PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2008 8 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN DINAS DAERAH DAN TATA KERJANYA

(1)

commit to user

PELAKSA NO PEM Disu ANAAN PE OMOR 3 TA MBENTUKA

usun dan Dia Derajat Sarj U RIA UN ERATURAN AHUN 2008 AN DINAS Penu ajukan untuk ana dalam I Universitas S

A BONUS C NIM

FAKU NIVERSITA

SU

N DAERAH 8 DALAM K DAERAH D ulisan Huku (Skripsi) k Melengkap lmu Hukum Sebelas Mare Oleh : CAHYANIN M : E110512

ULTAS HUK AS SEBELA URAKARTA 2010 H KABUPAT KAITANNY DAN TATA um pi Persyarata m pada Fakult

et Surakarta NG UTOMO 22 KUM AS MARET A TEN SUKO YA DENGA A KERJANY

an Guna Mer tas Hukum O T OHARJO AN YA raih


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2008 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN DINAS DAERAH DAN TATA KERJANYA

Disusun oleh :

RIA BONUS CAHYANING UTOMO NIM : E1105122

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dosen Pembimbing

Suranto, SH. MH NIP.1956 0812 1986 011001


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi )

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2008 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN DINAS DAERAH DAN TATA KERJANYA

Disusun oleh :

RIA BONUS CAHYANING UTOMO NIM : E1105122

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas HukumUniversitas Sebelas Maret Surakarta

pada :

Hari : Senin

Tanggal : 28 Februari 2011

DEWAN PENGUJI

1. Sugeng Praptono, S.H.,M.H. ( ... ) NIP. 195608121986011001

2. Aminah, S.H,M.H. ( ...) NIP. 195105131981032001

3. Suranto, S.H.,M.H. ( ... ) NIP. 195608121986011001

MENGETAHUI Dekan,

Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP.196109301986011001


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Ria Bonus Cahyaning Utomo NIM : E 1105122

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: Pelaksanaan Perda Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2008

Dalam Kaitannya Dengan Pembentukan Dinas Daerah adalah betul-betul

karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta,

Penulis yang membuat pernyataan

Ria Bonus Cahyaning Utomo E 1105122


(5)

commit to user

v

ABSTRAK

RIA BONUS CAHYANING UTOMO. E 1105122. PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMO 3 TAHUN 2008 DALAM KAITANNYA DENGAN DINAS DAERAH DAN TATA KERJANYA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum Desember 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2008 dalam dalam kaitannya dengan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya serta untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam pembentukan Dinas Daerah tersebut.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Data yang digunakan berupa data primer yang bersumber dari para pejabat dan staf terkait serta data sekunder yang bersumber dati literatur, dokumen dan peraturan perundang-undangan dari perpustakaan.

Dari hasil-hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2008 berlangsung secara efektif. Hal tersebut dapat diketahui dari proses pembentukannya telah sesuai dengan dasar hukum, tahapan maupun asas dan prinsip-prinsip dalam pembentukan kelembagaan daerah dengan menerapkan pola minimal sehingga di kabupaten sukoharjo hanya membentuk 12 dinas daerah. Faktor-faktor penghambat dalam pembentukan Dinas daerah di Kabupaten Sukoharjo meliputi faktor internal dan faktor eksternal.


(6)

commit to user

vi

ABSTRACT

Ria Bonus Cahyaning Utomo. E 1105122. The implementation of local regulation of Sukoharjo Regency Number 3 of 2008 in relation to the Local Agencies and Work Procedure. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. Law Writing of December 2010.

This research aims to find out the implementation of local regulation of Sukoharjo Regency Number 3 of 2008 in relation to the establishment of Local Agencies and Work Procedure as well as to find out the inhibiting factors in the establishment such Local Agencies.

This study belongs to a descriptive research. The data employed were primary data originating from the officials and related staffs and secondary data originating from literature, document and legislation from library.

From the result of research, it can be concluding that the implementation of local regulation of Sukoharjo Regency Number 3 of 2008 proceeds effectively. It can be seen from its establishment process that has been consistent with the legal foundation, stages or principles in the establishment of local agencies by applying the minimum pattern so that Sukoharjo Regency only establishes 12 local agencies. The inhibiting factors in the establishment such Local Agencies in Sukoharjo Regency include internal and external factors.


(7)

commit to user

vii

MOTTO

Bersyukurlah terhadap nikmat apa yang kamu dapat walaupun

sekecil apapun nikmat itu

Setiap cobaan yang kita dapat pasti akan menimbulkan kekuatan

baru dalam diri kita

Setiap ilmu yang kita dapat akan bermaanfaat apabila kita

amalkan dan kita sampaikan kepada setiap orang


(8)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul:

”PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 3 TAHUN 2008 DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBENTUKAN DINAS DAERAH DAN TATA KERJANYA”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum atau skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materil maupun moril yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan rendah hati Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menjalani penulisan skripsi dengan baik.

2. Bapak Mohammad Jamin, S.H, M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum UNS

yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi.

3. Bapak Suranto, S.H, M.H, selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan pendampingan secara sabar kepada penulis selama menjalani penulisan skripsi.

4. Ibu Aminah, S.H, M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah

memberikan izin untuk mengambil penulisan hukum skripsi bagian Hukum Tata Negara.

5. Bapak Harjono, S.H, M.H selaku Ketua Program yang setia membimbing dan mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan hukum skripsi dengan baik dan sesuai harapan.


(9)

commit to user

ix

6. Bapak Suyono, S.H, M.H selaku Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Sukoharjo yang telah memberikan izin penelitian atau survey di lingkup wilayah kerja dinas Kabupaten Sukoharjo.

7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta atas kerja samanya yang sangat baik dengan penulis selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Sebelas Maret Surakarta dengan baik

8. Seluruh keluarga di rumah Sragen, PapahKu dr.H.Tjahjo Utomo yang selalu mendukung, mendoakan, memberi semangat tiada henti – hentinya tanpa putus asa atas semua langkah penulis baik di bidang moril dan materiil, KakakKu Rikho Wahyu Prasetyo Utomo, S.H. yang sering ngomel dan memarahi penulis hingga membuat penulis sering jengkel dan sebal walaupun demikian ujung – ujungnya tetap akur, Simbah Kakung dan Simbah Putri di Klaten yang mendoakanku selalu dan menanti kehadiranKu setiap saat, Keluarga PapahKu Semarang dan Keluarga besar (Almarhumah) MamahKu Sri Suparti, B.A. yang mendukung dan memberi semangat hidup yang lebih dan tiada hentinya kepada penulis.Dan something spesial for my mother Almarhumah Sri Suparti, B.A yang telah mengandung,melahirkan penulis sehingga penulis dapat menimba dan memperoleh ilmu yang setinggi – tingginya sampai dengan detik ini,semoga beliau tenang dan bahagia di sisiNya,Amien ya robb.

9. Seluruh Keluarga AKBP Suharyanto, S.H, M.H terima kasih atas

kesediaannya memberikan tempat,fasilitas dan sebagainya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan hukum skripsi selesai dengan baik.

10.Buat terkasih dan tersayang just especially to Iptu Pol Weldi Rozika, S.H, Iptu Pol Muhammad Luthfi Armanza, Iptu Pol Indra Bima Agung Perdana Putra, Ipda Pol Arjuna Wijaya, Ipda Pol Imam Mustolih, Nuruz Zaman Hakim, S.H from me mengucapkan banyak terima kasih atas saran, kritik, inspirasi dan motivasinya baik dalam bentuk materiil dan moril yang tiada henti – hentinya


(10)

commit to user

x

dimana sangat bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum skripsi.

