commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara filosofis ideologis, otonomi dapat dipandang sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuhnya partisipasi yang luas bagi masyarakat
dan mendorong agar daerah mampu membuat keputusan secara mandiri tanpa harus bergantung pada kebijakan pemerintah pusat. Secara prinsip, “tujuan utama
otonomi daerah adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya, sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol
masyarakat kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata Alim Muhammad, 2000 : 1.
Para pakar baik dari bidang hukum maupun dan bidang Administrasi Negara menengarai bahwa kebijaksanaan Otonomi Daerah terkesan tidak lebih dari
nuansa politis yang melatar belakangi kepentingan pihak-pihak yang berkuasa. Secara, sekilas gejala tersebut dapat dilihat dari kebijaksanaan desentralisasi yang
ditempakan di Indonesia pada jaman kolonial sampai jaman pemerintahan Orde Baru. Kesan ini terus membayangi serial produk serta kebijakan yang lahir.
Sebagai gambaran sejak merdekanya bangsa kita pada tahun 1945 sudah lebih enam buah Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ditambah dengan
sebuah Penetapan Presiden Penpres telah ditetapkan. Masing-masing mempunyai substansi dan pendekatan yang berbeda satu dengan lainnya. Akan tetapi
pengalaman menunjukkan bahwa setelah beberapa waktu dijalankan, serntia perairan tersebut harus diganti dengan dasar ketidakpuasan terhadap peraturan-
peraturan tersebut, serta anggapan substansi dari peraturan-peraturan tersebut sudah tidak mampu mengakomodasikan perkembangan zaman. Ahi Suyudi,
1999:1 Perubahan undang-undang Pemerintahan Daerah yang telah lebih enam
kali dilakukan tersebut dapat dilihat sebagai kondisi ketidakstabilan politik perundang-undangan di bidang otonomi daerah. Namun demikian, hal ini bukan
berarti bahwa tiap peraturan perundang-undangan harus selalu “everlasting” dan
commit to user
2
sudut keberlakuannya. Berkaitan dengan hal ini, Harun Alrasid mengatakan bahwa, Undang-undang sebagai suatu produk hukum adalah “subject to change”. Artirya,
apabila dirasakan setelah tidak sesuai dan tidak lagi mampu untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan riil yang hidup di masyarakat, maka
suatu Undang-undang dapat segera diamandemenkan, bahkan kalau perlu amandemen tersebut dapat dilakukan sesering mungkin. Hal ini secara positif dapat
dilihat sebagai pencerminan adanya lembaga Legislatif yang responsive terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Harun Alrasid, 1999:1
Frekuensi perubahan Undang-undang ini memang cukup tinggi, bahkan dapat dikatakan memegang “rekor” dalam hal kuantitas perubahan. Perkembangan
ini jika ditinjau dan sisi positif mungkin menandakan bahwa diskusus mengenai Otomotif Daerah terus berkembang dan berusaha memenuhi perkembangan yang
terjadi. Akan tetapi apabila substansi perubahan tersebut dikaji lebih lanjut maka akan timbul pertanyaan, “apakah nilai-nilai normatif dan empiris yang ada selama
ini tidak cukup memberikan pedoman yang jelas bagi kebijakan Otonomi Daerah. Sehingga nuansa politis selalu dapat memegang peranan penting dibandingkan
dengan nuansa teoritis nonnative, dan menimbulkan efek bahwa Indonesia tenis berada dalam pencarian bentuk ideal dalam rangka hubungan pusat dan Daerah.
Moh.Mahfud MD, 1999:1971. Seiring dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar
yang menjadi Urusan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningakatan kesejahteraan rakyat.
Dalam kontek ini, penyelenggaraan desentralisasi, mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah. Pembagian urusan Pemerintahan tersebut diadakan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan Pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran
commit to user
3
bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan Pemerintahan tersebut menyangkut
terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Secara eksplisit, dalam Pasal 10 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004
disebutkan bahwa, “Pemerintahan daerah menyelenggarakon urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan Pemerintahan yang
oleh Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah”. Dalam pasal yang sama ayat 3 dinyatakan “Urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat : 1 meliputi : a. polilik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. Moneter dan fiscal nasional, f agama”.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah adalah sisa kewenangan Pemerintah Pusat atau recidual power
Hanif Nurcholis, 2005: 88. Secara konkret Pemerintah Daerah memiliki kewenangan sebagai mana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004,
sedangkan dalam Pasal yang sama ayat 2 dinyatakan, “Urusan pemerintahan kabupaten kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara
nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa urusan yang menjadi kewenangan Daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
pemerintahan wajib adalah suatu urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup
minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan berkaitan dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.
Agar Pemerintah Daerah dapat menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik maka dibutuhkan penataan lembaga daerah terutama dinas daerah
sebagai tangan penyangga. Pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab.
Berdasarkan konsekuensi kewenangan yang dimiliki oleh daerah tersebut, maka dituntut adanya lembaga Pemerintahan daerah yang berbentuk dinas-dinas
commit to user
4
daerah yang merupakan lembaga daerah yang efisien dan rnempunyai kewenangan yang tepat. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya
mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas,
luaswilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potellsi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana. dan. prasarana
penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat dacrah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam Penjelasan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo yang merupakan salah satu daerah otonom di Indonesia. Dengan mengambil judul “Pelaksanaan Perda
Kabupaten Sukoharjo No. 3 Tahun 2006 dalam kaitannya dengan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya”.
B. Perumusan Masalah