Proses Pendataan Perolehan Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (e-Ktp) Di Kecamatan Medan Amplas Ditinjau dari Hukum Administrasi Negara

(1)

PROSES PENDATAAN PEROLEHAN KEPEMILIKAN KARTU TANDA PENDUDUK (e-KTP) DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS DITINJAU

DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NIM : 080200263 ZOLA SONDRA SIREGAR

DEPARTEMEN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PROSES PENDATAAN PEROLEHAN KEPEMILIKAN KARTU TANDA PENDUDUK (e-KTP) DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS DITINJAU

DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Oleh

NIM : 080200263 ZOLA SONDRA SIREGAR

Disetujui Oleh

Departemen Hukum Administrasi Negara

NIP. 196002141987032002 SURIA NINGSIH, SH., M.Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Suria Ningsih, SH., M.Hum Afrita, SH, M. Hum NIP. 196002141987032002 NIP. 197104301997022001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

PROSES PENDATAAN PEROLEHAN KEPEMILIKAN KARTU TANDA PENDUDUK (e-KTP) DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS DITINJAU

DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Zola Sondra Siregar*

Suria Ningsih** Afrita **

Program e-KTP dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional/nasional di Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut memberi peluang.

Permasalahan dalam penulisan ini adalah : Bagaimana Pengaturan Tentang Kependudukan. Bagaimana Implementasi Kebijakan e-KTP Di Kecamatan Medan Amplas. Bagaimana hambatan dalam Pendataan Elektronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) di Kecamatan Medan Amplas Di Tinjau Dari Hukum Administrasi Negara.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris atau biasa disebut penelitian yuridis empiris. Dalam penelitian ini, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata.

Pengaturan Tentang Kependudukan, Pasal 1 angka (14) Undang Undang No. 23 Tahun 2006 tentang kependudukan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 Tentang penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor Induk kependudukan secara nasional. Implementasi Kebijakan e-KTP Di Kecamatan Medan Amplas, memberikan pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kota seluruh Indonesia dengan tetap berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 serta peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban pemerintah Kota/kota dalam pelaksanaan penyelenggaraan administrasi kependudukan tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 yang bunyinya : “Pemerintah Kota/Kota berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh bupati/walikota. Hambatan dalam proses program e-KTP berbasis NIK antara lain sebagai berikut: Faktor penegak hukumnya, Faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat, Faktor kebudayaan. Kata Kunci : Pendataan, Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) *Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I, Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara **Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(4)

KATA PENGANTAR

Tiada ada kegembiraan, seraya mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Proses Pendataan Perolehan Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) Di Kecamatan Medan Amplas Ditinjau Dari Hukum Administrasi Negara.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH, MH, DFM selaku pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara dan sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Ibu Afrita SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.

7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

8. Keluarga Besar Ayahanda Alm. H.M. Idris Siregar dan Ibunda, Ina Zahrina yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun material sehingga terselesaikanya skripsi ini.


(5)

9. Teman-Teman stambuk 2008 yang telah mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan sampai selesainya penulisan skripsi ini, terutama Riri Sofira Lubis.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan. Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum di negara Republik Indonesia.

Medan, Maret 2014 Hormat Saya


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PENGATURAN TENTANG KEPENDUDUKAN ... 19

A. Pengertian Kependudukan ... 19

B. Pengertian e-KTP ... 19

C. Kebijakan Kependudukan ... 21

BAB III IMPLEMENTASI KEBIJAKAN e-KTP DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS ... 30

A. Mekanisme Pendataan ... 30

B. Implementasi Pendataan ... 35

BAB IV PROSES PENDATAAN ELEKTROK KARTU TANDA PENDUDUK (e-KTP) DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS DITINJAU DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA ... 50

A. Gambaran Umum Kecamatan Medan Amplas ... 50

B. Hambatan dalam Proses e-KTP di Kecamatan Medan Amplas ... 52

C. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan dalam Proses e-KTP di Kecamatan Medan Amplas ... 61


(7)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 69 A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 70 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

PROSES PENDATAAN PEROLEHAN KEPEMILIKAN KARTU TANDA PENDUDUK (e-KTP) DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS DITINJAU

DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Zola Sondra Siregar*

Suria Ningsih** Afrita **

Program e-KTP dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional/nasional di Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut memberi peluang.

Permasalahan dalam penulisan ini adalah : Bagaimana Pengaturan Tentang Kependudukan. Bagaimana Implementasi Kebijakan e-KTP Di Kecamatan Medan Amplas. Bagaimana hambatan dalam Pendataan Elektronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) di Kecamatan Medan Amplas Di Tinjau Dari Hukum Administrasi Negara.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris atau biasa disebut penelitian yuridis empiris. Dalam penelitian ini, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata.

Pengaturan Tentang Kependudukan, Pasal 1 angka (14) Undang Undang No. 23 Tahun 2006 tentang kependudukan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 Tentang penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor Induk kependudukan secara nasional. Implementasi Kebijakan e-KTP Di Kecamatan Medan Amplas, memberikan pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kota seluruh Indonesia dengan tetap berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 serta peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban pemerintah Kota/kota dalam pelaksanaan penyelenggaraan administrasi kependudukan tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 yang bunyinya : “Pemerintah Kota/Kota berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh bupati/walikota. Hambatan dalam proses program e-KTP berbasis NIK antara lain sebagai berikut: Faktor penegak hukumnya, Faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat, Faktor kebudayaan. Kata Kunci : Pendataan, Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) *Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I, Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara **Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum USU


(9)

BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang

Program Elektronik Kartu Tanda Penduduk (selanjutnya disingkat e-KTP) dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional/nasional di Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang dalam hal-hal tertentu dengan manggandakan KTP-nya.

Pelayanan publik di bidang administrasi kependudukan merupakan salah satu tugas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka melayani masyarakat umum, yang meliputi tugas dan fungsi, mendaftarkan dan menerbitkan KTP, Kartu Keluarga, serta berbagai Akta Catatan Sipil maupun pencatatan Mutasi dan pengelolaan Data Penduduk.

Di daerah tugas pelayanan administrasi publik menjadi tugas sekaligus merupakan kewenangan dari pemerintah daerah, yang diwakili oleh Dinas Pencatatan Sipil, Administrasi Kependudukan dan Keluarga Berencana”. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan daerah,”Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.1

Pelayanan publik itu sendiri pada hakekatnya adalah pemberian pelayanan prima yang berkualitas kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Namun kondisi yang terjadi di masyarakat menunjukkan bahwa pelayanan publik dalam bentuk pelayanan administrasi kependudukan khususnya dalam hal pembuatan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (selanjutya disebut e-KTP) belum sepenuhnya berjalan dengan baik dan masih ditemuinya hambatan.

1


(10)

Perkembangan teknologi informasi maupun komunikasi menghasilkan manfaat positif bagi kehidupan manusia dan memberikan banyak kemudahan, seperti kemudahan dalam memperoleh informasi dan kemudahan bertransaksi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga dapat membantu manusia dalam menjalankan aktivitasnya, karena segala kegiatan dapat dilakukan dengan cepat, murah, dan tepat, sehingga produktivitas kerja akan meningkat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memperlihatkan bermunculannya berbagai jenis kegiatan yang berbasis pada teknologi ini, seperti dalam dunia pemerintahan (e-government), yang didalamnya memiliki program seperti dalam bidang pemerintah e-KTP, pendidikan (e-education, e-learning), kesehatan, (e-medicine, elaboratory), dan lainnya, yang kesemuanya itu berbasiskan elektronik. Pemerintah menerapkan e-government yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, transparan, bersih, adil, akuntabel, bertanggungjawab, responsive, efektif dan efisien.

E-government memanfaatkan kemajuan komunikasi dan informasi pada berbagai aspek kehidupan, serta untuk peningkatan daya saing dengan negara-negara lain. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. E-government menerapkan sistem pemerintahan dengan berbasis elektronik agar dapat memberikan kenyamanan, meningkatkan transparansi, dan meningkatkan interaksi dengan masyarakat, serta meningkatkan partisipasi publik2

e-KTP merupakan cara baru jitu yang akan ditempuh oleh pemerintah dengan membangun database kependudukan secara nasional untuk memberikan identitas kepada masyarakat dengan menggunakan sistem biometric yang ada di . Salah satu penerapan implementasi

e-government dalam pelayanan publik dengan penggunaan teknologi dan informasi yang saat ini sedang dilaksanakan dalam bidang pemerintahan adalah e-KTP. Indonesia dengan jumlah penduduknya yang besar memerlukan data kependudukan yang akurat, untuk itu pemerintah membuat program yang disebut dengan e-KTP.

2


(11)

dalamnya, maka setiap pemilik e-KTP dapat terhubung kedalam satu database

nasional, sehingga setiap penduduk hanya memerlukan satu KTP saja.

Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Definisi dari e-KTP atau kartu tanda penduduk elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamananan/pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada pada database

kependudukan nasional. Penduduk hanya di perbolehkan memiliki satu KTP yang tercantum Nomor induk Kependudukan (selanjutnya disebut NIK). NIK merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup. Nomor NIK yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam penerbitan paspor, surat Izin mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya.3

Penyebutan kata elektronik dalam kartu tanda penduduk berbasis elektronik didasarkan atas dibuatnya rekaman elektronik dan kode keamanan tertentu dalam blangko KTP berbasis NIK yang nanti akan diberikan kepada penduduk, sehingga yang dimaksud dengan KTP berbasis NIK tidak lain adalah KTP berbasis elektronik e-KTP itu sendiri. Dalam Perubahan Pertama Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 disebutkan mengenai batas waktu proses

Dengan adanya e-KTP ini tentunya masyarakat dapat mendukung peningkatan keamanan negara melalui tertutupnya peluang adanya KTP ganda atau KTP palsu di mana selama ini para pelaku kriminal termasuk teroris, TKI illegal dan perdagangan manusia sering menggunakan KTP ganda atau KTP palsu tersebut untuk memalsukan identitas diri agar tidak teridentifikasi oleh pihak berwajib. Jumlah KTP palsu yang sangat besar tersebut dapat dipastikan bahwa dengan menggunakan KTP manual pemerintah sering mengalami kecolongan dalam mengawasi penggunaan KTP manual, karena KTP manual dapat di buat dengan mudah dimana saja, apalagi jika memiliki orang dalam disebuah instansi kecamatan. Dengan demikian masyarakat yang tidak bertanggungjawab dapat dengan leluasa melakukan kecurangan dan penyimpangan dengan menggunakan KTP manual.

3


(12)

penyesuaian dari KTP lama menjadi KTP berbasis NIK yakni paling lambat akhir tahun 2012 yang sebelumnya pada Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 ditargetkan paling lambat akhir tahun 2011. Batas waktu tersebut dimuat dalam Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2010 yang bunyinya : “Pada saat Peraturan Presiden ini ditetapkan, KTP yang belum berbasis NIK tetap berlaku dan harus disesuaikan dengan Peraturan Presiden ini paling lambat akhir tahun 2012”. Berdasarkan ketentuan tersebut, di atas diperoleh pemahaman bahwa pemerintah harus segera menginformasikan kepada penduduk dan segera menyesuaikan KTP lama yang dimiliki oleh penduduk agar disesuaikan dengan sistem KTP berbasis NIK berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2010 dan semua itu harus sudah selesai pada awal tahun 2013.

Berdasarkan uraian di atas dan ketentuan-ketentuan yang ada, maka berkeinginan mengkaji permasalahan tersebut dalam Skripsi dengan judul Proses Pendataan Perolehan Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) Di Kecamatan Medan Amplas Ditinjau dari Hukum Administrasi Negara

I. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yakni :

1. Bagaimana Pengaturan Tentang Kependudukan?

2. Bagaimana Implementasi Kebijakan e-KTP Di Kecamatan Medan Amplas?

3. Bagaimana hambatan dalam Pendataan Elektronik Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) di Kecamatan Medan Amplas Ditinjau Dari Hukum Administrasi Negara?

J. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dibuatnya penulisan ini adalah sebagai berikut:


(13)

b. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan e-KTP Di Kecamatan Medan Amplas

c. Untuk mengetahui hambatan dalam Pendataan Elektronik Kartu Tanda Penduduk (e-KTP) di Kecamatan Medan Amplas Ditinjau Dari Hukum Administrasi Negara

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

1) Diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu hukum, khususnya pengembangan studi birokrasi pemerintahan dalam perspektif hukum administrasi negara dan / atau hukum tata negara untuk mewujudkan birokrasi yang berwatak responsive, competent, dan

accountable.

2) Diharapkan pula dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsep birokrasi pemerintahan dalam pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil berdasarkan prinsip-prinsip hukum pelayanan publik yang baik.

b. Manfaat Praktis

Diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis kepada para aparatur negara dalam pelayanan kependudukan dan pencatatan sipil agar dapat merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang inovatif berdasarkan prinsip-prinsip hukum pelayanan publik yang baik, sehingga jati dirinya sebagai kelembagaan publik dapat menampilkan kinerja dalam profil yang ideal di masa yangakan datang.

K. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran dan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis baik di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, maka penulis memilih judul proses pendataan perolehan kepemilikan kartu tanda penduduk (e-KTP) di kecamatan medan amplas di tinjau dari hukum administrasi


(14)

negara. Judul penelitian ini belum diteliti oleh peneliti yang lain maka penulis tertarik untuk mengambil judul ini sebagai judul skripsi, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

L. Tinjauan Kepustakaan 1. Konsep Negara Hukum

Awal mula gagasan negara hukum berkembang pada tahun 1800 SM. Perkembangan awal pemikiran negara hukum berawal pada zaman Yunani Kuno yang dikemukakan oleh filosof bernama Plato.4 Menurut Jazim Hamidi dalam bukunya Teori Hukum Tata Negara5

Tanpa adanya pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga negara, suatu negara tidak dapat dikategorikan sebagai negara hukum karena

, beliau mengutip pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa : “suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum”. Aristoteles mempertegas gagasan dari gurunya Plato yang berpendapat bahwa: “Penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan dengan pengaturan hukum yang baik”.

Pengertian negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum. Hukum sebagai dasar, diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan yang berpuncak pada konstitusi atau hukum dasar negara.

Konstitusi negara juga harus berisi gagasan atau ide tentang

konstitusionalisme, yaitu adanya pembatasan atas kekuasaan dan jaminan hak dasar warga negara, dengan demikian dalam negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum, bukan kekuasaan belaka serta pemerintahan negara berdasar pada konstitusi yang berpaham konstitusionalisme.

4

Jazim Hamidi dkk, Teori Hukum Tata Negara, Jakarta: Salemba Humanika, 2011 hal143

5


(15)

setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada legalitas. Artinya pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa adanya dasar kewenangan yang menyertainya. Dalam konsep negara hukum terdapat unsur-unsur yang harus dimiliki guna pelaksanaan dari konsep tersebut, dengan kata lain setiap negara hukum memiliki unsur-unsur negara hukum guna membentuk negara yang berdasar kepada hukum.

Jazim hamidi6

1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia;

mengutip kutipan dari Moh. Kusnardi yang mengutip pendapat Frederick Julius Stahl dalam Philosophi des rechts yang mengatakan bahwa dalam negara hukum terdapat beberapa unsur utama secara formal, yaitu sebagai berikut:

2. Penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada teori Trias Politika; 3. Pemerintah menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang

(wetmatigheid van bestuur);

4. Terdapat pengadilan administrasi yang akan menyelesaikan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan hak asasi manusia.

Unsur-unsur negara hukum tersebut di atas terdapat di tiap-tiap konstitusi suatu negara, tidak terkecuali Negara Indonesia. Keberadaan konstitusi dalam suatu negara hukum merupakan suatu keharusan. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dalam Undang Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) sebelum amademen, terdapat unsur-unsur negara hukum yang terkandung di dalamnya7

a. Prinsip kedaulatan rakyat, terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang bunyinya sebagai berikut: “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD”;

, yaitu sebagai berikut:

6

Ibid. hal 144

7

Hifdzil, 2008, “Pengertian Negara Hukum” (Cited 2012, Oktober, 3), available from :


(16)

b. Pemerintahan yang berdasarkan konstitusi, termuat dalam Penjelasan UUD 1945 Paragraf yang bunyinya sebagai berikut :

. . . maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu UUD 1945, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia Dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan Mewujudkan Suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

c. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, termuat dalam Pasal 28A sampai 28J UUD 1945;

d. Pembagian kekuasaan, termuat dalam Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 19 UUD 1945;

e. Pengawasan peradilan melalui kekuasaan kehakiman, termuat dalam Pasal 24 UUD 1945;

f. Partisipasi warga negara, termuat dalam Pasal 28 UUD 1945; g. Sistem perekonomian, termuat dalam Pasal 33 UUD 1945.

Pernyataan yang sama juga dinyatakan oleh Abu Daud Busroh, Beliau menyatakan bahwa: “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (recht staat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machts staat). Umumnya negara hukum diartikan sebagai negara di mana baik tindakan pemerintahan maupun rakyatnya didasarkan atas hukum (positif) untuk mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari penguasa rakyat sendiri.”8

Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu Pasal 1 ayat (3).

8

Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia , Jakarta : Bina Aksara, 1989, hal 30.


