11 ke fase generatif. Respon tanaman terhadap panjang hari akan
berinteraksi dengan suhu udara dan berdasarkan pada kebutuhan akan lamanya penyinaran, maka tanaman digolongkan pada tanaman hari
pendek, tanaman hari panjang, dan tanaman berhari netral Jumin 2002.
2.4 Distribusi Hujan di Pertanaman
Jumlah air yang masuk ke dalam kawasan hutan atau pertanaman perkebunankelapa merupakan sisa dar i hujan bruto setelah dikurangi
jumlah yang diintersepsi dan dievaporasi oleh tanamantajuk. Setiap model tajuk mempunyai kemampuan intersepsi berbeda terhadap curah
hujan dan hal tersebut berhubungan juga dengan curah hujan total. Bruijnzeel Critchley 1994 melaporkan bahwa di hutan tropis
intersepsi mencapai 10-25. Ramirez Senarath 1999 juga menyatakan bahwa nilai intersepsi suatu tanaman berkaitan erat dengan
karakter tanaman itu sendiri dan faktor cuaca. Sehubungan dengan jumlah air yang terint ersepsi, maka pada
kawasan ternaungi, ketersediaan air tanah umumnya lebih tinggi dibanding pada lahan terbuka. Sehubungan dengan kandugan air tanah
dan neraca energi, maka evapotranspirasi pada tanaman sela yang ditanam pada barisan yang lebar lebih tingg i dibanding pada tanaman
yang terkena naungan. Selain itu, kandungan air daun potensial lebih tinggi terdapat di daerah ternaung dibanding yang kena radiasi langsung
http:www.fao.org docrep005 ac489eac48 - 9e02.htm. Hubungan produksi biomasa tanaman seringkali juga ditunjukkan
dengan respon tanaman terhadap kekeringan. Dampak dari kekeringan antara lain pada tingkat ketersediaanpenyerapan hara bag i tanaman dan
penurunan efisiensi penggunaan radiasi matahari karena pengaruhnya terhadap ukuran tajuk Squire 1990. Hasil tanaman di daerah tropis
yang rendah karena keterbatasan hujan effective baik intensitas maupun distribusinya. Hasil penelitian didapatkan bahwa efisiensi penggunaan
radiasi matahari yang diintersepsi oleh jagung dan kacang tanah yang
12 ditanam bersama lebih tinggi jika dibandingkan dengan pada masa tanam
musim kemarau Koesmaryono Sabaruddin 2005. Sehubungan dengan ketersediaan air di lahan perkebunan, maka
jumlah air yang masuk ke dalam kawasan hutan atau pertanaman perkebunan merupakan sisa dari hujan bruto atau hujan yang tertakar di
kawasan terbuka setelah dikurangi jumlah yang diintersepsi dan dievaporasi oleh tanamantajuk. Setiap model arsitek tajuk mempunyai
kemampuan intersepsi curah hujan berbeda dan kemampuan tersebut juga berhubungan dengan curah hujan total. Ramirez Senarath 1999
menyatakan bahwa nilai intersepsi hujan setiap tanaman berkaitan erat dengan karakter tanaman itu sendiri dan faktor cuaca. Di hutan hujan
tropis, besaranya intersepsi hujan dapat mencapai 10-25 Bruijnzeel Critchley 1994. Hal itu terjadi karena bentuk dan struktur tajuk pohon di
hutan hujan tropis terbentuk dari daun dengan morfologi yang kebanyakan lebar dan tersusun sangat padat. Itulah sebabnya hutan
hujan tropis sangat potensial sebagai kawasan tangkapan air untuk konservasi air dan tanah.
