalankan kehidupan bersama, berbagai etnik yang berbeda latar belakang kebudayaan tentu akan terlibat dalam hubungan timbal balik sosial berupa
aksi saling mempengaruhi antara individu dan individu, antara individu dan
29
Perlu kita ingat bahwa situasi zaman itu berbeda dengan sekarang, zaman dulu untuk mendapatkan tanah masih mudah. Etnik Pakpak sebagai penduduk asli memilki banyak tanah kosong,
itulah sebabnya mereka dengan mudah akan memberikan ijin kepada pendatang untuk tinggal di daerah mereka. Hal ini jugalah yang terjadi kepada etnik Toba ketika datang ke Dairi.
30
Setelah memiliki modal mereka banyak yang pindah, mereka menjual rumah dan tanah. Saat ini tidak ada lagi pemukiman mereka di sana. Namun dengan adanya kelenteng dan kuburan
Tionghoa membuktikan bahwa di desa Bintang pernah berkembang etnik Tionghoa.
36 kelompok, dan
antara kelompok dan kelompok yang
disebut interaksi sosial.
31
Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu sama lain maka tidak mungkin
ada kehidupan bersama. Begitu juga dengan etnik Tionghoa yang hadir di Sidikalang, Interaksi sosial yang dilakukan etnik Tionghoa dengan etnik non-Tionghoa inilah
yang akan mempengaruhi perkembangan mereka baik dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun kebudayaan.
Di Sidikalang tidak ada pemukiman khusus etnik Tionghoa seperti di daerah lain di Indonesia seperti kelurahan Kranggan di Semarang. Tidak ada wilayah
Pecinan yang menjadi tempat tinggal khusus mereka, rumah mereka berada di antara
rumah penduduk Sidikalang.Bagaimana terbentuknya lingkungan hidup yang rukun tergantung interaksi sosial yang dijaga sebaik mungkin agar tidak menimbulkan
konflik ataupun keributan.Seiring berjalannya waktu interaksi dan penyesuaian diri
31
Hubungan yang terjadi antar warga masyarakat berlangsung sepanjang waktu.Rentang waktu yang panjang serta banyaknya warga yang terlibat dalam hubungan antar warga melahirkan
berbagai bentuk interaksi sosial.Di mana pun dan kapan pun kehidupan sosial selalu diwarnai oleh dua kecenderungan yang saling bertolak belakang. Di satu sisi manusia berinteraksi untuk saling bekerja
sama, menghargai, menghormati, hidup rukun, dan bergotong royong. Di sisi lain, manusia berinteraksi dalam bentuk pertikaian, peperangan, tidak adanya rasa saling memiliki, dan lain-lain.
Etnik Tionghoa di Sidikalang dalam interaksi sosial menerima berbagai reaksi dari masyarakat seperti penolakan, rasa curiga sampai kerja sama dan menghagai.
37 yang mereka lakukan talah membuat kehidupan mereka sedikit demi sedikit
mengalami perubahan.
32
3.3.1 Pengunaan Bahasa Daerah dan Pernikahan Campuran Interaksi sosial antara etnik Tionghoa dengan masyarakat Sidikalang terjalin
dengan baik.Hal ini di karenakan etnik tionghoa ini dengan cepat beradaptasi, salah satunya yaitu melalui bahasa. Bahasa adalah kunci utama untuk membangun
komunikasi, mereka menyadari betul hal ini sehingga mereka belajar bahasa daerah seperti Pakpak dan Toba sampai mereka menjadi fasih sehingga akan mempermudah
interaksi sosial dengan penduduk setempat. Selain itu untuk menjalankan usaha perdagangan yang merupakan sebagai mata pencaharian utama mereka diperlukan
penguasaan bahasa. Dulu masyarakat Sidikalang bukanlah seperti sekarang yang menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Satu satunya bahasa yang
dikusai adalah bahasa daerah.Itulah sebabnya sebagai pendatang etnik Tionghoa ini akhirnya harus ikut menguasai bahasa daerah.