11.Teman – Teman Fakultas Hukum yang selalu memberi masukkan, saran,

kritik dan semangatnya tidak henti – hentinya baik suka maupun duka.Livia Ekayani Sukamdi, S.H, Vany na arip, abang”Putri”, S.H, Bonus Tri Kurniadi,S.H, Dayu Wijanarko, S.H, Yanur, S.H. alias simbah.

12.Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat Penulis amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.

13.Teman – teman Rumah Sragen dan Klaten yang selalu memberi saran,

semangat, kesegaran dan warna tersendiri dalam hidup penulis. Hanifah Louhan,Spd.A, Ita itux Naruto,Spd, Linda Klaten bini na Agus,Mas Hery Lia dan Mas Heru.

14.Semua pihak yang secara langsung atau tidak telah membantu dan mendukung penulis dalam menjalani hari-harinya selama penulisan skripsi berlangsung. 15.Dan terakhir kepada sebuah pengharapan entah nyata atau fana yang selalu

membuatku bertahan hidup dan melangkah lebih baik lagi dari hari ke hari. Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu Penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga karya tulis ini mampu memberikan manfaat bagi Penulis maupun para pembaca.

Surakarta, Desember 2010 Penulis


(11)

commit to user

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 5

F. Sistematika Penulisan Hukum ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Kerangka Teori ... 11

1. Tinjauan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 11 2. Asas-Asas Pemerintahan Daerah ... 19

3. Otonomi Daerah ... 21

4. Organisasi Pemerintah Daerah ... 29

5. Tinjauan tentang Kelembagaan Daerah ... 34

6. Tinjauan tentang Teori Pelaksanaan Hukum (Peraturan Daerah ... 36


(12)

commit to user

xii

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Kondisi Daerah Kabupaten Sukoharjo ... 44

B. Ketentuan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya menurut Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ... 47

C. Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 dalam Kaitannya dengan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya di Kabupaten Sukoharjo ... 51

D. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pembentukan Dinas Daerah di Kabupaten Sukoharjo ... 58

BAB IV PENUTUP ... 59

A. Simpulan ... 59

B. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA


(13)

commit to user

xiii

DAFTAR LAMPIRAN


(14)

commit to user

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara filosofis ideologis, otonomi dapat dipandang sebagai suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuhnya partisipasi yang luas bagi masyarakat dan mendorong agar daerah mampu membuat keputusan secara mandiri tanpa harus bergantung pada kebijakan pemerintah pusat. Secara prinsip, “tujuan utama otonomi daerah adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya, sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol masyarakat kepada pemerintah menjadi lebih kuat dan nyata (Alim Muhammad, 2000 : 1).

Para pakar baik dari bidang hukum maupun dan bidang Administrasi Negara menengarai bahwa kebijaksanaan Otonomi Daerah terkesan tidak lebih dari nuansa politis yang melatar belakangi kepentingan pihak-pihak yang berkuasa. Secara, sekilas gejala tersebut dapat dilihat dari kebijaksanaan desentralisasi yang ditempakan di Indonesia pada jaman kolonial sampai jaman pemerintahan Orde Baru. Kesan ini terus membayangi serial produk serta kebijakan yang lahir.

Sebagai gambaran sejak merdekanya bangsa kita pada tahun 1945 sudah lebih enam buah Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ditambah dengan sebuah Penetapan Presiden (Penpres) telah ditetapkan. Masing-masing mempunyai substansi dan pendekatan yang berbeda satu dengan lainnya. Akan tetapi pengalaman menunjukkan bahwa setelah beberapa waktu dijalankan, serntia perairan tersebut harus diganti dengan dasar ketidakpuasan terhadap peraturan-peraturan tersebut, serta anggapan substansi dari peraturan-peraturan-peraturan-peraturan tersebut sudah tidak mampu mengakomodasikan perkembangan zaman. (Ahi Suyudi, 1999:1)

Perubahan undang-undang Pemerintahan Daerah yang telah lebih enam kali dilakukan tersebut dapat dilihat sebagai kondisi ketidakstabilan politik perundang-undangan di bidang otonomi daerah. Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa tiap peraturan perundang-undangan harus selalu “everlasting” dan


(15)

commit to user

sudut keberlakuannya. Berkaitan dengan hal ini, Harun Alrasid mengatakan bahwa, Undang-undang sebagai suatu produk hukum adalah “subject to change”. Artirya, apabila dirasakan setelah tidak sesuai dan tidak lagi mampu untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan riil yang hidup di masyarakat, maka suatu Undang-undang dapat segera diamandemenkan, bahkan kalau perlu amandemen tersebut dapat dilakukan sesering mungkin. Hal ini secara positif dapat dilihat sebagai pencerminan adanya lembaga Legislatif yang responsive terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. (Harun Alrasid, 1999:1)

Frekuensi perubahan Undang-undang ini memang cukup tinggi, bahkan dapat dikatakan memegang “rekor” dalam hal kuantitas perubahan. Perkembangan ini jika ditinjau dan sisi positif mungkin menandakan bahwa diskusus mengenai Otomotif Daerah terus berkembang dan berusaha memenuhi perkembangan yang terjadi. Akan tetapi apabila substansi perubahan tersebut dikaji lebih lanjut maka akan timbul pertanyaan, “apakah nilai-nilai normatif dan empiris yang ada selama ini tidak cukup memberikan pedoman yang jelas bagi kebijakan Otonomi Daerah. Sehingga nuansa politis selalu dapat memegang peranan penting dibandingkan dengan nuansa teoritis nonnative, dan menimbulkan efek bahwa Indonesia tenis berada dalam pencarian bentuk ideal dalam rangka hubungan pusat dan Daerah. (Moh.Mahfud MD, 1999:1971).

Seiring dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi Urusan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningakatan kesejahteraan rakyat.

Dalam kontek ini, penyelenggaraan desentralisasi, mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pembagian urusan Pemerintahan tersebut diadakan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan Pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran


(16)

bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/ tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan Pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.

Secara eksplisit, dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004

disebutkan bahwa, “Pemerintahan daerah menyelenggarakon urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan Pemerintahan yang oleh Undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah”. Dalam pasal yang sama ayat (3) dinyatakan “Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat : (1) meliputi : a. polilik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. Moneter dan fiscal nasional, f agama”. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah adalah sisa kewenangan Pemerintah Pusat atau recidual power (Hanif Nurcholis, 2005: 88). Secara konkret Pemerintah Daerah memiliki kewenangan sebagai mana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004, sedangkan dalam Pasal yang sama ayat (2) dinyatakan, “Urusan pemerintahan kabupaten kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan”.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa urusan yang menjadi kewenangan Daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan berkaitan dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.

Agar Pemerintah Daerah dapat menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik maka dibutuhkan penataan lembaga daerah terutama dinas daerah sebagai tangan penyangga. Pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab.

Berdasarkan konsekuensi kewenangan yang dimiliki oleh daerah tersebut, maka dituntut adanya lembaga Pemerintahan daerah yang berbentuk dinas-dinas


(17)

commit to user

daerah yang merupakan lembaga daerah yang efisien dan rnempunyai kewenangan yang tepat. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luaswilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk, potellsi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani, sarana. dan. prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat dacrah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam (Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007).

Berkaitan dengan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo yang merupakan salah satu daerah otonom di Indonesia. Dengan mengambil judul “Pelaksanaan Perda Kabupaten Sukoharjo No. 3 Tahun 2006 dalam kaitannya dengan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya”.

B. Perumusan Masalah

Masalah dapat diartikan sebagai suatu informasi yang mengandung pertanyaan atau yang dapat dipertanyakan, mengandung kejelasan atau ketidakpastian (Taliziduhu Ndraha, 199T 30-31). Setiap penelitian yang akan dilakukan selalu berangkat dari masalah (Sugiyono, 2004: 25). Rumusan masalah dimaksudkan untuk penegasan, masalah-masalah yang akan diteliti sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian sasaran, Adapun beberapa permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Pelaksanaan Penataan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 3

Tahun 2008 dalam kaitannya dengan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya?

