Karena jika dilihat dari segi keuntungan penjualan, pihak produsen tidak merasa dirugikan dengan keikutsertaan dealer tersebut dalam pameran yang ada.
B. Kaitan Persaingan Sesama Merek Intrabrand Dengan Pembatasan
Perdagangan Secara Vertikal
Penetapan harga jual kembali dilarang oleh Pasal 8 UU No.5 Tahun 1999. Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya
bahwa pihak pembeli barang atau jasa tersebut tdak akan menjual atau memasok barang atau jasa tersebut dibawah harga yang telah ditetapkan bersama.
Prinsipnya, pihak pembeli bebas untuk menetapkan harga dari barang atau jasa yang sudah dibelinya sesuai dengan permintaan dan penawaran yang ada di
pasar.
135
Terdapat dua macam penetapan harga jual kembali, yaitu:
136
1. Penetapan harga secara maksimum Maximum Price Fixing
Strategi penetapan harga ini biasanya diterapkan oleh produsen kepada distributor produk yang bersangkutan, yang bertujuan untuk mengontrol
distributor untuk tidak menjual di atas harga maksimum yang ditawrkan. Mungkin saja konsumen tidak dirugikan dengan perjanjian ini, malah bisa diuntungkan
karena yang diperjanjikan larangan untuk menjual lebih mahal atau di atas harga maksimum. Yang diinginkan dari perjanjian ini adalah hasil yang diharapkan
melalui strategi ini adalah terkendalinya harga yang bersaing, sampai pada tingkat penjualan eceran.
135
Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm.108.
136
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Penetapan harga secara minimum Minimum Price Fixing
Penetapan harga minimum ini juga sering disebut dengan floor price artinya, kesepakatan antar pelaku usaha di mana harga yang tidak boleh dibawah
harga yang ditentukan. Strategi penetapan harga ini umumnya memiliki dua tujuan utama, yakni mempertahankan nama baik goodwill produsen atau merek
tertentu dan untuk mencegah terjadinya persaingan tidak sehat pada level distributor. Produsen yang memiliki nama yang terkenal untuk produk tertentu
pada pasar tertentu, akan berusaha untuk mempertahankan nama baiknya tidak hanya melalui kualitas dan rancangan barang yang diproduksinya akan tetapi juga
pada harga yang diterapkannya. Produk yang berkelas biasanya memiliki kelas harga yang relatif tinggi yang harus dipertahankan untuk menjaga citra produsen.
Penetapan harga jual kembali kepada distributor dalam hukum persaingan, bertujuan untuk menghindarkan free rider atau penumpang gratis.
137
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ini, pelaku usaha lain distributor untuk menetapkan harga
vertikal resale price maintenance, dimana penerima barang danatau jasa yang telah diterimanya dari supplier tersebut dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan sebelumnya antara suppplier dan distributor, sebab hal itu akan dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
138
Salah satu alasan diadakan perjanjian resale price maintenance ini adalah untuk menghindari intrabrand competition di antara para distributor, yang bisa
mengancam stabilitas jaringan ecerannya. Di samping itu, mungkin supplier ingin juga mempertahankan presepsi para konsumen terhadap kualitas produknya.
137
Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit, hlm.90.
138
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm.51.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan konteks persaingan di dalam merek yang sama intrabrand competition
persaingan retailer akan terlalu menekankan pada persaingan harga dan melupakan persaingan layanan. Harga eceran di pasar akan sangat rendah,
begitu pula dengan layanan yang diberikan. Melalui pengaturan harga jual kemblai resale price maintenance yang diterapkan sama antar semua retailer,
maka persaingan harga di dalam merek yang sama akan hilang, dan dengan insentif tertentu, retailer dapat didorong untuk meningkatkan tingkat layanan
sehingga terjadi persaingan layanan di antara retailer. Dengan demikian, pengenaan pengaturan itu juga dapat menguntungkan konsumen.
139
Apabila retailer
merupakan sebuah pelaku usaha monopolis, resale price maintenance dapat diterapkan oleh produsen maupun distributor untuk mencegah pengenaan
margin yang tinggi oleh retailer monopolis tersebut. Kondisi tersebut disebut sebagai double marginalization.