Pada generasi awal, etnik Tionghoa selain mampu menggunkan bahasa daerah mereka juga tetap mempertahankan bahasa asli mereka.untuk komunikasi sesama
Tionghoa mereka lebih memilih menggunakan bahasa sendiri. Hal inilah yang sering
32
Pecinan adalah daerah khusus tempat tinggal etnik Tionghoa, identik dengan rumah rumah toko yang berhimpitan, harum dupa, kelenteng, sampai ke suasana permukiman masyarakatnya yang
khas dengan jalan-jalan yang sempit.Sebagai makhluk sosial, etnik Tionghoa tentu harus melakukan interaksi dengan masyarakat setempat non-Tionghoa.hal ini dilakukan untuk membangun suatu
hubungan harmonis dimana kedua belah pihak dapat hidup saling menerima satu sama lain.
38 menimbulkan ketidaksukaan dari etnik lain, ketika sesama etnik Tionghoa berbicara
di depan etnik lain yang tidak mengerti hanya bisa menduga-duga apa yang mereka bicarakan, hal baik atau burukkah atau siapa yang sedang di mereka bicarakan.
33
Lama-kelamaan penggunaan bahasa asli semakin berkurang, tinggal di lingkungan dengan etnik yang berbeda membuat setiap hari mereka harus menggunakan bahasa
daerah ataupun bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Adapun penggunaan bahasa asli itu hanya sebatas di lingkungann rumah saja.
Sistem kekerabatan etnik Tionghoa tradisional adalah menurut garis bapak atau patrilinear.Dalam sistem keluarga seperti ini yang memegang peranan penting
dan berkuasa adalah ayah dan keturunan laki-laki.Apabila ayah sudah meninggal yang memegang pimpinan dalam keluarga adalah anak laki-laki yang tertua. Anak
laki-laki berperan untuk meneruskan She nama keluarga dari keturunan ayah. Selain itu anak laki-laki juga bertanggung jawab untuk merawat abu leluhur.Oleh karena itu
anak laki-laki mempunyai kewajiban untuk melakukan pemujaan terhadap roh leluhur.Tradisi ini masih ada sampai saat ini, bahkan ketika laki-laki Tionghoa telah
33
Saat etnik lain mendengar sesama etnik Tionghoa berbicara dalam bahasa Tionghoa, mereka akan marah bahkan tidak jarang mereka membentak dan melarang etnik Tionghoa untuk
munggunakan bahasa Tionghoa. Karena tidak mengerti apa yang etnik Tionghoa bicarakan, mereka merasa bisa saja isi pembicaraannya sedang menjelek-jelekkan mereka ataupun hal-hal buruk lainnya.
Wawancara , S. Sihombing 81 tahun, kecamatan Sidikalang tanggal 08 Juli 2015.
39 menikah dari perempuan etnik lain dan menganut agama lain, dia akan tetap
menjalankan pemujaan terhadap leluhur tersebut.
34
Pembauran dapat terjadi melalui berbagai hal salah satunya dengan pernikahan antaretnik, seperti Tionghoa di Sidikalang yang telah melakukan
pernikahan campuran dengan etnik Toba, Pakpak maupun Simalungun.Dalam hal ini pernikahan dapat kita lihat sebagai salah satu strategi adaptasi mereka, agar
keberadaan mereka dapat diterima dan aman ketika berada di lingkungan yang baru. Sebagai contoh ketika mereka telah menikahi boru Batak maka akan diberi tanah
panjaean dalam tradisi Batak ada tanah yang biasa diberi kepada anak yang sudah
menikah. Walaupun memang pernikahan terjadi bisa juga karena faktor lain misalnya karena tidak adanya perempua etnik Tionghoa yang ikut ke Sidikalang.
35
Apapun latarbelakangnya pernikahan campuran ini akan membawa suatu dampak bagi kehidupan mereka.
Saat mereka memasuki pernikahan campuran maka secara otomatis mereka harus mengikuti adat-istiadat etnik dari pasangannya. Mereka tentu harus
34
Wawancara , Alin 52 tahun, Jl. Sisingamangaraja bawah, kecamatan Sidikalang tanggal
18 Mei 2015, beliau adalah penerus dari ayahnya yang bertanggung jawab menjaga abu leluhur dan juga melaksanakan pemujaan leluhur. Padahal beliau telah menikah dengan seorang perempuan Batak
Toba dan telah menganut agama Kristen.Tapi beliau tetap tidak meninggalkan tradisi mereka walaupun sebenarnya bertentangan dengan agama yang telah dianut.
