memenuhi syarat materil dan formil agar dapat menjadi alat bukti yang sah.
B. Saran
1. Perlu adanya suatu pelatihan khusus bagi setiap aparat penegak hukum
dalam bidang digital forensik, sehingga dapat meminimalisasi kemungkinan pelaku tindak pidana dibebaskan karena kurangnya alat
bukti.
2.
Perlu diatur dalam suatu peraturan yang jelas mengenai tata cara penggeledahan dan penyitaan alat bukti elektronik, sehingga menjaga
keabsahan dari alat bukti elektronik dan agar tidak melanggar hak-hak
orang yang terkait.
BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT
BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara
Pidana Indonesia
Dilihat dari hukum pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarang, sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan
dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling mengait dan berhubungan satu dengan lain yang tidak terpisahkan dan menjadi suatu kesatuan
yang utuh. Adapun isinya sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti ini boleh
dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu
objek yang dibuktikan.
46
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana. Oleh
karena itu, hukum acara pidana mencari kebenaran materil. Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian dapat diuraikan sebagai
berikut
47
1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan
untuk memperoleh fakta-fakta yang benar bewijsgronden; :
46
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Alumni, 2008, hal.24.
47
Bambang Purnomo, Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Jogjakarta: Liberti, hal. 39., seperti dikutip oleh Lamgok Herianto Silalahi, Loc.Cit.,hal. 58.
2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan
gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau bewijsmiddelen;
3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di
sidang pengadilan bewijsvoering; 4.
Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan bewijskracht;
5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan
dakwaan di muka sidang pengadilan bewijslast; 6.
Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim bewijsminimum.
Pada hakekatnya pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum. Menurut Adami Chazawi, pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum
penyelesaian perkara pidana, sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang
berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan.
48
Ilmu pengetahuan mengenal empat sistem pembuktian, yaitu: 1.
Sistem Pembuktian Keyakinan Hakim Belaka Conviction In Time Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan
terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan berdasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana alat bukti dia
memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam
48
Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 13.
membentuk keyakinannya tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah logis ataukah tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung kepada
hati nurani hakim.
49
Sehingga pembuktian ini sangatlah subyektif, seseorang bisa dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya
pembuktian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari perbuatan yang dilakukannya.
50
Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada
kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini
terbuka peluang praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Walaupun mengandung kelemahan
yang besar, sistem ini pernah berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda dahulu, yaitu pada Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten
51
2. Sistem Pembuktian Melulu Undang-Undang
Positief Wettelijk Bewijstheorie
.
Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang-
undang secara positif positief wettelijk bewijstheorie. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah
49
Ibid. Hal 25.
50
Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, Jakarta: MQS Publishing, 2006, hal. 136.
51
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1985, hal. 110 seperti dikutip oleh Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 25.
terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang- undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut
juga teori pembuktian formal formele bewijstheorie.
52
Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitoir inquisitoir seperti
yang pernah dianut dahulu di benua Eropa.
53
Menurut D. Simons, sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif positief wettelijk ini
berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan- peraturan pembuktian yang
keras.
54
Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi.
55
Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-
undang.
56
3. Sistem Pembuktian Keyakinan dengan Alasan Logis Laconviction in
Raisonne Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan conclusive yang berlandaskan kepada peraturan-
peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu
52
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 251.
53
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1985, hal. 110., seperti dikutip oleh Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 27.
54
D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 251.
55
A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering, hal. 1., seperti dikutip oleh ibid.
56
Ibid.
motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas menyebut alasan-alasan keyakinannya vrije bewijstheorie.
57
Dibandingkan dengan Sistem pembuktian keyakinan hakim belaka conviction in time, sistem ini lebih maju sedikit, walaupun kedua sistem ini
dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistem ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan
hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Walaupun
alasan-alasan itu menggunakan alat-alat bukti baik yang ada disebutkan dalam UU maupun di luar UU.
58
4. Sistem Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif Negatief
Wettelijk Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-
undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta
yang diperoleh dari alat bukti yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
59
57
Ibid., hal. 253.
Jadi, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif negatif wettelijk bewijstheorie ini, pemidanaan
didasarkan kepada pembuktian yang berganda dubbel en grondslag, D. Simons yaitu pada peraturan perundang-undangan dan pada keyakinan, dan menurut
58
Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 26.
59
Ibid., hal. 28.
undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan undang- undangan.
60
Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia sejak berlakunya het Herziene Indonesisch Reglement HIR dahulu dan kini KUHAP adalah
menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat 1 HIR merumuskan bahwa:
“tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi
perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”.
Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan penyempurnaan ke dalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya ialah:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
61
Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan sistem undang-undang secara negatif – sebagai intinya, yang dirumuskan dalam
Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, ialah
62
a. Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi
syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana. :
Sesungguhnya, pembuktian itu ditujukan untuk memutus suatu perkara, dalam hal ini perkara pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Sebab,
untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan
60
D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 256.
61
Ibid., hal. 29.
62
Ibid.,hal.31-32.
terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian dijalankan, dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim
mendapatkan keyakinan: 1 terbukti terjadinya tindak pidana; 2 terdakwa melakukannya; dan 3 keyakinan terdakwa bersalah tanpa terbukti adanya
peniadaan pidana selama persidangan, maka terdakwa dijatuhi pidana veroordeling. Sebaliknya, jika menurut keyakinan hakim tindak pidana yang
didakwakan tidak terbukti, maka akan dijatuhi pembebasan vrijspraak. Apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa, tetapi
dalam persidangan terbukti adanya dasar alasan yang meniadakan pidana baik di dalam UU maupun di luar UU, maka tidak dibebaskan dan juga tidak
dipidana melainkan dijatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum ontslag van alle rechtsvervolging.
b. Standar syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.
Sesungguhnya ada 2 dua syarat untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar dapat menjatuhkan pidana yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan,
tetapi dapat dibedakan, ialah: 1
Harus menggunakan sekurang-kurangnya 2 dua alat bukti yang sah. Maksud alat bukti yang sah adalah alat bukti yang disebut dalam Pasal 184
ayat 1 KUHAP. 2
Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim memperoleh keyakinan. Ada tiga macam tingkat keyakinan yang harus
didapatkan hakim dari pembuktian dengan menggunakan minimal dua alat bukti yang sah tersebut. Hakim yakin tindak pidana benar telah terwujud,
yakin terdakwa melakukannya, dan dalam hal itu hakim yakin terdakwa bersalah.
Mengenai syarat yang pertama, hal sekurang- kurangnya 2 dua alat bukti, bukanlah berarti jenisnya yang harus dua, seperti 1 orang saksi keterangan saksi
dan lainnya keterangan terdakwa atau surat, tetapi yang dimaksud sekurang- kurangnya 2 alat bukti yang sah, adalah bisa saja terdiri dari 2 alat bukti yang
sama jenisnya, misalnya saksi A dan saksi B yang menerangkan hal yang sama. Mengenai syarat kedua: keyakinan hakim. Keyakinan hakim haruslah dibentuk
atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah. Keyakinan hakim yang harus dibentuk atas dasar mempergunakan minimal
dua alat bukti yang sah tadi.
63
B. Ruang Lingkup Alat Bukti dalam Hukum Pidana Indonesia