140
Saat produsen menjual produknya kepada retailer, harga yang dikenakan adalah harga wholesale yang merupakan margin atas biaya marjinal. Harga
wholesale yang diterima oleh retailer merupakan biaya marjinal bagi retailer,
sehingga harga eceran yang dikenakan oleh retailer merupakan margin atas wholesale price
. Hal inilah yang disebut sebagai double marginalization. Harga eceran yang diterima oleh konsumen menjadi sangat tinggi, dan produk yang
terjual pun menjadi lebih sedikit, sehingga akan mengurangi expected profit dari produsen.
141
139
Pedoman Pelaksanaan Pasal 8 Penetapan Harga Jual Kembali UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hlm.11.
140
Ibid,hlm.12.
141
Ibid ,hlm.13.
Universitas Sumatera Utara
Mencegah turunnya profit produsen, produsen dapat memaksa retailer untuk tidak menjual di harga eceran sebelumnya melainkan pada harga wholesale
price . Pada harga wholesale ini total profit yang terjadi lebih tinggi karena output
yang terjual meningkat. Profit total ini kemudian dibagi oleh produsen dan retailer. Apabila Retailer tetap mendapatkan bagian seperti sebelumnya, maka
profit produsen akan meningkat.
142
Sebagaimana diuraikan di atas, Resale Price Maintenance memiliki rasionalitas yang bersifat positif yang menguntungkan bagi produsen maupun
konsumen. Namun selain rasionalitas yang bersifat positif, penggunaan Resale Price Maintenance
juga dapat didasarkan atas suatu alasan yang bersifat negatif yang dapat merugikan konsumen melalui penurunan atau penghilangan tingkat
persaingan lessening competition.
143
Rasionalitas negatif yang mendasari dari penerapan Resale Price Maintenance
diantaranya adalah ketika pelaku usaha menerapkan Resale Price Maintenance
sebagai sarana untuk memuluskan kolusi facilitating device. Dengan menetapkan Resale Price Maintenance, perusahaan di hulu dapat
memastikan bahwa harga yang sampai di tangan konsumen sesuai dengan kesepakatan kolusi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang berada di
hulu. Rasionalitas negatif lain yang mendasari penerapan Resale Price Maintenance
adalah ketika retailer yang memiliki posisi tawar lebih kuat
142
Ibid.
143
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan produsen atau pemasoknya dapat memaksa produsen atau pemasok untuk menetapkan harga jual kembali yang menguntungkan retailer.
144
Berikut ini merupakan salah satu contoh dampak yang terjadi akibat diberlakukannya penetapan harga jual kembali dengan tujuan menghindari
persaingan intrabrand:
145
“Dalam industri farmasi pengaturan harga menjadi praktik yang lazim dilakukan oleh pabrikan. Produsen farmasi melakukan integrasi forward melalui
Pedagang Besar Farmasi PBF dengan perjanjian distribusi jangka panjang. Produsen farmasi dapat meminimalkan biaya transaksi serta memperoleh
kepastian jalur distribusi, sementara peluang PBF dan distributor independen untuk memperoleh pasokan yang stabil relatif kurang.
Dengan mengurangi tingkat persaingan intrabrand, produsen farmasi memiliki power untuk mengendalikan harga jual sampai ke tingkat konsumen
sehingga porsi biaya distribusi sepenuhnya dikendalikan oleh produsen. Dengan asumsi marjin distributor bersifat fixed menggunakan price cap, maka harga
obat di Indonesia lebih banyak ditentukan di tingkat pabrikan harga jual pabrik.
Meskipun antara produsen farmasi dan PBF adalah dua entitas bisnis yang berbeda,akan tetapi melalui mekanisme penetapan Harga Jual Distributor HJD
dan Harga Netto Apotik HNA, produsen farmasi dapat melakukan penetapan dan pengawasan harga produk farmasi sampai ke tingkat retailer apotik.