(17)

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia”. Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program regulasi jangka pendek, menengah, dan panjang. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem desentralisasi di mana wilayahnya dibagi atas dua tingkat pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah Tingkat I yang setingkat dengan wilayah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Tingkat II yang setingkat dengan wilayah Kota atau Kota yang pengaturannya diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Teori mengenai desentralisasi dan sangkut pautnya dengan negara Indonesia ditulis Prof. Juanda dalam bukunya “Hukum Pemerintahan Daerah”.9

2. Kewenangan

Sebagai negara hukum, setiap penyelengaraan urusan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum yang berlaku termasuk dalam pembuatan kebijakan program pengadaan e-KTP. Kebijakan tersebut harus berlandaskan pada undang-undang yang berlaku, yakni dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang mengatur tentang pelaksanaan program e-KTP demi mewujudkan pelayanan administrasi kependudukan yang lebih efisien dan profesional serta sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pasal 7 undang-undang tersebut secara tegas menentukan bahwa Pemerintah Kota diberi tugas untuk menyelenggarakan urusan administrasi kependudukan termasuk pengadan e-KTP. Diharapkan Pemerintah Kota dapat melaksanakan tugas tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan.

Secara etimologi, kata “kewenangan” berasal dari kata “wenang” yang dalam kamus Besar Bahasa Indonesia10

9

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung : Alumni, 2008 hal 111.

10

W.J.S. Poerwadarminta, kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hal 461.

berarti mempunyai (mendapati) hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu, sehingga “berwenang” berarti memiliki wenang, sedangkan “kewenangan” berarti hal berwenang; hak dan kekuasaan


(18)

yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kedudukan peraturan perundang-undangan dalam sistematika hukum termasuk dalam lingkungan hukum tertulis. Hukum tertulis adalah hukum yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, dengan bentuk atau format tertentu dan disahkan dalam bentuk lembaran negara.

Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang menurunkan peraturan perundang-undangan yang berlaku diberi wewenang untuk membentuk suatu peraturan tertentu, kewenangan tersebut dapat diperoleh melalui atribusi, delegasi atau sub delegasi.11

Dalam khasanah hukum administrasi dikenal tiga sumber kewenangan pemerintah, yaitu “atribusi”, “delegasi”, dan “mandat”.

12

Atribusi kekuasaan

(atributevan recthsmach) sering diartikan sebagai pemberi kewenangan kepada badan, lembaga atau pejabat negara tertentu, baik oleh pembentuk UUD maupun pembentuk Undang-Undang13

Dengan pemberian wewenang tersebut maka melahirkan suatu kewenangan serta tanggung jawab yang mandiri, sehingga dalam atribusi terdapat suatu kewajiban baru. Delegasi kewenangan (delegate vanbovoegdheid)

dimaksudkan sebagai pencerahan atau pelimpahan kewenangan (dalam hal ini kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan) dari badan atau lembaga atau pejabat negara kepada badan atau lembaga pejabat negara lain.

. Dalam hal ini berupa penciptaan wewenang baru untuk dan atas nama yang diberi wewenang tersebut.

14

11

Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1998, hal 35-36.

12

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni, 2004, hal 49.

13

Ibid. hal 37.

14

Ibid. hal 38

Kewenangan tersebut semula ada pada badan atau lembaga pejabat yang menyerahkan tersebut, dengan adanya pelimpahan, maka kewenangan atau tanggung jawab beralih kepada penerima kewenangan (delegataris). Dalam delegasi kewenangan yang diserahkan atau dilimpahkan tersebut sudah ada pada delegans.


(19)

Jika suatu kewenangan yang diperoleh melalui delegasi tersebut dilimpahkan kembali kepada badan atau pejabat yang lebih rendah untuk melaksanakan wewenang atau tanggung jawab atas namanya sendiri, maka hal ini dinamakan sub delegasi. Jadi sub delegasi adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab kepada badan pemerintah lainnya. Mengenai tindakan pemerintah yang diambil oleh Pemerintah Kota Medan merupakan suatu sub-delegasi dari pemerintah Provinsi Sumatera Utara kepada pemerintah Kota Medan dalam menjalankan program e-KTP. Mandat merupakan pelimpahan kewenangan dengan tanggung jawab masih dipegang oleh si pemberi mandat. Sebagai contoh : tanggung jawab membuat keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi UUD. Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

3. Efektifitas Perundang-undangan

Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, efek berarti akibat, sedangkan efektif berarti hasil daya pengaruh dari sesuatu yang dalam hal ini adalah hasil daya atau pengaruh dari suatu peraturan perundang-undangan. Efektif artinya sudah berlaku dan dapat langsung diterapkan , jadi efektifitas adalah suatu keadaan dimana suatu peraturan perundang-undangan sudah dapat berlaku dan diterapkan di masyarakat.15

15

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2010 hal 266


(20)

Menurut Lawrence M. Friedman dalam teori aktualisasi sistem hukum, beliau melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Terdirinya tiga komponen sistem hukum yakni :

a. Komponen struktur hukum (legal structure); b. Komponen substansi hukum (legal substance); c. Komponen budaya hukum (legal culture).

4. Pelayanan Publik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai cara atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang dengan makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan).16

Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan. Pelayanan publik adalah pemenuhan

Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara publik. Sementara itu istilah publik berasal dari bahasa Inggris

public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Menurut Sinambela, penggunaan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat.

16


(21)

keinginan dan kebutuhan masyarakat pada penyelenggaraan negara. Negara didirikan oleh publik atau masyarakat tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat.17

M.Metode Penelitian

Untuk memperoleh, mengumpulkan serta menganalisa setiap data maupun informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan metode agar karya tulis ilmiah mempunyai susunan yang sistematis dan konsisten, adapun metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum normatif meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum.18

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum empiris atau biasa disebut penelitian yuridis empiris. Dalam penelitian ini, hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan nyata.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris. Pendekatan

yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perjanjian perjanjian pengadaan barang dan jasa. Sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai

17

Poltak Lijan Sinambela,, dkk, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, hal 5

18

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) hlm. 13-14.


(22)

perilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.19

3. Sifat penelitian

Sifat penelitian dari skripsi ini lebih mengarah kepada sifat penelitian

deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula di dalamnya penelitian ilmu hukum, penelitian deskriptif bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan gambaran secara tepat mengenai sifat-sifat, keadaan dan gejala yang terjadi selama proses pembuatan di Kota Medan Kecamatan Medan Amplas dilakukan. Menggunakan sifat penelitian deskriptif dikarenakan sudah terdapatnya ketentuan peraturan perundang-undangan, literatur maupun jurnal yang cukup memadai mengenai permasalahan yang diangkat.

4. Data dan Sumber Data

Data maupun sumber data yang digunakan sebagai bahan penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, antara lain sebagai berikut:

a. Data Primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Data pimer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan wawancara langsung terhadap pihak terkait dalam hal ini yaitu Kepala Dinas Pencatatan dan Kependudukan Sipil serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan program pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik e-KTPdi Pemerintah Daerah Kota Medan Kecamatan Medan Amplas. b. Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan

yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam

19

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hal. 36.


(23)

bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini, antara lain:

1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari instrument hukum nasional, terdiri dari :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674);

d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5080);

e) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi kependudukan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4736);

f) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;


(24)

g) Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 Tentang Penerapan KTP Berbasis NIK Secara Nasional;

h) Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional;

i) Peraturan Daerah Kota Medan Nomor : 18 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk Dalam Kerangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (Simduk) dan Akta Catatan Sipil Di Kota Medan.

j) Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan. Pendaftaran

Penduduk.

c. Bahan hukum sekunder dari penelitian ini yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang mengatur dasar-dasar pelaksanaan program e-KTP. Bebepara bahan hukum sekunder yang penulis gunakan antara lain: Rancangan Undang- Undang tentang Pelaksanaan program e-KTP di Kota Medan; pendapat para pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa; buku-buku hukum (text book), serta jurnal-jurnal hukum yang membahas mengenai e-KTP.

d. Bahan hukum tersier yang penulis gunakan berupa kamus hukum dan ensiklopedia.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan dan teknik wawancara. Studi Dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, karena penelitian hukum selalu berawal dari premis atau pernyataan normatif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai studi kepustakaan dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan peneliti. Teknik wawancara dilakukan dengan mengajukan


(25)

pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan yang dirancang atau yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dan mendukung permasalahan yang diajukan dalam penelitian mengenai pelaksanaan program e-KTP di Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan. Dari jawaban ini diadakan pencatatan sederhana yang kemudian diolah dan dianalisis menjadi sebuah laporan yang runtun dan terperinci.

6. Analisis Data

Dalam penelitian ilmu hukum aspek empiris dikenal dua model analisis yakni, analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif. Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum empiris dengan jenis pendekatan penelitian deskriptif, maka teknis analisis data yang penulis lakukan dalam skripsi ini adalah teknis analisis data kualitatif atau disebut deskriptif kualitatif. Keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistimatis, digolongkan dalam pola dan tema, diketagorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.

Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistimatis.

