Persaingan Sesama Merek Intrabrand dalam Praktek Dunia Usaha

BAB IV PERSAINGAN SESAMA MEREK

INTRABRAND DIKAITKAN DENGAN PEMBATASAN PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

A. Persaingan Sesama Merek Intrabrand dalam Praktek Dunia Usaha

Berdasarkan terminologi pasar persaingan sempurna, ketika terjadi transaksi antara penjual dan pembeli , seluruh hak atas suatu barang danatau jasa yang dijual akan berpindah ke tangan pembeli. Pembeli kemudian akan memiliki kekuasaan penuh untuk menjual kembali barang tersebut dengan harga berapapun dan kepada siapapun. 121 Namun jika diihat dari pengertian konsumen, maka pernyataan diatas tidak bisa dinyatakan sepenuhnya benar. Hal ini dikatakan karena pembeli sering disamakan dengan konsumen. Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Berdasarkan rumusan tersebut, maka pengertian konsumen terbatas pada pemakai atau pengguna barang danatau jasa untuk keperluannya, baik untuk keperluan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak 121 Pedoman Pelaksanaan Pasal 8 Penetapan Harga Jual Kembali UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hlm 8 Universitas Sumatera Utara untuk diperdagangkan. 122 Dari pengertian konsumen diatas, maka dapat kita kemukakan unsur -unsur defenisi konsumen: 123 1. Setiap orang Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan atau jasa. Istilah ”orang” disini tidak dibedakan apakah orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum rechtspersoon. Oleh karena itu, yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen sebatas pada orang perseorangan, tetapi konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum. 2. Pemakai Kata ”pemakai” dalam bunyi Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diartikan sebagai konsumen akhir ultimate consume. 3. Barang danatau jasa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai sebagai benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, benda yang dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap 122 Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.45. 123 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar Jakarta: Diadit Media, 2001, hlm..13 dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hlm.27. Universitas Sumatera Utara layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 4. Yang tersedia dalam masyarakat Barangjasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Namun, di era perdagangan sekarang ini, syarat mutlak itu tidak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya perusahaan pengembang developer perumahan telah biasa mengadakan transaksi konsumen tertentu seperti futures trading dimana keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan. 5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan . 6. Barang dan jasa itu tidak dapat diperdagangkan Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggana keperluan non- komersial. Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah pengguna terakhir, tanpa melihat apakah si konsumen adalah pembeli dari barang danatau jasa tersebut. 124 Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari pakar masalah 124 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran Bandung: Nusa Media, 2008, hlm.8. Universitas Sumatera Utara konsumen di Belanda, Hondius yang menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa pengertian konsumen dalam arti sempit. 125 Sedangkan pada konsep pembelian barang guna untuk dijual kembali seperti disebutkan diatas adalah kegiatan “konsumsi antara” yang dilakukan oleh retailer atau pengecer. Retailer atau pengecer merupakan sarana bagi konsumen untuk mendapatkan produk. Konsumen pergi berbelanja ke toko untuk mendapatkan berbagai macam kebutuhan sehari-hari maupun jangka panjang. Selain membayar dengan harga retail, konsumen juga akan mendapatkan pelayanan services yang disediakan oleh toko. 126 Retailer mendapatkan barang dari produsen dengan harga pabrikan atau wholesale dan dengan margin tertentu, retailer kemudian menentukan harga eceran dan tigkat pelayanan tertentu. Dengan keleluasaan yang dimiliki oleh masing-masing retailer, tiap retailer akan menentukan harga eceran sendiri dengan tingkat pelayanan tersendiri, meskipun semua retailer menerima harga pabrikan yang sama dari produsen manufaktur. 127 Retailer yang satu akan bersaing dengan Retailer yang lainnya yang juga menjual produk yang sama. Kedua retailer tersebut mendapatkan barang dari perusahaan manufaktur dengan harga pembelian sama besar . Persaingan yang terjadi antara dua pelaku usaha yang menjual produk yang sama disebut dengan persaingan dalam merek yang sama atau intrabrand competition persaingan 125 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi Revisi 2006 Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006, hlm.3. 126 Pedoman Pelaksanaan Pasal 8 Penetapan Harga Jual Kembali UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hlm.8. 127 Ibid. Universitas Sumatera Utara intrabrand . Persaingan yang muncul bukan hanya dalam bentuk harga, melainkan juga dalam bentuk layanan. Bagi konsumen yang memiliki jarak yang sama untuk pergi berbelanja ke kedua toko tersebut, maka faktor harga mendominasi keputusan dari konsumen tersebut. Sebagai konsekuensinya kedua retailer akan menekankan pada persaingan harga dan meminimalkan persaingan layanan. 