Biaya distribusi dalam Industri Farmasi merupakan salah satu komponen biaya vital, untuk mencakup wilayah pemasaran Indonesia yang luas. Mengingat
produk farmasi sebagai komoditas yang strategis dan menguasai hajat hidup masyarakat luas, dalam kasus pendistribusian produk ke wilayah yang jauh dan
terpencil, tidak dibebankan kepada konsumen akhir sehingga harga semua produk ditetapkan sama oleh produsen untuk di semua wilayah Indonesia. Sebagai
konsekuensi penetapan harga yang seragam maka margin ditetapkan berbeda untuk tiap wilayah, namun masih dalam batas kisaran tidak lebih dari 15 lima
belas persen.
Di bagian konteks persaingan usaha, metode dan pola jalur distribusi farmasi cenderung membatasi pola persaingan intrabrand. Hal ini dapat dilihat
melalui kemampuan produsen untuk mengendalikan pasokanlogistik serta tingkatan harga di tiap lini distribusi. Dengan terbatasnya persaingan harga
distributor di tingkat intrabrand, maka PBF atau distributor hanya bersaing melalui strategi perang diskon. Produsen farmasi mengatur pola dan jalur
distribusi untuk tiap wilayah pemasaran, sehingga PBF dan distributor berfungsi sebagai penyedia logistik khususnya pasokan produk farmasi di tiap wilayah.
144
Ibid , hlm.14.
145
I Ibid
, hlm.20.
Universitas Sumatera Utara
Untuk memasarkan produknya sampai ke tingkat konsumen, produsen farmasi menggunakan jasa detailman dan marketing representative untuk
melakukan kontak langsung dengan para dokter untuk mempersuasi agar bersedia meresepkan produk farmasi yang ditawarkan, dengan imbalan tertentu.
Dengan adanya sistem ini, konsumen yang merupakan bagian dari sistem jaringan dan distribusi perusahaan kehilangan kewenangan untuk menentukan
harga jual produk yang akan ditawarkan kepada jaringannya downline. Ketika seorang konsumen dalam satu titik jaringan ingin meningkatkan omzet
penjualannya maka ia harus beralih kepada strategi persaingan selain harga, karena persaingan harga dalam intrabrand tidak dimungkinkan.
Pada akhirnya, untuk dapat menentukan melanggar atau tidaknya strategi tersebut terhadap ketentuan Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU akan melakukan pengkajian terkait dampaknya
terhadap kondisi persaingan usaha dalam industri.” Umumnya telah terjadi diskusi panjang lebar di kalangan teori per se atau
rule of reason . Pejanjian ini sungguh menarik, sehingga terjadi perbedaan di
kalangan praktisi maupun akademisi untuk menerapkan teori “per se illegal” atau
teoru “rule of reason”, karena menyangkut teori “supply and demand”. Namun dalam katalog yang dimuat KPPU menyatakan bahwa Substansi pengaturan
terhadap praktik ”penetapan harga jual kembali” ini ditetapkan menurut Pasal 8
UU Nomor 51999, dengan pengaturan secara “rule of reason”. Artinya legal atau
ilegalnya praktik penetapan harga jual kembali harus ditentukan oleh suatu pembuktian apakah praktik tersebut mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat atau tidak.
146
Tidak diketahui mengapa ada perbedaan semacam ini, padahal keduanya sama-sama mengenai harga yang merupakan faktor terpenting
di dalam persaingan.
147
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat dan Australia mengategorikan baik price fixing maupun resale price maintenance sebagai price illegal. Baik
146
Suhasril, Op.Cit., hlm.122.
147
Rachmadi Usman, Lo.Cit, hlm.51.
Universitas Sumatera Utara
price fixing maupun resale price maintenance sama-sama merugikan persaingan
dan konsumen. Salah satu perbedaan antara keduanya adalah di dalam resale price maintenance
ada korban yang lebih langsung, yakni retailer yang tergeser karena tidak menyukai resale price maintenance tersebut. Pengalaman di
Australia menunjukkan bahwa resale price maintenance lebih mudah dibuktikan daripada price fixing, karena biasanya retailer yang biasanya sukar memberikan
diskon tersebut akan melaporkan dan memberikan bukti-bukti langsung.
148
Jika dikaitkan dengan unsur persaingan tidak sehat, dalam konteks penetapan minimum harga jual kembali, persaingan usaha tidak sehat lebih tepat
didefinisikan sebagai adanya hambatan terhadap persaingan. Dengan demikian dalam penilaian terhadap dugaan pelanggaran Pasal 8 UU No.5 Tahun 1999, bukti
adanya penetapan harga yang lebih rendah dari yang telah diperjanjikan tidak cukup untuk menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 8.