N. Sistematika Penulisan

Untuk menyusun skripsi ini peneliti membahas menguraikan masalah yang dibagi dalam lima bab. Adapun maksud dari pembagian skripsi ini ke dalam bab-bab dan sub bab-bab-bab-bab adalah agar untuk menjelaskan dan menguraikan setiap masalah dengan baik, sebagai berikut :


(26)

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas mengenai Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II PENGATURAN TENTANG KEPENDUDUKAN

Pada bagian ini akan membahas tentang Pengertian Kependudukan, Pengertian e-KTP, Fungsi dan Kegunaan e-KTP dan Kebijakan Kependudukan

BAB III IMPLEMENTASI KEBIJAKAN e-KTP DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS

Bab ini akan membahas tentang Mekanisme Pendataan dan Implementasi Pendataan

BAB IV HAMBATAN DALAM PENDATAAN ELEKTRONIK KARTU TANDA PENDUDUK (E-KTP) DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS DI TINJAU DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Bab ini akan membahas Gambaran Umum Kecamatan Medan Amplas, Proses Pembuatan e-KTP dan Hambatan Dalam Penerapan e-KTP di Kecamatan Medan Amplas dan upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan dalam proses pembuatan e-KTP di Kecamatan Medan Amplas.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan membahas mengenai kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini


(27)

BAB II

PENGATURAN TENTANG KEPENDUDUKAN A. Pengertian Kependudukan

Kependudukan adalah hal yang berkaitan dengan jumlah, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, kondisi kesejahteraan, yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, agama serta lingkungan (Undang-Undang No. 23 Tahun 2006)

Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur, umur, jenis kelamin, agama, kelahiran, perkawinan, kehamilan, kematian, persebaran, mobilitas dan kualitas serta ketahanannya yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, dan budaya20

B. Pengertian e-KTP

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah penulis paparkan di atas Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur, umur, jenis kelamin, agama, kelahiran, perkawinan, kehamilan, kematian, persebaran, mobilitas dan kualitas serta ketahanannya yang menyangkut politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka (14) Undang Undang No. 23 Tahun 2006 ditetapkan mengenai pengertian dari KTP antara lain sebagai berikut: “KTP, adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Definisi dari E-KTP atau kartu tanda penduduk elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat system keamananan / pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada pada database

kependudukan nasional. Penduduk hanya di perbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor induk Kependudukan (NIK). NIK merupakan identitas


(28)

tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup. Nomor NIK yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam penerbitan paspor, surat Izin mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya ( sumber : pasal 13 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk).21

Dalam Pasal 64 ayat (3) Undang-undang No. 23 tahun 2006 memuat mengenai ketentuan disediakannya sebuah ruang khusus untuk diiisi dengan kode keamanan dan rekaman elektronik pencatatan peristiwa penting yang pernah dilakukan oleh si pemilik KTP. Pasal ini merupakan landasan hukum diberlakukannya KTP berbasis elektronik yang harus memuat kode keamanan dan rekaman elektronik tiap-tiap penduduk yang diharuskan memiliki Kartu Tanda

Ketentuan dalam Pasal 1 angka (14) Undang Undang No. 23 Tahun 2006 ditetapkan mengenai pengertian dari KTP antara lain sebagai berikut: KTP, adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah NKRI”.

Kewajiban untuk memiliki KTP bagi setiap penduduk warga Negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 tahun atau telah kawin atau pernah kawin dimuat dalam Pasal 63 ayat (1) Undang Undang No. 23 Tahun 2006. Disebutkan pula dalam ayat (2) dari Pasal tersebut mengenai ketentuan bahwa orang asing yang mengikuti status orang tuanya yang memiliki izin tinggal tetap dan sudah berumur 17 tahun juga diwajibkan untuk memiliki KTP.

Pasal 64 Undang Undang No. 23 Tahun 2006 menetapkan mengenai ketentuan bagian-bagian yang harus diisi dalam sebuah KTP, hal ini diatur khusus dalam ayat (1) yang bunyinya sebagai berikut: KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawian, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkannya KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatangani.

21


(29)

Penduduk. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional, selanjutnya disebut Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2009, Pasal 1 angka (3) menetapkan bahwa yang dimaksud dengan KTP berbasis NIK adalah KTP yang memiliki spesifikasi dan format KTP nasional dengan sistem pengamanan khusus yang berlaku sebagai identitas resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana.

Berdasarkan pengertian yang dimuat dalam situs resmi e-KTP22 disebutkan bahwa e-KTP adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan / pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional. Sementara dalam laporan sosialisasi Kebijakan dan Peraturan Administrasi Kependudukan yang dilakukan oleh Tim Direktorat Pendaftaran Penduduk disebutkan mengenai pengertian Kartu Tanda Penduduk Berbasis NIK sebagai berikut: “KTP Berbasis NIK adalah KTP yang memiliki spesifikasi dan format KTP nasional dengan sistem pengamanan khusus yang berlaku sebagai identitas resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana”23

C. Kebijakan Kependudukan .

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan KTP berbasis elektronik adalah kartu yang memuat identitas resmi penduduk sebagai warga Negara Indonesia sebagai bukti diri yang memuat sistem keamanan/pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah NKRI.

Proses implementasi kebijakan melihat kesesuaian antara program yang telah direncanakan dengan implementasinya dilapangan. Implementasinya kebijakan merupakan proses yang krusial dalam kebijakan publik, karena bukan

22

Rizky Nugraha, “Perancangan Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK) Sebagai Pengembangan E-Government menuju Good Governance” data diakses tanggal 21 Oktober 2012,

available from:

23

Kementerian Dalam Negeri, (Cited: 2012 Okt. 5), available from: URL: http://www: e-ktp.com, diakses tanggal 1 Desember 2013


(30)

hanya berkaitan dengan halhal mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat jalur birokrasi, melainkan juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh kebijaksanaan24

Dr. Elibu Bergman (Harvard university) Mendefinisikan kebijakan penduduk sebagai tindakan-tindakan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan dimana didalamnya termasuk pengaruh dan karakteristik penduduk. Secara umum kebijakan penduduk harus ditujukan untuk:

Kebijakan Kependudukan adalah kebijakan yang ditujukan untuk mempengaruhi besar, komposisi, distribusi dan tingkat perkembangan penduduk. sedangkan

25

1) Melindungi kepentingan dan mengembangkan kesejahteraan penduduk itu sendiri terutama generasi yang akan datang.

2) Memberikan kemungkinan bagi tiap-tiap orang untuk memperoleh kebebasan yang lebih besar, guna menentukan apa yang terbaik bagi kesejahteraan diri, keluarga dan anaknya.

3) Kebijakan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk itu sendiri. Pemecahan masalah kependudukan dengan pengendalian kelahiran saja tidak menjamin bahwa hasilnya secara otomatis akan meningkatkan kualitas hidup penduduk yang bersangkutan atau generasi yang akan datang.

Mazmanian dan Sabatiar menjelaskan konsep Implementasi kebijakan sebagai berikut: “Di dalam mempelajari masalah Implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami “apa” yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijaksanaan negara, baik itu menyangkut

24

Wahab,S. A. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara,1997, hal 59

25

Siasah Masruri, Muhsinatun,dkk.Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup.Yogyakarta:UPT MKU UNY,2002, hal 2


(31)

usaha-usaha pengadministrasian maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwaperistiwa”26

26

Mazmanian dan Sabatiar, dalam Solichin, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal 123.

Pada tahun 1965 PBB mempunyai kebijakan kependudukan yang jelas dan menjadi dasar bagi tindakan-tindakan yang nyata, walaupun badan yang bernama

“The Population Commission” dengan resmi sudah dapat disahkan pada tanggal 3 Oktober 1946.

Aktivis Sita Aripurnami menggunakan kutipan Zillah Eisenstein, The Color of Gender (1994) ini pada baris pertama tesis berjudul Reproductive Rights Between Control and Resistence: A Reflection on the Discourse of Population Policy in Indonesia, yang diajukan untuk mendapatkan Master of Science pada

The Gender Institute, London School of Economics (LSE) London, Inggris. Sungguh kutipan yang tepat untuk menganalisis politik reduksionis dalam kebijakan kependudukan di Indonesia, yakni bagaimana kebijakan kependudukan direduksi menjadi kebijakan keluarga berencana; kebijakan berencana direduksi menjadi kebijakan kontrasepsi; kebijakan kontrasepsi direduksi lagi menjadi hanya kontrasepsi bagi perempuan. Dari 20 (dua puluh) jenis kontrasepsi yang beredar, 90 persen di antaranya ditujukan untuk perempuan.

Bank Dunia pernah menyebut Indonesia sebagai "salah satu transisi demografis paling mengesankan di negara sedang berkembang". Pada masa itu tingkat fertilitas turun dari 5,5 menjadi tiga per kelahiran, sementara tingkat kelahiran kasar turun dari 43 menjadi 28 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 1970, pertumbuhan penduduk turun dari sekitar 3,5 persen menjadi 2,7 persen dan turun lagi menjadi 1,6 persen pada tahun 1991. Banyak negara berkembang kemudian belajar implementasi program KB di Indonesia. Tetapi, hampir bisa dipastikan, dalam "transfer pengetahuan" itu tidak disebut metode yang membuat program itu sukses; yakni koersi (pemaksaan dengan ancaman) terhadap perempuan, khususnya dari kelompok masyarakat kelas bawah, terutama saat awal program diperkenalkan.


