Substansi Dasar Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999

treatment dan ketentuan pada Bab XI tentang prohibition of quantitative restriction . 85 Jika dikaitkan dengan pembatasan perdagangan, perjanjian TRIMs ini juga sebenarnya didasari adanya pembatasan perdagangan yang dilakukan oleh masing-masing negara internasional dulu untuk tujuan membatasi perdagangan dari investor dari luar negeri didalam negaranya tersebut yang berupa kebijakan atau peraturan negara. Maka setelah dibentuknya perjanjian TRIMs tersebut, setiap kebijakan-kebijakan tersebut yang menyalahi dari dalam perjanjian TRIMs yang sudah disepakati tidak boleh lagi digunakan. Sehingga sekarang pembatasan perdagangan dikonsentrasikan terhadap tarif harga.

B. Substansi Dasar Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999

Sebagaimana struktur undang- undang lainnya, maka UU No.5 Tahun 1999 juga diawali dengan berbagai defenisi umum yang dipergunakan dalam undang-undang. Struktur UU No.5 Tahun 1999 mengatur mengenai Ketentuan Umum, Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan yang Dilarang, Posisi dominan maupun mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU, Prosedur Penanganan Perkara, Sanksi serta Pengecualian. 86 Jika dibuat dalam bentuk sistematika, cakupan materi dan sistematikannya sebagai berikut. 87 85 Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia Malang: Bayumedia Publishing, 2003, hlm. 35. 86 Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hlm.84. 87 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.33. Universitas Sumatera Utara NO BAB PERIHALISITENTANGMATERI PASAL JUMLAH 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. I II III IV V VI VII VIII IX X XI Ketentuan Umum Asas dan Tujuan Perjanjian yang Dilarang Kegiatan yang Dilarang Posisi Dominan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tata Cara Penanganan Perkara Sanksi Ketentuan Lain Ketentuan Peralihan Ketentuan Penutup 1 2 - 3 4 - 16 17 - 24 25 - 29 30 - 37 38 - 46 47 - 49 50 - 51 52 53 1 pasal 2 pasal 13 pasal 8 pasal 5 pasal 8 pasal 9 pasal 3 pasal 2 pasal 1 pasal 1 pasal JUMLAH 53 53 Pasal Sedangkan substansi dasar dari UU No.5 Tahun 1999 itu sendiri terbagi atas 3 yaitu Perjanjian yang Dilarang, Kegiatan yang Dilarang, dan Posisi Dominan. 1. Perjanjian yang dilarang Pengertian perjanjian menurut versi hukum persaingan terdapat dalam Pasal 1 ayat 7 UU No.5 Tahun 1999 “perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis ataupun tidak tertulis.” Universitas Sumatera Utara Sepintas bahwa defenisi perjanjian pada Pasal 1 di atas tidak berbeda dengan perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata Pasal 1313 “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada orang lain atau lebih. ” Namun, sesungguhnya terdapat beberapa perbedaan yang mendasar dalam pengertian perjanjian dalam hukum antimonopoli. Perjanjian dalam teori persaingan usaha adalah upaya dua pelaku usaha atau lebih dalam konteks strategi pasar. Dengan demikian, esensi perjanjian adalah saling bersepakatnya antar pesaing tentang tingkah laku pasar mereka, baik seluruhnya ataupun menyepakati tingkah laku bagian tertentu dari keseluruhan tingkah laku pasar. Akibatnya pesaing tidak lagi tampil secara terpisah dan tidak lagi mandiri di pasar. Bagaimana halnya jika tidak ada suatu perjanjian yang tegas baik tertulis maupun lisan. Dengan demikian, apakah semacam “understanding” di antara para pihak sudah dianggap sebagai perjanjian? Perjanjian dengan understanding ini disebut dengan “tacit agreement”. Contoh dari perjanjian dengan understanding ini adalah seorang pelaku usaha memberi sinyal kepada pelaku usaha lain dengan jalan membatasi produksi atau mengumumkan tambahan harga dengan harapan akan diikuti oleh pelaku usaha lain. 88 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 memuat 11 macam perjanjian yang dilarang untuk dibuat oleh pelaku usaha lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Perjanjian-perjanjian yang dilarang dan termasuk 88 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm.116. Universitas Sumatera Utara “praktik monopoli” adalah perjanjian-perjanjian yang diatur dalam Pasal-Pasal 4, 9, 13, dan 16, selebihnya adalah perjanjian-perjanjian yang dikategorikan melanggar “persaingan usaha tidak sehat”. Meskipun keempat pasal di atas, yaitu Pasal-pasal 4, 9, 13, dan 16 termasuk perjanjian yang dianggap mengakibatkan praktik monopoli, tetapi keempat pasal itu pun menurut UU No.5 Tahun 1999 dapat menimbulkan “persaingan tidak sehat.” 89 Apabila perjanjian-perjanjian yang dilarang ini ternyata tetap dibuat oleh pelaku usaha, maka perjanjian yang demikian diancam batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada, karena yang dijadikan sebagai objek perjanjian adalah hal-hal yang tidak halal yang dilarang oleh undang-undang. 90 Penjelasan lebih lanjut mengenai perjanjian yang dilarang akan dibahas tersendiri secara khusus pada subbab berikutnya. 2. Kegiatan yang dilarang Berbeda dengan istilah “perjanjian” yang dipergunakan, dalam UU No.5 Tahun 1999 tidak dapat kita temukan suatu d efenisi mengenai “kegiatan”. 