Pelanggaran terhadap Pasal 8 harus disertai bukti bahwa telah terjadi dampak negatif terhadap persaingan. Proses persaingan di pasar dapat terganggu apabila
terdapat perilaku anti-persaingan yang dilakukan oleh perusahaan yang memiliki posisi dominan di pasar.
149
Penetapan minimum harga jual kembali oleh perusahaan yang memiliki posisi dominan tidak otomatis berdampak negatif terhadap persaingan, kecuali
dapat dibuktikan bahwa persaingan memang telah terganggu. Beberapa elemen pasar yang termasuk ke dalam asesmen pembuktian adanya persaingan usaha
tidak sehat adalah sebagai berikut, namun tidak terbatas pada:
148
Ibid, hlm.51.
149
Pedoman Pelaksanaan Pasal 8 Penetapan Harga Jual Kembali UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hlm.15.
Universitas Sumatera Utara
1. Struktur pasar. Untuk menilai bahwa penetapan minimum harga jual kembali
berdampak negatif terhadap persaingan, salah satunya adalah dengan melihat adanya perubahan terhadap struktur di pasar. Hal ini dapat terjadi apabila
pelaku usaha penerima barangpenerima persyaratan yang melanggar perjanjian penetapan minimum harga jual kembali menerima sanksi dari
pemasokpemberi persyaratan sehingga terpaksa keluar dari pasar. 2.
Analisis biaya manfaat. Seperti yang telah diuraikan dalam konsep penerapan Resale Price Maintenance
sebelumnya, penetapan harga jual kembali yang menghilangkan persaingan harga dapat memicu munculnya persaingan
layanan. Keuntungan yang diterima konsumen akhir dari persaingan layanan ini dapat menutupi kerugian konsumen dari hilangnya persaingan harga.
Melalui penjelasan diatas dapat dilihat, bahwa penetapan harga boleh dilakukan asalkan tidak menurut apa yang tertulis dalam Pasal 8 UU Nomor 5
Tahun 1999, juga tidak melanggar unsur-unsur persaingan tidak sehat. Sebagai petunjuk, terdapat dua kata kunci di dalam Pasal 8 tersebut yaitu:
1. Harga yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan, dan
2. Mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat
Dengan demikian untuk membuktikan telah terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 8, maka KPPU harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dua hal tersebut telah
terjadi. Ditekankan lagi setelah melihat seluruh penjelasan diatas, kaitan antara
Pembatasan perdagangan secara vertikal dengan persaingan intrabrand adalah pembatasan perdangangan secara vertikal dilakukan untuk menghindari terjadinya
Universitas Sumatera Utara
persaingan antar sesama pihak retailer yang dapat mematikan produsen dan bahkan pada akhirnya akan dapat mematikan sesama pihak retailer itu sendiri.
Maka perlu dilakukan pembatasan berupa penetapan harga maupun wilayah untuk mencegah terjadinya hal-hal diatas tersebut dan lebih menyetarakan pangsa
pasar konsumen yang dapat dipegang oleh pihak retailer masing-masing.
C. Peran KPPU Dalam Menangani Kegiatan Yang Menghindari Persaingan Sesama Merek Intrabrand Pada Pembatasan Perdagangan Secara
Vertikal Di Indonesia, esensi keberadaan UU No.5 Tahun 1999 pasti memerlukan
pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai
landasan kebijakan persaingan competition policy diikuti dengan berdirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU guna memastikan dan melakukan
pengawasan terhadap
dipatuhinya ketentuan
dalam Undang-Undang
Antimonopoli tersebut.
150
Sebenarnya, penegakan hukum persaingan usaha dapat saja dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan. Pengadilan merupakan tempat penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dilakukan oleh pengadilan. Alasan
yang dapat dikemukakan adalah karena hukum persaingan usaha membutuhkan orang-orang spesialis yang memiliki latar belakang danatau mengerti betul seluk
beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar. Institusi yang melakukan penegakan hukum persaingan usaha harus beranggotakan orang-orang yang tidak
150
Hermansyah, Op.Cit., hlm.73.