(32)

Di bawah panji-panji Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (selanjutnya disebut NKKBS), program pengendalian penduduk (KB dengan alat kontrasepsi) dilancarkan. Seperti halnya di negara berkembang lain awal tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru meyakini KB sebagai strategi ampuh mengejar ketertinggalan pembangunan. Ajaran Malthusian mengasumsikan, dengan jumlah penduduk terkendali rakyat lebih makmur dan sejahtera. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi-yang merupakan pereduksian makna "pembangunan"-tinggi guna mencapai kemakmuran, di antara syaratnya adalah "zero growth" di bidang kependudukan. Hubungan antara pengendalian jumlah penduduk dan pembangunan ekonomi menjadi semacam kebenaran, sehingga tidak lagi memerlukan pembuktian. Dalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Cairo, Mesir, 1994, lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan, kebijakan kependudukan yang reduksionis ini dikonstruksi sistematis melalui lembaga internasional. Pertumbuhan penduduk menjadi prakondisi bantuan pembangunan.

Di Indonesia, seperti pernah dikemukakan aktivis kesehatan reproduksi Ninuk Widyantoro, para petugas medis hanya diajari cara memasang susuk (nama lain dari Norplant), tetapi tidak cara mengeluarkannya. Pendarahan dan efek samping lain pemasangan kontrasepsi di tubuh perempuan sering dianggap tidak soal. Secara ironis pula, perencanaan program sebagian besar dilakukan laki-laki. Angka keberhasilan KB dijadikan salah satu komponen keberhasilan pembangunan, sehingga cara apa saja digunakan untuk mencapai "angka keberhasilan" itu. Manusia, khususnya perempuan, telah berubah maknanya menjadi hanya angka dan target. Caranya, tak jarang menggunakan pemaksaan dan ancaman aparat.

Rezim Orde Baru, seperti halnya rezim pembangunanisme di mana pun, memperlakukan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peledakan jumlah penduduk. Dengan demikian, mereka harus dikontrol ketat. Program KB telah membuat alat reproduksi perempuan seperti milik sah negara yang bisa digunakan para birokrat korup untuk mendapatkan utang. Pelajaran masa lalu ini amat berharga, karena pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia salah


(33)

satunya disebabkan persoalan KB. Ke depan, kebijakan kependudukan harus dikembalikan pada hakikatnya semula dengan menempatkan kesehatan reproduksi perempuan sebagai landasan. Itu berarti, perempuan mempunyai hak mengontrol tubuhnya untuk bebas dari paksaan, kekerasan serta diskriminasi pihak mana pun. Akses pada pelayanan kesehatan reproduksi harus dibuka untuk siapa pun. Proses demokrasi harus dimulai dari persoalan ini.

Konperensi kependudukan dunia dilaksanakan oleh PBB tahun 1954 di Roma. Kehati-hatian mewarnai penyebutan masalah kepadatan penduduk. Pro-kontra terjadi tentang adanya masalah kepadatan penduduk. Tahun 1954-1965 laporan-laporan tentang tekanan-tekanan yang disebabkan oleh kepadatan penduduk dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial dalam bentuk angka-angka stastistik membuka mata dunia akan adanya masalah kependudukan. Hal ini tercermin dalam konperensi kependudukan dunia kedua yang dilaksanakan oleh PBB di Beograd tahun 1965. Sejak konperensi ini masalah kependudukan dinyatakan sebagai masalah dunia yang harus segera ditangani.

Pada hari HAM 1968, dicetuskan Deklarasi pemimpin-pemimpin dunia tantang kependudukan. Deklarasi itu diterima sebagai resolusi XVII dalam konperensi tentang HAM di Teheran pada tanggal 12 Mei 1968. Presiden Indonesia merupakan salah seorang dari 30 orang kepala negara yang turut menendatanganinya.

Pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat sangat merintangi taraf hidup, kemajuan, peningkatan kesehatan dan sanitasi, pengadaan perumahan dan alat-alat pengangkutan, peningkatan kebudayaan, kesempatan rekreasi dan untuk banyak nagara merintangi pemberian pangan yang cukup kepada rakyat. Ringkasnya cita-cita manusia seluruh dunia untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik diganggu dan dibahayakan oleh pertumbuhan penduduk yang tak dikendalikan itu. Pernyataan Bersama PBB mengenai kependudukan oleh Sekjen PBB 10 Desember 1966 adalah: “Kami para pemimpin Negara-negara yang sangat memperhatikan masalah kependudukan sependapat bahwa:


(34)

a. Masalah kependudukan perlu menjadi unsur utama dalam rencana pembangunan jangka panjang bila negara itu ingin mencapai tujuan ekonomi yang dicita-citakan oleh rakyat.

b. Sebagian orang dari para orang tua ingin memperoleh pengetahuan tentang cara-cara merencanakan keluarga dan adalah hak tiap-tiap manusia untuk menentukan jumlah dan menjarangkan kelahiran anaknya. c. Perdamaian yang sesungguhnya dan kekal sangat bergantung pada cara

kita menanggulangi pertumbuhan penduduk.

d. Tujuan Keluarga Berencana adalah untuk memperkaya kehidupan umat manusia bukan untuk mengekangnya; bahwa dengan keluarga berencana tiap-tiap orang akan memperoleh kesempatan yang lebih baik untuk mencapai kemuliaan hidup dan mengembangkan bakatnya.

e. Sadar bahwa gerakan keluarga berencana adalah untuk kepentingan keluarga dan negara maka kami para penandatanganan sangat berharap pemimpin-pemimpin seluruh dunia menyepakati pernyataan itu.

Deklarasi kependudukan tersebut, merupakan pangkal tolak dari dilaksanakan program kependudukan atas dasar kebijakan kependudukan tiap Negara. Sekarang sebagian besar dari negara-negara anggota PBB telah memiliki kebijakan kependudukan termasuk Indonesia. Dalam menentukan suatu kebijakan tentang kependudukan yang penting adalah memperhatikan kualitas penduduk itu sendiri, stabilitas dari sumber-sumber kehidupan mereka, kelangsungan adanya lapangan kerja, standar kehidupan yang menyenangkan, dimana keamanan nasional maupun kebahagiaan perorangan harus diperhitungkan.

Kebijakan kependudukan dapat dilakukan melalui tiga komponen perkembangan penduduk yaitu : kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi). Mencegah pertumbuhan penduduk sebenarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti : peningkatan migrasi keluar, peningkatan jumlah kematian atau penurunan jumlah kelahiran.

Cara yang pertama sulit kiranya untuk dilakukan sebab semua negara di dunia ini melakukan pengawasan dan pembatasan orang-orang asing pendatang baru, sehingga mempersulit terjadinya migrasi secara besar-besaran. Juga tidak


(35)

mungkin diharapkan bahwa pemerintah berani menjalankan kebijakan peningkatan jumlah kematian. Jadi satu-satunya cara yang tinggal adalah dengan menurunkan jumlah kelahiran. Keuntungan pertama yang nyata dari hasil penurunan jumlah kelahiran adalah perbaikan kesehatan ibu dan anak-anak yang sudah ada, dan penghematan pembiayaan pendidikan.

Usaha memecahkan kepadatan penduduk karena tidak meratanya penyebaran penduduk, seperti terdapat di Jambal (Jawa, Madura, dan Bali) adalah dengan memindahkan penduduk tersebut dari pulau Jawa, Madura, dan Bali ke pulau-pulau lain. Usaha ini di Indonesia dikenal dengan nama “Transmigrasi” dan telah ditempatkan pada prioritas yang tinggi. Disamping migrasi, masalah lainnya perlu dipecahkan adalah perpindahan penduduk dari daerah peKelurahanan ke daerah perkotaan, yang dikenal dengan nama “Urbanisasi”. Menurut hasil sensus 1980, 18,8% dari jumlah penduduk Indonesia bermukim di daerah kota. Setengah abad yang lalu jumlah penduduk kota di Indonesia telah berkembang lebih cepat daripada perkembangan penduduk Indonesia. Hampir sepertiga dari pertambahan penduduk Indonesia dalam dekade terakhir ditampung oleh daerah perkotaan. Masalah yang timbul adalah belum siapnya kota-kota tersebut untuk menampung pendaftar baru yang melampaui kemampuan daya tampung kota-kota tadi.

Secara garis besarnya tujuan kebijakan kependudukan, adalah sebagai berikut: memelihara keseimbangan antara pertambahan dan penyebaran penduduk dengan perkembangan pembangunan sosial ekonomi, sehingga tingkat hidup yang layak dapat diberikan kepada penduduk secara menyeluruh.

Usaha yang demikian mencakup seluruh kebijakan baik di bidang ekonomi, sosial, kulturil, serta kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan pendapatan nasional, pembagian pendapatan yang adil, kesempatan kerja dan pembangunan pendidikan secara menyeluruh. Strategi yang digunakan adalah jangka panjang maupun jangka pendek.