2. Faktor apa saja yang menjadi penghambat Pemerintah Kabupaten Sukoharjo dalam Pembentukan Dinas Daerah?


(18)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh gambaran tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah

Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2008 dalam kaitannya dengan Pembentukan Dinas Daerah dan Tata Kerjanya.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam

pembentukan dinas daerah di Kabupaten Sukoharjo.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Dalam hal ini penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi aparatur pemerintah daerah dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam melakukan proses legislasi daerah dalam pembentukan Organisasi Perangkat Daerah.

2. Manfaat Teoritis

Dalam hal ini manfaat teoritis dari penelitlan ini diharapkan mencapai hasil sebagai berikut:

a. Dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada

umumnya dan hukum pemerintahan daerah pada khususnya.

b. Semakin memperkaya konsep-konsep dan teori-teori tentang pelaksanaan otonomi daerah.

c. Dapat dipakai sebagai respon terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

E. Metode Penelitian

Suatu penelitian dapat dikatakan mencapai hasil yang diharapkan atau tidak sangat tergantung pada metode penelitian yang digunakan. Metode penelitian ini dapat mengemukakan teknis, tata kerja dari sebuah penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:


(19)

commit to user

1. Jenis Penelitian

Penelitian penulisan hukum ini termasuk jenis penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti data sekunder pada awalnya untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat (Soerjono Soekanto, 1986: 52).

2. Sifat Penelitian

Ditinjau dari sifatnya, penelitian hukum ini termasuk dalam penditian diskriptif evaluatif Menurut Soerjono Soekanto penelitian diskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala lainnya. Maksud dari penelitian diskriptif ini adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru. Sedangkan penelitian evaluatif pada umumnya dilakukan, apabila seseorang ingin menilai program-program yang dijalankan (Soerjono Soekanto, 1986: 10).

3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Bagian Hukum dan Pertanahan Kabupaten Sukoharjo Lokasi tersebut dipilih berdasarkan hasil pra penelitian bahwa di Kabupaten Sukoharjo sudah dilakukan evaluasi produk hukum daerah Sukoharjo.

4. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks kbusus yang alamiah dan dengan memanfhatkan berbagai metode alamiah (Lexy J. Moleong, 2007:6). Menurut Soerjono Soekanto pendekatan kualitatif adalah merupakan tata cara penelitian


(20)

yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata.

5. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini terdiri dari a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama, atau melalui penelitian di lapangan. Data primer diperoleh dari para pejabat dan staf pada bagian hukum, Bagian pemerintahan dan bagian Organisasi Sekretariat Pemerintah Kabupaten Sukoharjo berkompeten untuk memberikan keterangan yang berhubungan dengan penggunaan metode dalam evaluasi produk hukum daerah.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang penulis peroleh dari studi kepustakaan. Data sekunder diperoleh dari kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder, tersier, bahan-bahan kepustakaan dan beberapa buku-buku referensi, artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitan ilmiah, dokumen, internet, peraturan perundang-undangan meliputi UUD 1945, UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 41 Tahun 2007, bahan-bahan kepustakaan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mendukung, penelitian ini adalah:

a. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan dengan dua orang pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Lexy J. Moleong. 2007: 186). Wawancara sangat diperlukan untuk memperoleh data yang sebenarnya dan yang diberi pertanyaan adalah orang-orang yang


(21)

commit to user

terkait dengan penelitian. Wawancara yang dimaksud diatas dilakukan penulis dengan para pejabat dan staf dari Bagian Hukum, Bagian Pemerintahan dan Bagian Organisasi Sekretagriat Pemerintahan Kabupaten Sukoharjo.

b. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan adalah suatu teknik pengumpulan data dengan mencari data-data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan pustaka berupa buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan maupun dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikannya kemudian menghubung-hubungkannya dengan teori yang berhubungan dengan masalahnya dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasilnya. Dalam proses analisis terdapat tiga komponen utama yaitu:

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi data dari fieldnote. Proses ini berlangsung tetus sepanjang pelaksanaan penelitian (HB Sutopo, 1988:34).

b. Sajian Data

Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi deskriptif dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar/ skema, jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel sebagai pendukung narasinya.

c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi

Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan tersebut perlu diverifikasi agar mantap dan benar-benar bisa dipertanggung jawabkan.


(22)

Berdasarkan uraian di atas dalam penelittan ini penulis menggunakan model analisis interaktif, yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Model analisis interaktif ini menunjukkan, reduksi dan sajian data yang disusun pada waktu peneliti sudah memperoleh unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian pada waktu pengurnpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan dan verifikasinya berdasarkan pada semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Jika kesimpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti dapat kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman data (HB. Sutopo, 2002:96).

Pengumpulan Data

Sajian Data Reduksi

Data

Penarikan Kesimpulan


(23)

commit to user

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan yang baru dalam penulisan karya ilmiah maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terdiri dari 4 (empat) bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan dan penutup, ditambah dengan lampiran-lampiran dan daftar pustaka, apabila, disusun dengan sistematis adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab I Penulisan Hukum berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum untuk memberikan pemahaman terhadap isi penelitian secara garis besar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab II Penulisan Hukum berisi tinjauan pustaka, yang berisi kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka, teori berisi tinjauan tentang Pemerintahan Daerah, tinjauan tentang produk hukum daerah, tinjauan tentang evaluasi kebijakan publik.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab III menguraikan tentang deskripsi lokasi penelitian, implementasi serta, faktor pendukung dan penghambat Pelaksanaan Perda, No. 3 tahun 2008 dalam Kaitannya, dengan Pembentukan Dinas Daerah di Kabupaten Sukoharjo.

BAB IV PENUTUP

Penutup berisi simpulan dan saran. Simpulan merupakan jawaban singkat dan jelas dari permasalahan yang diteliti, serta saran yang diajukan dari masalah yang ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(24)

commit to user

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Pemerintah daerah adalah hal yang universal karena dapat ditemukan baik pada negara yang berbentuk federal maupun negara kesatuan (Rod Hague dan Martin Harrop, 2001: 211). Keterkaitan bentuk negara federal dan negara kesatuan dengan pemerintah daerah adalah sehubungan dengan adanya pembagian kekuasaan negara yang bersifat vertikal (Soehino). Menurut Juanda (2005:43), penerapan pembagian, kekuasaan di dalam negara yang berbentuk federal dimulai dari pembagian kekuasaan antara pemerintah negara, federal (nasional) dengan pemerintah negara bagian. Pembagian kekuasaan itu diatur di dalam konstitusi.

Sementara itu, dalam negara, kesatuan pembagian semacam itu tidak dijumpai karena pada asasnya seluruh kekuasaan dalam negara berada ditangan pemerintah pusat. Walaupun demikian hal itu tidak berarti bahwa seluruh kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat, karena ada kemungkinan mengadakan dekonsentrasi kekuasaan ke daerah lain dan hal ini tidak diatur di dalam konstitusi. Lain halnya dengan negara kesatuan yang bersistem desentralisasi. Dalam konstitusinya terdapat suatu ketentuan mengenai pemencaran, kekuasaan tersebut (Sri Soemantri, 1987:65).