Universitas Sumatera Utara
saja berlatar belakang hukum, tetapi juga ekonomis dan bisnis. Hal ini sangat diperlukan, mengingat masalah persaingan usaha sangat terkait erat dengan
ekonomi dan bisnis.
151
Alasan lain mengapa diperlukan institusi yang secara khusus menyelesaikan kasus praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah
agar berbagai perkara tidak bertumpuk di pengadilan. Institusi yang secara khusus menyelesaikan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat dapat dianggap
sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa, sepanjang pengertian alternatif disini adalah di luar pengadilan. Di Indonesia, lembaga yang demikian yang
seringkali dianggap sebagai kuasa yudikatif sudah lama dikenal.
152
Berkaitan dengan KPPU ini, Syamsul Maarif dalam Diskusi Meja Bundar, membahas Undang-Undang Persaingan di Indonesia dalam berbagai tantangan
dan rintangan, pada prinsipnya mengatakan bahwa lembaga ini memiliki yurisdiksi yang luas dan memiliki 4 empat tugas utama, yaitu Pertama, fungsi
hukum, yaitu sebagai satu-satunya institusi yang mengawasi implementasi UU No.5
Tahun 1999.
Kedua ,
fungsi administratif,
disebabkan KPPU
bertanggungjawab mengadopsi dan mengimplementasi peraturan-peraturan pendukung. Ketiga, fungsi penengah, karena KPPU menerima keluhan-keluhan
dari pelaku usaha, melakukan investigasi independen, melakukan tanya jawab dengan semua pihak, yang terlibat, dan mengambil keputusan. Dan keempat,
151
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.98.
152
Ibid, hlm.98
Universitas Sumatera Utara
fungsi polisi, disebabkan KPPU bertanggungjawab terhadap pelaksanaan keputusan yang diambilnya.
153
Dasar hukum pembentukan Komisi Pengawas adalah Pasal 30 ayat 1 yang menyatakan: “Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk
Komisi Pengawas Persaingan Usaha.” Peran KPPU terhadap Persaingan Usaha termasuk dalam hal menangani
kegiatan yang menghindari persaingan sesama merek intrabrand pada pembatasan perdagangan secara vertikal, dapat dilihat dari tugas dan wewenang
KPPU, antara lain sebagai berikut ; 1.
Tugas Komisi meliputi:
154
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU No.5 Tahun 1999.
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha perjanjian yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 UU No.5 Tahun
1999. c.
Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau
persaingan tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28 UU No.5 Tahun 1999.
153
Hermansyah, Op.Cit., hlm.74.
154
Ibid, hlm.76.
Universitas Sumatera Utara
d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi sebagaimana diatur
dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28 UU No.5 Tahun 1999. e.
Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat.
f. Menyusun pedoman danatau publikasi yang berkaitan dengan UU No.5
tahun 1999. g.
Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Wewenang Komisi meliputi:
155
a. Menerima laporan dari masyarakat danatau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. b.
Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha danatau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat. c.
Melakukan penyelidikan danatau persaingan terhadap kasus dugaan praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh
masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai hasil dari penelitiannya.
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan danatau pemeriksaan tentang ada atau
tidaknya praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat. e.
Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang- undang ini.
155
Hermansyah, Op.Cit., hlm.77.
Universitas Sumatera Utara
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini. g.
Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang
tidak bersedia memenuhi panggilan komisi. h.
Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitan dengan penyelidikan danatau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini. i.
Mendapatkan, meneliti danatau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan danatau pemeriksaan.
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat. k.
Memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat.