(36)

Di Indonesia tujuan jangka panjang diusahakan dapat dijangkau dengan: 1. Peningkatan volume transmigrasi ke daerah-daerah yang memerlukannya. 2. Menghambat pertumbuhan kota-kota besar yang menjurus kea rah

satu-satunya kota besar di suatu pulau tertentu dan mengutamakan pembangunan peKelurahanan.

Tujuan jangka pendek diarahkan kepada penurunan secara berarti pada tingkat fertilitas, peningkatan volume transmigrasi setiap tahunnya dan perencanaan serta pelaksanaan urbanisasi yang mantap.

Program-program kebijakan yang disusun untuk mencapai tujuan tersebut adalah:

1. Meningkatkan program keluarga berencana sehingga dapat melembaga dalam masyarakat. Termasuk semua program pendukung bagi keberhasilannya seperti peningkatan mutu pendidikan, peningkatan umur menikah pertama, peningkatan status wanita.

2. Meningkatkan dan menyebarluaskan program pendidikan kependudukan. 3. Merangsang terciptanya keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.

4. Meningkatkan program transmigrasi secara teratur dan nyata.

5. Mengatur perpindahan penduduk dari Kelurahan ke kota secara lebih komprehensif di dalam perencanaan pembangunan secara menyeluruh. 6. Mengatasi masalah tenaga kerja.

7. Meningkatkan pembinaan dan pengamanan lingkungan hidup.

Kebijaksanaan kependudukan secara menyeluruh harus memperhitungkan hambatan-hambatan dari segi politis, ekonomis, sosial, budaya, agama juga dari segi psikologis perorangan dan masyarakat yang di negara-negara berkembang masih cenderung mendukung diterimanya banyak anak.

Program-program “beyond family planning” harus lebih diintensifkan dan diekstensifkan. Di samping usaha peningkatan produksi dalam segala bidang kebutuhan hidup penduduk (pangan, sandang, rumah, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), perlu ditingkatkan usaha yang berhubungan dengan:

1. Pelaksanaan wajib belajar dan perbaikan mutu pendidikan. 2. Perluasan kesempatan kerja.


(37)

3. Perbaikan status wanita dan perluasan kesempatan kerja bagi mereka. 4. Penurunan kematian bayi dan anak-anak.

5. Perbaikan kesempatan urbanisasi.


(38)

BAB III

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN e-KTP DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS

A. Mekanisme Pendataan

Sistem kependudukan melalui Kartu Tanda Penduduk Elektronik (selanjutnya disebut e-KTP), merupakan cara baru yang akan ditempuh oleh pemerintah untuk memberikan identitas kepada masyarakat. Pada tahun 2012 mendatang sistem tersebut mulai diberlakukan. e-KTP memang merupakan cara jitu yang dilakukan pemerintah untuk membangun database kependudukan secara nasional.

Dengan menggunakan sistim biometrik yang ada di dalamnya, maka setiap pemiliki e-KTP dapat terhubung kedalam satu database nasional, sehingga setiap penduduk hanya memerlukan satu KTP saja.27 KTP elektronik menggunakan sistem biometrik atau sidik jari, sehinga setiap warga hanya membutuhkan satu KTP saja yang dapat dihubungkan dengan database nasional,"

27


(39)

Pihak BBPT mengatakan bahwa pemerintah akan segera menerapkan teknologi yang siap pakai tersebut, untuk menggantikan sistem kependudukan konvensional yang sudah ada. Proyek e-KTP dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional di Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang terhadap negara dengan menduplikasi KTP-nya.

Beberapa diantaranya digunakan untuk hal-hal berikut: 1. Menghindari pajak

2. Memudahkan pembuatan paspor yang tidak dapat dibuat di seluruh kota 3. Mengamankan korupsi

4. Menyembunyikan identitas (misalnya oleh para teroris)

Untuk mengatasi duplikasi tersebut sekaligus menciptakan kartu identitas multifungsi, digagaslah e-KTP yang menggunakan pengamanan berbasis biometrik. Penggunaan sidik jari e-KTP lebih canggih dari yang selama ini telah diterapkan untuk SIM (Surat Izin Mengemudi). Sidik jari tidak sekedar dicetak dalam bentuk gambar (format jpeg) seperti di SIM, tetapi juga dapat dikenali melalui chip yang terpasang di kartu. Data yang disimpan di kartu tersebut telah dienkripsi dengan algoritma kriptografi tertentu. Proses pengambilan sidik jari dari penduduk sampai dapat dikenali dari chip kartu adalah sebagai berikut:


(40)

Sidik jari yang direkam dari setiap wajib KTP adalah seluruh jari (berjumlah sepuluh), tetapi yang dimasukkan datanya dalam chip hanya dua jari, yaitu jempol dan telunjuk kanan. Sidik jari dipilih sebagai autentikasi untuk e-KTP karena alasan berikut:

Biaya paling murah, lebih ekonomis daripada biometrik yang lain Bentuk dapat dijaga tidak berubah karena gurat-gurat sidik jari akan kembali ke bentuk semula walaupun kulit tergores Unik, tidak ada kemungkinan sama walaupun orang kembar Informasi penduduk yang dicantumkan dalam e-KTP ditunjukkan pada layout kasar berikut:

Selain tujuan yang hendak dicapai, manfaat e-KTP diharapkan dapat dirasakan sebagai berikut:


(41)

2. Tidak dapat dipalsukan 3. Tidak dapat digandakan

4. Dapat dipakai sebagai kartu suara dalam pemilu atau pilkada

Struktur e-KTP sendiri terdiri dari sembilan layer yang akan meningkatkan pengamanan dari KTP konvensional. Chip ditanam di antara plastik putih dan transparan pada dua layar teratas (dilihat dari depan). Chip ini memiliki antena didalamnya yang akan mengeluarkan gelombang jika digesek. Gelombang inilah yang akan dikenali oleh alat pendeteksi e-KTP sehingga dapat diketahui apakah KTP tersebut berada di tangan orang yang benar atau tidak.

Untuk menciptakan e-KTP dengan sembilan layer, tahap pembuatannya cukup banyak, diantaranya:

1. Hole punching, yaitu melubangi kartu sebagai tempat meletakkan chip 2. Pick and pressure, yaitu menempatkan chip di kartu

3. Implanter, yaitu pemasangan antenna (pola melingkar berulang menyerupai empat spiral)

4. Printing,yaitu pencetakan kartu

5. Spot welding, yaitu pengepresan kartu dengan aliran listrik 6. Laminating, yaitu penutupan kartu dengan plastik pengaman

Penyimpanan dua buah sidik jari telunjuk di dalam chip sesuai dengan standar internasional NISTIR 7123 dan Machine Readable Travel Documents

ICAO 9303 serta EU Passport Specification 2006. Bentuk KTP elektronik sesuai dengan ISO 7810 dengan form faktor ukuran kartu kredit yaitu 53,98 mm x 85,60 mm. KTP elektronik sebagaimana KTP kertas memiliki masa berlaku 5 tahun.


(42)

KTP selalu dibawa dan digunakan oleh penduduk dalam kondisi dan cuaca yang beragam serta berbagai aktifitas seperti pertanian, perdagangan, perjalanan dan perkantoran dengan frekuensi penggunaan yang tinggi. Keadaan ini memerlukan ketahanan fisik kartu dan komponennya dalam penggunaan yang sering dan jangka waktu yang lama.

Kartu kredit biasanya dibuat dari bahan polyvinyl chloride (PVC) karena diharapkan dapat digunakan selama tiga tahun. Tetapi masa berlaku KTP selama lima tahun memerlukan bahan yang lebih kuat yaitu polyester terephthalate (PET) yang memiliki ketahanan hingga sepuluh tahun.

Chip dapat dipasang pada kartu dengan interface kontak atau nirkontak. Kartu elektronik dengan interface kontak telah banyak diluncurkan untuk keperluan kartu telepon, kartu kredit dan kartu kesehatan (APSCA 2007). Kartu nirkontak mulai banyak digunakan untuk kebutuhan transportasi umum karena kemudahan dan kenyamanan penggunaan dengan cukup menempelkan kartu ke perangkat pembaca tanpa memasukkan kartu ke dalam slot perangkat pembaca.

Kartu nirkontak tidak bergesekan langsung dengan perangkat pembaca yang dapat menyebabkan terkikisnya lapisan pelindung chip. Kartu nirkontak juga memiliki daya tahan tinggi karena terlindungi dari kontak langsung lingkungan seperti udara, air dan cairan lainnya. Ia juga terlindung dari karat karena kelembaban udara dan air khusunya di daerah tropis seperti di Indonesia. Oleh karena itu, kartu e-KTP menggunakan interface nirkontak.

Pada uji petik e-KTP tahun 2009, Ditjen Adminduk yang bekerjasama dengan BPPT, ITB, LSN dan APTIKOM memberikan pelatihan dan pendampingan teknis bagi kegiatan perekaman sidik jari. Saat ini, petugas kecamatan telah dapat mengoperasikan dengan baik dan mandiri kegiatan perekaman sidik jari, pengiriman sidik jari untuk identifikasi 1:N, dan perekaman data ke dalam chip serta verifikasi sidik jari 1:1 hingga e-KTP diserahkan kepada penduduk.

