b. Hambatan Eksternal
Hidup dan bergaul dalam bermasyarakat tidaklah mudah, banyak nilai-nilai dalam masyarakat yang sedikit banyak tentu saja akan berpengaruh terhadap
perkembangan dan kepribadian anak. Pergaulan yang baik akan menciptakan suasana kehidupan yang berbudi pekerti luhur, sedangkan pergaulan yang tidak
baik justru akan merusak kepribadian dan moral anak, sehingga menimbulkan hal- hal yang tidak diinginkan.
Dalam usia anak yang menginjak masa remaja masih dalam masa yang menggebu-gebu, serba ingin tahu dan mencoba-coba, sehingga mereka butuh
pengawasan yang ketat baik dalam keluarga maupun dalam pergaulannya, karena pada usia anak-anak justru pembentukan pribadi anak akan dapat dibentuk dengan
mudah diserap dan diterapkan dalam kesehariannya. Hambatan yang paling utama adalah pengaruh dari pergaulan atau teman
sebaya. Masa remaja merupakan masa sulit, dan ingin memberontak. Mereka cenderung lebih dekat dengan teman daripada orang tua. Perilaku anak tentu akan
lebih banyak terpengaruh oleh oleh pergaulannya dengan teman-temannya. Tentu saja hal ini lebih sulit lagi dengan tidak adanya kehadiran ibu di rumah, dan waktu
ayah yang terbatas karena harus mencari nafkah. Berikut ini merupakan hasil wawancara dengan Bapak Tarjono:
“yang laki-laki nggak ngaji,,susah pergaulan,,dan yang ngajar juga jarang,,“ wawancara dengan Pak Tarjono pada tanggal 14 Mei 2011
Pak Tarjono mengungkapkan bahwa anaknya yang laki-laki tidak ngaji juga kadang tidak melaksanakan sholat. Kalau maghrib tiba, beliau menyuruh anaknya
sholat tetapi temanya sudah menghampiri anaknya. Jadi anaknya lebih memilih bermain, Pak Tarjono tidak mau terlalu keras terhadap anaknya, dengan alasan
tidak mau menambah sedih anaknya kerena tidak ada ibunya. Kendala lain dalam memberikan pendidikan karakter adalah faktor dari
lingkungan itu sendiri. Di ungkapkan Ibu Sirah sebagai berikut: “ngaji,, kadang-kadang,,di musholanya kadang ada yang ngajar kadang
nggak, kalau ke mesjid jauh..saya takut ada kendaraan, kalau ngaji ke mesjid” wawancara dengan Ibu Sirah pada tanggal 14 Mei 2011
Jadi adanya hambatan dalam memberikan pendidikan karakter pada anak adalah teman sebaya atau faktor dari lingkungan. Anak yang tidak di ajari mengaji
di rumah ternyata di mushola juga kadang ada tenaga pengajarnya kadang juga tidak ada. Selain itu, kalau anak dibiarkan untuk pergi ke masjid untuk belajar
ngaji tempat jauh. Selain itu adanya pandangan negatif dari masyarakat mengenai suami-suami
yang istrinya menjadi TKW. Mereka mengaku selalu menjadi sorotan, karena tingkah laku mereka selalu diamati. Pak Dulgoni menuturkan berikut ini.
“suami yang istrinya menjadi TKW selalu diamati masyarakat mbak,,kita nggak berbuat salah saja jadi omongan,,apalagi kalau berbuat salah”
wawancara dengan bapak Dulgoni pada tanggal 6 Mei 2011
Bapak Sodikin juga mengalami hal yang sama, bahwa beliau selalu merasa diawasi oleh kakak iparnya, merasa tidak bebas padahal berada di rumahnya
sendiri. Berikut ini merupakan apa yang dituturkan oleh bapak Sodikin: “saya merasa tidak bebas di rumah sendiri mbak..selalu diawasi. Apalagi
seperti mbak...tamu cewek...s etelah itu pasti saya jadi omongan warga”
wawancara dengan Bapak Sodikin pada tanggal 6 Mei 2011
Ayah yang selalu menjadi sorotan warga, juga sama terjadi pada anaknya. Tingkah laku mereka menjadi sorotan, ketika anak melakukan kesalahan atau
dianggap nakal maka hal tersebut akan berdampak pada ayahnya, dan oleh masyarakat akan dicap bahwa ayah tidak becus dalam mendidik anaknya.
B. Pembahasan
Ihromi menyatakan bahwa hubungan internal dalam keluarga banyak yang menyoroti pembagian pekerjaan diantara anggota-anggota keluarga, pria dan
wanita mempelajari fungsi-fungsi dari pembagian pekerjaan tersebut terhadap pelestarian keluarga. Dalam teori struktural fungsional Parsons mendiferensiasi
peran instrumental yaitu peranan yang terutama ditunjukan oleh pihak luar seperti suami dalam pencari nafkah, dan meletakan istri dalam menjalankan peran
ekspresif terutama berkaitan dengan pihak-pihak di dalam kelompok untuk mempupuk solidaritas dan integrasi Ihromi 2004: 272.
Dalam teori di atas seharusnya yang mempunyai peran ekspresif berkaitan memupuk solidaritas dalam keluarga adalah istri, dan suami sebagai pelaku peran
instrumental khusus dalam pencarian nafkah. Hal ini terjadi karena secara umun keluarga di Indonesia bahwa ibu berperan sebagai ibu rumah tangga, pendapat