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Berdasarkan tugas dan wewenang yang sudah diberikan kepada KPPU,
maka KPPU secara jelas mempunyai peran dalam hal mengawasi segala kegiatan pembatasan perdagangan secara vertikal agar bergerak masih tetap dalam porsi
untuk menjaga keutuhan perusahaan, dan tidak keluar dari batas-batas yang di tentukan dan akhirnya melanggar peraturan yang ada. Lebih jelasnya, dikatakan
diatas bahwa untuk kasus penetapan harga jual kembali resale price maintenance
tidak ditentukan secara per se illegal tetapi secara rule of reason,
Universitas Sumatera Utara
yang artinya tidak semua kegiatan penetapan harga jual kembali resale price maintenance
bisa secara langsung dinyatakan sebagai suatu pelanggaran. Kegiatan penetapan harga jual kembali resale price maintenance dengan tujuan
`guna menghindari terjadinya persaingan intrabrand , masih diperbolehkan di Indonesia. KPPU bertugas mengawasi agar kegiatan tersebut memang benar-benar
digunakan untuk kepentingan anti-persaingan intrabrand dan bukan untuk kepentingan yang lain. KPPU juga berperan dalam melakukan penyelidikan
sampai memberikan sanksi kepada perusahaan yang ditemukan melakukan kegiatan penetapan jual kembali resale price maintenance diluar dari tujuan
yang diperbolehkan, yaitu penghindaran persaingan intrabrand. Bentuk-bentuk perjanjian yang termasuk dalam penetapan minimum harga
jual kembali yang dilarang di dalam UU No.5 Tahun 1999 adalah:
156
1. produsen atau pemasok menentukan harga jual minimum untuk penjualan kembali produknya;
2. produsen atau pemasok mensyaratkan retailer agar tidak menjual produknya lebih rendah dari harga jual minimum yang telah ditentukan;
3. produsen atau pemasok melakukan perjanjian dengan distributor atau retailer dalam pengadaan suatu barang dimana terdapat persyaratan mengenai harga
jual minimum tertentu; 4. produsen atau pemasok akan menghentikan atau menahan pasokan barang
kepada distributor atau retailer kecuali jika distributor atau retailer menyetujui
156
Pedoman Pelaksanaan Pasal 8 Penetapan Harga Jual Kembali UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hlm.14.
Universitas Sumatera Utara
untuk tidak menjual produk di bawah harga jual minimum yang telah ditentukan;
5. produsen atau pemasok menahan pasokan barang kepada distributor atau retailer
karena distributor atau retailer telah menjual produk di bawah harga jual minimum yang telah ditentukan.
Membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 8 maka KPPU harus memperoleh bukti-bukti mengenai adanya perjanjian antara dua
pelaku usaha yang berada di dalam tingkatan produksioperasi yang berbeda, yang didalamnya dipersyaratkan penetapan minimum harga jual kembali. Adapun
bentuk-bentuk perjanjian yang termasuk ke dalam penetapan minimum harga jual kembali adalah seperti yang telah diuraikan di dalam sub-bagian E sebelumnya.
Dalam bentuk-bentuk perjanjian tersebut, penetapan harga jual kembali specified resale price
menjadi bukti penting. Yang termasuk ke dalam ketentuan penetapan harga jual kembali tersebut adalah penetapan formula penentuan harga jual
kembali dan penetapan range harga jual kembali, selain dari bentuk penetapan harga tertentu.
157
Penetapan minimum harga jual kembali akan memberikan hasil optimal sesuai dengan yang diinginkan oleh pemasokpemberi persyaratan apabila
dipatuhi dan dilaksanakan oleh penerima barangpenerima persyaratan. Dalam kondisi persaingan yang intensif, penetapan minimum harga jual kembali tidak
akan dipatuhi oleh pihak penerima barang, karena dengan menetapkan harga jual
157
Ibid, hlm.15.
Universitas Sumatera Utara
kembali yang lebih rendah, pelaku usaha tersebut dapat meningkatkan penjualan.
158
Dengan demikian penetapan sanksi atas tidak dilaksanakannya perjanjian penetapan minimum harga jual kembali menjadi bagian penting yang tidak
terpisahkan. Oleh karena itu pembuktian adanya sanksi terhadap penerima barangpenerima persyaratan akibat ketidakpatuhannya memenuhi persyaratan
penetapan minimum harga jual kembali juga termasuk asesmen yang akan dilakukan oleh KPPU.
159
Mengenai prosedur kerja KPPU dalam mengerjakan perannya dalam menangani perkara adalah sebagai berikut, Dalam melakukan pengawaan, KPPU
berwenang melakukan dan pemeriksaan terhadap pelaku usaha, saksi ataupun pihak lain, maka Komisi dapat memulai pemeriksaan terhadap para pihak yang
dicurigai melanggar ketentuan UU No.5 Tahun 1999 baik ada tidaknya laporan kepada KPPU. Komisi dapat memulai proses pemeriksaan berdasarkan fakta
yang dilaporkan masyarakat, pelaku usaha atau berdasarkan fakta yang dikumpulkan dan diteliti atas inisiatif komisi sendiri. Artinya, pelanggaran yang
dilakukan atas undang-undang ini bukanlah delik yang bersifat aduan oleh pihak yang dirugikan. Apabila dipandang perlu, maka guna memperoleh penjelasan
mengenai adanya indikasi pelanggaran terhadap ketentuan UU No.5 Tahun 1999 dapat dilakukan suatu dengar pendapat yang dihadiri oleh para pihak.
160
158
Ibid.
159
Ibid, hlm.16.
160
Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm.282.
Universitas Sumatera Utara
1. Pemeriksaan atas dasar laporan
Pemeriksaan atas dasar laporan adalah pemeriksaan yang dilakukan karena adanya laporan dari pelaku usaha yang merasa dirugikan ataupun dari
masyarakatkonsumen. Kemudian KPPU menetapkan majelis komisi yang akan bertugas memeriksa, menyelidiki pelaku usaha yang dilaporkan.
2. Pemeriksaan Atas Dasar Inisiatif KPPU
Pemeriksaan atas dasar inisiatif KPPU adalah pemeriksaan yang didasarkan atas adanya dugaan atau indikasi pelanggaran terhadap UU No.5
Tahun 1999. Untuk melakukan pemeriksaan atas inisiatif, KPPU akan membentuk suatu Majelis Komisi untuk melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan
juga para saksi. Adapun jenis pemeriksaan oleh KPPU adalah sebagai berikut.
161
a. Tahap pemeriksaan pendahuluan
Pemeriksaan Pendahuluan adalah tindakan Komisi untuk meneliti danatau memeriksa apakah suatu laporan dinilai perlu atau tidaknya untuk
dilanjutkan kepada tahap Pemeriksaan Lanjutan. Pasal 39 ayat 1 UU No.5 Tahun 1999 menentukan jangka waktu Pemeriksaan Pendahuluan selama
tiga puluh hari sejak tanggal surat penetapan dimulainya Pemeriksaan Pendahuluan. Pada tahap Pemeriksaan Pendahuluan tidak hanya laporan
yang diperiksa, namun pemeriksaan yang dilakukan atas inisiatif Komisi juga wajib melalui proses Pemeriksaan Pendahuluan ini.
161
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. Tahap pemeriksaan lanjutan
Pemeriksaan Lanjutan adalah serangkaian pemeriksaan danatau penyidikan yang dilakukan oleh Majelis sebagai tindak lanjut Pemeriksaan
Pendahuluan. Pemeriksaan Lanjutan dilakukan KPPU jika telah ditemukan indikasi praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat atau KPPU
masih memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyelidiki dan memeriksa secara lebih mendalam kasus yang sedang diperiksa. Jangka
waktu Pemeriksaan Lanjutan diberikan selama enam puluh hari sejak berakhirnya Pemeriksaan Pendahuluan, dan dapat diperpanjang paling lama
tiga puluh hari. c.
Tahap eksekusi putusan komisi Apabila Putusan Komisi menyatakan terbukti adanya perbuatan melanggar
ketentuan UU No.5 Tahun 1999, maka proses selanjutnya akan berlanjut kepada tahap eksekusi putusan Komisi. Berdasarkan Pasal 47 UU No.5
Tahun 1999, Komisi memiliki kewenangan untuk menjatuhkan snksi administratif dalam suatu kegiatan penghentian penyalahgunaan posisi
dominan, pembatalan merger, konsilidasi, akuisisi, maupun penetapan pembayaran ganti rugi. Tahap eksekusi bertujuan untuk memastikan bahwa
pihak yang dikenakan sanksi memenuhi kewajibannya.