128 Persaingan intrabrand tersebut menyebabkan timbulnya para free rider. Free rider adalah seorang pelaku usaha yang menikmati keuntungan dari pelayanan maupun usaha yang dilakukan oleh orang lain tanpa mengeluarkan biaya. 129 sehubungan dengan yang telah dijelaskan diatas, misalnya bila ada seorang retailer menjual suatu produk dari distributor yang menawarkan produk tersebut sekaligus dengan pelayanan purna jual, ruang pamer dan iklan dimana keseluruhan sarana ini termasuk dalam harga jual produk tersebut. Sementara retailer yang lain menjual produk yang sama tetapi tidak menawarkan pelayanan yang demikian, maka retailer ini dapat menjual produk tersebut dengan harga yang lebih murah dari retailer yang lain karena tidak mengeluarkan biaya tambahan. 130 Jenis fasilitas free rider yang umumnya menjadikan biaya tambahan bagi distributor adalah: iklan, ruang pamer, pelatihan untuk staff dan upaya menjaga kualitas dan reputasi. 131 Mengenai persaingan intrabrand memang tidak diatur secara langsung dalam UU No.5 Tahun 1999. Namun, jika dikaji berdasarkan unsur-unsur 128 Pedoman Pelaksanaan Pasal 8 Penetapan Harga Jual Kembali UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat , hlm.8 –9. 129 Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hlm.90. 130 Ibid. 131 Ibid. Universitas Sumatera Utara persaingan tidak sehat yang dilihat dari pengertiannya pada Pasal 1angka 6 yaitu dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha, maka persaingan intrabrand dapat dikatakan sebagai persaingan tidak sehat. Persaingan intrabrand tidak diatur secara eksplisit dalam UU No.5 Tahun 1999. Namun jika dilihat dari unsur-unsur persaingan tidak sehat yang terdapat pada Pasal 1 angka 6 UU No.5 Tahun 1999, maka persaingan intrabrand mengenai salah satu unsur tidak sehat yaitu tidak jujur. Pelaku usaha retailer tidak menjual barang yang berada padanya dengan harga dan fasilitas lainnya seperti yang sudah ditetapkan oleh produsen. Sementara mengenai keberadaan persaingan intrabrand pada dunia usaha sulit untuk ditemukan terjadinya kegiatan tersebut. Di Indonesia belum terlihat contoh kasus nyata yang terbukti adanya kegiatan persaingan intrabrand. Namun, sebagai kegiatan yang diduga mengarah kepada persaingan intrabrand adalah sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh salah ATPM Agen Tunggal Pemegang Merek tertentu yang kepada dealer-nya. Seperti yang dikutip dalam salah satu artikel Kompas.com: 132 “Agen Tunggal Pemegang Merek ATPM atau pihak tertentu, diduga melakukan penyalahgunaan posisi dominan, penguasaan pasar, atau exclusive dealing untuk membatasi gerak diler. Dalam hal ini merujuk ke tindakan yang mengarahkan keikutsertaan dalam salah satu pameran otomotif. Hal itu diadukan pelapor identitas dirahasiakan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU, Rabu 2752015, yang menduga ada merek-merek tertentu melanggar UU No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yakni menghalang-halangi pihak lain berhubungan bisnis dengan IIMS.” 132 http:otomotif.kompas.comread20150527 diakses tanggal 23 Juni 2015. Universitas Sumatera Utara Hal menarik dari artikel tersebut adalah adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh dealer tersebut yang mencoba untuk mengikuti pameran IIMS secara tersendiri, beda dari dealer lain pada satu ATPM yang sama. Sebelumnya perlu diketahui bahwa ATPM Agen Tunggal Pemegang Merek suatu merek dagang merupakan perusahaan yang ditunjuk untuk memasarkan suatu produk atau merek tertentu di Indonesia oleh produsen principle yang umumnya berada di luar negeri. 133 Sedangkan dealer merupakan suatu badan atau perorangan yang bertugas sebagai tangan distribusi dari produsen kepada konsumen. Pada perdagangan umum disebut juga sebagai agen penjualan. 134 Dari artikel diatas dapat dilihat dugaan adanya persaingan intrabrand yang dilakukan oleh dealer pelapor. Hal ini dikatakan demikian, karena sebagai salah satu dealer dari suatu ATPM , ia tidak mengikuti kesepakatan yang ditetapkan oleh pihak ATPM terlepas kesepakatan tersebut terbukti sebagai pelanggaran atau tidak. ATPM pasti tidak hanya melarang satu dealer untuk mengikuti pameran tersebut. Tetapi karena adanya dorongan persaingan dealer tersebut untuk bersaing mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibanding dealer-dealer lain yang juga dilarang untuk mengikuti pameran tersebut. Juga jika dikaji lagi, bahwa adanya dugaan persaingan intrabrand juga terdapat pada pihak ATPM tersebut. Sebagai distributor yang dipercayakan oleh suatu merek luar negeri di Indonesia, tindakan pelarangan tersebut bukanlah tindakan yang berasal dari perintah produsen melainkan kebijakan ATPM yang ada di Indonesia itu sendiri. 133 https:id.wikipedia.orgwikiAgen_tunggal_pemegang_merek diakses tanggL 23 Juni 2015. 134 https:id.wikipedia.orgwikiDealer diakses tanggal 23 Juni 2015. Universitas Sumatera Utara Karena jika dilihat dari segi keuntungan penjualan, pihak produsen tidak merasa dirugikan dengan keikutsertaan dealer tersebut dalam pameran yang ada.

B. Kaitan Persaingan Sesama Merek Intrabrand Dengan Pembatasan