Penerapan awal KTP berbasis NIK yang dilengkapi dengan sidik jari dan chip atau e-KTP merupakan langkah strategis menuju tertib administrasi


(43)

kependudukan yang mengamanatkan adanya identitas tunggal bagi setiap penduduk dan terbangunnya basis data kependudukan yang lengkap dan akurat.

B. Implementasi Pendataan

Pelaksanaan program kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sudah hampir setahun dilaksanakan di seluruh wilayah di Indonesia, tanpa terkecuali Kota Medan, dalam hal ini pemerintah Kota Medan diberikan kewenangan untuk melaksanakan program ini seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan.

Berdasarkan teori kewenangan, pelimpahan kewenangan yang diperoleh pemerintah Kota Medan didapat melalui cara atribusi yakni pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan. Pelaksanaan e-KTP diMedan diberikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi kepada sejumlah warga di halaman kantor Kecamatan Medan pada tanggal 23 April 2012 Gamawan Fauzi Menteri Dalam Negeri mengaku pendataan e-KTP di Sulsel melampaui target yang ditentukan dengan capaian 108%. “Medan ini salah satu kota besar di Indonesia, penduduknya juga sudah mencapai angka 1,5 juta dan dalam pelaksanaan pendataan e-KTP ini mampu menyelesaikan sesuai target.

Menteri Dalam Negeri mengatakan bahwa pencapaian target yang diberikan kepada Pemerintah Kota Medan tidak terlepas dari peran serta aparatur kelurahan dan kecamatan yang turut serta melakukan pendataan dengan mengunakan cara-cara persuasif untuk menarik minat masyarakat dalam membuat e-KTP.

Menteri Dalam Negeri mengatakan dalam sambutannya pada penyerahan e-KTP di Kantor Kecamatan Medan target e- KTP secara nasional yakni 72 juta, hingga 20 April 2012 ini sudah mencapai target yaitu 67 juta. Beliau menjelaskan bahwa target nasional 4 juta e-KTP yang belum dicapai akan tuntas sampai akhir April nanti.

Beliau berencana menuntaskan 172 juta e-KTP sampai akhir 2012.Meski begitu, dia berjanji menuntaskan 120 juta.“Kalau 120 juta tidak tercapai, Menteri


(44)

Dalam Negeri pantas untuk mundur Januari 2013. Malu kalau komitmen kita tidak terselesaikan, ini ada uang Rp5,8 triliun dari rakyat, jadi semua kelalaian biar saya yang ambil.

Selain memenuhi target, Menteri Dalam Negeri juga mengcanangkan agar KTP dapat berlaku secara seumur hidup, karena dengan membuat KTP seumur hidup pemerintah bisa menghemat biaya sekitar 4 triliun setiap lima tahun sekali. Rencana Menteri Dalam Negeri telah mendapatkan izin dari Presiden dan mempersilahkan berkoordinasi dengan kementerian terkait.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menambahkan sementara menunggu pemberlakuan e – KTP ini, KTP lama masih tetap berlaku sampai e – KTP terbit

Provinsi Sumatera Utara Khususnya Kota Medan dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (disdukcil) berusahap pelaksanakan/ merampungkan penyelenggaraan e-KTP tepat waktu. Akan tetapi itu tidak akan terwujud tanpa ada usaha untuk menarik masyarakat agar mau melaksanakan pengambilan/perekaman data pada e-KTP di kecamatan masing-masing.

Pihak Disdukcil, selaku Kabid Adm. Kependudukan, cara untuk menarik masyarakat agar melakukan perekaman e-KTP dengan cara sosialisasi, antara lain:

1. Mengunakan spanduk yang dipasang pada masing – masing kelurahan atau kecamatan.

2. Melalui media cetak, tabloid atau Koran antara lain : tempo, fajar, dan tribun timur.

3. Melalui media elektronik antara lain : Celebes tv dan fajar tv.

Keuntungan yang diperoleh masyarakat setelah melakukan e-KTP selain tidak di kenakan biaya (gratis) untuk saat ini, e-KTP juga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia jadi tidak perlu lagi membuat KTP yang baru apabila yang bersangkutan berpindah alamat atau berpindah daerah.

Hal ini tercantum dalam pasal 63 ayat 3 UU nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan. Artinya setiap penduduk hanya memiliki satu KTP saja sesuai amanat pasal 63 ayat (6) undang-undang yang sama


(45)

Kepala Bidang Administrasi Kependudukan, bahwa e-KTP yang ada

sekarang merupakan e-KTP perubahan dari yang sebelumnya, dimana pada e-KTP yang lalu terdapat microchip yang berisi data dari pemengang / pemilik e-KTP pada e-KTP yang baru microchip tersebut di hilangkan, Akan tetapi, hal ini

bertentangan dengan pasal 64 ayat (3) UU nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan. Perubahan bentuk fisik e-KTP ini dilatarbelakangi dari adanya permasalah yang terdapat pada kota Medan yaitu tidak diakuinya KTP dari pemiliknya pada salah satu bank disana karena pada e-KTP tersebut tidak ada terdapat tanda tangan dari pemilik karena tanda tangan pemilik sudah ada didalam microchip tetapi bamk tersebut belum mempunyai alat pembaca / semacam card reader untuk microchip.

Oleh karena itu, pada e – KTP perubahan ini tanda tangan yang ada bukan lagi tanda tangan dari kepala dinas kependudukan dan catatan sipil melainkan tanda tangan dari pemilik e – KTP tersebut.

Dari segi sarana dan prasarana, beliau mengatakan semua sarana/prasarana di sediakan oleh Pemerintah Pusat baik perangkat keras seperti : meja, kursi, tenda, dan lain sebagainya. Maupun perangkat lunak seperti : komputer, alat iris mata, alat rekam sidik jari sampai penerbitan.

Adapun tenaga khusus yang disediakan oleh pemerintah untuk melaksanakan e-KTP ini diambil dari pegawai di dinas catatan sipil sebagai operator yang dibantu oleh para staff dari kecamatan yang diberikan pelatihan khusus dari Pemerintah Pusat untuk menjalankan program e-KTP. e-KTP merupakan sistem kependudukan terbaru yang sudah diterapkan oleh pemerintah, hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dimana pada Pasal 101 huruf (a), undang-undang tersebut dijelaskan bahwa memerintahkan kepada pemerintah untuk memberikan NIK kepada setiap penduduk paling lambat tahun 2011. Selain itu, undang-undang ini juga diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis NIK secara nasional.

Proses implementasi kebijakan melihat kesesuaian antara program yang telah direncanakan dengan implementasinya dilapangan. Implementasinya


(46)

kebijakan merupakan proses yang krusial dalam kebijakan publik, karena bukan hanya berkaitan dengan halhal mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat jalur birokrasi, melainkan juga menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memeroleh kebijaksanaan28

1. Komunikasi .

Program e-KTP adalah program Nasional yang dikelola oleh pemerintah pusat c.q Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri, yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Yang menjadi leading sector di daerah adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil berkoordinasi dengan

Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya, yang terkait dengan program e-KTP.

Untuk kelancaran pelaksanaan program e-KTP secara Nasional, pada tahun 2009 pemerintah melakukan pilot project penerapan e-KTP pada enam kota di seluruh Indonesia. Salah satu kecamatan yang menerapkan Implementasi pilot project program e-KTP adalah Kecamatan Medan Amplas. Proyek ini telah berjalan sejak awal tahun 2009. Dalam pelaksanaan pilot project e-KTP di Kota Medan, Pemerintah pusat telah memberikan kuota sebanyak 26.000 wajib KTP untuk memeroleh e-KTP. Namun, setelah diimplementasikan, yang terealisasi hanya 7.401 wajib KTP.

Untuk menganalisis implementasi program e-KTP di Kota Medan, teori yang dijadikan rujukan adalah teori implementasi kebijakan George C. Edward III. Dalam teori ini, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Bagaimana pengaruh keempat faktor tersebut dalam implementasi program e-KTP di Kota Medan dijabarkan sebagai berikut.

Dalam melaksanakan program e-KTP, selaku leading sector Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bertanggungjawab penuh dalam mengimplementasikan e-KTP. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

28

Wahab,S. A. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1997 hal 59


(47)

memainkan peranan komunikasi dengan SKPD agar program e-KTP dapat diimplementasikan dengan baik. Faktor komunikasi menjadi salah satu penentu bagi terlaksananya e-KTP. Komunikasi berkaitan dengan kemampuan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menyampaikan, mensosialiasasikan dan mengkoordinasikan e-KTP.