35
Pada umumnya etnik Tionghoa yang merantau ke Nusantara pada masa lampau amat jarang membawa perempuan walau ada banyak pedagang Tionghoa yang membawa „geisha‟ berlayar
meninggalkan tanah kelahirannya tapi itu merupakan kasus langka. Mereka yang menetap itu biasanya memperistri perempuan lokal.Pememerintah Cina waktu itu memang melarng perempuan untuk keluar
dari negaranya, baru sekitar akhir abad 19 larangan tersebut tidak ada lagi. Benny G. setiono, Tionghoa dalam pusaran Politik
, Jakarta: TransMedia Pustaka, 2008.
40 berpartisipasi dalam mengikuti adat
–istiadat, misalnya dalam upacara pernikahan dan kematian.
Sebab jika tidak mereka akan akan dianggap kurang dalam ber‟adat. Begitu juga sebaliknya, seorang yang telah menikah dengan etnik Tionghoa maka
harus mengikuti adat Tionghoa. Selain itu untuk mempererat hubungan adat, mereka akan mendapatkan marga dari pihak etnik Batak. Sebab untuk tetap dapat
menjalankan Dalihan Natolu ‟nya, tentu kedua belah pihak harus sama-sama memiliki
marga.
36
Selain karena pernikahan campuran ini etnik Tionghoa dapat juga memakai marga melalui proses adat. Mereka akan minta ijin pada tokoh salah satu marga yang
nantinya akan mereka gunakan. Pemilihan marga ini juga sudah mereka pelajari dengan baik, mereka akan melihat etnik apa yang paling mendominasi di daerah itu,
jika Toba maka mereka akan memasuki marga etnik tersebut. Lebih spesifik lagi, marga apa di etnik Toba itu yang paling berpengaruh di masyarakat maka itulah
kemudian yang di dekati untuk di minta ijin pemakaian marga.Untuk ijin pemakaian marga tidaklah sembarangan harus dilaksanakan secara adat.
Melalui pemakaian marga tersebut maka harapannya mereka tidak akan dianggap asing lagi, masyarakat Sidikalang akan memperlakukan mereka sama
sebagaimana dengan etnik mereka sendiri. Hal ini tentu akan membawa keuntungan
36
Marga yang dipilih adalah marga yang paling dekat pertaliannya dan cocok dengan keluarga. Misalnya jika si Pria akan memberi marga pada calon istri maka marga yang beri adalah
marga “tulang” si laki-laki. Jika dari pihak perempuan yang akan memberi marga, maka marga yang diberikan kepada calon pasangannya adalah marga amangboru dari si perempuan, dan biasanya
pemberian marga ini akan di syahkan secara adat. Wawancara, M. Saragih 51 tahun, kecamatan Sidikalang tanggal 03 Agustus 2015.
41 tersendiri bagi mereka, dengan memakai marga seperti menjadi sebuah jaminan
keamanan bagi mereka untuk tetap bertahan di Sidikalang. Di samping itu, ada juga beberapa orang atau tokoh masyarakat yang akan memberikan tanah lahan secara
gratis jika mereka telah resmi memakai marga tersebut. 3.3.2 Kepercayaan Tradisional Etnik Tionghoa
Dalam hal agama dan kepercayaan etnik Tionghoa memiliki pandangan dan prinsip masing-masing. Adakalanya mereka telah memasuki sebuah agama akan
tetapi dalam prakteknya mereka tetap melaksanakan kepercayaan leluhur mereka. Masalah kepercayaan ini lebih ke personal masing-masing. Pada masa awal
kedatangannya, mereka
masih membawa
kepercayaan tradisional,mereka
menjalankan ritual-ritual tradisi yang sama dengan yang dilakukan oleh leluhurnya di kampung halamannya. Bentuk-bentuk ritual persembahan yang dilakukan misalnya
me’nyungsung abu leluhur, me’nyungsungDewa Kwan Kong dan sembahyang cetia yang terdapat di masingmasing rumah, di mana bentuk-bentuk ritual seperti ini masih
dipertahankan sampai saat ini. Ada banyak keyakinan dan kepercayaan yang mempengaruhi kehidupan
sehari-hari etnik Tionghoa.beberapa kepercayaan terkait dengan kewajiban-kewajiba religious atau dengan keberuntungan di masa depan.Kepercayaan etnik Tionghoa
angat terkait dengan upaya mengejar kesuksesan duniawi, menenangkan arwah- arwah yang sudah mati dan mengungkapkan misteri di masa depan. Ketiga hal
tersebut bisa dikendalikan dengan cara memberi penghormatan ritualistik pada
42 mereka yang sudah mati sehingga arwah mereka tenang dan senang, adat, kebiasaan
dan cara hidup seperti itulah yang mereka bawa ke bagian dunia manapun etnik Tionghoa bertempat tinggal.
