Implikasinya, usaha penangkapan ikan menjadi tidak adil bagi ABK karena penurunan nilai guna aset ditanggung bersama-sama antara juragan dan
ABK. Hal ini disebabkan porsi bagi hasil yang diberlakukan tetap saja sama sekalipun nilai aset sudah menurun. Oleh karenanya, aturan bagi hasil yang
berlaku seharusnya mengikuti hukum aset usaha yang terjadi sehingga proporsi pembagian keuntungannya menjadi tidak tetap Gambar 8. Dari gambar di bawah
ini menunjukan bahwa aturan pembagian yang terjadi tidak selalu tetap tetapi mengikuti hukum aset yang terus menurun nilainya. Ketika aset itu bernilai nol
maka persentase pembagian hasil harus meletakan porsi terbesar pada nelayan.
Gambar 8. Penurunan Aset Aktiva Berimplikasi pada Proporsi Bagi Hasil
7.3 Tingkat Kemiskinan Nelayan
erdasarkan Indikator Bank Dunia World
Menggunakan indikator
WB, masyarakat dikategorikan miskin bila
n
sia,
Nilai Aset
Waktu Hukum Aktiva Tetap
Juragan ABK
75 75
60 60
50 50
45 45
25 25
Waktu
Sumber: Kusumastanto, 2005
7.3.1 Tingkat Kemiskinan Nelayan B Bank
WB
memiliki pendapatan kurang dari 2 dollar per kapita per hari. Jika dirupiahka dengan rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2007 Januari – Agustus,
yaitu Rp 9.084,00 diperoleh nilai sebesar Rp 18.168,00 per hari Bank Indone 2007. Dalam satu bulan 25 hari aktif melaut nilai indikator kemiskinan WB
sebesar Rp 454.200,00 sehingga masyarakat dikatakan miskin bila memiliki pendapatan kurang dari Rp 454.200,00 per kapita per bulan.
Hasil analisis menggunakan indikator WB menunjukan bahwa saat musim sedang, hanya nelayan jaring Rampus baik yang berstatus juragan yang memiliki
pendapatan lebih dari Rp 454.200,00kapitabulan. Dengan demikian, juragan jarring rampus tidak termasuk kategori miskin sedangkan nahkoda dan ABK
jarring rampus termasuk kategori miskin. Sebaliknya, nelayan Rajungan dan jaring Udang baik yang berstatus memiliki juragan dan ABK memiliki pendapatan
dibawah Rp 454.200,00kapitabulan sehingga nelayan Rajungan dan nelayan jarring Udang termasuk kategori miskin.
Ketika musim panen, nelayan Rajungan yang berstatus juragan dan ABK memiliki pendapatan di bawah nilai indikator WB. Artinya, saat musim panen
nelayan Rajungan termasuk kategori miskin. Untuk nelayan jaring rampus dan jaring Udang, hanya ABK yang memperoleh pendapatan di bawah nilai indikator
WB. Hal ini terjadi karena hasil perolehan tangkapan yang melimpah saat musim panen tidak sepenuhnya dinikmati oleh nelayan. Berjalannya sistem pemasaran
yang cenderung memihak pedagang pengumpul melalui penetapan harga beli hasil tangkapan menyebabkan keuntungan pun dinikmati oleh pedagang sehingga
pendapatan yang diperoleh nelayan tetap rendah. Pada musim sepi, semua nelayan baik jaring rampus, Rajungan, maupun
jaring Udang memiliki pendapatan di bawah nilai Rp 454.200,00kapitabulan. Artinya, pada musim sepi semua nelayan termasuk kategori miskin. Hal ini terjadi
karena hasil tangkapan yang diperoleh nelayan rendah sehingga pendapatan yang diperoleh pun rendah. Kondisi ini diperparah dengan pemberlakuan sistem
penetapan harga sepihak yang merugikan nelayan sehingga saat musim sepi nelayan makin terikat hutang dengan pedagang pengumpul.
Bila pendapatan pada setiap musim dirata-ratakan, hasil analisis menunjukan bahwa berdasarkan indikator World Bank ternyata hanya nelayan
pemilik jaring Rampus yang tidak termasuk kategori miskin sedangkan nelayan nahkoda dan ABK jaring rampus, nelayan Rajungan, serta nelayan jaring Udang
termasuk kategori miskin. Penjelasan ini ditampilkan pada Lampiran 3 hal. 113.
7.3.2 Tingkat Kemiskinan Nelayan Berdasarkan Indikator Badan Pusat Statistik BPS
Badan Pusat Statistik BPS menetapkan garis kemiskinan GK tahun 2007 untuk perkotaan sebesar Rp 187.945,00 per kapita per bulan. Batas garis
kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan GK daerah perkotaan karena meskipun nelayan bersifat andun tetapi selama melaut nelayan hidup dan menetap
di daerah perkotaan Muara Angke, Jakarta Utara. Dengan demikian, menurut indikator BPS masyrakat termasuk dalam kategori miskin bila memiliki
pendapatan di bawah Rp 187.945,00 per kapita per bulan. Merujuk hasil analisis diperoleh gambaran bahwa saat musim sedang
nelayan ABK jaring Rampus, nelayan Rajungan dan nelayan jaring Udang baik yang berstatus juragan maupun ABK memiliki pendapatan di bawah Rp
187.945,00kapitabulan sehingga ABK jaring Rampus, nelayan Rajungan, dan nelayan jaring Udang termasuk kategori miskin. Saat musim panen, tidak ada
nelayan jaring rampus yang memiliki pendapatan di bawah nilai indikator. Nelayan ABK Rajungan dan jaring Udang memiliki pendapatan di bawah nilai
indikator BPS. Oleh karena itu, saat musim panen semua nelayan jaring rampus, juragan perahu Rajungan dan juragan jaring Udang tidak termasuk kategori
miskin sedangkan ABK Rajungan dan jaring Udang termasuk kategori miskin. Ketika musim sepi semua nelayan baik nelayan jaring Rampus, nelayan
Rajungan, dan nelayan jaring Udang memperoleh pendapatan di bawah nilai indikator BPS. Dengan demikian semua nelayan termasuk kategori miskin. Hal ini
terjadi karena hasil tangkapan yang diperoleh nelayan rendah sehingga pendapatan yang diperoleh pun rendah. Kondisi ini diperparah dengan
pemberlakuan sistem penetapan harga sepihak yang merugikan nelayan sehingga saat musim sepi nelayan makin terikat hutang dengan pedagang pengumpul. Bila
pendapatan selama musim tangkapan dirata-rata maka menggunakan indikator BPS semua nelayan ABK yang memperoleh pendapatan di bawah nilai indikator
BPS sehingga semua nelayan ABK termasuk kategori miskin. Penjelasan ini ditampilkan pada Lampiran 4 hal. 114.
7.4 Perbandingan Pendapatan Nelayan dengan Nilai Upah Minimum Regional UMR