Menurut Lee 1988 diacu dalam Japar 2000 ekosistem hutan dan perkebunan mempunyai peranan penting dalam mengendalikan air
permukaan tanah dan sebagai bagian dari sistem dalam pengaturan siklus air. Hujan yang sampai di tajuk tanaman akan dihambat oleh daun,
cabang dan batang pohon sebelum mencapai permukaan tanah, dan penghambatan kecepatan tersebut memperkecil energ i kinetik air untuk
mendispersi agregat tanah. Air hujan yang tiba di permukaan tanah setelah melalui tajuk tanaman disebut curahan tajuk atau troughflow dan
yang melalui batang disebut aliran batang atau stemflow. Air hujan yang bisa tiba ke permukaan t anah melalui curahan tajuk dan aliran batang
disebut hujan neto net presipitation bagi suatu sistem pertanaman baik hutan, perkebunan atau pertanian tanaman pangan atau campuran atau
agroforestri. Pada kelapa sawit Lee 2006 diacu dalam Pelawi 2009
mendapatkan bahwa curahan tajuk mencapai 65 dari total hujan yang
13 diterima dan menunjukkan hubungan linear yang kuat dengan curah
hujan total. Selanjutnya dilaporkan juga oleh Bently 2007 diacu dalam Pelawi 2009 menunjukkan bahwa aliran batang dan curahan tajuk sawit
berturut-turut sebesar 1.97, 57.3 mimiliki hubungan kuat dengan intensitas hujan dengan R
2
nilai koefisien determinasi 0.97 dan 0.98. Profil curah hujan efektif tentunya tergantung pada besaran
curahan tajuk dan aliran batang. Sedangkan curahan tajuk dan aliran batang tergantung pada morfologi tanaman atau pohon dan intensitas
serta lama kejadian hujan. Hujan yang tertahan di daun atau tajuk tanaman disebut hujan terintersep, dan besarnya tergantung pada arsitek
tajuk, yang meliputi bentuk dan ukuran tajuk, posisi daun atau sudut daun, sifat anatomi daun, susunan daun dalam membentuk tajuk.
Umumnya, air yang terintersep tajuk akan hilang karena menguap, sehingga air intersepsi biasa dikategorikan sebagai air hilang dari sistem
pertananam interception loss. Beberapa peneliti mendapatkan bahwa selain arsitek tajuk, maka hujan efektif dan intersepsi air hujan juga
ditentukan oleh intensitas dan lamanya kejadian hujan Kaimud din 1994.
Tujuan pengawetan air konservasi air, memerlukan tanaman yang mempunyai nilai curahan tajuk dan aliran batang atau hujan efektif
yang besar, karena akan memberi peluang yang besar pula untuk membiarkan air hujan masuk pada sistem penyimpanan di suatu wilayah
water storage. Itulah sebabnya, pemilihan je nis vegetasi akan menjadi penting sejalan dengan tujuan kita untuk konservasi air di suatu wilayah.
Hujan efektif tiap jenis tertentu dari suatu vegetasi tentunya mempunyai nilai spesifiknya, sehingga banyak penelitian yang
menghasilkan model-model empiris yang menghubungkan antara arsitek tajuk atau jenis pohon tertentu sebagai faktor biologis dengan hujan
efektif atau intersepsi hujan. Arrijani 2007 mengkaji hubungan beberapa bentuk arsitek tajuk pohon dengan distribusi hujan dan
dampaknya terhadap erosi tanah. Pada tanaman kelapa sawit umur 8 tahun telah diperoleh model empiris intersepsi tajuk dan hujan efektif
14 yang dihubungkan dengan curah hujan total, dimana hubungannya
bersifat eksponensial Suharto 2007. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan yang ditemukan pada beberapa varietas kelapa, dimana penelit ian
yang dilakukan Japar 2000 mendapatkan hubungan linear positif antara curah hujan total dengan hujan efektif, aliran batang dan curahan tajuk,
tapi intersepsi cenderung makin menurun. Pada kelapa Dalam, Genjah dan H ibrida diperoleh nilai hujan
efektif jauh lebih besar dibanding nilai intersepsi hujan, dan hasil ini bertolak belakang dengan yang diperoleh pada kelapa sawit, padahal dari
aspek arsitektur tajuk, kedua jenis tanaman ini mempun yai kemiripan, sehingga seharusnya hasil yang diperoleh mempunyai pola yang sama.
Selain itu, penelitian di kelapa sawit tidak membedakan umur tanaman demikian halnya dengan yang dilakukan pada pertanaman kelapa ,
padahal umur tanaman berhubungan dengan ar sitek tajuk, terutama luas daun dan komposisi daun penyusun tajuk.
METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Palma Balit Palma Manado Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi
penelitian terletak pada ketinggian sekitar 80 m dpl di 1.23 Lintang
Utara dan 124.54 Bujur Timur. Lokasi penelitian berdasarkan hasil
unduh dari Google Earth disajikan di lampiran 1. Persiapan dan pelaksanaan penelitian lapang dilaksanakan tahun 2007
–2009. Kajian animasi dan simulasi transmisi radiasi matahari dengan program 3Ds
Max Design dilakukan tahun 2010-2011.
3.2 Bahan dan Alat