D. Pendekatan Rule of Reason Terhadap Pembatasan Perdagangan Secara
Vertikal
Hukum Persaingan mengenal beberapa konsep dalam mengenali hambatan restraint yang terjadi dalam suatu proses persaingan. Hambatan yang terjadi ada
yang mutlak bersifat menghambat persaingan dan ada yang mempunyai pertimbangan dan alasan ekonomi. Sehingga dengan petimbangan ekonomi, sosial
dan keadilan maka dapat diputuskan bahwa tindakan tersebut dapat dianggap atau tidak menciptakan hambatan dalam proses persaingan.
111
Perbedaan antara hambatan yang sifatnya mutlak atau tidak menjadi faktor penentu yang penting karena prinsip ini menentukan ko
nsep pendekatan “rule of reason
” dan “perse rule” pada saat menentukan tindakan yang sifatnya anti persaingan atau tidak. Dengan kata lain, paradigma hukum persaingan terfokus
pada hal ini. Bila hambatan itu mutlak maka pertimbangannya adalah rule of reason
. Bila bersifat tambahan maka hanya akan dapat diputuskan berdasarkan pertimbangan adalah perse illegal, tetapi bila bersifat tambahan maka hanya akan
dapat diputuskan berdasarkan pertimbangan pembenaran atau “reasonableness” alasannya. Dengan demikian penting untuk diketahui mengenai perbedaan antara
hambatan yang sebenarnya maupun yang sifatnya artifisial karena hambatan mutlakpun belum tentu bersifat perse illegal.
112
Pendekatan per se disbut juga per se illegal, per se rules, per se doctrine dan per se violation. Larangan ini bersifat tegas dan mutlak disebabkan perilaku
111
Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hlm.72.
112
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
yang sangat mungkin merusak persaingan sehingga tidak perlu lagi melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya, pendekatan per se melihat
perilaku atau tindakan yang dilakukan adalah bertentangan dengan hukum.
113
. Melihat dari UU No.5 Tahun 1999, pendekatan per se biasanya digunakan
pada pasal yang menya takan dengan kalimat “dilarang” tanpa kalimat tambahan “
… yang dapat mengakibatkan …” atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana yang diisyaratkan
dalam pendekatan rule of reason.
114
Pendekatan rule of reason adalah kebalikan per se illegal. Dalam pendekatan ini hukuman terhadap perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum
persaingan harus mempertimbangkan situasi dan kondisi kasus. Karenanya, perbuatan yang dituduhkan tersebut harus diteliti lebih dahulu, apakah perbuatan
itu telah membatasi persaingan secara tidak patut. Untuk itu, diisyaratkan bahwa penggugat dapat menunjukkan akibat yang ditimbulkan dari perjanjian, kegiatan,
dan posisi dominan yang telah menghambat persaingan atau menyebabkan kerugian.
115
Teori rule of reason mengharuskan pembuktian, mengevaluasi akibat perjanjian, kegiatan atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah
perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung persaingan.
116
Dalam melakukan pembuktian harus melihat seberapa jauh tindakan yang merupakan antipersaingan tersebut berakibat kepada pengekangan persaingan di
113
Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit, hlm.72.
114
Ibid, hlm.74.
115
Ibid, hlm.78.
116
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pasar. Dalam teori rule of reason sebuah tindakan tidak secara otomatis dilarang, meskipun perbuatan yang dituduhkan tersebut kenyataanya terbukti telah
dilakukan. Dengan demikian, pendekatan ini memungkinan pengadilan untuk melakukan interprestasi terhadap undang-undang dan juga interprestasi pasar.
117
Alasan reason yang sah untuk melarang suatu perjanjian atau kegiatan berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya tergantung dari tujuan
hukum persaingan yang berlaku. Apabila tujuannya adalah tercapainya efisiensi ekonomi seperti di Amerika Serikat, maka praktik bisnisnya misalnya integrasi
vertikal tidak akan dilarang apabila integrasi tersebut terbukti menghasilkan produk yang lebih efisien ketimbang tidak terintegrasi. Demikian juga apabila
hukum persaingan yang berlaku di suatu negara mempunyai tujuan non-ekonomi, maka alasan reason non-ekonomi dapat digunakan dalam melarang suatu
kegiatan usaha. Alasan nonekonomi tentu saja berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain tergantung pada tujuan pembangunan ekonominya.
118
Berdasarkan UU No.5 Tahun 1999, rule of reason ini dapat dilihat dari kalimat “mengakibatkan atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan atau persaingan tidak sehat atau juga dengan patut diduga”. Kalimat ini menyiratkan bahwa perlu penelitian yang mendalam tentang suatu perjanjian atau
kegiatan apakah berdampak terjadinya praktik monopoli. Hal ini dapat dilihat dalam sebaran pasal-pasal UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut.
119
1. … sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum Pasal 1 ayat 2
117
Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm.78.
118
Syamsul Ma’arif, Op.Cit., hlm.162.
119
Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit, hlm.82.
Universitas Sumatera Utara
2. … yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan
usaha tidak sehat Pasal 4 3.
… sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat Pasal 7, 21, 22, 23
4. … sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
Pasal 8 5.
… sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat Pasal 9
6. … yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan
usaha tidak sehat Pasal11, 12, 13, 16, 17, 19 7.
… yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakatPasal 14
8. … yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan
usaha tidak sehat Pasal 18, 20, 26 9.
… yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli danatau persaingan usaha tidak sehat Pasal 28 ayat 1
Sebelumnya telah dikatakan bahwa pembatasan perdagangan secara vertikal dapat dilakukan dengan perjanjian penetapan harga jual kembali resale
price maintenance . Penetapan harga jual kembali tersebut diatur dalam Pasal 8
UU Nomor 5 Tahun 1999 yaitu “pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang
lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Universitas Sumatera Utara
Pada hal penetapan harga jual kembali resale price maintenance, perjanjian ini sungguh menarik, sehingga terjadi perbedaan di kalangan praktisi
maupun akademisi untk menerapkan teori “ per se illegal” atau teori ”rule of reason
”. Karena menyangkut teori “Supply and demand”. Namun dalam Katalog yang dimuat KPPU menyatakan bahwa Substansi pengaturan terhadap praktik
“penetapan harga jual kembali” secara “rule of reason”. Artinya legal atau ilegalnya
praktik penetapan harga jual kembali harus ditentukan oleh suatu pembuktian apakah praktik tersebut mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat atau tidak.
120
Maka dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa pembatasan perdagangan secara vertikal dalam hal ini menyangkut penetapan harga jual kembali tidak
bisa dikatakan secara mutlak merupakan suatu pelanggaran ataupun suatu tindakan persaingan tidak sehat. Karena pembatasan ini termasuk ke dalam
pendekatan rule of reason. Bagaimana pembatasan perdagangan secara vertikal disebut sebagai suatu
tindakan yang menggunakan pendekatan rule of reason dilihat pada tujuan dari pembatasan itu sendiri. Apakah melanggar unsur-unsur persaingan tidak sehat
atau tidak. unsur-unsur persaingan tidak sehat dapat dilihat dari Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999 yaitu dengan cara tidak jujur, melawan hukum, atau
menghambat persaingan usaha. Sebagai contoh, apabila perdagangan itu dilakukan guna melindungi produktivitas produsen atau melindungi sesama
retailer yang ada dibawahnya dari terjadinya persaingan antar retailer sesama
120
Suhasril, Op.Cit., hlm.122.
Universitas Sumatera Utara
merek atau sering disebut dengan persaingan intrabrand ,maka pembatasan boleh dilakukan karena tidak melanggar unsur-unsur persaingan tidak sehat. Sebaliknya
jika pembatasan perdagangan secara vertikal dilakukan hanya untuk kepentingan diri sendiri seperti penetapan harga yang dilakukan produsen dengan tujuan untuk
mendapat keuntungan maksimal pada saat barang sampai kepada konsumen tetapi mengakibatkan keuntungan yang didapat oleh retailer menjadi sangat sedikit
melanggar unsur dari persaingan tidak sehat menghambat persaingan usaha. Hal ini yang menunjukkan bahwa dalam mengkaji kasus pembatasan perdagangan
secara vertikal harus dilihat dulu alasan dari pembatasan tersebut rule of reason.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERSAINGAN SESAMA MEREK