Universitas Sumatera Utara
Adapun tata cara penanganan perkara oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU adalah sebagai berikut:
162
1. Penanganan dilakukan setelah adanya laporan berasal dari adanya laporan dari
pihak pelapor baik dari masyarakat ataupun setiap orang yang menjalankan kegiatan usaha
2. MonitoringPengawasan dilakukan dalam jangka waktu 90 hari dan dapat
diperpanjang selama 60 hari. Laporan bisa dihentikan jika kurang lengkap dan atau laporan dianggap kurang atau tidak jelas.
3. Selanjutnya Pemberkasan dilakukan jika data lengkap untuk menilai layak
tidaknya untuk diteruskan ke Gelar Laporan, yang dilakukan dalam 30 hari. Akan tetapi Pemberkasan dihentikan jika dokumen pendukung kurang lengkap.
4. Selain itu Gelar Laporan dilakukan jika laporan atau dokumen pendukung
sudah lengkap yang dilakukan selama 14 hari untuk menilai layak tidaknya untuk diteruskan ke Pemeriksaan Pendahuluan. Gelar Laporan dihentikan
apabila tidak layak dan atau dokumen pendukung kurang lengkap 5.
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan jika ditemukan bukti awal yang dilakukan dalam waktu 30 hari. Sebaliknya jika laporan tidak terbukti dalam hal ini
Terlapor tidak terbukti bersalah atau tidak cukup bukti maka pemeriksan dihentikan dan berkas Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan diarsipkan.
Oleh karena itu apabila laporan terbukti dalam hal ini Terlapor terbukti bersalah, maka Laporan hasil Pemeriksaan Pendahuluan dilanjutkan.
Selanjutnya jika Terlapor terbukti bersalah tapi menerima saran dari KPPU
162
http:www.gresnews.comberitaTips803010-tata-cara-penanganan-perkara-oleh- kppu diakses tanggal 24 Juni 2015
Universitas Sumatera Utara
maka Pemeriksaan dihentikan dan dilakukan Monitoring untuk melihat perubahan perilaku Terlapor
6. Monitoring perubahan perilaku dilakukan dalam waktu 60 hari dan dapat
diperpanjang sesuai Keputusan Komisi. Apabila setelah monitoring perilaku Terlapor berubah maka pemeriksaan selesai. Namun apabila setelah monitoring
perilaku Terlapor tidak berubah maka proses dilanjutkan pada Pemeriksaan Lanjutan. Serta apabila Terlapor berkeberatan atas Laporan hasil Pemeriksaan
Pendahuluan maka diperbolekan untuk menolak dan melakukan pembelaan 7.
Pada tahap Pemeriksaan Lanjutan, Terlapor dapat mengajukan pembelaan dengan menunjukan saksi, ahli, dan bukti-bukti lain, dilakukan dalam jangka
waktu paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari. Setelah selesai Pemeriksaan Lanjutan, Sidang Majelis dilakukan selambat-lambatnya
dalam waktu 30 hari sejak berakhirnya jangka waktu Pemeriksaan Lanjutan. Sejak Pelaku Usaha menerima pemberitahuan putusan dan melaporkan
pelaksanaannya kepada Komisi maka pelaku usaha wajib melaksanakan putusan dalam 30 hari. Setelah pemberitahuan putusan. Monitoring
pelaksanaan putusan dilakukan maka dapat diajukan keberatan ke pengadilan negeri selambat-lambatnya 14 hari
8. Pada tahap pemeriksaan atas keberatan pelaku usaha pada putusan tersebut
maka Pengadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan. Apabila Terlapor menerima putusan tersebut,
Terlapor melaksanakan Putusan KPPU secara sukarela atau melalui eksekusi Pengadilan Negeri
Universitas Sumatera Utara
9. Jika pelaku usaha keberatan atas putusan tersebut dalam hal ini Putusan
Pengadilan Negeri maka dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung selambat- lambatnya 14 hari. Putusan harus dijatuhkan oleh Mahkamah Agung dalam
waktu dalam waktu 30 hari sejak permohonan kasasi diterima. Jika tidak ada keberatan lagi, maka Putusan Komisi Persaingan Usaha tersebut telah
mempunyai hukum tetap. Mengenai tata cara penanganan perkara oleh KPPU yang lebih rinci dapat di lihat
dalam Peraturan Komisi Persaingan Usaha No.1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penganganan Perkara.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN