Latar Belakang Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan iklim sudah dirasakan oleh kebanyakan orang di dunia, termasuk di Indonesia sebagai akibat banyaknya penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan alih-guna lahan yang menyebabkan banyaknya produksi gas: karbon dioksida CO 2 , metana CH 4 dan nitrous oksida N 2 O. Gas-gas tersebut dinamakan gas rumah kaca GRK yang meneruskan radisasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas, sehingga suhu atmosfir bumi makin meningkat Murdiyarso, 2003 a . Menurut United Nations Environment Programme UNEP, konsentrasi karbon dioksida CO 2 sebelum pra industri relatif konstan, yaitu berkisar 280 ppmv, tetapi pada sekitar tahun 2000 konsentrasinya sebesar 360 ppmv Gambar 1. Kenaikannya hampir 28,6 bila dibandingkan dengan era pra industri Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan PT Persero Sucofindo, 2002. Lebih lanjut dinyatakan bahwa sekitar tahun 1900 konsentrasi gas nitrous oksida N 2 O relatif konstan sekitar 290 ppmv, akan tetapi pada tahun 2000 dengan bertambah pesatnya industri, konsentrasi gas N 2 O meningkat menjadi 310 ppmv atau meningkat 6,9 bila dibandingkan dengan tahun 1900 Gambar 1 Lebih lanjut Murdiyarso 2003 a menyatakan bahwa bila pola konsumsi, gaya hidup dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, maka diperkirakan 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO 2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat dari zaman pra industri yang akibatnya suhu rata-rata bumi akan meningkat sebanyak 4,5 o C dari kondisi sekarang. Dengan suhu sekarang misalkan 35 o C, maka peningkatan 4,5 o C menjadi 39,5 o C akan berdampak terhadap berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa, seperti: menurunnya produksi pangan, terganggunya fluktuasi dan distribusi ketersediaan air, serta menyebarnya hama dan penyakit tanaman. Untuk itu dilakukan Konferensi Tingkat Tinggi KTT Bumi Earth Summit yang dikenal dengan nama United Nations Conference on Environment and Development UNCED di Rio de Janeiro, Brazil bulan Juni tahun 1992. Pada konferensi tersebut para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC, kemudian dilanjutkan dengan kesepakatan Protokol Kyoto tahun 1997. Protokol Kyoto tahun 1997 merupakan dasar bagi negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebanyak 5 dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang tahun 2008 -2012, tetapi Amerika Serikat Serikat yang merupakan negara penyumbang gas emisi rumak kaca terbesar dunia36,1 yang menolak meratifikasi Protokol Kyoto tersebut Murdiyarso, 2003 b . Indonesia mera- tifikasi Clean Development Mechanism = CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih = MPB sebagai implementasi dari Protokol Kyoto tersebut. Gas-gas karbon dioksida CO 2 , metana CH 4 dan nitrous oksida N 2 O sebagai sumber gas-gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global tersebut sangatlah sulit dikurangi mengingat negara Amerika Serikat yang menyumbangkan 36,1 keberadaan gas-gas tersebut di atmosfir menolak meratifikasi Protokol Kyoto dan disisi lain sebagian gas-gas tersebut diantaranya gas karbon dioksida CO 2 dan nitrous oksida N 2 O merupakan sebagian gas-gas pembentuk hujan asam bersama- sama dengan gas-gas SO x dan gas hidrogen sulfida H 2 S. Hujan asam terbentuk Gambar 1. Konsentrasi Gas Karbon Dioksida CO 2 , Metan CH 4 dan Nitrous Oksida N 2 O dari Industri sampai Tahun 2000 Sumber : Kantor Meteri Negara Lingkungan Hidup dan PT. Persero Sucofindo 2002 karena adanya asam nitrit, asam nitrat, asam sulfit, asam sulfat, dan asam karbonat. Asam-asam tersebut terbentuk dari gas-gas N 2 O, SO x , CO 2 , dan H 2 S yang berikatan dengan air. Proses pembentukan hujan sebenarnya sama dengan proses penyulingan air yang berawal dari pemanasan air, sehingga air menguap membentuk uap air dan dengan kondensasi karena adanya pendinginan, maka uap air jatuh membentuk air suling, yaitu air murni yang mempunyai pH mendekati netral pH = 7. Hal ini sama dengan proses hujan, sehingga harusnya pH air hujan mendekati pH netral juga, akan tetapi karena di atmosfir terdapat gas sulfur oksida seperti misalnya sulfur trioksida SO 3 yang bila bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfat seperti reaksi berikut: SO 3 + H 2 O H 2 SO 4 Asam sulfat yang terbentuk bersama-sama dengan air dalam bentuk hujan mempengaruhi pH air hujan, karena asam sulfat akan terurai seperti reaksi berikut: H 2 SO 4 H + + HSO 4 - Terbentuknya H + akan menyebabkan pH hujan lebih rendah dari 7,0 penyebab suasana asam, maka dalam kondisi normal hujan yang jatuh ke permukaan bumi mempunyai kurang dari pH 7,0. Hujan asam terjadi bila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 Saeni, 1995, dan hal ini bisa terjadi bila terdapat gas- gas lain yang menyebabkan pembentukan asam-asam dan bila konsentrasi gas-gas pembentuk asam lebih tinggi dari normal. Gas-gas lain yang menyebabkan terbentuk asam adalah gas NO x berupa gas nitrogen monoksida = NO dan nitrogen dioksida = NO 2 , gas SO x berupa sulfur dioksida = SO 2 dan sulfur trioksida = SO 3 dan gas hidrogen sulfida H 2 S. Gas-gas NO, NO 2 , SO 2 , SO 3 , dan gas H 2 S dihasilkan dari: 1 Tingkah laku manusia antropogenik yang membakar bahan bakar fosil seperti batu-bara, minyak dan gas bumi sebagai akibat dari meningkatnya perkembangan industri dan transportasi, juga akibat dari pembakaran hutan yang menyebabkan tanaman mati dan tidak dapat lagi memanfaatkan gas CO 2 2 Letusan gunung berapi. Nitrogen monoksida berikatan dengan uap air membentuk asam nitrit HNO 2 dan gas nitrogen dioksida bereaksi dengan uap air membentuk asam nitrat HNO 3 . Begitu pula gas sulfur dioksida bila bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfit H 2 SO 3 dan gas sulfur trioksida bila berikatan dengan uap air membentuk asam sulfat H 2 SO 4 . Baik asam nitrit, asam nitrat, asam sulfit, asam sulfat dan hidrogen sulfida akan menurunkan pH air hujan. Hujan asam terjadi baik secara kering dry deposition, maupun secara basah wet deposition. Dry deposition merupakan hujan asam yang terjadi bila gas-gas pembentuk hujan asam tertiup angin, badai dan jatuh ke bumi kemudian bereaksi dengan air hujan. Wet deposition terjadi bila gas-gas pembentuk hujan asam bereaksi dengan uap air membentuk hujan asam, hanya terjadinya di atmosfir. Penurunan pH air hujan akan memungkinkan terjadinya kondisi asam dalam tanah dan terjadinya pencemaran logam berat. Menurut Darmono 1995 tanah yang bersifat asam akan menaikkan daya larut logam, termasuk logam berat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa asam-asam mudah mengikat logam-logam berat seperti: timah hitam = plumbum Pb, kadmium Cd dan merkuri Hg. Logam-logam berat yang larut seperti misalnya As, Pb, Cd dan Hg Saeni, 1989 memungkinkan diserap oleh tanaman. Hal ini diperkuat dengan penelitian Harahap 2004 yang menyatakan bahwa kandungan timbal pada akar dan daun tanaman teh lebih tinggi di Perkebunan Teh Sidamanik, Pematangsiantar, Sumatera Utara dari pada kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Tingginya kandungan timbal pada akar dan daun tanaman teh di Perkebunan Teh Sidamanik disebabkan karena pH tanah di Perkebunan Teh Sidamanik lebih rendah daripada di Perkebunan Teh Gunung Mas, Bogor dan di Perkebunan Teh Malabar, Pangalengan, Bandung. Tingginya kandungan timbal di akar dan daun tanaman teh pada pH tanah yang lebih rendah menunjukkan bahwa penurunan pH tanah akan meningkatkan kandungan timbal tanah yang larut atau timbal yang mudah diserap tanaman dan timbal tanah yang larut dengan konsentrasi tinggi akan meningkatkan kandungan timbal pada tanaman. Madyiwa et al. 2002 menyatakan bahwa penambahan Pb dalam pot tanaman rumput star grass akan menyebabkan penambahan kandungan Pb di tanaman dan menurunkan produksi rumput star grass pada waktu panen. Kejadian tersebut tak terkecuali akan terjadi pada hijauan makanan ternak. Dengan tingginya kandungan Pb tanah yang larut akibat tanah yang masam akan meningkatkan kandungan timbal pada hijauan makanan ternak dan akan menyebabkan terganggunya proses metabolisme ternak dan memungkinkan meningkatnya kandungan timbal dalam urat daging ternak dan penurunan produksi daging ternak. Disisi lain permintaan akan daging di Indonesia semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik 2000 Jumlah populasi penduduk Indonesia lebih dari 200 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1,5 per tahun. Dengan meningkatnya penduduk Indonesia, permintaan daging di Indonesia semakin meningkat yang ditunjukkan dengan banyaknya import daging sebesar 70.626 ton pada tahun 2006 dari penyediaan daging sebanyak 1.457.560 ton Direktorat Jenderal Peternakan, 2007. Import daging yang paling banyak berupa daging sapi sebesar 25.949 ton atau lebih dari sepertiga import daging Indonesia, disisi lain, produksi dan konsumsi daging sapi merupakan urutan kedua di Indonesia setelah daging ayam Direktorat Jenderal Peternakan, 2007. Hal ini terjadi karena jumlah perusahaan peternakan ayam di Indonesia relatif lebih banyak dibanding dengan jumlah perusahaan peternakan sapi. Disamping itu harga daging ayam relatif lebih murah dibanding harga daging sapi, sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat ekonomi menengah kebawah. Untuk mengurangi kekurangan daging sapi daging ternak ruminansia tersebut sekaligus membantu mengurangi kekurangan konsumsi protein hewani, maka alternatif lain dari ternak ruminansia adalah daging domba yang perlu diupayakan melalui skala usaha indutri, karena masih sedikitnya jumlah pengusaha industri peternakan domba di Indonesia. Disamping itu domba bersifat prolific beranak banyak, karena dalam 1 tahun bisa beranak dua kali, dan sekali melahirkan litter size bisa lebih dari satu ekor. Hal ini ditunjukkan dari hasil data penelitian Romjali et al. 1996 bahwa litter size domba lokal sumatera sebesar 1,54 + 0,65. Berbeda dengan sapi yang hanya beranak satu ekor per sekali kelahiran litter size = 1 dan hanya bisa beranak dua kali dalam 3 tahun. Produksi peternakan secara umum, tak terkecuali termasuk peternakan domba, sangat tergantung pada faktor dalam dan faktor luar ternak itu sendiri. Faktor dalam yang dimaksudkan adalah faktor genetika ternak atau faktor pengembangannya dalam bentuk pemuliaan ternak breeding, sedang faktor luar yang dimaksudkan adalah faktor yang mempengaruhi ternak dari luar ternak yang disebut dengan lingkungan environment, baik berupa cara pemberian pakan feeding, manajemen atau pemeliharaan ternak maupun lingkungan alamnya. Upaya peningkatan produksi ternak melalui breeding membutuhkan waktu yang relatif lama dan biaya yang relatif mahal, sebaliknya upaya peningkatan produksi ternak melalui feeding, maupun manajemen pemeliharaan ternak tidak terlalu mahal dan relatif murah. Masalah lingkungan alam environment merupakan masalah yang sulit diantisipasi terutama adanya fenomena alam. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya bahwa pemanasan global sudah terjadi karena tingginya konsentrasi gas-gas karbon dioksida CO 2 , metana CH 4 dan nitrous oksida N 2 O dan sebagian gas tersebut bersama-sama dengan gas-gas SO x dan gas hidrogen sulfida H 2 S akan membentuk hujan asam yang memungkinkan pH tanah menjadi asam. Keasaman tanah yang tinggi akan memungkinkan meningkatnya kandungan Pb di tanaman yang menyebabkan terganggunya proses metabolisme ternak dan penurunan produksi daging ternak. Apalagi kenyataan menunjukkan bahwa pada tahun 2004 terjadi banyak sekali ikan yang mati karena adanya pencemaran logam berat di Teluk Jakarta khususnya pencemaran merkuri Hg. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada hewan lain seperti ternak domba, karena adanya masalah seperti hujan asam acid deposition, peningkatan jumlah industri dan jumlah kendaraan bermotor serta pembakaran hutan. Hal lain yang menurunkan pH air hujan disamping dihasilkannya gas-gas pembentuk asam adalah peningkatan yang tidak normal peningkatan secara drastis gas-gas pembentuk asam. Disamping hujan asam pencemaran logam berat juga disebabkan oleh berkembangnya industri dan kendaraan bermotor. Laporan dari Kantor Statistik Kabupaten Bogor 1989 bahwa pada tahun 1988 jumlah mobil angkutan penumpang umum di Kabupaten Bogor yang dimiliki oleh swasta sebanyak 91 buah, dan perusahaan industri sebanyak 425 buah, sedang laporan dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2007 pada tahun 2006 jumlah mobil angkutan penumpang berjumlah 1.762 buah dan jumlah industri menjadi 31.349 buah. Peningkatan jumlah mobil angkutan penumpang sebanyak lebih kurang 18 kali lipatnya dan peningkatan jumlah industri sebanyak lebih kurang 73 kali lipatnya memungkinkan di Kabupaten Bogor terjadi hujan asam dan menyebabkan pencemaran logam berat sepertii As, Pb, Cd dan Hg. Untuk itu penelitian tentang pencemaran logam berat khususnya timbal Pb terhadap produksi ternak domba perlu diteliti.

1.2. Tujuan Penelitian