91 Namun demikian, jika ditafsirkan secara a scenario terhadap definisi perjanjian yang diberikan dalam UU No.5 Tahun 1999, dapat dikatakan yang dimaksud dengan “kegiatan” adalah tindakan atau perbuatan hukum “sepihak” yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa ada keterkaitan hubungan hukum secara langsung dengan pelaku usaha lainya. Jadi dengan demikian “kegiatan” merupakan suatu usaha, aktivitas, tindakan, atau 89 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.40. 90 Ibid. 91 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.67. Universitas Sumatera Utara perbuatan hukum secara sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha tanpa melihat pelaku usaha lainnya. 92 Menurut Michael E. Porter ada lima faktor persaingan yang terdapat pada tiap jenis industri, yaitu: 93 a. Persaingan industri antara sesama perusahaan sejenis, yaitu persaingan antara sesama industri yang memproduksi komoditas yang sama dengan merek berbeda, misalnya mobil Toyota dengan Suzuki. b. Peserta potensial, yaitu persaingan dengan perusahaan baru yang secara potensial dapat mengancam eksistensi perusahaan yang sudah ada. c. Barang substitusi, yaitu persaingan dengan produk substitusi. Misalnya kapas alam diganti dengan kapas sintetis yang lebih murah dan mudah diproduksi. d. Pemasok, yaitu kekuatan tawar menawar para pemasok dalam memasok bahan baku, tenaga kerja, teknologi, energi dan sebagainya. e. Pembeli, yaitu kekuatan tawar menawar para pembeli. Kelima hal tersebut di atas merupakan unsur persaingan yang harus dimiliki dan dikuasai perusahaan. Keterpaduan faktor tersebut akan memberi sinergi bagi perusahaan. Para pengusaha yang mampu menyusun suatu strategi yang terpadu dan lengkap akan mampu menguasai pasar global. 94 Untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat seperti dikemukakan di atas, dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah dikemukakan secara jelas dan terstruktur mengenai kegiatan-kegiatan yang 92 Ahmad Yani et. Al, Antimonopoli Jakarta: PT Raja Grafindo,1999, hlm.31. 93 Ibid. 94 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm.224. Universitas Sumatera Utara dilarang yang berdampak merugikan persaingan pasar, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 95 a. Kegiatan monopoli Pasal 17. b. Kegiatan monopsoni Pasal 18. c. Penguasaan Pangsa Pasar Pasal 19-Pasal 21 d. Persekongkolan Pasal22-Pasal 24 3. Posisi Dominan Pengertian posisi dominan dikemukakan Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa posisi dominan adalah “keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokam atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu ”. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dilihat bahwa setiap pelaku usaha mempunyai kemungkinan untuk menguasai pangsa pasar secara dominan, sehingga dirinya dianggap menduduki posisi dominan atas pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha lainnya yang menjadi pesaingnya dalam menguasai pasar; atau suatu posisi yang menempatkan pelaku usaha ebih tinggi atau paling tinggi di antara pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha lain yang menjadi pesaingnya dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang 95 Susanti Adi Nugroho,Op.cit,hlm.225. Universitas Sumatera Utara atau jasa tertentu, sehingga dirinya dianggap menduduki posisi dominan atas pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha lainnya yang menjadi pesaingnya. 96 Terdapat 4 macam bentuk kegiatan posisi dominan yang dilarang dari Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 UU Nomor 5 Tahun 1999 yaitu: a. Kegiatan posisi dominan yang bersifat umum Pasal 25. b. Jabatan rangkap atau kepengurusan terafisiliasi Pasal 26. c. Pemilikan saham atau terafisiliasi Pasal 27. d. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan Pasal 28 dan Pasal 29. Undang-undang melarang pihak-pihak tertentu yang memiliki posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: 97 a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan tertentu yang bertujuan untuk mencegah danatau menghalangi konsumen memperoleh barang danatau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas. b. Membatasi pasar dan membatasi perkembangan teknologi atas produk yang dihasilkan. c. Menghambat pelaku usaha lain, yang berpotensi menjadi pesaing, untuk memasuki pasar yang bersangkutan. Jadi, memiliki posisi dominan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat 1, tidaklah salah selama tidak menyalahgunakan hal-hal tersebut dalam poin a, b, dan c diatas. 96 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.84. 97 Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm.209. Universitas Sumatera Utara Ukuran yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya posisi dominan dari sisi penentuan harga adalah kekuatan dalam menentukan harga. 98 Penjual yang memiliki posisi dominan dapat mengarah kepada penjual yang monopolis. Pelaku usaha memiliki posisi dominan seperti tersebut di atas apabila: 99 a. Satu pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha menguasai 50 atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, atau b. Dua atau tiga pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha menguasai 75 atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Penyebab posisi dominan yaitu adanya barrier to entry dan proses integrasi vertikal suatu usaha bisnis dapat menjadi raksasa lahir dari penguasaan ke atas, yaitu penguasaan terhadap bahan baku, dan penguasaan ke bawah, yaitu penguasaan jalur distribusi.

C. Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal dalam Perjanjian yang Dilarang