Berkaitan dengan sosialisasi program e-KTP, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil bersama-sama dengan Kecamatan Medan Amplas telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dilakukan dengan mengundang masyarakat ke kantor camat untuk diberi pengarahan mengenai e-KTP. Masyarakat diundang secara bergantian untuk setiap kelurahan selama

beberapa hari. Pihak kelurahan diminta mengorganisir warganya untuk datang ke kantor camat. Petugas dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan petugas dari Kecamatan Medan Amplas memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai tata-cara pengurusan e-KTP.

Dengan adanya sosialisasi tersebut masyarakat menjadi paham terhadap program e- KTP, sehingga ketika ingin mengurus e-KTP masyarakat tahu apa hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya. Selama ini masyarakat hanya mengetahui tata cara pengurusan KTP manual. Di sisi lain, kegiatan sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Kota Medan ini tidak melibatkan media masa secara langsung. Dalam konteks implementasi program e-KTP, media massa hanya terlibat meliput berita-berita mengenai sosialisasi dan proses pelaksanaan pengurusan e-KTP yang dilakukan di Kecamatan Medan Amplas. Sementara itu, iklan-iklan tidak disebar oleh Pemerintah Kota Medan melalui Koran dan televisi lokal, sehingga banyak masyarakat yang tidak tahu program e-KTP. Sesungguhnya apabila kerjasama bisa dijalin oleh Pemerintah Kota Medan dengan media massa, pemerintah dapat mengefektifkan sosialisasi program e-KTP.

Selain sosialisasi, komunikasi program e-KTP juga dilakukan dengan koordinasi. Adapun jalur koordinasi yang harus dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil adalah melalui Asisten Pemerintahan, Bagian Hukum, Bappeda, Kecamatan Medan Amplas, Inspektorat dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset. Sebagaimana program-program lainnya yang pernah


(48)

dilaksanakan di Pemerintah Kota Medan, koordinasi dalam pelaksanaan e-KTP dilaksanakan dalam bentuk rapat koordinasi antar SKPD.

Dari hasil triangulasi data diketahui bahwa koordinasi antar SKPD belum berjalan maksimal. Salah satu contoh adalah, koordinasi antara Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), serta Dinas Komunikasi dan Informasi Kota Medan belum berjalan maksimal. Hal ini terjadi karena Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil selaku leading sector implementasi program e-KTP merasa tidak harus berkoordinasi dan berkonsultasi dengan SKPD lain karena tidak ada aturan yang mengatur itu. Bappeda sebagai institusi perencana pembangunan di daerah harus dilibatkan dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan dan administrasi pemerintahan. Keterlibatan Bappeda dalam perencanaan yang akan dilakukan oleh setiap SKPD terkait dengan sistem perencanaan anggaran.

Setiap kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing SKPD harus mengkonsultasikannya dengan Bappeda karena Bappeda yang melakukan estimasi anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan program tersebut. Fakta membuktikan lemahnya koordinasi antar SKPD adalah Dinas Komunikasi dan Informatika tidak dilibatkan secara institusional (kelembagaan). Padahal program e-KTP merupakan salah satu program yang berkaitan dengan teknologi informasi yang seharusnya juga melibatkan Dinas Komunikasi dan Informatika sebagai unit organisasi yang bertugas mengurus teknologi informasi di Pemerintah Kota Medan. Esensi keterlibatan Dinas Komunikasi dan Informatika adalah untuk memperkuat kapasitas Pemerintah Kota Medan di bidang IT, karena melalui program e-KTP diharapkan adanya proses alih teknologi ke daerah.

2. Sumber Daya

Ketersediaan sumber daya yang memadai menjadi salah satu syarat bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya yang dimaksud di sini, dapat berupa sumber daya manusia, peralatan dan keuangan. Sumber daya menjadi mesin penggerak bagi bekerjanya sebuah program. Sumber daya menjadi energi bagi terlaksananya suatu program. Tanpa sumber daya yang mencukupi, mustahil program dapat dilaksanakan dengan baik. Implementasi program e-KTP di Kota


(1)

melakukannya di kantor camat ataupun di kantor kelurahan yang bersangkutan. Dengan upaya tersebut, Pemerintah Daerah Kecamatan Medan Amplas Kota Medan dapat menjangkau dan mengoptimalisasi proses pendataan penduduknya secara lebih spesifik dan maksimal, sehingga tujuan untuk menerapkan program e-KTP bagi seluruh penduduk di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan dapat terealisasikan secara optimal sesuai dengan arahan dalam peraturan perundang-undangan.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah membahas skripsi ini beserta permasalahannya maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut

1. Pengaturan Tentang Kependudukan, Pasal 1 angka (14) Undang Undang No. 23 Tahun 2006 tentang kependudukan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 Tentang penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor Induk kependudukan secara nasional.

2. Implementasi Kebijakan e-KTP Di Kecamatan Medan Amplas, memberikan pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah dalam hal ini adalah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/Kota seluruh Indonesia dengan tetap berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 serta peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban pemerintah Kota/kota dalam pelaksanaan penyelenggaraan administrasi kependudukan tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 yang bunyinya : “Pemerintah Kota/Kota berkewajiban dan bertanggung jawab menyelenggarakan urusan Administrasi Kependudukan, yang dilakukan oleh bupati/walikota .

3. Hambatan dalam proses program e-KTP berbasis NIK antara lain sebagai berikut: Faktor penegak hukumnya, Faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat, Faktor kebudayaan.

B. Saran

Setelah ditarik kesimpulan maka saran yang dapat diberikan antara lain: 1. Pemerintah Kecamatan Medan Amplas hendaknya selalu berupaya

melakukan perbaikan untuk mengatasi permasalahan pada pelaksanaan program e-KTP, dengan cara melakukan evaluasi secara berkala antara


(3)

operator e-KTP dan pihak kecamatan, sehingga ketika ada permasalahan dilapangan dapat segera diselesaikan bersama.

2. Untuk meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat dalam melakukan pendataan, maka perlu diadakan sosialisasi yang lebih terarah kepada tiap-tiap Kelurahan yang terdapat di seluruh wilayah Kecamatan Medan Amplas sehingga masyarakat menyadari manfaat dan keuntungan yang mereka peroleh bila sudah melakukan pendataan di masing-masing wilayah.

3. Pemerintah Kecamatan Medan Amplas sebaiknya membentuk satu tim khusus yang memiliki kemampuan yang terkait dengan program e-KTP. Sehingga dapat menangani setiap permasalahan yang terjadi ketika program tersebut dilaksanakan dan diharapkan untuk kecamatan-kecamatan yang sudah mulai menerapkan e-KTP juga harus dengan segera memulai pendataan atau pembuatan e-KTP bagi warga penduduk di kecamatan tersebut. Hal ini dikarenakan agar adanya angsuran pendataannya sehingga tidak menambah hambatan untuk penerapan e KTP di daerah lainnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Astawa, I Gde Pantja, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia, Bandung: Alumni,2008.

Busroh Abu Daud, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia , Jakarta : Bina Aksara, 1989.

Fachruddin, Irfan, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni, 2004.

Hamidi, Jazim dkk, Teori Hukum Tata Negara, Jakarta: Salemba Humanika. Handayaningrat, Soewarno, Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan

Nasional , Jakarta : Gunung Agung, 1986

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung : Alumni, 2008.

Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.

Mazmanian dan Sabatiar, dalam Solichin, Pengantar Analisis Kebijakan Negara, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Ranggawidjaja, Rosjidi Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1998.

Sinambela, Poltak Lijan, dkk, 2006, Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999.

Siasah Masruri, Muhsinatun, dkk.Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup.Yogyakarta:UPT MKU UNY,2002.

Sabarno, Hari. Untaian Pemikiran Otonomi Daerah Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Jakarta: Sinar Grafika,2008


(5)

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta Rajawali Pers, 2012.

Sadu Wasistiono, “Desentralisasi, Demokrasi dan Good Governance” dalam Syamsuddin Haris (ed);Desentralisasi & Otonomi Daerah, LIPI, 2007.

Wahab, S. A. Analisis Kebijaksanaan: dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bumi Aksara,1997.

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2010.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437 sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674);

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5080);

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi kependudukan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 80, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4736);

Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil;

Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 Tentang Penerapan KTP Berbasis NIK Secara Nasional;


(6)

Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional; Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor : 18 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan

Pendaftaran Penduduk Dalam Kerangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan (Simduk) dan Akta Catatan Sipil Di Kota Medan.

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan

Administrasi Kependudukan. Pendaftaran Penduduk.

C. Internet

Hifdzil, 2008, “Pengertian Negara Hukum” (Cited 2012, Oktober, 3), available from URL http:

Rizky Nugraha, “Perancangan Sistem Administrasi Kependudukan (SIAK) Sebagai Pengembangan E-Government menuju Good Governance” data diakses tanggal 21 Oktober 2012, available from:

Kementerian Dalam Negeri, (Cited: 2012 Okt. 5), available from: URL: http://www: e-ktp.com, diakses tanggal 1 Desember 2013

tanggal 1 Desember 2013

http://www.pemkomedan.go.id diakses pada 21 Desember 2013

D. Wawancara