Persentase Bagi Hasil Antara Nelayan Pemilik dengan ABK

7.2 Persentase Bagi Hasil Antara Nelayan Pemilik dengan ABK

Persentase bagi hasil antara nelayan pemilik dengan ABK akan menunjukan adatidaknya kegiatan eksploitasi salah satu pihak terhadap pihak lain, dalam hal ini pihak pemilik terhadap ABK. Persentase yang diperoleh nelayan jaring Rampus adalah sebesar 11,25-11,88 untuk ABK, 16,25- 21,25 untuk nahkoda, dan 56,25-61,25 untuk juragan. Persentase bagi hasil terbesar diperoleh juragan karena juragan menerima bagian untuk kerusakan perahu. Persentase bagi hasil nahkoda lebih besar dibandingkan persentase bagi hasil ABK karena nahkoda memperoleh tambahan komisi sebesar 5. Persentase bagi hasil nelayan jaring Rampus ditampilkan pada Lampiran 2 hal. 110. Persentase yang diperoleh nelayan Rajungan adalah sebesar 50-66,67 untuk juragan dan 15,38-25 untuk ABK. Persentase bagi hasil terbesar diperoleh juragan karena juragan menerima bagian untuk kerusakan perahu, mesin, dan alat tangkap. Persentase bagi hasil juragan pengguna bubu lebih besar dibandingkan persentase bagi hasil juragan pengguna jaring. Kondisi ini terjadi karena juragan pengguna bubu memperoleh bagian yang lebih besar daripada juragan pengguna jaring. Juragan pengguna bubu memperoleh 3,5 bagian, yaitu 1 bagian perahu, 0,5 bagian mesin, 1 bagian bubu, dan 1 bagian melaut sedangkan juragan pengguna jaring memperoleh bagian sebesar 2 bagian, yaitu 1 bagian perahu dan 1 bagian melaut. Sebaliknya, bagian yang diperoleh ABK pengguna jaring lebih besar daripada ABK pengguna bubu karena bagian yang dihitung untuk nelayan jaring lebih sedikit daripada bagian untuk nelayan bubu. Persentase bagi hasil nelayan Rajungan ditampilkan pada Lampiran 2 hal. 110. Persentase yang diperoleh nelayan jaring Udang adalah sebesar 80 untuk juragan dan 20 untuk ABK. Persentase bagi hasil terbesar diperoleh juragan karena juragan menerima bagian untuk kerusakan perahu, mesin, dan jaring. Penjelasan ini ditampilkan pada Lampiran 2 hal. 110. Pasal 3 Undang-undang No.16 tentang Bagi Hasil Perikanan UUBHP Tahun 1964 menyatakan bahwa persentase bagi hasil perikanan laut dikelompokan berdasarkan jenis perahu atau kapal motor. ABK perahu layar memperoleh bagi hasil minimal sebesar 75 sedangkan ABK perahu motor memperoleh bagi hasil minimal sebesar 40. Hasil analisis persentase bagi hasil nelayan yang ditampilkan menunjukan bahwa persentase bagi hasil yang diterapkan nelayan andun di Muara Angke tidak sesuai dengan UUBHP. Walaupun demikian, sistem bagi hasil ini telah berlaku umum di kalangan nelayan dan dianggap wajar karena juragan harus menanggung biaya kerusakan kapal. Ada sebagian nelayan ABK yang merasa dirugikan atas bagi hasil tersebut tetapi ada juga nelayan yang merasa senang karena mereka tidak perlu menanggung biaya kerusakan perahu. Persentase bagi hasil yang sangat timpang dan tidak sesuai dengan UUBHP ini menunjukan adanya gejala eksploitasi yang dilakukan juragan terhadap ABK. Juragan menetapkan bagian yang cukup besar untuk dirinya yang meliputi bagian perahu, mesin, alat tangkap, dan bagian melaut bila juragan ikut melaut. Merupakan hal yang wajar bila juragan memperoleh bagian yang lebih besar karena kepemilikan terhadap asetmodal sedangkan ABK hanya menyumbangkan tenaga. Akan tetapi, Kusumastanto 2005 menyatakan bahwa konsep bagi hasil Profit-loss sharing antara juragan dan nelayan ABK dalam usaha perikanan tangkap merupakan hal yang menguntungkan selama masing-masing pihak bertindak benar. Namun demikian, konsep ini masih banyak menyebabkan kemiskinan dan kerugian nelayan buruh ABK. Penyebabnya adalah adanya aset yang semakin menurun dari aset-aset produksi dalam usaha penangkapan sehingga otomatis menurunkan nilai guna dari aset-aset tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa menurunnya nilai aset misalnya kapal, mesin, dan alat tangkap akan mengurangi tingkat efektivitas dan optimalisasi aset-aset tersebut. Artinya, upaya lebih keras dari ABK sekalipun nilai aset faktor produksi mengalami penurunan tetap dihargai sama. Padahal, jika dinilai secara teknis dan ekonomis aset yang digunakan telah memberikan nilai kerja guna yang berbeda. Akibatnya nilai penyusutan depresiasi aset alat tangkap dan biaya operasi seringkali dibebankan pada pendapatan kotor dan tidak termasuk tanggungan oleh juragan atau pemilik kapal. Implikasinya, usaha penangkapan ikan menjadi tidak adil bagi ABK karena penurunan nilai guna aset ditanggung bersama-sama antara juragan dan ABK. Hal ini disebabkan porsi bagi hasil yang diberlakukan tetap saja sama sekalipun nilai aset sudah menurun. Oleh karenanya, aturan bagi hasil yang berlaku seharusnya mengikuti hukum aset usaha yang terjadi sehingga proporsi pembagian keuntungannya menjadi tidak tetap Gambar 8. Dari gambar di bawah ini menunjukan bahwa aturan pembagian yang terjadi tidak selalu tetap tetapi mengikuti hukum aset yang terus menurun nilainya. Ketika aset itu bernilai nol maka persentase pembagian hasil harus meletakan porsi terbesar pada nelayan. Gambar 8. Penurunan Aset Aktiva Berimplikasi pada Proporsi Bagi Hasil

7.3 Tingkat Kemiskinan Nelayan