3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu;
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi.
Di samping itu, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam menilai keterangan saksi, ialah:
1. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi Pasal 164 ayat 1
KUHAP, dan 2.
Persesuaian keterangan saksi di persidangan dengan keterangannya di tingkat penyidikan Pasal 163 KUHAP.
b. Alat Bukti Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua setelah keterangan saksi oleh Pasal 184 KUHAP. Dalam praktik alat bukti ini
disebut alat bukti saksi ahli. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
menyatakan terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan Pasal 1 angka 28. Dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa:
“keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.
Isi keterangan yang disampaikan ahli adalah terkait hal-hal mengenai bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa.
Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. KUHAP membedakan
keterangan ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” Pasal 186 KUHAP dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan
sebagai alat bukti “surat” Pasal 187 butir c KUHAP. Contohnya ialah visum et repertum yang dibuat oleh seorang dokter.
c. Alat Bukti Surat
Menurut Sudikno Mertokusumo, surat adalah: “segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu
yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda- tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah
termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.”
71
Pasal 187 KUHAP menguraikan tentang alat bukti surat yang terdiri dari 4, yaitu: a
Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu;
b Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.
Dari macam-macam surat resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf a, b, dan c KUHAP, maka dapat digolongkan menjadi
72
a Acte ambtelijk, yaitu akta yang dibuat oleh pejabat umum. Pembuatan akta
otentik tersebut sepenuhnya merupakan kehendak dari pejabat umum tersebut. Jadi isinya adalah keterangan dari pejabat umum tentang yang ia
:
71
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 62.
72
Ibid., hal. 66.
lihat dan ia lakukan. Misalnya, berita acara tentang keterangan saksi yang dibuat oleh penyidik.
b Acte partij, yaitu akta otentik yang dibuat para pihak di hadapan pejabat
umum. Pembuat akta otentik tersebut, sepenuhnya berdasarkan kehendak dari para pihak dengan bantuan pejabat umum. Isi akta otentik tersebut
merupakan keterangan-keterangan yang berisi kehendak para pihak. Misalnya, akta jual beli yang dibuat di hadapan notaris.
Menurut Martiman Prodjohamodjojo seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Pasal 187 butir d adalah surat yang tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat
bukti, tetapi karena isinya surat ada hubungannnya dengan alat bukti yang lain, maka dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti
yang lain. Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut dalam Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti sempurna, sebab dibuat secara resmi
menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang disebut dalam butir d bukan merupakan alat bukti yang
sempurna. Dari segi materil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 bukanlah alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti
keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas vrij bewijskracht.
Meskipun tidak ada pengaturan khusus tentang cara memeriksa alat bukti surat seperti yang diatur dalam Pasal 304 HIR, maka harus diingat bahwa sesuai
dengan sistem negatif yang dianut oleh KUHAP, yakni harus ada keyakinan dari hakim terhadap alat bukti yang diajukan di persidangan. Nilai alat bukti oleh
karena itu bersifat bebas. Dalam hukum acara pidana, yang dicari adalah kebenaran materil atau kebenaran sejati, sehingga konsekuensinyahakim bebas
untuk menggunakan atau mengesampigkan sebuah surat. Disamping itu haruslah diingat tentang adanya minimum pembuktian, walaupun ditinjau dari segi formal
alat bukti surat resmi otentik yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna,
namun nilai kesempurnaannya, pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak berdiri sendiri, melainkan sekurang-kurangnya harus dibantu dengan satu alat
bukti yang sah lainnya.
d. Alat Bukti Petunjuk