37
Di Sidikalang etnik Tionghoa tetap menjalankan kepercayaan mereka seperti Tao dan Fe Kong meski telah tinggal di lingkungan masyarakat yang memiliki agama
dan kepercayaan yang sangat berbeda.Itulah sebabnya setelah meminta ijin secara adat dari masyarakat Sidikalang mereka membangun rumah ibadah berupa kelenteng
di desa Bintang dan juga membuat pemakaman khusus untuk etnik Tionghoa yang berada tepat di samping kelenteng dengan luas kurang lebih 2 ha.
3.3.4 Mata Pencaharian Etnik Tionghoa Mata pencaharian etnik Tionghoa identik dengan perdagangan.Perdagangan
adalah dunia yang terbuka, siapapun dapat memasukinya. Hanya saja, tingkat kompetensi yang tinggi antara pelaku-pelaku perdagangan memerlukan nyali
dan perhitungan ekonomi yang tepat dalam menghadapi dinamika yang senantiasa bergerak dan tidak semua orang mampu melakukan itu.
Etnik Tionghoa adalah etnik yang dikenal menguasai sebagian besar perdagangan di Indonesia, sebagian besar jalur distribusi barang dikuasai oleh etnik
ini. Penguasaan etnik Tionghoa atas jalur distribusi terbentuk melalui proses sejarah yang panjang. Hal tersebut dapat talah terjadi sejak masa kolonial Belanda, etnik
Tionghoa dalam struktur perdagangan kolonial telah dipakai sebagai pihak perantara
37
Frena Bloomfield, Chinese Beliefs; Mendalami Pola Berikir Orang Cina, Surabaya: Penerbit Liris, 2010, hal. 5-6.
43 antara orang-orang Belanda dengan orang-orang pribumi, selain itu mereka diberikan
fasilitas monopoli perdagangan dan sebagai pelaksana rumah pegadaian, serta pemungut pajak.Pada masa pemerintahan orde baru, pedagang etnik Tionghoa juga
mendapatkan fasilitas yang lebih atas perdagangan, sehingga dapat mendominasi retail, usaha kecil, perdagangan komoditas, perdagangan besar, transportasi, industri,
perbankkan, dan keuangan. Pada 1930-an merupakan awal atau cikal-bakal perkembangan ekonomi etnik
Tionghoa disektor perdagangan. Sejak awal kedatangan mereka ke Sidikalang berbagai macam mata pencaharian telah mereka geluti, ada yang menjadi tukang goni
botot, membuat seng talang air, jual akan asin, pedagang keliling, jual garam dan bahkan mereka juga bekerja mengantar air dari daerah Pasar Lama untuk dijual ke
penduduk Sidikalang. Karena saat itu pegelolaan air bersih belum seperti sekarang ini.Kehidupan mereka masih sangat sulit, pekerjaan mereka masih serabutan,
pekerjaan apapun dilakukan asalkan menghasilkan uang.Periode ini dapat dikatakan sebagai tahap merintis.
38
Selain itu, ada juga etnik Tionghoa yang bekerja sebagai pedagang perantara Sidikalang sebagai daerah pertanian, berbagai macam hasil bumi seperti
kopi, nilam, kemenyan di kumpulkan dan disalurkan melalui pedagang perantara Tionghoa tadi.Belanda memberi kesempatan kepada kepada etnis Tionghoa untuk
38
Wawancara , Jamesli 59 tahun, kecamatan Sidikalang tanggal 05 Agustus 2015.
44 berdagang.Posisi yang ditawarkan adalah sebagai pedagang perantara, kususnya
sebagai pengumpul barang-barang hasil pertanian ataupun perkebunan dari masyarakat, lalu memperdagangkannya selanjutnya kepada pengusaha Belanda.
39
Terlebih ketika jalur akses jalan ke Sidikalang dibangun oleh Belanda, sehingga memudahkan keluar masuk transaksi barang dari Dairi ke daerah lain
seperti Medan, Aceh dan Berastagi. Pada masa ini etnik Tionghoa semakin banyak yang berdatangan ke Sidikalang. Mereka ada yang datang hanya untuk urusan dagang
namun ada juga yang akhirnya tinggal menetap di Sidikalang.Sebagian dari mereka ada yang datang dari Medan, Berastagi, Pematang Siantar dan lain-lain.
Selanjutnya periode 1941-1958 sistem kehidupan etnis Tionghoa yang sebagai
perdagangan perantara
mulai bergeser,
terlebih setelah
masa kemerdekaan.Masyarakat etnik Tionghoadi Sidikalang menjadi pedagangan rumahan
atau pertokoan.Usman Pelly mengatakan masa kemerdekaan dapat juga dikatakan sebagai masa peralihan bagi etnik Tionghoa, yaitu peralihan dari pedagang perantara
menjadi pedagang grosir ataupun pedagang rumahan.Di sinilah mereka mulai membuka usaha seperti pembuat roti, pembuat tahu, pembuat sepatu, tukang jahit,
tukang arloji, reparasi dan gilingan kopi, jagung, kacang.Semua usaha tersebut merupakan bidang usaha yang selama ini belum dilirik oleh masyarakat
Sidikalang.Sebagai perintis berbagai usaha industri di Sidikalang, mereka dapat
39
Benny G Setiono, op. cit., hal 102.
45 dikatakan cukup berhasil.Secara ekonomi mereka mengalami peningkatan dan dalam
menjalankan usahanya mereka juga memperkerjakan penduduk Sidikalang Etnik Tionghoa di Sidikalang juga semakin banyak membuka usaha seperti
toko kelontong, alat elektronik, bengkel, jual mie dan lain-lain.Usaha ini semakin berkembang dan membuat mereka betah tinggal di Sidikalang. Selain itu keberhasilan
mereka juga melahirkan orang-orang yang dianggap terkaya dan populer di Sidikalang.
40
Selain itu etnik Tioghoa membuka usaha jual mie yang dinamakan mie laksa.Usaha ini cukup berkembang dan diterima baik oleh masyarakat Sidikalang.
Sebelumnya masyarakat Sidikalang belum banyak mengenal makanan yang berbahan mie, sehingga ketika etnik Tionghoa memperkenalkan makanan baru ini, mie laksa
menjadi salah satu makanan yang sangat digemari.
41
Dalam menjalankan usaha bisnisnya, etnik Tionghoa juga melibatkan masyarakat non-Tionghoa, misalnya sebagai penjaga toko dan supir angkut
barang.Selain itu mereka juga melakukan kerjasama untuk mengembangkan usahanya.Misalnya bioskop Bako Raya yang merupakan hasil kerjasama antara Jamu
Bako etnik Pakpak dengan pemilik Toko Cahaya salah satu etnik Tionghoa yang sudah cukup lama di Sidikalang.
40
Salah satu orang Tionghoa yang sangat terkenal karena kekayaannya pada saat itu ialah Zu, beliau membuka berbagai macam usaha seperti menjadi toke kopi, penjual kain, bioskop dan toko
kelontong.Beliau memiliki rumah yang cukup besar dan mewah pada waktu itu.Kemudian pada tahun 1954 bioskopnya mengalami kebakaran sehingga bioskop tersebut tidak berfungsi lagi.Wawancara, R.
Situmeang 66 tahun, kecamatana Sidikalang tanggal 12 Agustus 2015.
41
Etnik Tionghoalah yang pertama sekali memperkenalkan mie laksa atau yang lebih kita kenal dengan bakmie kepada masyarakat Sidikalang. Selain itu mereka juga memperkenalkan nasi
goreng yang dicampur dengan daging.
46 Memasuki tahun 1959, pada masa Orde Lama muncullah Peraturan
PemerintahPP 10 tahun 1959 yang mengatur mengenai larangan untuk orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten kebawah dan wajib
mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangannya sampai batas 1 Januari1960. PP No.10 ini dimaksudkan
untuk menyehatkan perekonomian nasional yang pada masa itu didominasi oleh orang asing khususnya etnik Tionghoa. PP No.10 tahun 1959 memerintahkan agar
usaha-usaha pedagang eceran bangsa asing di luar ibukota kabupaten harus ditutup dan pedagang itu hanya boleh berdomisili di tempat tinggalnya. Sedangkan
tempatnya berjualan selama ini tidak dibenarkan digunakan untuk usaha dan semua barang-barangnya yang berada di dalam tempatnya berjualan harus diserahkan
kepada koperasi. Sementara status Dairi masih menjadi bagian wilayah Residen Tapanuli, belum sah menjadi sebuah kabupaten sehingga etnik Tionghoa tidak boleh
berdagang di Sidikalang.
42
42
Berdasarkan surat Residen Tapanuli No. 1256 tanggal 12 September 1947, Paulus Manurung ditetapkan sebagai Kepala Daerah Tingkat II pertama di Kabupaten Dairi yang
berkedudukan di Sidikalang terhitung mulai 1 Oktober 1947. Oleh sebab itu, sebenarnya sejak 1 Oktober 1947 telah ditetapkan menjadi hari jadi Kabupaten Dairi.Namun setelah itu terjadi pergolakan
politik, yaitu Agresi Militer I dan II. Setelah situasi dan kondisi Indonesia kembali normal dari pergolakan Agresi Militer serta dengan adanya pengakuan kedaulatan tahun 1948, maka sesuai
ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah yang sebenarnya mulai berlaku sejak diumumkan pada 1 April 1950 menyatakan bahwa
semua kabupaten yang dibentuk sejak Agresi Militer I dan Agresi Militer II harus kembali dilebur mengingat situasi dan kondisi yang belum stabil, sehingga Kabupaten Dairi harus menjadi bagian dari
Kabupaten Tapanuli Utara. Rupanya peleburan ini menimbulkan rasa tidak senang dari masyarakat Dairi karena mereka merasa bahwa Dairi memiliki kebudayaan sendiri sebagai salah satu sub suku
Batak dan memiliki letak geografis yang strategis sehingga mudah untuk melakukan hubungan lalu lintas dan ekonomi dengan Kota Medan dari pada ke Tapanuli Utara. Untuk mendapatkan persetujuan
ini rakyat Dairi harus sabar menunggu keputusan dari pemerintah pusat karena untuk merubah ataupun
47 Di Sidikalang sendiri diketahui bahwa setelah dikeluarkannya PP10, puluhan
warga etnik Tionghoa yang menetap pergi meninggalkan Sidikalang menuju ke wilayah lainnya seperti Medan, Jakarta maupun pulang ke Tiongkok. Mereka
khawatir dengan keberlangsungan kehidupan mereka setelah berlakunya PP10 dikarenakan kehidupan mereka hanya bersandar pada bidang perdagangan.
Selain PP10, kemudian keluar juga peraturan yang mengatur tentang Persetujuan antara Indonesia-Cina mengenai dwikewarganegaraan. Diwajibkan
kepada setiap orang yang mempunyai dwi-kewarganegaraan untuk menentukan pilihan, apakah memilih menjadi warganegara Indonesia, atau tetap menjadi
warganegara Cina dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia.Kewajiban memilih itu dibebankan kepada orang dewasa yang telah berumur 18 tahun atau pernah
menikah.Pemilihan kewarganegaraan itu dilakukan dengan menyatakan kepada petugas-petugas negara, kewarganegaraan mana yang hendak dipilihnya, secara
tertulis atau secara lisan, dengan disertai surat-surat keterangan diri serta keluarganya.Anak-anak yang belum dewasa menyatakan pilihannya dalam waktu
satu tahunsetelah mereka dewasa.
menyetujui suatu daerah menjadi kabupaten tentunya harus mempunyai landasan hokum. Melalui Sidang DPR Republik Indonesia dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1964 Tanggal 13 Februari 1964 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi yang berlaku surut sejak 1 Januari 1964 yaitu bahwa Kabupaten Dairi menjadi daerah otonomi
yang terpisah dari Tapanuli Utara serta berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Maka Dairi resmi menjadi sebuah Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi dengan ibukotanya
Sidikalang.Peresmian ini dilakukan oleh Gubernur KDH Provinsi Sumatera Utara Ulung Sitepu pada 2 Mei 1964 di Gedung Nasional Sidikalang. Lihat Bappeda Sumatera Utara, Sumatera Utara
Membangun
, Medan: Percetakan Offset Sakti, 1976, hal. 350.
48 Adanya peraturan pemerintah ini, kemudian menjadi salah satu penyebab
masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia terbagi menjadi dua pihak.Satu pihak yang memilih kewarganegaraan Indonesia, dan pihak lainnya
yang memilih kewarganegaraan Cina.Di Sidikalang sendiri, etnik Tionghoa yang memilih
kewarganegaraan Cina memilih keluar.Sedangkan yang memilih warganegara Indonesia tetap tinggal di Sidikalang.
Saat persaingan semakin meningkat, etnik Tionghoa yang tinggal di Sidikalang masih bisa bertahan, pengalaman dan hubungan mereka dengan etnik
Tionghoa di luar kota ataupun di luar negeri membantu mereka untuk tetap bertahan dalam perdagangan. Etnik Tionghoa mampu mengusai pusat penjualan segala jenis
barang-barang, seperti barang elektronik, pusat perkakas rumah tangga, barang hiasan dan barang-barang perlengkapan lainnya.
Setelah peristiwa „pengusiran‟ etnik Tionghoa tahun 1959, di satu sisi keberadaan etnik Tionghoa yang sekalipun telah menjadi WNI tetap merasa asing
atau diasingkan.Sepetinya mereka belum bisa „diterima‟ masyarakat Sidikalang, karakter terkesan eksklusif masih melekat dalam mainset masyarakat Sidikalang.
Sedangkan dari sudut pandang etnik Tionghoa, mereka hanya berusaha menjalankan usaha dan bisnis untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan berbagai cara dan kerja
keras. Sehingga kehidupan mereka berorientasi pada masalah uang, perdagangan dan
49 bisnis.Sehingga menciptakan kesan hubungan yang terjalin antara etnik Tionghoa
dengan masyarakat Sidikalang hanya terbatas pada urusan dagang atau bisnis.
43
Sampai pada peristiwa G30S tahun 1965 yang membuat etnik Tionghoa berada pada posisi tidak menguntungkan, membuat mereka tidak betah tinggal di
Sidikalang akan dibahas pada judul berikutnya. Usaha-usaha yang dulunya dikuasai etnik Tionghoa mulai terbagi dengan masyarakat non-Tionghoa.Mereka berusaha
menyamai pedagang Tionghoa antaralain dengan membuka toko-toko kelontong, rumah makan, bengkel, toko emas dan lain-lain. Pekerjaan toke kopi, jagung, kacang
yang hanya dipegang oleh etnik Tionghoa juga merambah pada masyarakat non- Tionghoa, apalagi masyarakat masih sangat kental akan adat dan tradisi, maka
mereka akan memilih toko dan toke yang dikelola oleh keluarga dan teman semarga.
44
Semakin meningkatnya persaingan ekonomi dengan etnik lain membuat etnik Tionghoa mencoba mencari usaha lain selain perdagangan, seperti manufaktur dan
jasa , maka muncullah istilah etnik Tionghoa sebagai „economic animal‟. Mereka
43
Untuk menghadiri acara adat atau acara sosial, etnik Tionghoa jarang mau ikut terlibat secara langsung kecuali mereka yang sudah melakukan pernikahan campuran. Pemakaian marga dan
penguasaan bahasa hanya sebuah strategi adaptasi untuk sebuah kepentingan. Sehingga memunculkan kesan yang kurang baik di hati masyarakat. Wawancara, M. Silalahi 57 tahun, kecamatan Sidikalang
tanggal 20 juli 2015.
44
Dengan banyaknya etnik Tionghoa yang menutup usahanya dan meninggalkan Sidikalang telah memberikan peluang kepada etnik lain untuk berkembang dan membuka usaha perdagangan.
Banyak pedagang yang membuka usaha mereka baik ditengah kota maupun di daerah lainnya. Tidak heran jika di Sidikalang banyak toko-toko yang dikelola oleh etnik Toba, Simalungun dan
Pakpak.Wawancara, R. Situmeang 66 tahun, kecamatan Sidikalang tanggal 12 Agustus 2015.
50 dianggap sebagai binatang ekonomi yang „memakan‟ dan menguasai semua sumber
mata pencaharian sampai orang pribumi tidak dapat bagian. Hal ini dimanfaatkan sebagian orang untuk mengambil keuntungan dari etnik Tionghoa, saat mereka ingin
mengembangkan usahanya mereka akan disuguhi dengan berbagai persyaratan yang terkesan justru seperti sebuah “pemerasan” atau bahkan seperti suatu usaha
“pembatasan” terhadap etnik Tionghoa. Maka etnik Tionghoa dituntut harus pintar melihat situasi dan kondisi agar tetap bertahan dan aman dalam menjalankan
usahabisnis.
45
3.4 Isu Etnik Tionghoa adalah Komunis