Pembentukan organisasi pemerintah di daerah atau pemerintah tidak sama dengan pembentukan negara, bagian seperti dalam negara federal. Kedudukan pemerintah daerah dalam sistem negara Kesatuan adalah subdivisi pemerintahan nasional. Pemerintah daerah tidak memiliki kedaulatan sendiri sebagaimana negara bagian dalam negara federal. Hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat adalah dependent dan subordinat sedangkan hubungan negara bagian dengan negara federal/ pusat dalam negara, federal adalah independent dan koordinatif (Hanif Nurcholis, 2005: 6). Sehubungan dengan sifat keuniversalan pemerintahan daerah (local self government di


(25)

commit to user

beberapa negara terkandung di dalamnya ciri-ciri sebagai berikut (S.H. Sarudanjang, 1999:27) :

a. Segala urusan yang diselenggarakan merupakan urusan yang sudah

dijadikan urusan-urusan rumah tangga sendiri sehingga urusan-urusannya perlu ditegaskan secara rinci;

b. Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan oleh alat-alat perlengkapan yang seluruhnya bukan terdiri dan para pejabat pusat akan tetapi pegawai pemerintah daerah;

c. Penanganan segala urusan itu seluruhnya, diselenggarakan atas dasar inisiatif atau kebijaksanaan sendiri;

d. Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menguras rumah tangga sendiri adalah hubungan pengawasan;

e. Seluruh penyelenggaraannya pada dasarnya dibiayai dari sumber keuangan sendiri.

Menurut Bhenyamin Hossein (2001:3), keseluruhan prinsip di atas menunjukkan pengertian pemerintah daerah sebagai suatu daerah otonom. Lebih lanjut Nurcholis Hanif (2005: 19-20) menguraikan bahwa dalam pengertian ini, pemerintah daerah berkedudukan sebagai subdivisi politik nasional yang diatur oleh hukum dan secara substansi mempunyai kontrol atas urusan-urusan lokal. Badan pemerintah ini secara keseluruhan dipilih atau ditunjuk secara lokal. Dalam pengertian ini, pemerintah daerah mempunyai Otonomi lokal yaitu mempunyai kewenangan mengajar (rules making) dan mengurus (rules aplication) kepentingan masyarak.at menurut prakarsa sendiri.

Pernyataan selanjutnya seberapa besar batas kepentingan masyarakat yang dapat diatur dan diurus oleh pemerintah daerah? Dalam hal ini berarti mendiskusikan tentang cara penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan tersebut dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu Ultra vires doctrine dan general compelence (Hanif Nurcholis, 2005: 75-76).


(26)

Cara ultra vires doctrine menunjukkan cara di mana pemerintah pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dengan cara merinci satu per satu. Daerah Otonom hanya boleh menyelenggarakan wewenang yang diserahkan tersebut. Sisa wewenang dan wewenang yang diserahkan kepada daerah Otonom secara terperinci, tersebut tetap menjadi wewenang pusat.

Dalam general competence, daerah Otonom boleh menyelengarakan

semua urusan di luar yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Artinya, pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah otonom untuk menyelenggarakan berdasarkan kebutuhan dan misalnya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Di sini pusat tidak menjelaskan secara spesifik kewenangan apa saja yang diserahkan kepada daerah.

Adanya pemerintah daerah dimulai dan kebijakan desentralisasi. Dengan mengutip pendapat Henry Maddick, Hanif Nurcholis (2005: 9) menjelaskan desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang atau fungsi-fungsi tertentu kepada daerah otonom. Selanjutnya, Bhenyamin Hossem dengan mengubah pendapat Rondinelli, Nellis, dan Chema menegaskan bahwa desentralisasi merupakan penciptaan atau penguatan kerangan maupun hukum pada unit-unit pemerintahan subnasional yang penyelenggarannya secara substansial di luar kontrol langsung pemerintah pusat (Bhenyamin Hossein, 2000: 10). Secara umum, desentralisasi mencakup kepada (empat) bentuk, yaitu dekonsentrasi, devousi, pelimpahan pada lembaga semi otonom, dan privatisasi. (Hanif Nurcholis, 2005: 9-11) Dekonsentrasi merupakan penyerahan beban kerja dari kementerian pusat kepada pejabat-pejabatnya yang berada di wilayah. Penyerahan ini tidak diikuti oleh kewenangan membuat keputusan dan diskresi untuk melaksanakannya. Selanjutnya, devolusi merupakan pelepasan fungsi tertentu dari pemerintah pusat untuk membuat satuan pemerintahan baru yang tidak dikontrol secara langsung. Tujuan devoklusi adalah untuk memperkuat satuan pemerintahan di bawah pemerintah pusat dengan cara


(27)

commit to user

mendelegasikan kewenangan dan fungsi.

Selain dalam bentuk dekonsentrasi dan devolusi, desentralisasi juga dilakukan dengan cara pendelegasian pembuatan keputusan dan kewenangan administratif kepada organisasi-organisasi yang masuk di fungsi-fungsi tertentu yang tidak di bawah pengawasan kementerian pusat. Pendelegasian tersebut menyebabkan pernindahan atau penciptaan kewenangan, yang lebih luas kepada suatu organisasi yang secara teknis dan administratif mampu menanganinya, baik dalam merencanakan maupun melaksanakan.

Sementara itu, privatisasi menunjuk kepada penyerahan fungsi-fungsi tertentu dari pemerintah pusat kepada lembaga non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat.

Menurut, Bhenyamin Hoessein (2000:10) bahwa dalam rangka desentralisasi, daerah otonom berada di luar hirarki organisasi pemerintah pusat. Sedangkan dalam rangka dekonsentrasi wilayah administrasi (field administration) dalam hirarki organisasi pemerintah pusat desentralisasi menunjukkan hubungan kekuasaan antar organisasi. Sedangkan dekonsetrasi menunjukkan model hubungan kekuasaan intra organisasi.

Dalam praktik di Indonesia selama ini, di samping desentralisasi dan dekonsentrasi, juga dikenal adanya tugas pembantuan (medebewind). Di

Belanda medebewind diartikan sebagai pembantu penyelenggaraan

kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah-daerah yang tingkatannya. lebih atas oleh perangkat daerah yang lebih bawah. Menurut Bagir Manan (1994:85), tugas pembantuan diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah lebih atas kepada pemerintah daerah di bawahnya berdasarkan undang-undang. Oleh karena itu, medebewind sering disebut sebagai tantra/ tugas, pembantuan. Karena tugas pembantuan pada dasarnya adalah melaksanakan kewenangan pemerintah pusat atau pemerintah di atasnya, maka sumber biaya dari pemerintah yang memberikan penugasan. Sumber biaya bisa berasal dari APBN atau APBD pemerintah daerah yang lebih tinggi.


(28)

Menurut Moh. Mahfud M.D. (1998:93-95), dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah maka ketiga asas tersebut yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas-asas pembantuan, secara bersama-sama menjadi asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Ditambahkan bahwa pelaksanaan hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah melahirkan adanya 2 (dua) macam organ, yaitu pemerintah daerah dan pemerintah wilayah Pemerintah daerah adalah organ daerah Otonom yang berhak mengurusi rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi, sedangkan pemerintah wilayah adalah organ pemerintah pusat di wilayah-wilayah administratif dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi yang terwujud dalam bentuk propinsi dan ibukota negara, kabupaten, kotamadya, kota administratif, dan Kecamatan.

Berbicara tentang hukum sebagai instrument untuk melaksanakan kebijakan publik maka pengkajian tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dewasa ini harus diawali dari ketentuan, yang terdapat di dalam UUD 1945. Ketentuan dimaksud terdapat di dalam Pasal 18, 18A, dan Pasal 188 Perubahan Kedua UUD 1945 (2000). Perubahan tersebut berimplikasi kepada Penjelasannya, karena selama ini Penjelasan dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan batang tubuh dan seringkali dijadikan acuan dan dasar dalam mengkaji sistem pemerintahan daerah (Djuanda, 2005: 237). Di dalam Pasal 18 yang baru tersebut terkandung paradigma baru. dan arah politik pemerintahan daerah, yaitu (Bagir Manan, 2001: 7-17):

a. Pasal 1-8 ayat (2) mengandung prinsip daerah mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pasal 18 lama tidak menegaskan pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya;

b. Pasal 18 ayat (5) mengandung prinsip menjalankan otonomi seluas

luasnya Prinsip ini sebenarnya sewaktu BPUPKI menyusun rancangan UUD hal itu telah nampak dan pidato Ratulangi yang menyebutkan supaya daerah diberikan hak seluas-luasnya untuk mengurus keperluannya sendiri.


(29)

commit to user

Kehendak ini juga ditegaskan dalam UUDS 1950 Pasal 131 ayat (2);

c. Pasal 18A ayat (1) mengandung prinsip kekhususan dan keberagantan

daerah;

d. Pasal 18B ayat (2) mengandung prinsip mengakui dan menghormati

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya,

e. Pasal 18B ayat (1) mengandung prinsip mengakui dan menghormati

pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa;

f. Pasal 18 ayat (3) mengandung prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum;

g. Pasal 18 A ayat (2) mengandung prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil.

Selain prinsip-prinsip tersebut, yang tidak kalah pentingnya juga penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah isi Pasal 18 ayat (4) yang mengandung prinsip demokrasi di dalam menetapkan seorang pemimpin daerah. Dalam UUD 1945, sengaja menggunakan kata “Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokratis” di dalam pasal tersebut untuk memberikan alternatif ke depan bahwa pemilihan Kepala Daerah lain dapat dilakukan melalui DPRD juga dapat dilakukan oleh rakyat secara langsung. Perumusan yang demikian dapat dipahami karena, secara historis Pasal 18 ayat (4) tersebut dibuat sebelum adanya perubahan terhadap Pasal 6 khususnya penambahan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 tentang “Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilili dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Djuanda, 2005: 239).

Kemudian berkaitan dengan pembagian kekuasaan secara vertical maka UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah perubahan tetap dilandasi dengan bentuk negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan Indonesia mengenal 2 (dua) tingkat pemerintahan yaitu pemerintah nasional (pusat) dan pemerintahan daerah (Juanda,2005: 46). Implikasi dari ketentuan tersebut maka berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan Indonesia membagi negaranya ke dalam daerah-daerah otonom dan wilayah administrative. Konsekuensi dari adanya daerah Otonom dan administrasi melahirkan pemerintah daerah otonom dan


(30)

pemerintah wilayah administratif, Kedua pemerintah tersebut sebelumnya merupakan pengejawantahan dari pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan yang digariskan oleh pemerintah pusat. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah hal itu diatur di dalam konstitusi, tetapi karena masalah itu adalah merupakan hakikat dari negara kesatuan (Sri Soemantri, 1998: 53).

Ketentuan lebih lanjut dalam rangka penyelenggamn pemerintahan daerah diatur melalui undang-undang. Dewasa ini Undang-undang yang berlaku adalah UU.No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Ada 4 (empat) prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam undang-undang tersebut, yaitu:

a. Pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Asas otonomi menunjuk kepada hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/ atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/ kota dan/ atau desa serta dari pemerintah kabupaten/ kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu;

b. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, sehingga mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan antara susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah dengan memperhatikan peluang dan tantangan


(31)

commit to user

dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan

d. Pemerintahan daerah dilaksanakan dengan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi dengan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan, pemerintahan negara.

Cara penyerahan kewenangan dilaksanakan menurut general competence. Dalam undang-undang ditentukan bahwa Kewenangan Pemerintah pusat mencakup urusan-urusan: politik luar negeri, pertahanan, Keamanan, yustisi, mononter dan fiskal nasional, dan agama. Sedangkan urusan pemerintahan yang kewenangan provinsi dan kabupaten kota adalah di luar yang ditentukan untuk pemerintah pusat mencakup:

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan

b. Perencanaan, pengawasan, dan pemanfaatan tata ruang;

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan di bidang kesehatan;

f. Penyelenggaraan bidang pendidikan dan alokasi sumber daya manusia; g. Pepanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

h. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha, kecil, dan menengah; i. Pengendalian lingkungan hidup;

j. Pelayanan pertanahan;

k. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil; l. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; m. Pelayanan administrasi penanaman modal; n. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya,

o. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan

perundang-undangan.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa pemerintah provinsi menganut asas dekonsentrasi sekaligus desentralisasi. Berdasarkan asas dekonsentrasi maka provinsi merupakan wilayah administrasi (local state


(32)

goverment).

Keberadaan wilayah administrasi merupakan implikasi logis dan penerapan asas dekonsentrasi. Dalam hal ini dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubenur sebagai, wakil pemerintah dan/ atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Karena yang diserahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat hanya kewenangan administrasi maka terjadi hubungan hirarki antara pemerintah pusat dengan wilayah administrasi. Dengan demikian, wilayah administrasi profinsi adalah bawahan subordinat dan pemerintah pusat dan posisinya tergantung dari pemerintahan pusat. Provinsi di samping menganut asas dekonsentrasi juga menganut asas desentralisasi sehingga ia juga merupakan daerah otonom (local seff government) Sebagai daerah otonom, provinsi mempunyai wewenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasinya.

Sebagai wilayah administrasi, provinsi dikepalai oleh kepala wilayah administrasi sebagai wakil pemerintah pusat. Oleh karena itu ia bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Sementara itu, sebagai daerah otonom, provinsi dikepalai oleh kepala daerah otonom yang bertanggung jawab kepada DPRD, Dalam hal ini, gubernur memangku kedua fungsi tersebut.

2. Asas-asas Pemerintahan Daerah

Dalam pelaksanaan pemerintah daerah harus berdasarkan asas-asas penyelenggaraan pemerintah, yaitu:

a. Asas desentralisasi

Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah tingkat yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah itu. Dengan demikian, prakarsa, wewenang, dan tanggung jawab mengenai urusan-urusan tadi sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah itu, baik mengenai, politik kebijaksanaan, perencanaan, dan pelaksanaannya


(33)

commit to user

maupun mengenai segi-segi pembiayaannya. Perangkat pelaksanaannya adalah perangkat daerah sendiri (CST. Kansil, 2001: 3). Asas desentralisasi menurut Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Asas dekonsentrusi

Asas dekonsentrasi adalah asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal yang lebih tinggi kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Baik perencanaan dan pelaksanaannya maupup pembiayaannya tetap, menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Unsur pelaksanaannya dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat. Latar belakang diadakannya sistem dekonsentrasi ialah bahwa tidak semua urusan pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah menurut asas disentralisasi (CST. Kansil, 2oOl:, 4). Asas dekonsentrasi menurut Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/ atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

c. Asas Tugas pembantuan

Asas tugas pembantuan adalah asas yang menyatakan tugas turut serta dalam pelaksanaan urusan wajib pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas. Misalnya, kotamadya menarik pajak-pajak tertentu seperti pajak kendaraan, yang sebenarnya menjadi hak dan urusan pemerintah pusat (CST. Kansil, 2001: 4). Asas tugas pembantuan menurut Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/ atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta pemerintah kabupaten/ kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.


(34)

3. Otonomi Daerah

Dalam literatur Belanda otonomi berarti pemerintahan sendiri

(zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven dibagi atas zelfwetgeving

(membuat undang-undang sendiri), zelfuitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri) dan zelfpolitie (menindaki sendiri). Namun demikian, walaupun otonomi itu sebagai self government, self sufficiency dan actual independency, keotonomian tersebut tetap berada pada batas yang tidak melampaui wewenang pemerintah pusat yang menyerahkan urusan kepada daerah. Secara etimologis, otonomi daerah berasal dari bahasa latin autos artinya sendiri dan nomos artinya aturan. Pendapat lain memberi arti otonomi sebagai zel welgeving atau pengundangan sendiri, mengatur dan memerintah sendiri.

S. Pamudji menyebutkan bahwa otonomi daerah dalam pengertiannya lebih cenderung pada pendekatan politik, yaitu keterbatasan luas wilayah, pengelompokan etnis, jumlah penduduk dan lebih potensi sumber daya pada daerah kabupaten/kota telah menempatkannya sebagai suatu lingkungan pemerintahan yang secara mutlak tidak memiliki potensi separatis dan tidak membuka peluang bagi berkembangnya federalisme.

Perkembangan otonomi yang secara bertahap, mengarah pada kemandirian dan peningkatan kualitas partisipasi politik masyarakat, akan dapat tetap terkendali di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga masalah otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan.

Pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004


(35)

commit to user

tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa daerah berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah. Hal tersebut diperkuat dengan Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa dasar pembentukan dan pengakuan bagi daerah otonom, yaitu satuan pemerintahan territorial lebih rendah dari negara mempunyai hak mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya (straatrehtelijke decentralisatie). Berdasarkan Pasal 18 beserta paham yang terkandung di dalamnya, maka penjelasan yang memuat keterangan atau bersifat daerah administratif belaka, merupakan sesuatu yang berlebihan. Menyadari makna dan maksud dari Pasal 18, maka semua Undang-Undang tentang atau berkaitan dengan pemerintahan daerah hanya mengatur mengenai pemerintahan otonomi/daerah otonom.

Mengacu ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang dalam penyelenggaraan pemerintah menganut asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan daerah menyelenggarakan otonomi daerah. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan


(36)

landasan kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah.

Sebagai realisasi Pasal 18 UUD 1945, maka dalam Sidang Umum Majelis Permusyaratan Rakyat pada tanggal 7 Mei 1999 telah membentuk Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 sebagaimana dimaksud lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan lembaran Negara Nomor 3839) juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan dasar hukum dari penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan lembaran Negara Nomor 3037) yang tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan otonomi daerah dan perkembangan keadaan.  

Sebagaimana diketahui prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan otonomi daerah adalah dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan bangsa, maka hubungan yang serasi antara pemerintahan pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah dan dilaksanakan bersarna-sama dengan asas dekonsentrasi. 

Memperhatikan pengalaman penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau yang meganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban dari pada hak, maka dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


(37)

commit to user

Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemberian otonomi kepada daerah kabupaten dan daerah kota berdasarkan kepada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.

Kewenangan otonomi luas dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan daerah.

Di samping itu, keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Makna otonomi nyata seperti tersebut dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.  

Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam tugas dan kewajiban yang harus di pikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi daerah, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta dalam rangka menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagir Manan menyebutkan bahwa penyelenggaraan negara mempunyai peranan penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa, oleh karena itu dalam Penjelasan Undang-Undang Negara Republik Indonesia


(38)

Tahun 1995 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam pemerintahan dan hidupnya negara adalah semangat penyelenggaraan negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal sehingga penyelenggaraan negara tidak dapat berjalan semestinya. Hal ini terjadi selama hampir 33 (tiga puluh tiga) tahun yaitu adanya pemusatan kekuasaan, wewenang Presiden sebagai mandataris MPR dalam pemerintahan Orde Baru yang non demokratis. Pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang otonomi dan moneter yaitu telah terjadinya penyelenggaraan negara yang menguntungkan kelompok tertentu yang memberi peluang tumbuhnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi, kolusi dan nepotisme itu tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara saja, tetapi antar penyelenggara negara dengan pihak lain, seperti keluarga kroni-kroninya dan para penguasa sehingga merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang akhirnya akan membahayakan negara.  

Dari tuntutan reformasi diperlukan kesamaan visi, misi dan persepsi dari seluruh penyelenggaraan negara. Kesamaan visi, misi dan persepsi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelenggaraan negara yang mampu menjalankan fungsi dengan penuh tanggung jawab yang dilaksanakan secara efektif dan efisien bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan otonomi Daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.  

Untuk terselenggaranya negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana dirumuskan dalam Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan otonomi Daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut berkaitan langsung atau tidak


(39)

commit to user

langsung dengan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis. Dalam kaitannya dengan tujuan tersebut, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara Yang Bersih dan bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme pada tanggal 18 Mei 1999 (Lembaran negara Tahun 1999 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851). Adapun sasaran pokok dalam Undang-Undang tersebut adalah para penyelenggara negara yang meliputi pejabat negara dan/atau pejabat lain yang memiliki fungsi strategis.  

Undang-Undang tersebut mengatur pula kewajiban para penyelenggara negara antara lain mengumumkan dan melaporkan harta kekayaan sebelum dan setelah menjabat. Sedangkan ketentuan sanksi dalam Undang-Undang tersebut berlaku bagi penyelenggara negara, masyarakat dan komisi pemeriksa sebagai upaya preventif dan represif serta berfungsi sebagai jaminan atas diatasinya asas-asas umum penyelenggaraan negara, hak dan kewajiban penyelenggara negara dan ketentuan lain, sehingga dapat ditentukan memperkuat kelembagaan, moralitas, individu dan sosial.  

Prinsip penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan. Asas desentralisasi secara utuh dan bulat dilaksanakan di kabupaten dan kota. Ketentuan asas desentralisasi di Kabupaten Kuningan Provinsi Jawa Barat dilaksanakan sesuai dengan Pasal 1 huruf d dan e Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Daerah adalah penyelenggara pemerintahan daerah otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi, sedangkan asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah daerah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(40)

Dapat dilihat bahwa tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan pada masyarakat, serta untuk meningkatkan stabilitas politik  tampak adanya keserasian antara kepentingan-kepentingan teknis administratif dengan kepentingan-kepentingan politik yang melekat pada otonomi daerah. Otonomi daerah memberi wewenang daerah untuk mengatur daerahnya berdasarkan prakarsa sendiri yang ditetapkan atas dasar aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.

Atas dasar pemikiran tentang otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab, maka prinsip-prinsip otonomi daerah yang terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 tentang  Pemerintahan Daerah

terdapat 8 (delapan) yaitu :

a) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan

aspek demokrasi, keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah;

b) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan

bertanggungjawab;

c) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi terbatas;

d) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara,

sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah;

e) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian

daerah otonom, dan karenanya daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administratif. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibuat oleh pihak pemerintah atau pihak lain seperti badan otorita kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industrri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan pariwisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom;


(41)

commit to user

f) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan;

g) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur;

h) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya dari

pemerintahan dan kepala daerah, tetapi juga pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Prinsip otonomi yang seluas-luasnya memberikan arti bahwa daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab berarti identik dengan adanya suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan, dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya yang telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi daerah yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dan tujuan nasional.

Sebagai bagian dari salah satu penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pemerintah Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat dalam penyelenggaraan otonomi daerah memanfaatkan potensi dan kekayaan daerah yang dimilikinya


(42)

dengan menerbitkan Keputusan Bupati Kuningan Nomor: 430/KPTS.213-DISPARBUD/209 tanggal 7 Juli 2009 tentang Penunjukkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan sebagai Pengelola Objek dan Daya Tarik Wisata (OTDW) Talagaremis, Paniis, Bumi Perkemahan dan Jalur Pendakian Palutungan, Bumi Perkemahan dan Jalur Pendakian Cibunar, Balongdalem, dan Bumi Perkemahan Cibeureum Dalam Kabupaten Kuningan.

4. Organisasi Pemerintah Daerah

Mengingat negara adalah suatu organisasi raksasa yang juga harus tunduk pada falsafah dan mekanisme organisasi, maka merupakan konsekuensi logis apabila penataan organisasi negara dibagi dalam tingkatan-tingkatan sesuai dengan besar kecilnya organisasi tersebut. (BN. Marbun, 1991 : 6). Dengan meninjau pada Undang-Undang Dasar 1945 dan sistem ketatanegaraan Indonesia, digambarkan struktur pola organisasi pemerintah daerah yang dalam banyak hal merupakan penjabaran dari struktur organisasi negara Republik Indonesia. Pemerintah daerah adalah suatu keharusan dalam struktur negara Republik Indonesia.

Pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Secara umum perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam lembaga sekretariat; unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah; serta unsur pelaksana, daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah urusan pemerintahan yang perlu ditangani.

Besaran organisasi perangkat dacrah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan, keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dari banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan


(43)

commit to user

penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.

a. Kepala daerah

Kedudukan dan peran kepala daerah sangat strategis dalam sistem pemerintahan sehingga dengan kepemimpinan yang efektif kepala daerah diharapkan dapat menerapkan dan menyesuaikan dengan paradigma baru otonomi daerah. Paradigma baru otonomi daerah harus diterjemahkan kepala daerah sebagai upaya untuk mengatur kewenangan pemerintahan sehingga serasi dan fokus pada tuntutan kebutuhan masyarakat, karena otonomi daerah bukanlah tujuan, melainkan suatu instrumen untuk mencapai tujuan (J. Kaloh, 2003: 15). Unwk mewujudkan tujuan tersebut, tugas dan fungsi kepala daerah, yang apabila diidentifikasi terdapat 2 (dua) kriteria tugas yaitu tugas administrasi manajerial dan tugas manajer publik. Tugas administrasi managerial yaitu menggerakkan, mengarahkan, mengendalikan, dan mengawasi jalannya organisasi ke arah pencapaian tujuan, sedangkan tugas manajer publik yaitu menggerakkan partisipasi masyarakat, membimbing, dan membina kehidupan masyarakat sehingga masyarakat ikut serta secara aktif dalam pembangunan. Di samping itu, juga sebagai pelindung warga masyarakat, menjaga keselarasan dan keseimbangan kepentingan seluruh lapisan masyarakat (J. Kaloh, 2003 ; 47 - 48).

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang:

1) memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan

kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, 2) mengajukan rancangan Perda;

3) menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

4) menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada


(44)

5) mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

6) mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat

menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan

7) melaksanakan lugas dan wewenang lain sesuai dengan Peraturaa

perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah mempunyai kewajiban:

1) memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia TahUn 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2) meningkatkan kesejahteraan rakyat;

3) memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; 4) melaksanakan kehidupan demokrasi;

5) menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undang,

6) menjaga etika dan norma dalam penydenggaraan pemerintahan daerah; 7) memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;

8) melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik,

9) melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan

daerah;

10)menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah;

11)menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan

daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD;

12)memberikan laporati penydenggaraan pemerintahan daerah kepada

pemerintah, memberikan laporan keteratigari pertanggungjawaban kepada DPRD, dan menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.


(45)

commit to user

b. Wakil Kepala Daerah

Menurut Pasal 24 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, setiap daerah dipimpin oleh seorang kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah yang dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah. Pasal 26 Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa wakil kepala daerah mempunyai tugas:

1) Membantu kepala daerah dalam melaksanakan meneyelenggarakan

pemerintahan daerah;

2) membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/ atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup,

3) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan

kabupaten dan kota bagi waktu kepala daerah provinsi;

4) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di

wilayah kecamatan, kelurahan dan/ atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/ kota;

5) memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam

penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;

6) melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang

diberikan oleh kepala daerah; dan

7) melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala

daerah berhalangan.

Wakil kepala daerah juga mempunyai kewajiban yang sama dengan kepala daerah seperti yang telah disebutkan di atas kecuali pada huruf (1), yaitu kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, dan menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.


(46)

c. Sekretariat Daerah

Pasal 121 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2064 menyebutkan bahwa:

1) Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah.

2) Sekretaris daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai

tugas dan kewajiban membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

3) Dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/ kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/ Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4) Apabila sekretaris daerah berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas sekretaris daerah dilaksanakan oleb pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah.

d. Dinas Daerah

Pasal 124 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2004, menyebutkan bahwa: 1) Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.

2) Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dan

diberhentikan oleh kepala daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat atas usul sekretaris daerah.

3) Kepala dinas daerah bertanggungjawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.

e. Lembaga Teknis Daerah

Pasal 125 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menyebutkan bahwa:

1) Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala.

daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah.


(47)

commit to user

2) Badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimakud pada ayat (1) dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala rumah sakit umum daerah yang diangkat oleh kepala daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat atas usul sekretaris daerah.

3) Kepala badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) bertanggungjawab kepada kepala daerah melalui sekretaris daerah.

f. Kecamatan

Kecamatan merupakan wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota. Camat mempunyai tugas melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/ walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Kecamatan dipimpin oleh camat. Kecamatan terdiri dari sekretariat, paling banyak 5 seksi, dan sekretariat membawahkan paling banyak 3 sub bagian.

g. Kelurahan

Kelurahan merupakan wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/ kota dalam wilayah kecamatan. Kelurahan dipimpin oleh lurah yang membawahi sekretariat dan paling banyak 4 seksi.

Selain organisasi perangkat daerah di atas, ada beberapa lembaga yang dapat dibentuk oleh daerah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

5. Tinjauan tentang Kelembagaan Daerah

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas


(48)

daerah.

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintah yang bersifat konkuren berdasarkan Undang-Undmg Nomor 32 Tahun 2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi fungsi-fungsi pemerintahan tersebut pada masing-masing tingkatan pemerintahan.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, diselenggarakan oleh seluruh provinsi, kabupaten, dan kota, sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan hanya dapat diselenggarakan oleh daerah yang memiliki potensi unggulan dan kekhasan daerah, yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan memunculkan sektor unggulan masing-masing daerah sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah dalam rangka mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat.

Asas yang dipergunakan dalam penyusunan dan pengembangan kelembagaan daerah adalah:

a. Asas efesiensi; dan

b. Asas efektivitas (Asisten Administrasi Sekda Propinsi Jawa Tengah,

2004).

Dalam penyusunan dan penataan organisasi perlu diperhatikan prinsip-prinsip penataan organisasi sebagai berikut:

a. Ramping struktur kaya fungsi;

b. Kejelasan tujuan organisasi dan visi yang akan diwujudkan;

c. Pembagian dan perumusan tugas yang jelas antara satuan-satuan

organisasi yang akan dibentuk, sehingga tidak terjadi tugas dan fungsi yang tumpang tindih


(49)

commit to user

d. Mempertegas fungsi lini dan staff

e. Menyusun pola organisasi sesuai kebutuhan nyata;

f. Menyusun pengembangan jabatan fungsional, sehingga dapat mengatasi

kekurangan pada jabatan structural

g. Kejelasan beban tugas masing-masing satuan organisasi dan mewadahi

fungsi yang berkembang; dan

h. Memperjelas tata laksana atau mekanisme kerja dan lain-lain (Asisten Administrasi Propinsi Jawa Tengah, 2000: 5).

6. Tinjauan Tentang Teori Pelaksanaan Hukum (Peraturan Daerah)

Hukum merupakan salah satu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban dalam hidup bersama warga masyarakat di dalam masyarakat. Hukum akan tumbuh dan berkembang bila masyarakat menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupan. Sedangkan tujuan hukum sendiri adalah untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat (Soerjono Soekanto,1986:13), Disamping itu, hukum juga dituntut untuk memenuhi nilai-nilai dasar hukum yang meliputi keadilan, kegunaan/ kemanfaatan dan kepastian hukum (Gustav Radbragh dalam Satjipto Rahardjo, 1982: 20-21). Hukum dalam pemahaman ini merupakan peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya adalah peraturan daerah tentu saja dituntut pula untuk memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum walaupun kadang-kadang bila salah satu nilai tersebut tercapai nilai yang lain menjadi terabaikan.

Agar hukum (termasuk didalamnya peraturan daerah) dapat mencapai tujuan tersebut maka hukum tersebut harus dapat berproses secara fungsional dalam masyarakat.

Menyangkut berfungsinya hukum dalam masyarakat maka hukum (Perda) tersebut harus benar-benar dapat berlaku secara efiektif. Berkaitan dengan kebijakan disentralisasi yang syarat dengan kepentingan politik lokal saat ini maka peraturan daerah sebagai produk kebijakan publik dan sebagai instruman yuridis dalam penyelenggaraan otonomi daerah agar pelaksanaannya dapat berlaku secara efektif perlu dilakukan kajian secara


(1)

5. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang tenaga kerja, dan transmigrasi. Untuk melaksanakan tugas pokok Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis dibidang tenaga kerja dan transmigrasi;

b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang

tenaga kerja dan transmigrasi;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang tenaga kerja dan transmigrasi. 6. Dinas Perhubungan, Informatika dan Komunikasi.

Dinas Perhubungan, Informatika dan Komunikasi mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang perhubungan, informatika dan komunikasi. Untuk melaksanakan tugas pokok Dinas Perhubungan, Informatika dan Komunikasi menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis dibidang perhubungan, informatika dan

komunikasi

b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang

perhubungan, informatika dan komunikasi;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang perhubungan, informatika dan komunikasi.

7. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang kependudukan dan pencatatan sipil. Untuk melaksanakan tugas pokok Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis dibidang kependudukan dan pencatatan sipil;

b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang


(2)

commit to user

 

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang kependudukan dan pencatatan sipil.

8. Dinas Pekejaan Umum

Dinas Pekerjaan Umum mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang pekerjaan umum untuk melaksanakan tugas pokok Dinas Pekerjaan Umum menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis dibidang pekerjaan umum;

b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang

pekerjaan umum;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang pekerjaan umum. 9. Dinas Pertanian

Dinas Pertanian mempunyai tugas pokok rnelaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang pertanian. Untuk melaksanakan tugas pokok Dinas Pertanian menyelenggarakan fungsi: a. perumusan kebijakan teknis dibidang pertanian;

b. penyelenggaraan urusan pemerintaban dan pelayanan umum dibidang

pertanian;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang pertanian. 10.Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang koperasi dan usaha mikro, keeil dan menengah. Untuk melaksanakan tugas pokok Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menyelenggarqkan fungsi:

a. perumusan kebijakan telcnis dibidang koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah;

b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang

koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah.


(3)

11.Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Dinas Perindustrian dan Perdagangan mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang perindustrian dan perdagangan. Untuk melaksanakan tugas pokok Dinas Perindustrian dan Perdagangan menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis dibidang perindustrian dan perdagangan;

b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang

perindustrian dan perdagangan;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang perindustrian dan perdagangan. 12.Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah

Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan dibidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah. Untuk melaksanakan tugas pokok Dinas Pcndapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan kebijakan teknis dibidang pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah;

b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum dibidang

pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang pendapatan, pengelolaan

keuangan dan aset daerah.

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan peraturan daerah nomor 3 tahun 2008 dalam kaitannya dengan pembentukan dinas daerah di Kabupaten Sukoharjo telah sejalan dengan asas efisiensi dan efektifitas. Hal tersebut ditunjukkan dari peluang Kabupaten Sukoharjo berdasarkan criteria yang ada sebenarnya dapat membentuk dinas daerah sejumlah 18 (delapan belas), namun hanya ditetapkan sejumlah 12 (dua belas) saja sehingga dapat ditekan terjadinya pemborosan dan inefisiensi anggaran daerah.

Selanjutnya jika dilihat dari tata kerjanya menunjukkan bahwa tata kerja dinas daerah di Kabupaten Sukoharjo melalui peraturan daerah Nomor 3 tahun 2008 telah sejalan dengan prinsip samping struktur kaya fungsi dengan


(4)

commit to user

 

mendasarkan pola visi dan kejelasan tujuan, mempertegas gungsi. Staff serta menyusun pola organisasi sesuai dengan kebutuhan yang nyata. Dengan demikian secara tegas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan peraturan daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 3 Tahun 2008 dapat berjalan secara efektif karena mekanisme pembentukannya telah sesuai dengan asas, prinsip, tujuan maupun peraturan perundang-undangan yang mendasarinya.

D. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pembentukan Dinas Daerah

di Kabupaten Sukoharjo

Beberapa faktor penghambat dalam pembentukan Dinas Daerah di Kabupaten Sukoharjo meliputi :

1. Adanya kemauan pejabat eksekutif daerah yang cenderung untuk

memaksimalkan dalam membentuk lembaga daerah. Untuk mengatasi permasalahan ini, DPRD senantiasa menggunakan fungsi kontrolnya guna mengingatkan kepada para pejabat eksekutif.

2. Kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri mengenai Pembentukan lembaga Daerah tidak sesuai dengan kondisi daerah, sehingga terpaksa dilakukan penyederhanaan yang seharusnya berbentuk Dinas Daerah kemudian diturunkan menjadi Kantor.

3. Adapya keeenderungan pemerintah daerah untuk tetap mempertahankan Dinas daerah dengan menggunakan pola lama. Hal ini dikarenakan peraturan yang baru dianggap kurang bisa menampung kebutuhan daerah.

4. Urusan pernerintahan yang diserahkan kepada daerah terlalu banyak, sehingga dirasakan memberatkan bagi daerah.


(5)

commit to user

59

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan dimuka disimpulkan sebagai berikut:

1. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 dalam kaitannya dengan Pembentukan Dinas Daerah dan tata kerjanya di Kabupaten Sukoharjo telah sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah serta telah sejalan dengan asas ramping struktur kaya fungsi dan prinsip efisiensi, efiktitas. Pembentukan dinas daerah di Kabupaten Sukoharjo disesuaikan juga dengan nasionalitas, kebutuhan dan prinsip integritas, sinkronisasi antar perangkat daerah, Kabupaten Sukoharjo tidak menerapkan pola maksimal sehingga besaran Dinas daerah yang mestinya mencapai 18 dinas tetapi saat ini hanya dibentuk 12 Dinas daerah.

2. Beberapa hambatan yang timbul dalam pembentukan Dinas daerah di

Kabupaten Sukoharjo meliputi hambatan internal maupun eksternal. Hambatan internal berupa kecenderungan aparat untuk memaksimalkan jumlah jabatan dengan pola lama, sedangkan hambatan eksternal berupa beratnya beban yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri serta terlalu banyaknya urusan yang diserahkan kepada daerah.

B. Saran

Atas dasar analisis pembahasan dan kesimpulan dimuka diajukan beberapa saran sebagai berikut :

1. Perlunya sosialisasi dan pembinaan yang lebih intensif terhadap aparat daerah dalam memahami dan melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sehingga mereka tidak sekedar menuntut hak jabatan tetapi lebih mendahulukan kewajibannya.


(6)

commit to user

2. Pemerintah Kabupaten Sukoharjo perlu segera melakukan evaluasi terhadap peraturan-peraturan daerah di lingkungan Dinas daerah seiring dengan perkembangan dan perubahan perundang-undangan di tingkat pusat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah missal peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah.