Bapas Balai Permasyarakatan Resiliensi pada Remaja Binaan Bapas ditinjau dari Coping

minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan.

2.5 Bapas Balai Permasyarakatan

Balai Pemasyarakatan Bapas merupakan pranata untuk melaksanakan bimbingan klien Pemasyarakatan Rachmayanthy, 2009: 16. Fungsi Bapas adalah sebagai unit pelaksanaan penelitian kemasyarakatan Litmas untuk memperlancar tugas penyidikan, penuntutan, dan persidangan anak nakal, menyusun program bimbingan klien Pemasyarakatan di Bapas, melakukan bimbingan terhadap klien Pemasyarakatan, dan mengikuti sidang peradilan anak di Pengadilan Negeri, sidang TPP di Bapas, Lapas, Rutan, dan Kanwil Departemen Hukum dan HAM. Bimbingan yang dilakukan meliputi pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, bimbingan dan penyuluhan perorangan maupun kelompok, dan psikoterapi Rachmayanthy, 2009: 17. Sehingga tugas pokok dari Bapas adalah memberikan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.6 Resiliensi pada Remaja Binaan Bapas ditinjau dari Coping

Stress Remaja binaan Bapas merupakan remaja usia 12 hingga 21 tahun yang sedang dalam proses pembinaan hukum d imana di antaranya remaja sebagai klien permasyarakatan yang sedang menjalani pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pidana bersyarat, maupun pembinaan sebelum dijatuhi hukuman sidang pidana litmas. Jalannya proses pembinaan pada remaja dengan masing-masing kasus yang berbeda membuat remaja dalam keadaan stress yang menekan untuk mampu bertanggung jawab atas tindakan kriminalnya. Masing- masing individu mempunyai cara sendiri untuk mengatasi stres. Mengatasi stres dapat disebut dengan coping. Secara teori terdapat dua jenis strategi coping, yaitu problem-focused coping dan emotional-focused coping. Menurut Holaday dan McPhearson dalam Issacson, 2002: 29, salah satu faktor yang mempengaruhi individu resilien adalah adanya coping skill. Wachs 2006: 34 juga berpendapat bahwa jenis mekanisme coping yang digunakan oleh individu dapat mempengaruhi resiliensi. Individu yang lebih aktif dalam menggunakan strategi coping secara fleksibel ketika stres kemungkinan besar akan berhasil dalam menghadapi stres, dan hal tersebut menunjukkan bahwa individu tersebut mempunyai resilien yang baik. Allen dan Leary dalam Susanto, 2013: 106 yang menyatakan bahwa individu yang mempunyai kemampuan coping lebih tinggi akan cenderung pada problem-focused coping. Penelitian Susanto 2013: 110 membuktikan bahwa individu dengan kemampuan coping yang lebih tinggi akan mempunyai resiliensi yang tinggi. Dua jenis coping yang berbeda dalam mengatasi masalah maka berbeda pula tingkat individu untuk membangkitkan kembali percaya diri dan optimisme, atau dapat disebut juga sebagai tingkat resiliensi.

2.7 Kerangka Berpikir